STUDI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DI SEKOLAH DAN PERGURUAN TINGGI UMUM
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan
Agama merupakan upaya sadar untuk
mentaati ketentuan Allah SWT sebagai dasar para peserta didik agar
berpengetahuan keagamaan yang handal dalam menjalani ketentuan-ketentuan Allah
SWT secara keseluruhan. Jika kita melihat istilah pengembangan pendidikan islam
dapat bermakna kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif bagaimana
menjadikan pendidikan islam lebih besar, merata dan meluas pengaruhnya dalam konteks
pendidikan pada umumnya. Secara kualitatif bagaimana menjadikan pendidikan lebih
baik, bermutu dan lebih maju sejalan
dengan ide-ide dasar atau nilai-nilai islam itu sendiri yang seharusnya selalu
berada di depan dalam merespons dan mengantisipasi berbagai tantangan
pendidikan.
Termasuk dalam pengertian kualitatif
adalah bagaimana mengembangkan pendidikan islam agar menjadi suatu bangunan
keilmuan yang kokoh dan meiliki kontribusi yang signifikan terhadap
pengembangan masyarakat nasional dan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pemikiran tentang pengembangan pendidikan islam mengajak seseorang
untuk berpikir analitis kritis, kreatif
dan inovatif dalam menghadapi berbagai praktik dan isu actual di bidang
pendidikan untuk di kaji dan di telaah dari dimensi fondasionalnya agar tidak
kehilangan roh dan spirit islam.[1]
Pembelajaran
pendidikan agama islam yang selama ini berlangsung agaknya terasa kurang
terkait atau concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama
yang bersifat kognitif menjadi makna atau nilai yang perlu di internalisasikan
dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi
peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berprilaku secara konkrit agamis
dalam kehidupan sehari-hari. Bila kita mengamati fenomena di masyarakat maka tampaklah
bahwa pada saat ini terdapat banyak kasus kenakalan remaja di kalangan pelajar
dan mahasiswa, seperti perkelahian antar pelajar, tindak kekerasan antar
mahasiswa, konsumsi minuman keras, etika berlalu lintas, kriminalitas yang
semakin hari semakin tinggi telah
mewarnai media masa baik itu media cetak maupun media elektronik. Timbulnya kasus
- kasus tersebut memang tidak semata-mata kegagalan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah maupun Perguruan Tinggi yang lebih menekankan aspek kognitif, tetapi
bagaimana semuanya itu dapat mendorong serta menggerakkan Guru Pendidkan Agama
Islam untuk mencermati kembali dan mencari solusi lewat pengembangan
pembelajaran pendidikan agama islam yang berorientasi pada pendidikan nilai
sikap para peserta didik.
Maka
dengan melihat latar belakang tersebut di atas,
penulis ingin mengkaji lebih dalam melalui sebuah makalah yang berjudul
“STUDI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DAN PERGURUAN
TINGGI UMUM”.
B.
Rumusan Masalah
Dengan
melihat latar belakang tersebut di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:
1.
Bagaimana kebijakan Pengembangan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah?
2.
Bagaimana kebijakan pengembangan Pendidikan Agama di Perguruan
Tinggi Umum?
3.
Sejauh manakah implementasi pengembangan pendidikan Agama
Islam terhadap dunia pendidikan masa kini?
C.
Tujuan Penulisan
Dengan
melihat Rumusan masalah diatas, maka yang menjadi Tujuan dalam penulisan
makalah ini adalah:
1.
Mendeskripsikan kebijakan Pengembangan Pendidikan Agama Islam
di Sekolah
2.
Mendeskripsikan
kebijakan pengembangan Pendidikan Agama islam di Perguruan Tinggi Umum
3.
Untu mengetahui Sejauhmana implementasi pengembangan pendidikan Agama
Islam terhadap dunia pendidikan masa kini
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebijakan
Pengembangan Pendidikan PAI di Sekolah
UU No.20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, telah di sahkan DPR RI 11 juni 2003 dan di
undangkan 8 juli 2003. selain wacana Pendidikan Islam yang di perdebatkan dalam
Undang-Undang sebelumnya, dalam UU No.20/2003 substansi perdebatan terkait dengan istilah-istilah yang mencerminkan nya,
yakni : “Substansi istilah iman, takwa dan akhlak mulia dalam rumusan tujuan
pendidikan”, istilah “pendidikan agama”, “pendidikan keagamaan” secara
informal,formal maupun non formal, “pengakuan kesetaraan pendidikan diniyah dan
pesantren dengan pendidikan formal” dan sebagainya.
Banyak hal yang di jadikan
pertimbangan di gagasnya UU No.20/2003 tersebut, dua diantaranya adalah: Pertama,
UUD 1945 hasil amandemen keempat mengamanatkan pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, selain akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang di atur dengan undang-undang. Kedua,
bahwa system pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu,relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan kehidupan lokal, nasional dan
global, sehingga perlu di lakukan pembaharuan pendidikan secara terencana,
terarah dan berkesinambungan.[2]
Sebagaimana wacana actual,
perdebatan tentang UU No.20 tahun 2003 di rumuskan tentang Dasar, fungsi dan
tujuan. Pada pasal 3 di nyatakan :” Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
Penjelasan “manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia” di nyatakan :
“manusia yang beriman dan bertaqwa” adalah manusia yang percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan melaksanakan ajaran agama yang di anutnya. Sedangkan “manusia
yang berakhlak dan berbudi mulia”, adalah manusia yang berprilaku sesuai dengan
norma agama dan nilai-nilai budaya.
Sementara itu tentang
pendidikan keagamaan, pada pasal 30 UU No.20/2003 di nyatakan sebagai berikut:
(1) Pendidikan keagamaan di selenggarakan oleh pemerintah dan/atau
kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, (2) Pendidikan
keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu
agama, (3) Pendidikan keagamaan dapat di selenggarakan pada jalur pendidikan
formal, non formal dan informal, (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan
diniyah, pesantren,pasraman, pabhaya samanera dan bentuk lain yang sejenis.[3]
Pemahaman
tentang Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah / Perguruan Tinggi Umum
dapat di lihat dari dua sudut pandang. Yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI)
sebagai aktivitas dan Pendidikan Agama Islam (PAI ) sebagai fenomena. PAI
sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar di rancang untuk membantu
seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana
orang akan menjalani dan memanfaatkan
hidup dan kehidupannya), sikap hidup, dan keterampilan hidup baik yang
bersifat manual (petunjuk praktis)
maupun mental dan sikap social yang bernapaskan atau di jiwai oleh ajaran serta
nilai-nilai islam. Sedangkan PAI sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan
antara dua orang atau lebih atau penciptaan suasana yang dampaknya ialah
berkembangnya suatu pandangan hidup yang
bernafaskan atau di jiwai oleh ajaran dan nilai-nilai islam, yang di wujudkan
dalam sikap hidup serta keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak.[4]
B.
Kebijakan Pengembangan Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum
Banyak
kalangan menganggap bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI), termasuk di Perguruan
Tinggi, belum memadai dan kurang relevan dengan tuntutan zaman. Pendidikan Agama
Islam hanya sekedar pengajaran agama, singgah sebentar di kepala mahasiswa dan
keluar pada waktu ujian semester sehingga tidak mampu untuk membentuk
kepribadian mahasiswa menjadi pribadi luhur yang berakhlaqul karimah.
Beberapa
kritik yang berkembang di masyarakat di antaranya yaitu bahwa PAI di pandang
kurang berhasil dalam membentuk sikap, prilaku, dan pembiasaan peserta didik,
sebagai indikatornya antara lain adalah: (1) rendahnya minat dan kemampuan
siswa / mahasiswa untuk melaksanakan ibadah; (2) tidak mampu baca tulis
Al-Quran; (3) berprilaku kurang terpuji bahkan melakukan tindakan criminal,
misalnya aksi kekerasan, anarkhisme, premanisme, munculnya white collar
crimes (kejahatan kerah putih atau kejahatan yang di lakukan kaum berdasi),
seperti para eksekutif, birokrasi, guru, politisi, serta isu korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) yang di lakukan oleh para elit, juga merupakan bagian dari
kegagalan Pendidikan Agama Islam.[5]
Diskursus
tentang pengembangan pendidkan islam di Indonesia yang di presentasikan oleh
para ahli pendidikan islam dan para pengambil kebijakan, baik melaui
tulisan-tulisan mereka di berbagai buku, majalah, jurnal maupun melaui kegiatan
seminar, penataran dan lokakarya serta kegiatan lainnya telah memeperkaya
wawasan dan visi kita dalam mengembangkan pendidikan islam di Indonesia.
Berbagai pemikiran mereka perlu di potret, di tata, serta di dudukkan dalam
suatu paradigma sehingga model-model, orientasi dan langkah- langkah yang hendak
di tuju semakin jelas. Lagi pula seseorang hendak melakukan pengembangan dan
penyempurnaan, maka kata kuncinya sudah di pegang sehingga tidak terjadi salah
letak, arah dan langkah yang pada giliran selanjutnya dapat menimbulkan sikap overacting
dalam menyikapi paradigm tertentu.[6]
Di
sisi lain, selama ini terdapat beberapa kebijakan yang di ambil dalam rangka
peningkatan kualitas pendidikan agama yang di harapkan mampu menyelesaikan
krisis multi dimensional di negara kita, terutama menyangkut aspek-aspek moral
etika dan sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna
pendidikan nasional, yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membangun watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara demokratis
serta bertanggung jawab (Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas, pasal 3).
Salah
satu kebijakan yang di tetapkan adalah bahwa “ kelompok mata pelajaran Agama
dan Akhlak Mulia bertujuan membentuk peserta didik menjadi manusia ynag beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia yang di capai melalui muatan atau kegiatan
agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika,
jasmani, olaraga dan kesehatan (Permendinkas No.23 Tahun 2006).
Demikian
pula Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI No : 43 / DIKTI /Kep/2006 tentang
rambu-rambu pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi, bahwa visi kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian
(MPK) termasuk di dalamnya pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan
sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi
guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia
Indonesia seutuhnya. Kedua kebijakan tersebut bermaksud untuk meningkatkan
kualitas pendidikan agama. Namun demikian dalam prakteknya di sekolah ataupun
di perguruan tinggi masih belum berjalan sebagaimana yang di harapkan.
Munculnya
berbagai pemikiran dan kebijakan
tentang pembinaan pendidikan agama
islam secara terpadu pada sekolah umum, pengembangan dan peningkatan
kualitas Madrasah, Pesantren IAIN/STAIN, kegiatan pesantren kilat di Sekolah
Umum, serta Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi dan sebagainya adalah
beberapa contoh manifestasi dari usaha-usaha tersebut di atas. Namun demikian
beberapa hal agaknya pemikiran konseptual pengembangan pendidikan islam dan beberapa kebijakan yang
di ambil kadang-kadang terkesan menggebu-gebu, idealis atau bahkan kurang
realistis sehingga para pelaksana di lapangan kadang-kadang mengalami beberapa
hambatan dan kesulitan untuk merealisasikannya atau bahkan intensitas
pelaksanaan dan efektifitasnya masih di pertanyakan. Hal ini mungkin di
sebabkan oleh kurangnya kejelasan dan lemahnya pemahaman paradigm pengembangan
pendidikan islam itu sendiri, yang berimplikasi pada kesalahan orientasi dan
langkah, atau ketidak jelasan wilayah dan arah pengembangannya.[7]
Kajian
ini di maksudkan untuk memberikan deskripsi tentang pengembangan pendidikan
agama islam melalui potret atau pemetaan paradigma yang ada dan memperjelas
orientasi dan wilayah dari masing-masing paradigma tersebut. Melalui pemahaman
paradigma tersebut akan di ketahui paradigma mana yang sekiranya relevan untuk di terapkan
dan di kembangkan dalam merealisasikan kebijakan tersebut, terutama dalam
menatap masa depan bangsa Indonesia menuju masyarakat madani.[8]
Selama ini talah banyak
pemikiran dan kebijakan yang di ambil dalam rangka peningkatan kualitas
pendidikan islam yang di harapkan mampu memberikan nuansa baru bagi
pengembangan system pendidikan islam di Indonesia dan sekaligus hendak
memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna pengembangan kualitas manusia
Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
sebagaimana tertuang dalam tujuan pendidikan
nasional (UU.No.2 / 1989
tentang Sistem Pendidikan
Nasional).
Ada
pendapat yang berkembang di masyarakat
yang menyatakan bahwa timbulnya krisis akhlak dan moral hanya di
sebabkan karena kegagalan pendidikan agama. Di sisi lain, PAI itu sendiri
hingga saat ini masih berhadapan dengan kritik-kritik internal yaitu : Pertama,
PAI kurang bisa mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan
“nilai” atau krang mendorong penjiwaan
terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu di internalisasikan dalam diri peserta didik. PAI selama ini
lebih menekankan pada aspek knowing dan doing dan belum banyak
mengarah ke aspek being. Kedua, PAI kurang dapat berjalan bersama dan
bekerja sama dengan program-program pendidikan non agama; ketiga, PAI kurang
mempunyai relevansi terhadap perubahan social budaya, statis kontekstual, dan
lepas dari sejarah sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup
dalam keseharian.[9]
Berbagai
persoalan internal pendidikan agama islam tersebut hingga kini belum
terpecahkan secara memadai tetapi di sisi lain juga sedang berhadapan dengan
factor-faktor eksternal yang antara lain berupa menguatnya pengaruh budaya
materialisme, konsumerisme dan hedonism yang menyebabkan terjadinya perubahan life
style (gaya hidup) masyarakat dan peserta didik pada umumnya. Di
tengah-tengah suasana semacam itu di perlukan upaya Fungsionalisasi PAI
seoptimal mungkin melalui manajemen kurikulum PAI yang lebih professional di
Sekolah.
Dengan
bertitik tolak dari suatu pandangan bahwa kegiatan pendidikan merupakan suatu
proses pengembangan dan penanaman seperangkat nilai/norma yang implisit dalam
setiap mata pelajaran dan sekaligus gurunya, maka tugas mendidik akhlak yang
mulia sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab guru PAI. Apalagi iman dan
taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan persyaratan utama bagi setiap
guru, yang secara praktis dan berimplikasi pada keharusan setiap guru untuk
mengimplisitkan nilai-nilai akhlak yang mulia dalam setiap mata pelajaran yang
di pelajari oleh peserta didik. pandangan semacam itu juga di lontarkan oleh
Ibnu Miskawaih (330 H/940 M- 421 H/1030 M), bahwa setiap ilmu atau mata
pelajaran yang di ajarkan oleh Guru/pendidik harus memperjuangkan terciptanya
akhlak yang mulia.
Hal
itu bukan berarti para guru PAI mengelak dari tanggung jawabnya sebagai
pembimbing dan pengarah ajaran dan moral agama, tetapi lebih merupakan upaya
membangun kekompakan dan harmonisasi dalam proses pendidikan . keteladanan
akhlak bukan hanya di tunjukkan oleh guru PAI, tetapi juga oleh para Guru dan
tenaga kependidikan lainnya. Apalagi saat ini kita sudah memasuki era
globalisasi sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang komunikasi dan informasi. Dalam era
tersebut pendidikan di sekolah akan menghadapi tantangan yang lebih besar,
terutama datang dari pengaruh budaya-budaya negative yang sudah mengglobal baik
melalui tayangan televisi, internet dan lain-lain.
C.
Implementasi Pengembangan pendidikan Agama Islam terhadap
dunia pendidikan islam masa kini
Di
akui bahwa terdapat beberapa kesulitan dalam pelaksanaan pendidkan agama islam
baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Kesulitan internal berasal dari sifat bidang studi PAI itu sendiri yang banyak
menyentuh aspek-aspek metafisika dan bersifat abstrak, atau menyangkut hal-hal
yang bersifat suprarasional. Sedangkan kesulitan eksternal berasal dari luar
bidang studi PAI itu sendiri, antara lain menyangkut dedikasi guru PAI mulai
menurun, lebih bersifat transaksional dalam bekerja, orang tua di rumah mulai
kurang memperhatikan pendidikan agama anaknya, orientasi tindakan semakin materialis,
orang semakin bersifat rasional, bersifat individualis, control social semakin
melemah dan lain-lain. Kesulitan eksternal tersebut pada dasarnya bersumber
pada watak budaya barat yang sudah betul-betul mengglobal.[10]
Dalam
rangka mengembangkan Pendidikan Agama
Islam(PAI) pada Sekolah / Perguruan Tinggi umum. Maka ada 3 model pengembangan
PAI sebagai berikut :
1. Model
Dikotomis
Pada model ini aspek kehidupan di pandang dengan sangat sederhana dan
kata kuncinya adalah dikotomi/diskrtit. Segala sesuatu hanya di lihat
dari dua sisi yang berlawanan seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak
ada, bulat dan tidak bulat, pendidikan agama dan pendidikan non agama demikian
seterusnya. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya di kembangkan dalam
memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani
sehingga pendidikan agama islam hanya di letakkan pada kehidupan akhirat saja
ataupun kehidupan rohani saja.
Pandangan semacam ini akan berimplikasi pada pengembangan pendidikan
agama islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah
dengan kehidupan duniawi. Pendidikan agama islam hanya mengurusi persoalan
ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni dan sebagainya sebagai urusan duniawi yang
menjadi bidang garap pendidikan non agama. Pandangan dikotomis inilah yang
menimbulkan dualisme dalam system pendidikan. Pandangan dikotomis mempunyai
implikasi terhadap pengembangan pendidikan agama islam yang lebih berorientasi
pada keakhiratan sedangkan masalah dunia di anggap tidak penting, serta
menekankan pada pendalaman al-‘ulum al-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan) yang merupakan jalan
pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains dianggap terpisah dari agama. Demikian pula
pendekatan yang di pergunakan lebih bersifat keagamaan yang normative,
doktriner dan absolutis. Peserta didika di arahkan untuk menjadi pelaku (actor)
yang loyal (setia), memiliki sikap commitment (kebepihakan), dan dedikasi
(pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang di pelajari. Sementara itu,
kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis kritis, di
anggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu di tindih oleh pendekatan
keagamaan yang normative dan doktriner tersebut.[11]
Jadi model dikotomis ini, pengembangan pendidkan agama islam lebih
mengedepankan kehidupan akhirat yang
menekankan pada ilmu-ilmu agama dari pada kehidupan dunia.
2. Model
Mekanisme
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, mechanism secara etimologis
berarti hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau hal saling bekerja
seperti mesin, kalau yang satu bergerak, maka yang lain turut bergerak. Model
mechanism memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek dan pendidikan di
pandang sebagai penanaman dan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing
bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri
atas beberapa komponen atau elemen, yang masing-masing menjaga fungsinya
sendiri-sendiri dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi
atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai
kehidupan itu sendiri terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai social,
nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetika, nilai biofisik
dan lain-lain. Dengan demikian aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai
kehidupan dari aspek-aspek atau
nilai-nilai kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai
lainnya dapat bersifat horizontal –lateral (independent),atau lateral-
sekuensial atau vertical linier. Relasi yang bersifat horizontal –lateral
(independent), mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran (mata kuliah)
yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan sederajat yang independen dan tidak saling
berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti di
antara masing-masing mata pelajaran (mata kuliah) tersebut mempunyai relasi
sederajat yang bisa saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertical linier
berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber
konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran (mata Kuliah) yang lain adalah
termasuk pengembnagan nilai-nilai insani yang mempunyai relasi vertical-linier
dengan agama.[12]
Umat islam di didik dengan seperangkat ilmu pengetahuan atau mata
pelajaran, salah satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang mempunyai
fungsi tersendiri, yaitu :
1)
Pengembangan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan
2)
Penyaluran bakat dan minat dalam mendalami agama
3)
Perbaikan kesalahan, kekurangan dan kesalahan dalam
keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran agama
4)
Pencegahan hal-hal negative dari lingkungan atau
budaya asing yang berbahaya
5)
Sumber nilai atau pedoman hidup untuk mencapai
kebahagiaan dunia akhirat
6)
Pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagamaan
Jadi pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau
dimensi afektif dari pada kognitif dan psikomotor, dalam arti dimensi kognitif
dan psikomotor di arahkan untuk pembinaan afektif (moral dan spiritual) yang
berbeda dengan mata pelajaran lainnya.[13]
Maka menurut hemat penulis, nilai-nilai moral dan spiritual itu
yang harus di kembangkan dalam pendidikan agama islam. Tanpa mengabaikan
nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan. Karena akan sangat tidak berarti
apa-apa jika tingkat pengetahuan dan
keterampilan menonjol tetapi sikap
/moral nya tidak sesuai dengan ajaran agama.
Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama islam secara terpadu di
sekolah umum, misalnya antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan
sekaligus para guru / dosen agamanya mampu memadukan mata pelajaran agama dan
mata pelajaran umum. Kebijakan ini akan sulit di implementasikan pada sekolah
atau perguruan tinggi umum yang cukup
puas hanya mengembangkan pola relasi horizontal lateral (independent).
Barangkali kebijakan tersebut relative mudah di implementasikan pada lembaga
pendidikan yang mengembangkan pola lateral –sekuensial. Hanya saja
implikasi dari kebijakan tersebut adalah para guru/dosen agama harus menguasai
ilmu agama dan memahami substansi ilmu-ilmu umum, sebaliknya guru/dosen umum di
tuntut untuk menguasai ilmu-ilmu umum (bidang keahliannya) dan memahami dasar-dasar
ajaran dan nilai-nilai agama. Bahkan guru/dosen agama di tuntut untuk mampu
menyusun buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara
keduanya.[14]
Melihat hal ini jika penulis kaitkan dengan pengalaman empirik di lapangan
bahwa hal ini sulit di lakukan karena kita melihat masih banyak dosen
agama di perguruan tinggi umum yang berlatar belakang bukan dari pendidikan
agama islam akan tetapi dosen agama yang berlatar belakang pendidikan umum yang
beragama islam. Yang pada akhirnya tujuan yang hendak di capai kemungkinan
besar kurang maksimal karena yang mengajarkan
mata kuliah agama bukan ahli di bidang pendidikan agama islam.
3. Model
Organism/Sistemik
Meminjam istilah biologi “organism” dapat berarti susunan yang
bersistem dari bagian jasad hidup untuk
suatu tujuan. Dalam konteks pendidikan islam model organism bertolak dari
pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu system yang terdiri atas
komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju
tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religious atau di jiwai oleh
ajaran dan nilai-nilai agama. Pandangan ini menggaris bawahi pentingnya
kerangka pemikiran yang di bangun dari fundamental doctrines dan fundamental
values yang tertuang dan terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ajaran dan
nilai-nilai ilahiyah/agama/wahyu yang di dudukkan sebagai sumber konsultasi
yang bijak sementara aspek-aspek kehidupan lainnya di dudukkan sebagai
nilai-nilai insane yang mempunyai hubungan vertical-linier dengan nilai-nilai ilahiyah/agama.[15]
Dari model organism/sistemik ini dapat kita pahami bahwa penegmbangan
pendidikan islam di bangun dengan kerjasama dan perpaduan antara nilai-nilai
pengetahuan agama yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah dan nilai-nilai
pengetahuan umum.
Dengan melihat SK Dirjen DIKTI Depdiknas Nomor : 43/DIKTI/Kep 2006
tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompk Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
(MPK) di Perguruan Tinggi. Di dalamnya di nyatakan bahwa :
1)
Visi kelompok MPK di perguruan tinggi merupakan sumber
nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna
mengantarkan peserta didik memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia
seutuhnya.
2)
Misi kelompok MPK di perguruan tinggi membantu peserta
didik memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan
nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air
sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni yang di milikinya dengan rasa tanggung jawab.[16]
Di lihat dari visi, misi dan kompetensi dasar pendidikan agama (sebagai
bagaian dari MPK) di perguruan tinggi umum tersebut maka idealnya PAI di PTU di
kembangkan ke model organisme atau sistemik yang menjadikan PAI sebagai sumber
nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi serta membantu peserta
didik (calon sarjana) agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Bagaimana dengan realitas di lapangan?
Fenomena yang ada menunjukkan bahwa pada umumnya PAI di PTU di laksanakan
dengan menggunakan model dikotomis atau mekanisme, meskipun ada beberapa PTU
yang menggunakan model organism/sistemik. Hal ini setidak-tidaknya dapat di
amati dari pelaksanaan pendidikan di PTU yang mana nilai-nilai agama belum
mampu pengembangan program studi –program studi yang ada, dan belum mampu
mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Kebijakan Pengembangan
PAI di Sekolah di rumuskan dalam
UU No.20 tahun 2003 tentang
Dasar, fungsi dan tujuan. Pada pasal 3 di nyatakan :” Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.
2.
Kebijakan Pemngembangan PAI di PTU di rumuskan dalam
Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI No : 43 / DIKTI /Kep/2006 tentang
rambu-rambu pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi, bahwa visi kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian
(MPK) termasuk di dalamnya pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan
sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi
guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia
Indonesia seutuhnya.
3.
Model-Model Pengembangan Pendidikan Agama Islam pada
Sekolah dan PTU, yaitu:
a.
Model Dikotomis
b.
Model Mekanisme
c.
Model Organisme/Sistemik
Model yang cocok untuk mengembangkan PAI di Sekolah maupun Perguruan
Tinggi Umum adalah model Organisme/Sestemik. Karena model ini di bangun dengan
kerjasama dan perpaduan antara nilai-nilai pengetahuan agama yang bersumber
pada Al-Quran dan As-Sunnah dan nilai –nilai pengetahuan umum.
B.
Saran
Pengembangan Pendidikan Agama islam pada Sekolah dan Perguruan Tinggi
Umum menjadi tugas kita bersama dalam memajukan dan mengembangkan menjadi PAI yang
terdepan dalam menjawab tantangan perubahan zaman yang semakin hari
semakin mengglobal. Selanjutnya penulis
menerima kritik dan saran yang
konstruktif dari Dosen Pengampu mata Kuliah Analisi Kebijakan Pendidikan
Islam dan juga teman-teman seperjuangan
, demi kesempurnaan dari makalah ini.
Semoga bermanfaat. Amiin.
[1] Muhaimin, Pemikiran dan
Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Agama islam. (Jakarta : PT.Raja Grafindo
Persada, 2011), hlm.1.
[2] Abd.Halim Soebahar,
Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas,(Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2013).hlm.137.
[5] Tim Pakar Fakultas
Tarbiyah UIN Malang,Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer,
(Malang : UIN Malang Press, 2009 ), hl. 4.
[6] Muhaimin, Paradigma Pendidikan islam upaya mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah. (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.35
[7] Muhaimin, Paradigma
Pendidikan islam upaya mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, 2012), hlm.36
[9]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan
Islam,2009.hlm. 56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar