Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Kamis, 17 November 2016

MAKALAH STUDI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI SEKOLAH DAN PT. UMUM



STUDI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DI SEKOLAH DAN PERGURUAN TINGGI UMUM

BAB 1
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
            Pendidikan Agama merupakan  upaya sadar untuk mentaati ketentuan Allah SWT sebagai dasar para peserta didik agar berpengetahuan keagamaan yang handal dalam menjalani ketentuan-ketentuan Allah SWT secara keseluruhan. Jika kita melihat istilah pengembangan pendidikan islam dapat bermakna kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif bagaimana menjadikan pendidikan islam lebih besar, merata dan meluas pengaruhnya dalam konteks pendidikan pada umumnya. Secara kualitatif bagaimana menjadikan pendidikan   lebih baik, bermutu dan lebih maju  sejalan dengan ide-ide dasar atau nilai-nilai islam itu sendiri yang seharusnya selalu berada di depan dalam merespons dan mengantisipasi berbagai tantangan pendidikan.
Termasuk dalam pengertian kualitatif adalah bagaimana mengembangkan pendidikan islam agar menjadi suatu bangunan keilmuan yang kokoh dan meiliki kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan masyarakat nasional dan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemikiran tentang pengembangan pendidikan islam mengajak seseorang untuk  berpikir analitis kritis, kreatif dan inovatif dalam menghadapi berbagai praktik dan isu actual di bidang pendidikan untuk di kaji dan di telaah dari dimensi fondasionalnya agar tidak kehilangan roh dan spirit islam.[1]
            Pembelajaran pendidikan agama islam yang selama ini berlangsung agaknya terasa kurang terkait atau concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi makna atau nilai yang perlu di internalisasikan dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berprilaku secara konkrit agamis dalam kehidupan sehari-hari. Bila kita mengamati fenomena di masyarakat maka tampaklah bahwa pada saat ini terdapat banyak kasus kenakalan remaja di kalangan pelajar dan mahasiswa, seperti perkelahian antar pelajar, tindak kekerasan antar mahasiswa, konsumsi minuman keras, etika berlalu lintas, kriminalitas yang semakin hari semakin tinggi  telah mewarnai media masa baik itu media cetak maupun media elektronik. Timbulnya kasus - kasus tersebut memang tidak semata-mata kegagalan Pendidikan Agama Islam di Sekolah  maupun Perguruan Tinggi  yang lebih menekankan aspek kognitif, tetapi bagaimana semuanya itu dapat mendorong serta menggerakkan Guru Pendidkan Agama Islam untuk mencermati kembali dan mencari solusi lewat pengembangan pembelajaran pendidikan agama islam yang berorientasi pada pendidikan nilai sikap para peserta didik.
            Maka dengan melihat latar belakang tersebut di atas,  penulis ingin mengkaji lebih dalam melalui sebuah makalah yang berjudul “STUDI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DAN PERGURUAN TINGGI UMUM”.

B.      Rumusan Masalah          
            Dengan melihat latar belakang tersebut di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana kebijakan Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah?
2.      Bagaimana kebijakan pengembangan Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum?
3.      Sejauh manakah  implementasi pengembangan pendidikan Agama Islam terhadap dunia pendidikan masa kini?

C.      Tujuan Penulisan
            Dengan melihat Rumusan masalah diatas, maka yang menjadi Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah:
1.      Mendeskripsikan  kebijakan Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah
2.      Mendeskripsikan  kebijakan pengembangan Pendidikan Agama islam di Perguruan Tinggi Umum
3.      Untu mengetahui Sejauhmana  implementasi pengembangan pendidikan Agama Islam terhadap dunia pendidikan masa kini

  
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Kebijakan Pengembangan Pendidikan PAI di Sekolah
UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah di sahkan DPR RI 11 juni 2003 dan di undangkan 8 juli 2003. selain wacana Pendidikan Islam yang di perdebatkan dalam Undang-Undang sebelumnya, dalam UU No.20/2003 substansi perdebatan terkait  dengan istilah-istilah yang mencerminkan nya, yakni : “Substansi istilah iman, takwa dan akhlak mulia dalam rumusan tujuan pendidikan”, istilah “pendidikan agama”, “pendidikan keagamaan” secara informal,formal maupun non formal, “pengakuan kesetaraan pendidikan diniyah dan pesantren dengan pendidikan formal” dan sebagainya.
Banyak hal yang di jadikan pertimbangan di gagasnya UU No.20/2003 tersebut, dua diantaranya adalah: Pertama, UUD 1945 hasil amandemen keempat mengamanatkan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, selain akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang di atur dengan undang-undang. Kedua, bahwa system pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu,relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan kehidupan lokal, nasional dan global, sehingga perlu di lakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.[2]
Sebagaimana wacana actual, perdebatan tentang UU No.20 tahun 2003 di rumuskan tentang Dasar, fungsi dan tujuan. Pada pasal 3 di nyatakan :” Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Penjelasan “manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia” di nyatakan : “manusia yang beriman dan bertaqwa” adalah manusia yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melaksanakan ajaran agama yang di anutnya. Sedangkan “manusia yang berakhlak dan berbudi mulia”, adalah manusia yang berprilaku sesuai dengan norma agama dan nilai-nilai budaya.
Sementara itu tentang pendidikan keagamaan, pada pasal 30 UU No.20/2003 di nyatakan sebagai berikut:
(1) Pendidikan keagamaan di selenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, (2)  Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama, (3) Pendidikan keagamaan dapat di selenggarakan pada jalur pendidikan formal, non formal dan informal, (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,pasraman, pabhaya samanera dan bentuk lain yang sejenis.[3]
Pemahaman tentang Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah / Perguruan Tinggi Umum dapat di lihat dari dua sudut pandang. Yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai aktivitas dan Pendidikan Agama Islam (PAI ) sebagai fenomena. PAI sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar di rancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani dan memanfaatkan  hidup dan kehidupannya), sikap hidup, dan keterampilan hidup baik yang bersifat manual  (petunjuk praktis) maupun mental dan sikap social yang bernapaskan atau di jiwai oleh ajaran serta nilai-nilai islam. Sedangkan PAI sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih atau penciptaan suasana yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan  hidup yang bernafaskan atau di jiwai oleh ajaran dan nilai-nilai islam, yang di wujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak.[4]


B.      Kebijakan Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum
            Banyak kalangan menganggap bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI), termasuk di Perguruan Tinggi, belum memadai dan kurang relevan dengan tuntutan zaman. Pendidikan Agama Islam hanya sekedar pengajaran agama, singgah sebentar di kepala mahasiswa dan keluar pada waktu ujian semester sehingga tidak mampu untuk membentuk kepribadian mahasiswa menjadi pribadi luhur yang berakhlaqul karimah.
            Beberapa kritik yang berkembang di masyarakat di antaranya yaitu bahwa PAI di pandang kurang berhasil dalam membentuk sikap, prilaku, dan pembiasaan peserta didik, sebagai indikatornya antara lain adalah: (1) rendahnya minat dan kemampuan siswa / mahasiswa untuk melaksanakan ibadah; (2) tidak mampu baca tulis Al-Quran; (3) berprilaku kurang terpuji bahkan melakukan tindakan criminal, misalnya aksi kekerasan, anarkhisme, premanisme, munculnya white collar crimes (kejahatan kerah putih atau kejahatan yang di lakukan kaum berdasi), seperti para eksekutif, birokrasi, guru, politisi, serta isu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang di lakukan oleh para elit, juga merupakan bagian dari kegagalan Pendidikan Agama Islam.[5]
            Diskursus tentang pengembangan pendidkan islam di Indonesia yang di presentasikan oleh para ahli pendidikan islam dan para pengambil kebijakan, baik melaui tulisan-tulisan mereka di berbagai buku, majalah, jurnal maupun melaui kegiatan seminar, penataran dan lokakarya serta kegiatan lainnya telah memeperkaya wawasan dan visi kita dalam mengembangkan pendidikan islam di Indonesia. Berbagai pemikiran mereka perlu di potret, di tata, serta di dudukkan dalam suatu paradigma sehingga model-model, orientasi dan langkah- langkah yang hendak di tuju semakin jelas. Lagi pula seseorang hendak melakukan pengembangan dan penyempurnaan, maka kata kuncinya sudah di pegang sehingga tidak terjadi salah letak, arah dan langkah yang pada giliran selanjutnya dapat menimbulkan sikap overacting dalam menyikapi paradigm tertentu.[6]
            Di sisi lain, selama ini terdapat beberapa kebijakan yang di ambil dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan agama yang di harapkan mampu menyelesaikan krisis multi dimensional di negara kita, terutama menyangkut aspek-aspek moral etika dan sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna pendidikan nasional, yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 3).
            Salah satu kebijakan yang di tetapkan adalah bahwa “ kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia bertujuan membentuk peserta didik menjadi manusia ynag beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia  yang di capai melalui muatan atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olaraga dan kesehatan (Permendinkas No.23 Tahun 2006).
            Demikian pula Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI No : 43 / DIKTI /Kep/2006 tentang rambu-rambu pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, bahwa visi kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) termasuk di dalamnya pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Kedua kebijakan tersebut bermaksud untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama. Namun demikian dalam prakteknya di sekolah ataupun di perguruan tinggi masih belum berjalan sebagaimana yang di harapkan.
            Munculnya berbagai  pemikiran  dan kebijakan  tentang pembinaan  pendidikan  agama  islam secara terpadu pada sekolah umum, pengembangan dan peningkatan kualitas Madrasah, Pesantren IAIN/STAIN, kegiatan pesantren kilat di Sekolah Umum, serta Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi dan sebagainya adalah beberapa contoh manifestasi dari usaha-usaha tersebut di atas. Namun demikian beberapa hal agaknya pemikiran konseptual pengembangan  pendidikan islam dan beberapa kebijakan yang di ambil kadang-kadang terkesan menggebu-gebu, idealis atau bahkan kurang realistis sehingga para pelaksana di lapangan kadang-kadang mengalami beberapa hambatan dan kesulitan untuk merealisasikannya atau bahkan intensitas pelaksanaan dan efektifitasnya masih di pertanyakan. Hal ini mungkin di sebabkan oleh kurangnya kejelasan dan lemahnya pemahaman paradigm pengembangan pendidikan islam itu sendiri, yang berimplikasi pada kesalahan orientasi dan langkah, atau ketidak jelasan wilayah dan arah pengembangannya.[7]
            Kajian ini di maksudkan untuk memberikan deskripsi tentang pengembangan pendidikan agama islam melalui potret atau pemetaan paradigma yang ada dan memperjelas orientasi dan wilayah dari masing-masing paradigma tersebut. Melalui pemahaman paradigma tersebut akan di ketahui paradigma  mana yang sekiranya relevan untuk di terapkan dan di kembangkan dalam merealisasikan kebijakan tersebut, terutama dalam menatap masa depan bangsa Indonesia menuju masyarakat madani.[8]
                Selama ini talah banyak pemikiran dan kebijakan yang di ambil dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan islam yang di harapkan mampu memberikan nuansa baru bagi pengembangan system pendidikan islam di Indonesia dan sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna pengembangan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana tertuang dalam tujuan pendidikan  nasional  (UU.No.2 / 1989 tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional).
            Ada pendapat yang berkembang di masyarakat  yang menyatakan bahwa timbulnya krisis akhlak dan moral hanya di sebabkan karena kegagalan pendidikan agama. Di sisi lain, PAI itu sendiri hingga saat ini masih berhadapan dengan kritik-kritik internal yaitu : Pertama, PAI kurang bisa mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” atau krang mendorong  penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu di internalisasikan  dalam diri peserta didik. PAI selama ini lebih menekankan pada aspek knowing dan doing dan belum banyak mengarah ke aspek being. Kedua, PAI kurang dapat berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan non agama; ketiga, PAI kurang mempunyai relevansi terhadap perubahan social budaya, statis kontekstual, dan lepas dari sejarah sehingga peserta didik kurang menghayati  nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.[9]
            Berbagai persoalan internal pendidikan agama islam tersebut hingga kini belum terpecahkan secara memadai tetapi di sisi lain juga sedang berhadapan dengan factor-faktor eksternal yang antara lain berupa menguatnya pengaruh budaya materialisme, konsumerisme dan hedonism yang menyebabkan terjadinya perubahan life style (gaya hidup) masyarakat dan peserta didik pada umumnya. Di tengah-tengah suasana semacam itu di perlukan upaya Fungsionalisasi PAI seoptimal mungkin melalui manajemen kurikulum PAI yang lebih professional di Sekolah.
            Dengan bertitik tolak dari suatu pandangan bahwa kegiatan pendidikan merupakan suatu proses pengembangan dan penanaman seperangkat nilai/norma yang implisit dalam setiap mata pelajaran dan sekaligus gurunya, maka tugas mendidik akhlak yang mulia sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab guru PAI. Apalagi iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan persyaratan utama bagi setiap guru, yang secara praktis dan berimplikasi pada keharusan setiap guru untuk mengimplisitkan nilai-nilai akhlak yang mulia dalam setiap mata pelajaran yang di pelajari oleh peserta didik. pandangan semacam itu juga di lontarkan oleh Ibnu Miskawaih (330 H/940 M- 421 H/1030 M), bahwa setiap ilmu atau mata pelajaran yang di ajarkan oleh Guru/pendidik harus memperjuangkan terciptanya akhlak yang mulia.
            Hal itu bukan berarti para guru PAI mengelak dari tanggung jawabnya sebagai pembimbing dan pengarah ajaran dan moral agama, tetapi lebih merupakan upaya membangun kekompakan dan harmonisasi dalam proses pendidikan . keteladanan akhlak bukan hanya di tunjukkan oleh guru PAI, tetapi juga oleh para Guru dan tenaga kependidikan lainnya. Apalagi saat ini kita sudah memasuki era globalisasi sebagai akibat dari kemajuan teknologi di  bidang komunikasi dan informasi. Dalam era tersebut pendidikan di sekolah akan menghadapi tantangan yang lebih besar, terutama datang dari pengaruh budaya-budaya negative yang sudah mengglobal baik melalui tayangan televisi, internet dan lain-lain.

C.      Implementasi   Pengembangan pendidikan Agama Islam terhadap dunia pendidikan islam masa kini
            Di akui bahwa terdapat beberapa kesulitan dalam pelaksanaan pendidkan agama islam baik   yang bersifat internal maupun eksternal. Kesulitan internal berasal dari sifat bidang studi PAI itu sendiri yang banyak menyentuh aspek-aspek metafisika dan bersifat abstrak, atau menyangkut hal-hal yang bersifat suprarasional. Sedangkan kesulitan eksternal berasal dari luar bidang studi PAI itu sendiri, antara lain menyangkut dedikasi guru PAI mulai menurun, lebih bersifat transaksional dalam bekerja, orang tua di rumah mulai kurang memperhatikan pendidikan agama anaknya, orientasi tindakan semakin materialis, orang semakin bersifat rasional, bersifat individualis, control social semakin melemah dan lain-lain. Kesulitan eksternal tersebut pada dasarnya bersumber pada watak budaya barat yang sudah betul-betul mengglobal.[10]
            Dalam rangka  mengembangkan Pendidikan Agama Islam(PAI) pada Sekolah / Perguruan Tinggi umum. Maka ada 3 model pengembangan PAI sebagai berikut :
1.     Model Dikotomis
Pada model ini aspek kehidupan di pandang dengan sangat sederhana dan kata kuncinya adalah dikotomi/diskrtit. Segala sesuatu hanya di lihat dari dua sisi yang berlawanan seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat, pendidikan agama dan pendidikan non agama demikian seterusnya. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya di kembangkan dalam memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan agama islam hanya di letakkan pada kehidupan akhirat saja ataupun kehidupan rohani saja.
Pandangan semacam ini akan berimplikasi pada pengembangan pendidikan agama islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi. Pendidikan agama islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan sebagainya sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang garap pendidikan non agama. Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam system pendidikan. Pandangan dikotomis mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan agama islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan sedangkan masalah dunia di anggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al-‘ulum al-diniyah  (ilmu-ilmu keagamaan) yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains  dianggap terpisah dari agama. Demikian pula pendekatan yang di pergunakan lebih bersifat keagamaan yang normative, doktriner dan absolutis. Peserta didika di arahkan untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal (setia), memiliki sikap commitment (kebepihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang di pelajari. Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis kritis, di anggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu di tindih oleh pendekatan keagamaan yang normative dan doktriner tersebut.[11]
Jadi model dikotomis ini, pengembangan pendidkan agama islam lebih mengedepankan kehidupan akhirat  yang menekankan pada ilmu-ilmu agama dari pada kehidupan dunia.

2.     Model Mekanisme
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, mechanism secara etimologis berarti hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau hal saling bekerja seperti mesin, kalau yang satu bergerak, maka yang lain turut bergerak. Model mechanism memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek dan pendidikan di pandang sebagai penanaman dan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen, yang masing-masing menjaga fungsinya sendiri-sendiri dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau  nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai social, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetika, nilai biofisik dan lain-lain. Dengan demikian aspek atau nilai agama  merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek  atau nilai-nilai kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat horizontal –lateral (independent),atau lateral- sekuensial atau vertical linier. Relasi yang bersifat horizontal –lateral (independent), mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran (mata kuliah) yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan sederajat  yang independen dan tidak saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti di antara masing-masing mata pelajaran (mata kuliah) tersebut mempunyai relasi sederajat yang bisa saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertical linier berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran (mata Kuliah) yang lain adalah termasuk pengembnagan nilai-nilai insani  yang mempunyai relasi vertical-linier dengan agama.[12]
Umat islam di didik dengan seperangkat ilmu pengetahuan atau mata pelajaran, salah satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang mempunyai fungsi tersendiri, yaitu :
1)      Pengembangan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan
2)      Penyaluran bakat dan minat dalam mendalami agama
3)      Perbaikan kesalahan, kekurangan dan kesalahan dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran agama
4)      Pencegahan hal-hal negative dari lingkungan atau budaya asing yang berbahaya
5)      Sumber nilai atau pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat
6)      Pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagamaan
Jadi pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi afektif dari pada kognitif dan psikomotor, dalam arti dimensi kognitif dan psikomotor di arahkan untuk pembinaan afektif (moral dan spiritual) yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya.[13]
Maka menurut hemat penulis, nilai-nilai moral dan spiritual  itu  yang harus di kembangkan dalam pendidikan agama islam. Tanpa mengabaikan nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan. Karena akan sangat tidak berarti apa-apa jika tingkat  pengetahuan dan keterampilan  menonjol tetapi sikap /moral nya tidak sesuai dengan ajaran agama.
Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama islam secara terpadu di sekolah umum, misalnya antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus para guru / dosen agamanya mampu memadukan mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum. Kebijakan ini akan sulit di implementasikan pada sekolah atau perguruan tinggi umum  yang cukup puas hanya mengembangkan pola relasi horizontal lateral (independent). Barangkali kebijakan tersebut relative mudah di implementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola lateral –sekuensial. Hanya saja implikasi dari kebijakan tersebut adalah para guru/dosen agama harus menguasai ilmu agama dan memahami substansi ilmu-ilmu umum, sebaliknya guru/dosen umum di tuntut untuk menguasai ilmu-ilmu  umum  (bidang keahliannya) dan memahami dasar-dasar ajaran dan nilai-nilai agama. Bahkan guru/dosen agama di tuntut untuk mampu menyusun buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara keduanya.[14]
Melihat hal ini jika penulis kaitkan dengan pengalaman empirik  di lapangan  bahwa hal ini sulit di lakukan karena kita melihat masih banyak dosen agama di perguruan tinggi umum yang berlatar belakang bukan dari pendidikan agama islam akan tetapi dosen agama yang berlatar belakang pendidikan umum yang beragama islam. Yang pada akhirnya tujuan yang hendak di capai kemungkinan besar kurang maksimal karena   yang mengajarkan mata kuliah agama bukan ahli di bidang pendidikan agama islam.

3.     Model Organism/Sistemik
Meminjam istilah biologi “organism” dapat berarti susunan yang bersistem  dari bagian jasad hidup untuk suatu tujuan. Dalam konteks pendidikan islam model organism bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu system yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religious atau di jiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama. Pandangan ini menggaris bawahi pentingnya kerangka pemikiran yang di bangun dari fundamental doctrines dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ajaran dan nilai-nilai ilahiyah/agama/wahyu yang di dudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak sementara aspek-aspek kehidupan lainnya di dudukkan sebagai nilai-nilai insane yang mempunyai hubungan vertical-linier dengan nilai-nilai ilahiyah/agama.[15]
Dari model organism/sistemik ini dapat kita pahami bahwa penegmbangan pendidikan islam di bangun dengan kerjasama dan perpaduan antara nilai-nilai pengetahuan agama yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah dan nilai-nilai pengetahuan umum.
Dengan melihat SK Dirjen DIKTI Depdiknas Nomor : 43/DIKTI/Kep 2006 tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompk Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi. Di dalamnya di nyatakan bahwa :
1)      Visi kelompok MPK di perguruan tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan peserta didik memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
2)      Misi kelompok MPK di perguruan tinggi membantu peserta didik memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang di milikinya dengan rasa tanggung jawab.[16]
Di lihat dari visi, misi dan kompetensi dasar pendidikan agama (sebagai bagaian dari MPK) di perguruan tinggi umum tersebut maka idealnya PAI di PTU di kembangkan ke model organisme atau sistemik yang menjadikan PAI sebagai sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi serta membantu peserta didik (calon sarjana) agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Bagaimana dengan realitas di lapangan? Fenomena yang ada menunjukkan bahwa pada umumnya PAI di PTU di laksanakan dengan menggunakan model dikotomis atau mekanisme, meskipun ada beberapa PTU yang menggunakan model organism/sistemik. Hal ini setidak-tidaknya dapat di amati dari pelaksanaan pendidikan di PTU yang mana nilai-nilai agama belum mampu pengembangan program studi –program studi yang ada, dan belum mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.



BAB III
PENUTUP

A.     Simpulan
                     1.         Kebijakan Pengembangan  PAI di Sekolah di rumuskan dalam  UU No.20 tahun 2003  tentang Dasar, fungsi dan tujuan. Pada pasal 3 di nyatakan :” Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
                     2.         Kebijakan Pemngembangan PAI di PTU di rumuskan dalam Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI No : 43 / DIKTI /Kep/2006 tentang rambu-rambu pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, bahwa visi kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) termasuk di dalamnya pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
                     3.         Model-Model Pengembangan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah dan PTU, yaitu:
a.      Model Dikotomis
b.      Model Mekanisme
c.       Model Organisme/Sistemik
Model yang cocok untuk mengembangkan PAI di Sekolah maupun Perguruan Tinggi Umum adalah model Organisme/Sestemik. Karena model ini di bangun dengan kerjasama dan perpaduan antara nilai-nilai pengetahuan agama yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah dan nilai –nilai pengetahuan umum.



B.      Saran
Pengembangan Pendidikan Agama islam pada Sekolah dan Perguruan Tinggi Umum menjadi tugas kita bersama dalam memajukan dan mengembangkan menjadi  PAI yang  terdepan dalam menjawab tantangan perubahan zaman yang semakin hari semakin  mengglobal. Selanjutnya penulis menerima kritik dan saran  yang konstruktif dari Dosen Pengampu mata Kuliah Analisi Kebijakan Pendidikan Islam  dan juga teman-teman seperjuangan , demi kesempurnaan dari makalah  ini. Semoga bermanfaat. Amiin.
       

[1] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Agama islam. (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.1.
[2] Abd.Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas,(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2013).hlm.137.
[3] Abd.Halim Soebahar,2013. Hlm.138.
[4] Muhaimin, Rekonstruksi  Pendidikan islam. (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.51.
[5] Tim Pakar Fakultas Tarbiyah UIN Malang,Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer, (Malang : UIN Malang Press, 2009 ), hl. 4.
[6] Muhaimin, Paradigma Pendidikan  islam upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.35
[7] Muhaimin, Paradigma Pendidikan  islam upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, 2012), hlm.36
[8] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam. (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.53.
[9]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam,2009.hlm. 56.
[10] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam,2009.hlm. 56-58.
[11] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam,2009.hlm. 61.
[12] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam,2009.hlm. 64.
[13] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam,2009.hlm. 65.
[14] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam,2009.hlm. 66.
[15] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam,2009.hlm. 67.
[16] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam,2009.hlm. 61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar