Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 16 Mei 2018

MAKALAH CARA PENERAPAN METODE PENAFSIRAN HUKUM


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Hukum adalah suatu peraturan tertulis/tidak tertulis dimana disitu terdapat aturan yang mengatur perilaku manusia serta bersifat memaksa. Hukum sangat diperlukan dalam suatu komunitas dimana didalamnya dihuni oleh sekelompok individu dan mengatur individu tersebut untuk bersifat sewajarnya dan tidak mengekang hak orang lain. Adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam mempelajari ilmu hukum, sumber hukum merupakan suatu bagian yang terpenting artinya, baik dilihat dari segi teori maupun dilihat dari segi praktisnya.
Istilah sumber hukum mengandung beberapa arti tergantung dari sudut mana seseorang memandangnya. Selain dari pada itu istilah sumber hukum itu dapat diartikan sebagai sumber hukum dalam arti materil dan sumber hukum dalam arti formal, sebagai sumber pengenalan dan sumber asal.
Suatu Undang-undang lahir melalui suatu proses yang panjang yang merupakan jalinan dari berbagai faktor seperti pengalaman, sejarah, kemasyarakatan, pandangan-pandangan dan nilai-nilai ideal, kesusilaan dan kesadaran hukum. Dan semua faktor tadi menentukan terciptanya undang-undang.
Didalam setiap undang-undang yang tertulis,seperti halnya undang-undang pidana memerlukansuatu penafsiran. Hal ini disebabkan oleh undang-undang yang tertulis itu sifatny statis, sulit diubah serta kaku. Walaupun undang-undang telah tersusun secara sistematis dan lengkap, namun tetap juga kurang sempurna dan masih terdapat banyak kekurangannya sehingga menyulitkan dalam penerapannya, oleh karena itu perlu dilakukannya penafsiran.
Tujuan pembuatan penafsiran undang-undang itu sendiri selalu untuk menentukan arti yng sebenarnya dari putusan kehendak pembuat undang-undang, yaitu seperti yang tertulis didalam rumusan dari ketentuan pidana didalam undang-undang, hakim berkewajiban untuk menafsirkan ketentuan hukum yang setepat-tepatnya yakni apa yang sebenarnya dimaksud mengenai ketentuan tersebut.
B.       Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami menyusun beberapa rumusan masalah sebagai beirikut :
1.      Apa pengertian Sumber Hukum ?
2.      Apa saja jenis-jenis sumber hukum dan penjelasannya ?
3.      Apa yang dimaksud dengan Penafsiran Hukum?
4.      Apa saja metode dalam penafsiran hukum ?
5.      Bagaimana Cara Penerapan Metode Penafsiran Hukum ?
C.      Tujuan
Dalam rumusan beberapa materi di makalah ini, tujuannya yaitu:
1.      Kita dapat mengetahui pengertian sumber hukum.
2.      Kita juga dapat lebih mengetahui apa saja jenis-jenis sumber hukum juga penjelasannya.
3.      Agar dapat mengetahui juga memahami apa itu penafsiran hukum.
4.      Dapat mengenal apa saja metode dalam melakukan penafsiran terhadap hukum.
5.      Kita juga bisa mengetahui bagaimana cara penerapan metode penafsiran hukum.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Sumber Hukum
Sumber hukum ialah “asal mulanya hukum” segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan-aturan hukum sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Yang di maksud “segala sesuatu” tersebut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap timbulnya hukum, darimana hukum ditemukan atau dari mana berasalnya isi norma hukum.
Sumber hukum pada hakikatnya dapat dibedakan ada 2 (dua) macam, yakni sumber hukum material dan sumber hukum formal (Algra), dan (Utracht). Dan menurut Achmad Sanoesi sumber hukum terdiri dari dua kelompok yaitu sumber hukum normal dan sumber hukum abnormal. L.J. van Apeldoorn menyatakan bahwa perkataan sumber hukum dipakai dalam arti sejarah, kemasyarakatan, filsafat, dan arti formal. Dengan demikian, dapatlah dirumuskan, sumber hukum adalah sesuatu yang menimbulkan aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya.
B.       Jenis – jenis Sumber Hukum
a.      Sumber Hukum Material
Sumber hukum material adalah faktor-faktor yang menentukan kaidah hukum, tempat darimana berasalnya isi hukum, atau faktor-faktor yang menentukan isi hukum yang berlaku. Faktor-faktor yang menentukan isi hukum dapat dikelompokan atas “faktor ideal (filosofis), faktor sejarah (historis), dan faktor kemasyarakatan (sosiologis)”.
Faktor ideal (filosofis) adalah pedoman-pedoman hidup yang tetap mengenai nilai-nilai etika dan keadilan yang harus dipatuhi oleh para pembentuk undang-undang ataupun oleh lembaga-lembaga pelaksana hukum dalam melaksanakan tugasnya. Faktor sejarah (historis) adalah tempat hukum dari sejatah kehidupan, tumbuh kembangnya suatu bangsa dimasa lalu, misalnya hukum dalam piagam-piagam, dokumen, manuskrip kuno, code Napoleon, BW, WvK, dan WvS.
Faktor kemasyarakatan (sosiologis) adalah hal-hal yang nyata hidup dalam masyarakat yang tunduk pada aturan-aturan tata kehidupan masyarakat. Faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum adalah:
1.      Kebiasaan atau adat istiadat yang telah mentradisi terus berkembang dalam masyarakat yang ditaati sebagai aturan tingkah laku tetap.
2.      Keyakinan tentang agama/kepercayaan dan kesusilaan.
3.      Kesadaran hukum, perasaan hukum dan keyakinan hukum dalam masyarakat.
4.      Tata hukum negara-negar lain, misalnya materi hukum perdata, hukum dagang, hukum perdata internasional diambil dari negara-negara yang lebih maju.
5.      Sumber hukum formal, yang sudah ada sekarang ini dapat dijadikan bahan untuk menentukan isi hukum yang akan datang (ius constituendum).
Menurut Utrecht, sumber hukum material adalah perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (publik opinion) yang menjadi determinan material pembentuk hukum yang menentukan isi kaidah hukum.
b.      Sumber Hukum Formal
Sumber hukum formal adalah tempat dari mana dapat ditemukan atau diperoleh aturan-aturan hukum yang berlaku yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat dan pemerintah sehingga ditaati. Sumber hukum formal (van Apeldoorn) adalah dari mana timbulnya hukum yang berlaku (yang mengikat hakim dan penduduk). Berikut adalah macam – macam sumber hukum formal :
a)        Sumber Hukum Formal Tertulis
Bentuk sumber-sumber formal yang tertulis ialah undang-undang, , yurisprudensi, traktat (teaty), dan doktrin hukum (pendapat atau ajaran ahli hukum).
1.    Undang-Undang
Undang-undang dapat dibedakan dalam undang-undang dalam arti materil dan undang-undang dalam arti formal. Undang-undang dalam arti materiel adalah keputusan penguasa yang dilihat dari segi isinya  mempunyai kekuatan mengikat umum.
Undang-undang dalam arti formal adalah keputusan peguasa yang diberi nama undang-undang disebabkan bentuk yang menjadikannya undang-undang. Di Indonesia undang-undang dalam arti formal ditetapkan oleh presiden dengan perseujuan Dewan Perwakilan Rakyat ( pasal 5 ayat 1 ).
Biasanya undang-undang dalam arti formal memuat ketentuan yang mengikat umum, dengan demikian undang-undang ini pada umumnya merupakan juga undang-undang dalam arti materiel.
Contoh undang-undang dalam arti formal yang bukan undang-undang dalam arti materiel, misalnya : undang-undang tentang APBN ( pasal 23 (1) UUD 1945 ), undang-undang kewarganegaan (undang-undang No. 62 ttahun 1985 ) ( Naturalisasi ).
Selanjutnya undang-undang dapat pula dibedakan dalam : undang-undang tingkat atasan dan undang-undang tingkat bawahan. Jadi disini dikenal hierarki undang-undang yang susunannya adalah sebagai berikut :

1)        undang-undang dalam arti formal.
2)        Ketentuan umum dibidang tata-pemerintahan atau sering kali disebut peraturan tingkat pusat.
3)        Peraturan-perauran daerah ( daerah tingakat I dan daerah tingkat II ).
4)        Peraturn kota madya.

2.         Hukum Traktat ( Perjanjian Internasional )
Hukum traktat adalah perjanjian yang dibuat antar Negara yang di tuangkan dalam bentuk tertentu. Negara-negara juga bisa membuat perjanjian dengan Negara lain tanpa peru adanya traktat, misalnya hanya dengan perlu pertukaran nota atau surat biasa. Meskipun demikian dari segi jurudis surat-surat seperti itu sama degan traktat. Perjanjian antar Negara sering juga dinamakan konvensi, agreement dan lain-lain, yang penamaan iu diberikan berhubung dengan isinya.
Prof. DR. Mochtar Ksuma Atmadja SH, LLM. Mengemukakan bahwa salah satu kesulitan yang sering dijumpai dalam mempelajari masalah perjanjian ini adalah banyak istilah yang digunakan ( pengantar hukum internasional, hal 110. ) Cara terjadinya “Traktat”  diatur oleh hukum internsional dan syarat pembentukannya terdiri atas :
a.    Perundingan ;
b.    Penutupan ;
c.    Pengesahan dan
d.   Pertukaran piagam-piagam.
Selanjutnya tergantung dari hukum tata Negara masing-masing Negara yang bersangkutan mengenai badan-badan yang mana yang berwenang untuk menyelesaikan terjadinya suatu traktat.
1)      Perundingan
Diperlukan untuk persiapan ada 2 macam yakni :  
Traktat bilateral dipersiapkan dengan perundingan langsung yang dapat terjadi secara lisan atau tertulis bahkan dengan cara telegrafis.
Traktat kolektif dapat dipersiapkan dengan cara yang sma dengan Traktat bilateral jadi Negara yang bersangkutan mengirim utusannya masing-masing kemudian berunding.
2)      Penutupan
Apabila para utusan Negara yang mengadakan perundingan telah mencapai persetujuan, maka traktat itu ditutup, artinya eks trakat tersebu ditetapkan dalam satu piagam, dan disusun perpasal-pasal.
3)      Pengesahan
4)      Pertukaran piagam
Traktat berlaku dan mengikat para pihak yang terlibat jika piagam pengesahan sudah dipertukarkan diantara Negara-negara yang bersangkutan, untuk traktat kolektif piagam itu digantikan dengan cara menyimpan piagam iu didalam sebuah arsip dari salah satu Negara yang menanda tangani traktat itu berdasarkan persetujuan bersama yang sebelumnya dinyatakan dalam trakat.
Di Indonesia perjanjian internasional dibuat oleh presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat (DPR).
3.        Putusan Hakim ( Yurisprudensi )
Dalam sistem common  law, yurisprudensi diterjemahkan sebagai suatu ilmu pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan hukum lain. Sedangkan dalam sistem statute law, diterjemahkan sebagai putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetapp dan diikuti oleh para hakim tau badan peradilan lain dalam memutuskan perkara atau kasus yang sama. (Simorangkir, 1987:78)
Menurut Prof. Subekti, yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kesasi atau putusan MA sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak semua putusan hakim dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi, kecuali putusan tersebut sudah melalui proses eksaminasi dan notasi MA dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi.
4.    Doktrin (Pendapat Para Ahli)
Doktrin Hukum adalah pendapat para ahli atau sarjana hukum ternama atau terkemuka. Dalam yurisprudensi dapat dilihat bahwa hakim sering berpegangan pada pendapat seorang atau beberapa sarjana hukum terkenal namanya. Pendapar para sarjana hukum itu menjadi dasar keputusan-eputusan yang akan diambil oleh seorang hakim dalam menyelesaian suatu perkara.
Doktrin adalah teori-teori yang diampaikan oleh para sarjana hukum yang ternama yang mempunyai kekuasaan dan dijadikan acuan bagi hakim untuk mengambil keputusan. Dalam penetapan apa yang akan menjadi keputusan hakim, ia sering menyebut (mengutip) pendapat seseorang sarjana hukum mengenai kasus yang harus diselesaikannya, apalagi jika sarjana hukum itumenentukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut..
Pendapat para sarjana hukum yang merupakan doktrin adalah sumber hukum. Ilmu hukum itu sebagai sumber hukum, tapi bukan hukum karena tidak langsung mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana undang-undang ilmu hukum baru mrngikat dan mempunyai kekuatan hukum bilaa dijadika pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan.

b)   Bentuk Hukum Formal yang Tidak Tertulis
1.    Hukum Adat
Sudah dimaklumi bahwa memahami arti hukum hanya berdasarkan definisi saja adalah sesuatu hal yang mustahil mengingat luasnya ruang lingkup hukum.
Isi dari hukum berubah-ubah menurut waktu dan tempat, dengan kata lain orang hanya bisa membedakan nya dari ciri-ciri luarnya saja dan mengenal tatacara pelaksanaan ketentuan hukum itu.
Hukum adat merupakan serangkaian tingkah laku yang berulang kali dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat, berdasarkan kesadaran dan keyakinan bahwa tingkah laku itu pantas. Dan hukum adat itu adalah keseluruhan atau tingkah laku yang “adat” dan sekaligus dihukumkan pula.
Istilah hukum adat sebagai hukum tidak tertulis secara resmi dalam undang-undang dasar sementara ( pasal 32 jo. Pasal 43 ayat (4) ). Meskipun undang-undang dasar 1945 tidak secara tegas menyebut-nyebut mengenai hukum adat, namun berdasarkan pasal II aturan peralihannya semua ketentuan mengenai hukum-hukum adat sebelum berlakunya undang-undang dasar 1945 tetap berlaku.
Dalam tata hukum hindia-belanda dikenal sebuah istilah “adatrech” yang lazimnya diterjemahkan hukum adat, hal mana ditinjau dari segi isinya sungguh tidak tepat. Adtrech adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi orang Idonesia asli/ pribumi dan orang timur asing yang mempunyai kekuatan memaksa dan tidak dikodifikasikan.
Diatas telah dikatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis demikian pula “adatrech” sekilas terlihat sama namun sesungguhnya berbeda dan perbedaannya itu terletak pada hukum adat yakni hukum adat itu tidak tertulis sedangkan adatrech untuk sebagian meliputi pula hukum yang tertulis atau tercatat ( beschreven reht ).
Jadi didalam hukum adat terlebih dahulu harus ada suatu perbuatan dan perbuatan tersebut haruslah dilakukan secara berulang-ulang dan diikuti oleh masyarakat, dengan kesadaran penuh bahwa memang perbuatan itu sesuai dengan pola sikap-hidup bersama, barulah kebiasaan itu menjadi adat.
Namun demikian adat-kebiasaan itu sendiri baru menjadi hukum adat jika dari pihak penguasa atau pemerintah nya masing-masing seperti pembuat undang-undang, hakim, dan sebagainya menghukumkan hukum itu menjadi hukum adat.
2.    Kebiasaan
Kebiasaan (Custom). Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang tetep, ajeg, dan normal di dalam suatu mastyarakat atau komunitas hidup tertentu. Sebagai sebuah perilaku yang tetap kebiasaan merupaan perilaku yang selalu berulang hingga melahirkan satu keyakinan kesadaran bahwa hal itu patut dilakukan dan memiliki kakuatan yang mengikat.
Tidak semua kebiasaaan dapat menjadi sumber hukum, kebiasaan yang dapat menjadi sumber hukum meniscayakan beberapa syarat :
a.       Syarat materiil adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan berulang-ulang.
b.      Syarat intelektual adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan.
c.       Adanya akibat hukum apabila kebiasaan dilanggar.

c.       Sumber Hukum Normal
a.    Sumber hukum normal yang langsung atas pengakuan undang-undang, yaitu
1)      Undang-undang
2)      Perjanjian antarnegara
3)      Kebiasaan
b.    Sumber hukum normal yang tidak langsung atas pengakuan undang-undang, yaitu
1)      Perjanjan
2)      Doktrin
3)      Yurispudensi

d.      Sumber Hukum Abnormal
a.    Proklamasi
b.    Revolusi (Coup D’etat)
Salah satu sumber hukum yang tidak normal (abnormal) ialah revolusi atau Coup D’etat yaitu suatu tindakan dari warga negara yang mengambil alih kekuasaan diluar cara-cara yang diatur dalam konstitusi suatu negara.
C.      Penafsiran Hukum
a. Pengertian Penafsiran Hukum
Penafsiran (interpretasi) menurut Soedjono Dirdjosisworo,adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi pasal berdasar pada kaitannya. Adapun R. Soeroso menjelaskan bahwa penafsiran atau interpretasi ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuatan undang-undang.
Tujuan pembuatan penafsiran undang-undang itu sendiri selalu untuk mementukan arti yang sebenarnya dari putusan kehendak pembuat undag-undang, yaitu seperti yang tertulis di dalam rumusan dari ketentusn pidana di- dalam undang-undang. Hakim berkewajiban untuk menafsirkan ketentuan pidana dengan setepat-tepatnya, yakni apa yang sebenarnya dimaksud dengan rumusan mengenai ketentuan pidana tersebut.

D.       Macam-macam Metode Penafsiran Hukum
1.        Penafsiran menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie), yaitu memberikan arti kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan taya bahas. Misalnya jika perumusan berbunyi "pegawai negeri menerima suap", maka subjek atau pelaku di sini adalah pegawai negeri, bukan barang siapa, atau nahkoda.
2.        Penafsiran secara sistematis, yaitu apabila suatu istilah atau perkataan dicantumkan dua kali dalam satu pasal, atau pada undang-undang, maka pengertiannya harus sama pula. Misalnya pada pasal 302 KUHP dicantumkan dua kali istilah binatang, maka kepada kedua istilah itu harus dibetikan pengertian yang sama.
3.        Penafsiran mempertentangkan (argentum acontario), yaitu menemukan kebalikan dari pengertian suatu istilah yang sedang dihadapi. Misalnya kebalikan dari "tiada pidana tanpa kesalahan " adalah pidananya dijatuhlan kepada seseorang yang padanya terdapat kesalan.
4.        Penafsiran memperluas (extensieve interpretatie), yaitu memperluas pengertian dari suatu istilah berbeda drngan pengertiannya yang digunakan sehari-hari. Contoh aliran listrik ditafsirkan sebagai benda.
5.        Penafsiran mempersempit (restrictieve interpretatie), yaitu mempersempit penegertian dari suatu istilah. Contoh kerugian ditafsirkan tidak termasuk kerugian yang "tidak berwujud", seperti sakit, cacat, dan sebagainya.
6.        Penafsiran historis (rech/wets-historis), yaitu mempelajari sejarah yang berkaitan atau mempelajari pembuatan Undang-Undang yang bersangkutan akan ditemukan pengertian dari sesuatu istilah yang dihadapi. Contoh seseorang yang melanggar hukum atau melakukan tindak pidana dihukum denda Rp 250,00 denda sebesar itu ditetapkan saat ini jelas tidak sesuai maka harus ditafsirkan sesuai dengan keadaan harga saat ini.
7.        Penafsiran teleologis, yaitu mencari tujuan atau maksud dari suatu peraturan Undang-Undang. Misalnya tujuan dari pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub), UU No.16 Pnps Tahun 1963, ialah untuk mempercepat proses penyelesaian suatu perkara khusus.
8.        Penafsiran logis, yaitu mencari pengertian dari suatu istilah atau ketentuan berdasarkan hal-hal yang masuk akal. Cara ini tidak banyak digunakan.
9.        Penafsiran analogi, yaitu memeperluas cakupan atau penhertian dari ketentuan undang-undang. Contoh, istilah menyambung listrik dianggap sama dengan mengambil aliran listruk.
10.    Penafsiran futuristis, yaitu penafsiran dengan penjelasan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum, yaitu rancangan undang-undang.
11.    Penafsiran komparatif, yaitu penafsiran dengan cara membandingkan dengan penjelasan berdasarkan perbandingan hukum, agar dapat ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang.
12.    Penafsiran Autentik(resmi)
Penafsiran autentik adalah penafsiran resmi yang diberikan oleh pembuat undang-undang.Misalnya:Pada pasal 98 KUHP ;”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit ,dan pasal 97 KUHP : Hari adalah waktu selama 24 jam dan yang di maksud dengan bulan adalah waktu selama 30 hari.
13.    Penafsiran Nasional
Penafsiran nassional adalah penafsiran yang menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku .Mislnya :Hak milik Pasaal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia.


E.  Cara Penerapan Metode Penafsiran Hukum
Pembuat undang-undang tidak menetapkan suatu sistem tertentu yang harus di jadikan pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-undang.Oleh karena itu hakim bebas dalam melakukan penafsiran.
Dalam melaksanakan penafsiran pertama-tama selalu dilakukan penafsira gramatikal,karna pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan  perundang-undangan harus mangerti terlebih dahulu arti kata-katanya. Apabila perlu dilanjutkan  dengan penafsiran otentik yang di tafsiskan oleh pembuat undang-undang itu sendiri ,kemudian dilanjutka dengan penafsiran historis dan sosiologis.
Sedapat mungkin semua metode penafsiran semua dilakukan ,agar didapat makna-makna yang tepat. Apabila semua metode tersebut tidak menghasilkan makna yang sama, maka wajib di ambil metode penafsiran yang membawa keadilan setinggi-tingginya, karena memang keadilan itulah yang di jadikan sasaran pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan undang-undang yang  bersangkutan .   

BAB III
PENUTUP
A.         Kesimpulan
Dari makalah ini dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu :
1.      Sumber hukum ialah “asal mulanya hukum” segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan-aturan hukum sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Yang di maksud “segala sesuatu” tersebut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap timbulnya hukum, darimana hukum ditemukan atau dari mana berasalnya isi norma hukum.
2.    Jenis – jenis sumber hukum:
Didalam sumber hukum tedapat beberapa jenis yaitu, Undang-undang, Traktat, Doktrin, Yurispudensi, Proklamasi, Revolusi, Kebiasaan dan Adat.
3.    Penafsiran hukum (interpretasi) menurut R. Soeroso menjelaskan bahwa penafsiran atau interpretasi ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuatan undang-undang
4.      Macam-macam metode penafsiran hukum:
1.        Penafsiran menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie),
2.        Penafsiran secara sistematis,
3.        Penafsiran mempertentangkan (argentum acontario)
4.        Penafsiran memperluas (extensieve interpretatie),
5.        Penafsiran mempersempit (restrictieve interpretatie),
6.        Penafsiran historis (rech/wets-historis),
7.        Penafsiran teleologis,
8.        Penafsiran logis
9.        Penafsiran analogi,
10.    Penafsiran futuristis,
11.    Penafsiran komparatif,
12.    Penafsiran Autentik(resmi)
13.    Penafsiran Nasional
5.      Dalam penerapan penafsiran hukum, sedapat mungkin semua metode penafsiran semua dilakukan ,agar didapat makna-makna yang tepat. Apabila semua metode tersebut tidak menghasilkan makna yang sama, maka wajib di ambil metode penafsiran yang membawa keadilan setinggi-tingginya, karena memang keadilan itulah yang di jadikan sasaran pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan undang-undang yang  bersangkutan .   
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, zainal. Pengantar Ilmu Hukum. 2012. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Apeldoorn, Van. Pengantar Ilmu Hukum, 1985. Jakarta : Pradnya Paramia
CST Kanzil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. 1990 ,Jakarta: Pradnya Paramita,
Hariri, wawan mukhwan. Pengantar Ilmu Hukum. 2012. Bandung: Pustaka Setia
Ishaq. Dasar-dasar Ilmu Hukum. 2008. Jakarta: Sinar Grafika
R.Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta :Rajawali Press,2001
Sanoesi, Achmad. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. 1977. Bandung : Tarsito
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1994. Jakarta : Raja Grapindo Persada
Soemardi, dedi. Sumber-sumber Hukum Positif. 1980. Bandung: Alumni
Sugiarto, said umar. Pengantar Hukum Indonesia. 2013. Jakarta: Sinar Grafika
(Mar 14, 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar