KEHUJJAHAN HADIS SAHIH, HASAN DAN DHA’IF
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Masalah
Hadis atau
Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an. Dimana
keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan
manusia. Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan
sebagai sesuatu
yang mutlak kebenaran beritanya, sedangkan hadis Nabi tingkat keabsahannya masih perlu dikaji
ulang, apakah betul-betul dari Nabi atau hanya karangan orang atau golongan
tertentu saja.
Hadis
memiliki peranan penting dalam
menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun terutama
ayat-ayat yang bersifat
mutasyabihat atau ayat yang
bersifat normatif dan perlu penjelasan pada tataran operasional, semisal
shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Bagaimana seharusnya shalat itu?
tidak dijelaskan secara detail, namun hanya bersifat global. Begitu pula
ibadah-iabadah yang lainnya. Bagaimana dikerjakan, syarat dan rukunnya apa
saja, itu semua dijelaskan melalui hadis nabi Muahammad SAW.
Sehingga kedudukan hadis sebagai sumber
hukum islam kedua bagi umat islam tidak diragukan lagi keabsahannya, karena
memang benar-benar bersumber dari Nabi Muhammad SAW.
Dalam
periwatannya ada hadis yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterima
sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima), shahih dan hasan. Namun disisi lain ada pula hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi
kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud
(ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini ditemukan setelah adanya upaya penelitian sanad maupun matan oleh para ulama untuk yang memiliki
komitmen tinggi terhadap sunnah.
Mengapa ada perbedaan tingkat keabsan hadis tersebut? Karena memang tingkat integritas dan kredibiltas penerima atau periwayat dari hadis-hadis tersebut juga berbeda. Ada yang rendah, sedang dan tinggi. Itulah salah satu faktor penyebab, mengapa kemudian muncul nama hadis shahih, hasan dan da’if. Tentunya dari jenis-jenis tingkatan hadis tersebut berimplikasi pada tingkat kehujjahan hadis tersebut sebagai sumber hukum kedua setelah Al Qur’an.
Mengapa ada perbedaan tingkat keabsan hadis tersebut? Karena memang tingkat integritas dan kredibiltas penerima atau periwayat dari hadis-hadis tersebut juga berbeda. Ada yang rendah, sedang dan tinggi. Itulah salah satu faktor penyebab, mengapa kemudian muncul nama hadis shahih, hasan dan da’if. Tentunya dari jenis-jenis tingkatan hadis tersebut berimplikasi pada tingkat kehujjahan hadis tersebut sebagai sumber hukum kedua setelah Al Qur’an.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh imam Malik,
dari sepuluh ribu hadis yang diteliti ternyata hanya tiga ribu saja yang sanad
dan matannya yang sambung dan benar-benar berasal dari Rosulullah Muhammad saw.
B.
Rumusan masalah
Adapun rumusan
masalah yang akan menjadi bahasan dalam makalah ini sebagai berikut:
1.
Apa definisi Kehujahan Hadis?
2.
Apa definisi Hadis Shahih?
3.
Apa definisi Hadis Hasan?
4.
Apa definisi Hadis Dhaif?
5.
Bagaimana
kehujjahan hadis shahih, hasan dan dhaif dalam hukum islam?
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui :
1.
Definisi
Kehujahan Hadis.
2.
Definisi
Hadis Shahih.
3.
Definisi
Hadis Hasan.
4.
Definisi
Hadis Dhaif.
5.
Kehujjahan
hadis shahih, hasan dan dhaif dalam hukum islam
BAB II
P E M B A H A S A N
A. Pengertian Kehujjahan Hadis
Yang dimaksud dengan
kehujahan Hadis (hujjiyah hadis) adalah keadaan Hadis yang wajib
dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan
Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Menurut
Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Ushul Al-Fiqh Al-Islami, orang yang
pertama kali berpegang dengan dalil-dalil ini diluar ‘ijma adalah Imam
Asy-Syafi’i (w. 204 H) dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-Umm.
Kehujahan
hadis sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy
yang menuturkan tentang kenabian Muhammad saw.
Selain itu, keabsahan hadis sebagai dalil juga ditunjukkan oleh nash-nash qath’iy
yang menyatakan, bahwa beliau saw., tidak
menyampaikan sesuatu (dalam konteks syariat) kecuali berdasarkan wahyu yang
telah diwahyukan. Semua perkataan beliau saw., adalah wahyu
yang diwahyukan. Oleh karena itu, hadis adalah wahyu dari Allah swt, dari sisi
maknanya saja, tidak lafadznya. Hadis adalah dalil syariat tak ubahnya dengan
al-Quran. Tidak ada perbedaan antara al-Quran dan Hadis dari sisi wajibnya
seorang Muslim mengambilnya sebagai dalil syariat. Sebagaimana firman Allah dalam Surah An Nahl ayat 44 :
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
“Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”.[1]
Jika sekiranya, hadis itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas
al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita
beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an. Sabda Nabi SAW
: "Ingat! Bahwa saya diberi al-Quran dan yang seperti al-Quran (Hadis)."
(H.R. Abu Daud). Karena itu, hadis,
baik ia menjelaskan al-Qur'an atau berupa penetapan sesuatu hukum, umat Islam
wajib mentaatinya.
Apabila diteliti, fungsi hadis
terhadap al-Qur'an, dapat berupa menetapkan dan mengokohkan ketentuan-ketentuan
yang terdapat di dalam al-Qur'an, atau berupa penjelasan terhadap al-Qur'an,
menafsiri serta memperincinya, atau juga menetapkan sesuatu hukum yang tidak
terdapat di dalam al-Qur'an.
Hal
ini juga dikemukakan oleh Imam asy-Syafi'i di dalam ar-Risalahnya.
Jika sekiranya, hadis itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.
Jika sekiranya, hadis itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.
B. Pengertian Hadis Shahih
Kata Shahih (الصحيح
dalam bahasa Arab diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim (السقيم) yang
berarti orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadis shahih adalah hadis yang
sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
Kemudian menurut Imam At Tirmidzi sebagaimana dikutip Ahmad Sutarmaji hadis
shahih adalah :
ما اتصل سنده
بنقل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وسلم عن شذ ود وعلة
“Hadis yang sanadnya bersambung, yang dinukilkan oleh perawi yang adil dan (jujur dan taqwa), dhabit serta bersih
dari keanehan dan kecacatan”.[2]
Imam
Al-Suyuti mendifinisikan hadis shahih dengan “hadis yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil
dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.[3]
Definisi hadis shahih
secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i yang memberikan penjelasan
tentang riwayat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu: pertama, apabila
diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal
sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang diriwayatkan dengan baik,
mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafadnya; mampu
meriwayatkan hadis secara lafadz, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis
secara lafadz, bunyi hadis yang diriwayatkan sama dengan hadis yang
diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembunyian cacat). Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung
sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi SAW.
Imam Bukhori dan Imam
Muslim membuat kriteria hadis shahih sebagai berikut :
1. Rangkaian
perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi
terakhir.
2. Para perowinya
harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti adil
dan dhobith,
3. Hadisnya
terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan Para perowi yang terdekat dalam sanad harus
sejaman.
Dari beberapa pengertian hadis
shahih tersebut dapat simpulkan bahwa hadis shahioh adalah hadis yang dalam
periwayatannya dilakukan oleh perwi yang adil, dhobit, sanad bersambung
dan terhindar dari illat atau cacat.
Hadis shahih harus
memenuhi lima syarat[4] :
1. Muttashil sanadnya
2. Perawi-perawinya adil.
3. Perawi-perawinya dhabit
4. Yang diriwayatkan tidak syadz
5. Yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya)
Adapun contoh hadis yang
shahih adalah;
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ
عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ "(رواه البخاري(
"Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin
math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca
dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Analisis terhadap hadits
tersebut:
1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari
gurunya.
2. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi
hadits tersebut menurut para ulama al-jarhu wa ta'dil sebagai berikut :
a) Abdullah bin yusuf = tsiqat mutqin.
b) Malik bin Annas = imam hafidz
c) Ibnu Syihab Az-Zuhri = Ahli fiqih
dan Hafidz
d) Muhammad bin Jubair = Tsiqat.
e) Jubair bin muth'im = Shahabat.
3. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat
serta tidak cacat.
Hadis shahih dibagi
menjadi dua :
1. Hadis Shahih li dzati ialah hadis shahih yang
memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal.
2. Hadis Shahih Li Ghoirihi ialah hadis yang tidak terbukti
adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan
berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak
salah. Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila
diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau
yang lebih kuat dari padanya.
C. Pengertian Hadis Hasan
Menurut Imam At Tirmidzi, sebagaimana di kutip Ahmad Sutarmajihadis hasan
adalah :
كل حديث يروى لا يكون في اسنده من يتهم با لكذ ب ولا يكو ن الحد يث شا ذا ا وير وى من غير وجه ونحو
ذ الك
“Setiap hadis diriwayatkan oleh perawi yang tidak disangka berdusta, tidak
syadz (asing) dan diriwayatkan tidak hanya dengan satu sanad”.[5]
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan
juga dapat juga berarti sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu.
Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena
melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara hadis shahih dan hadis dha’if, dan
juga karena
sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya.
Sebagian
dari definisinya yaitu:
1. Definisi al-Chatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan
telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan
hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fuqoha’
2. Definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis yang diriwayatkan, dimana dalam
sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejanggalan),
dan diriwatkan dari selain jalan seperti demikian, maka dia menurut kami adalah
hadis hasan.
3. Definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan
oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak
cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih
li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan
li dzatihi.
Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya
terletak pada sisi ke-dhabit-annya. Hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya
dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an
perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan lebih
unggul.
Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
hadis hasan adalah adalah hadis yang dalam periwayatannya dilakukan oleh perawi
yang adil, tidak kuat hafalannya (dhabit), sanad bersambung dan
terhindar dari illat dan cacat.
Contoh Hadis Hasan adalah:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ ، ثنا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْقَطِيعِيُّ
، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حَنْبَلٍ ، قَالَ : حَدَّثَنِي أَبِي ، وَأَخْبَرَنَا أبو
زكريا العنبري ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى
، قَالا : ثنا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ ، ثنا أَبِي ، عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ إِسْحَاقَ ، قَالَ : ذَكَرَ مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمٍ الزُّهْرِيُّ ، عَنْ
عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : " تَفْضُلُ الصَّلاةُ الَّتِي يُسْتَاكُ لَهَا عَلَى الصَّلاةِ الَّتِي
لا يُسْتَاكُ لَهَا سَبْعِينَ ضِعْفًا " ،
وَهَذَا الْحَدِيثُ أَحَدُ مَا يُخَافُ أَنْ يَكُونَ
مِنْ تَدْلِيسَاتِ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ يَسَارٍ ، وَأَنَّهُ لَمْ يَسْمَعْهُ
مِنَ الزُّهْرِيِّ ، وَقَدْ رَوَاهُ مُعَاوِيَةُ بْنُ يَحْيَى الصَّدَفِيُّ ، عَنِ
الزُّهْرِيِّ ، وَلَيْسَ بِالْقَوِيِّ ، وَرُوِيَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ ، عَنْ عُرْوَةَ
، عَنْ عَائِشَةَ ، وَمِنْ وَجْهٍ آخَرَ ، عَنْ عَمْرَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، فَكِلاهُمَا
ضَعِيفٌ .
“Memberi kabar
padaku Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Hafidz, menceritakan kepadaku Abu
Bakr Ahmad bin Ja’far al-Qothi’I, menceritakan kepadaku Abdullah bin Hanbal,
dia berkata: telah menceritakan kepadaku ayahku, telah member kabar padaku
Zakaria al-Anbari, menceritakan kepadaku Ibrahim bin Abi Thalib, menceritakan
kepadaku Muhammad bin Yahya. Mereka berkata, menceritakan kepadaku Ya’kub bin
Ibrahim bin Sa’d, menceritakan kepadaku ayahku dari Muhammad bin Ishaq, dia
berkata: Muhammad bin Muslim az-Zuhri menuturkan dari Urwah dari Aisyah dia
berkata: Rasulullah saw., bersabda Salat dengan bersiwak itu lebih utama dari
pada salat tidak menggunakan siwak dengan keutamaan 70 kali lipat”
Analisis Hadis:
Dari hadis
tersebut ada seorang perawi yang perlu dicermati, yaitu Muhammad bin Ishaq.
Hadis itu dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya dan ibnu Khuzaimah dalam
shahihnya (no 137), dia berkata: “Saya meragukan keabsahan kabar ini karena
saya khawatir ibnu Ishaq tidak mendengar dari Muhammad bin Muslim (Az Zuhri)
dan ia mentadlisnya”. (1/71).
Dan dikeluarkan
juga oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak (no 515), dan beliau berkata: “Shahih
sesuai dengan syarat Muslim”. Namun ibnul Mulaqqin berkata: “penshahihan Al
Hakim terhadap hadits ini patut diingkari, karena ibnu Ishaq ini terkenal
mudallis, dan tidak ada perselisihan di antara ulama bahwa perawi mudallis bila
tidak menyebutkan mendengar, maka tidak dapat dijadikan hujah.
Dan pernyataan
beliau bahwa sanad ini sesuai dengan syarat Muslim adalah tidak benar, karena
ibnu Ishaq tidak diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya sebagai hujjah, akan
tetapi sebagai mutaba’ah saja. Dan telah ma’ruf dari kebiasaan Muslim dan ahli
hadits lainnya menyebutkan dalam mutaba’ah perawi yang tidak dapat dijadikan
hujjah sebatas untuk menguatkan saja, bukan untuk dijadikan hujah. Dan ini
masyhur di sisi mereka”.
Hadis ini juga
diriwayatkan dari Mua’wiyah bin Yahya Ash Shadafi dari Az Zuhri dari
‘Urwah dari ‘Aisyah. Terdapat juga riwayat dari Jalan Sufyan (bin ‘Uyainah)
dari Manshur dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari Aisyah dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Namun kedua jalan periwayatan tersebut masih dinilai lemah.
Namun ada satu jalan lagi dalam periwayatan
hadis ini yang dinilai bagus sehingga dapat mengangkat derajat hadis ini
menjadi hasan. Berikut redaksi hadisnya:
حَدَّثَنَا إِدْرِيسُ بْنُ يَحْيَى ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الْوَاسِطِيُّ ، ثنا مُعَاوِيَةُ بْنُ يَحْيَى ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " رَكْعَتَانِ بِسِوَاكٍ أَفْضَلُ مِنْ سَبْعِينَ
رَكْعَةً بِغَيْرِ سِوَاكٍ
"
Dari
jalan-jalan hadits ini tampak kepada kita bahwa hadits ‘Aisyah ini dapat
terangkat kepada derajat hasan. Dan hadits ini juga mempunyai syawahid dari
hadits ibnu Umar, ibnu Abbas dan Jabir radliyallahu ‘anhum yang semuanya
dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dan disebutkan oleh ibnul Mulaqqin dalam Al Badrul
munir dan ibnu Daqiq Al ‘Ied dalam kitab Al Imam. Namun Al Hafidz berkata: “Sanad-sanadnya
ma’lul”. (Talkhisul Habiir 1/168).
Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasan pun
terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzâtihi dan hasan li-ghairihi;
a. Hasan Li Dzâtihi
Hadis hasan li-dzâtihi adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan
hadis hasan yang telah ditentukan.
b. Hasan Li-Ghairihi
Hadis hasan li-ghairihi ialah hadis hasan yang tidak memenuhi
persyaratan secara sempurna. Dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya
adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matn
(matan/teks) lain yang menguatkannya (syahid atau tâbi’/mutâbi’),
maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan
li-ghairih.
D. Pengertian Hadis Doif
Menurut Imam At Tirmidzi, sebagaimana dikutip Ahmad Sutarmaji hadis
dhaif adalah:
الضعيف ما لم يو جد فيه شروط الصحة
ولا شروط الحسن
“Hadis dhaif adalah yang tidak memenuhi syarat shahih dan juga tidak
memenuhi syarat hasan”.[6]
Pengertian hadis dhaif secara bahasa, hadis
dhaif berarti hadis yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadis
tersebut berasal dari Rasulullah saw. Dugaan kuat mereka hadis tersebut tidak
berasal dari Rasulullah saw. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadis
dhaif sebagai berikut : “ Hadis dhaif ialah hadis yang tidak memuat /
menghimpun sifat-sifat hadis shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadis
hasan”.
Jadi dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud
dengan hadis dhaif adalah hadis yang lemah dari sisi periwayatan dan
tidak memenuhi kriteria seperti yang persyaratkan dalam hadis shahih dan hasan.
Hadis dha’if dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadis dha’if
karena gugurnya ar-râwiy dalam sanadnya, dan hadis dha’if karena adanya cacat
pada ar-râwiy atau matn (matan/teks).
a.
Hadis Dha’if Karena Gugurnya ar-Râwiy
(Periwayat)
Yang
dimaksud
dengan gugurnya ar-râwiy adalah tidak adanya satu atau beberapa ar-râwiy, yang
seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada
pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadis dha’if yang disebabkan
karena gugurnya ar-râwiy, antara lain yaitu :
1)
Hadis Mursal
Hadis mursal
menurut bahasa, berarti hadis yang terlepas. Para ulama memberikan batasan
bahwa hadis mursal adalah hadis yang gugur ar-râwiy nya di akhir sanad. Yang
dimaksud dengan ar-râwiy di akhir sanad ialah ar-râwiy pada tingkatan sahabat
yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadis dari Rasulullah s.a.w..
(penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari ar-râwiy yang
terdekat dengan imam yang membukukan hadis, seperti al-Bukhari, sampai kepada
ar-râwiy yang terdekat dengan Rasulullah s.a.w.). Jadi, hadis mursal adalah
hadis yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai ar-râwiy yang
seharusnya menerima langsung dari Rasulullah s.a.w..
Contoh hadis mursal :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ الأََسْلَمِيِّ
، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ
:« بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُنَافِقِينَ شُهُودُ الْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ, لاَ يَسْتَطِيعُونَهُمَا ».
“Antara
kita dan kaum munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh;
mereka tidak sanggup menghadirinya”.
Hadis tersebut
diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman
bin Harmalah al-Aslami, dan selanjutnya dari Sa’id bin Musayyab (salah
seorang dari generasi tabi’in)). Siapa sahabat Nabi s.a.w. yang meriwayatkan
hadis itu kepada Sa’id bin Musayyab, tidak disebutkan dalam sanad hadis di
atas.
Kebanyakan ulama
memandang hadis mursal ini sebagai hadis dha’if, karena itu tidak bisa diterima
sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama
termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima
hadis mursal menjadi hujjah asalkan para ar-râwiy bersifat ‘âdil.
2)
Hadis Munqathi’
Hadis munqathi’
menurut etimologi ialah hadis yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa
hadis munqathi’ adalah hadis yang gugur satu atau dua orang ar-râwiy tanpa
beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila ar-râwiy di akhir sanad adalah
sahabat Nabi, maka ar-râwiy menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada
hadis munqathi’ bukanlah ar-râwiy di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal
gugur seorang tabi’in. Bila dua ar-râwiy yang gugur, maka kedua ar-râwiy
tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua ar-râwiy yang gugur itu
adalah tabi’in.
Contoh hadis munqathi’ :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ , وَأَبُو مُعَاوِيَةَ ، عَنْ لَيْثٍ ، عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ الْحَسَنِ ، عَنْ أُمِّهِ ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
الله عَليْهِ وسَلَّمَ ، قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ
إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَقُولُ : بِسْمِ اللهِ ، وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ
، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي , وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ ، وَإِذَا
خَرَجَ , قَالَ : بِسْمِ اللهِ ، وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِي ذُنُوبِي ، وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ.
“Rasulullah s.a.w. bila masuk ke dalam mesjid,
membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah
dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadis di atas
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Ismail bin
Ibrahim dan Abu Mu’awiyah, dari Laits, dari Abdullah bin al-Hasan, dari Ibunya
(Fatimah binti al-Husain), dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu
Majah, hadis di atas adalah hadis munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri
Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada ar-râwiy yang
gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.
3)
Hadis Mu’dhal
Menurut bahasa,
hadis mu’dhal adalah hadis yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para
ulama bahwa hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang ar-râwiy
(periwayat)-nya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf (5/286), dan juga Ibnu Abi Dun-ya di dalam
kitab Dzimmu al-Malahi (80), dari jalan Qatadah, ia berkata;
ذكر
لنا أن نبي الله صلى الله عليه وسلم قال : « الكَعْبَتَانِ مِنْ مَيْسِرِ الْعَجَمِ »
Disebutkan
kepada kami bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “kedua mata kaki adalah kemudahan
Bangsa ‘Ajam (non-Arab)”. Qatadah yang dimaksud di sini adalah Qatadah ad-Di’amah
as-Sadusi. Riwayatnya dari tabi’in besar
sangat agung, pendapat yang lebih kuat, dalam
sanad ini beliau telah menghilangkan setidaknya dua orang ar-râwiy
(periwayat), yaitu seorang tabi’in dan
seorang shahabat. Maka hadis yang demikian ini dinamakan mu’dhal. Dan hadis mu’dhal (معضل)
derajatnya di bawah mursal (مرسل)
dan munqathi’ (منقطع),
karena banyaknya ar-râwi (periwayat)
yang hilang dari sanad secara berurutan.
4)
Hadis Mu’allaq
Menurut bahasa,
hadis mu’allaq berarti hadis yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadis
ini ialah hadis yang gugur satu ar-râwiy (periwayat) atau lebih di awal sanad
atau bisa juga bila semua ar-râwiy (periwayat)-nya digugurkan (tidak
disebutkan).
Contoh; Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam
kitabnya ash-Shahih, Kitab al-Iman, Bab:
Husnu Islami al-Mar’i (1/17), ia mengatakan,
قَالَ مَالِكٌ: أَخْبَرَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ
أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ أَخْبَرَهُ
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ
فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ يُكَفِّرُ اللَّهُ عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلَفَهَا ،
وَكَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصُ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِئَةِ
ضِعْفٍ وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلاَّ أَنْ يَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهَا.
“Telah berkata Malik, telah memberitakan kepada
kami Zaid bin Aslam, bahwa ‘Atha’ bin Yasar memberitahu kepadanya, bahwa Abu
Sa’id al-Khudri memberitahu kepadanya, bahwasannya ia mendengar Rasulullah
s.a.w. bersabda; Apabila seseorang masuk
Islam, dengan keislaman yang bagus maka Allah akan menghapuskan semua
kejahatannya yang telah lalu. Setelah itu balasan terhadap suatu kebaikan
sebanyak sepuluh kali sampai 700 kali lipat dari kebaikan itu, dan balasan
kejahatan sebayak kejahatan itu sendiri, kecuali pelanggaran tehadap Allah.”
Al-Bukhari
tidak menyebutkan nama gurunya, padahal ia meriwayatkan hadis dari Imam Malik
melalui perantara seorang ar-râwiy (periwayat).
Contoh lain; dikeluarkan oleh al-Bukhari di
dalam kitabnya al-Jâmi’ ash-Shahîh, Kitab
ath-Thahârah, Bab Mâ Jâ’a fî Ghusli al-Baul, (1/51).
وَقَالَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِصَاحِبِ الْقَبْرِ كَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Rasulullah s.a.w. bersabda kepada penghuni
kubur, dahulu dia tidak membersihkan kencingnya”.
Al-Bukhari menghilangkan
semua sanadnya, dan hanya mengatakan, “Nabi s.a.w. bersabda”.
b.
Hadis Dha’if Karena Cacat pada Matn
(Matan/Teks) atau ar-Râwiy (Periwayat)
Banyak
macam cacat yang dapat menimpa ar-râwiy (periwayat) ataupun matan. Seperti
pendusta, fâsiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat
menghilangkan sifat ‘adil pada ar-râwiy (periwayat). Sering keliru, banyak
waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan
menyalahi ar-ruwât (para periwayat) yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan
sifat dhabith pada ar-râwiy (periwayat). Adapun cacat pada matan, misalnya
terdapat sisipan di tengah-tengah lafazh hadis atau diputarbalikkan sehingga
memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafazh yang sebenarnya.
Contoh-contoh
hadis dha’if karena cacat pada matn (matan/teks) atau ar-râwiy (periwayat):
1)
Hadis Maudhu’
Menurut bahasa,
hadis ini memiliki pengertian hadis palsu atau dibuat-buat. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadis yang bukan berasal dari Rasulullah
s.a.w.. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadis
palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah
umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau
sangat fanatic terhadap golongan politiknya, madzhabnya, atau kebangsaannya .
Hadis maudhû’
merupakan seburuk-buruk hadis dha’if. Peringatan Rasulullah s.a.w. terhadap
orang yang berdusta dengan hadis dha’if serta menjadikan Rasululullah s.a.w.
sebagai sandarannya.
مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap
diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
Contoh hadis
maudhu’:
من ولد له مولود فسماه محمدا تبركا به كان هو ومولوده
في الجنة
“Siapa yang
memeroleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk surga”.
(As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts al-Maudhû’ah, Juz
I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 97).
الأمناء
عند الله ثلاث قيل من هم يا رسول الله قال جبريل وأنا ومعاوية
“Orang yang
dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku (Muhammad), Jibril, dan Muawiyah”.
(As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts al-Maudhû’ah, Juz
I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 282).
2)
Hadis matrûk atau hadis mathrûh
Hadis ini,
menurut bahasa berarti hadis yang ditinggalkan/dibuang. Para ulama memberikan
batasan bahwa hadis matrûk adalah hadis yang diriwayatkan oleh ”orang-orang
yang pernah dituduh berdusta (baik berkenaan dengan hadis ataupun mengenai
urusan lain), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya”.
Contoh hadis
matrûk:
أخبرنا القاضى أبو القاسم نا أبو علي نا عبدالله
بن محمد ذكر عبدالرحمن بن صالح الأزدى نا عمرو بن هاشم الجنى عن جوبير عن الضحاك عن
ابن عباس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال عَلَيْكُمْ بِاصْطَنَاعِ المَعْرُوفِ فَإِنَّهُ
يَمْنَعُ مَصَارِعَ السُّوءِ وَعَلَيْكُمْ بِصَدَقَةِ السِّرِّ فَإِنَّهَا تُطْفِىءُ
غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ
أخرجه
ابن أبى الدنيا فى قضاء الحوائج (ص ٢٥ ، رقم ٦(
“Hendaklah
kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian yang buruk, dan
hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena sedekah tersembunyi akan
memadamkan murka Allah SWT”.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abi
ad-Dunya dari Ibnu Abbas. Di dalam sanad
ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy. An-Nasa’i,
ad-Daruquthni, dan lain-lain mengatakan bahwa hadisnya ditinggalkan (matrûk).
Ibnu Ma’in berkata, “لاَ
بَأْسَ بِهِ (Ia tidak ada
apa-apanya)”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya), ini berarti
ia “الْمُتَّهَمُ
بِالْكَذِبِ (tertuduh berdusta)”.
3)
Hadis Munkar
Hadis munkar, secara bahasa berarti hadis yang
diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadis
munkar ialah: hadis yang diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang lemah dan
menyalahi ar-râwiy (periwayat) yang kuat, contoh:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ ، نا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، نا مَعْمَرٌ ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ ، عَنِ الْعَيْزَارِ بْنِ
حُرَيْثٍ ، أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ ، أَتَاهُ الْأَعْرَابُ , فَقَالَ : ” مَنْ أَقَامَ
الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَحَجَّ الْبَيْتَ وَقَرَى الضَّيْفَ دَخَلَ الْجَنَّةَ “ *
“Barangsiapa
yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji dan menghormati
tamu, niscaya masuk surga.” (HR Abu Ishaq dari Abdullah bin Abbas)”
Hadis di atas memiliki ar-ruwât (para
periwayat) yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadis yang
lebih kuat.
4)
Hadis Mu’allal
Menurut bahasa, hadis mu’allal berarti hadis
yang terkena ‘illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadis ini adalah hadis
yang mengandung sebab-sebab tersembunyi, dan ‘illat yang menjatuhkan itu bisa
terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.
Contoh:
الْبَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“(Rasulullah s.a.w. bersabda): “penjual dan
pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid
dengan bersanad pada Sufyan ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya
dari Ibnu Umar. Matan hadis ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti
dengan seksama, sanadnya memiliki ‘illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin
Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.
5)
Hadis Mudraj
Hadis ini memiliki pengertian hadis yang
dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadis itu.
Contoh:
أَنَا
زَعِيمٌ وَالزَّعِيمُ الْحَمِيلُ لِمَنْ آمَنَ بِي وَأَسْلَمَ وَهَاجَرَ بِبَيْتٍ فِي
رَبَضِ الْجَنَّةِ …
“Saya adalah za’im (dan za’im itu adah
penanggung jawab) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah, dengan
tempat tinggal di taman surga …” (HR Al-Bazzar dari Fadhalah bin ‘Ubaid)
Kalimat akhir dari hadis tersebut (بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ)
adalah sisipan, karena tidak termasuk sabda Rasulullah s.a.w..
6)
Hadis Maqlûb
Menurut bahasa, berarti hadis yang
diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada
matannya atau pada nama ar-râwiy (periwayat) dalam sanadnya atau penukaran
suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh:
فَمَا
أَمَرْتُكُمْ بِهِ مِنْ شَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَمَا نَهَيْتُكُمْ
فَانْتَهُوْا
“(Rasulullah s.a.w. bersabda): Apabila aku
menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang
kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu”. (Hadis Riwayat
ath-Thabrani dari al-Mughirah)
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, semestinya hadis tersebut berbunyi,
Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا
اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang aku larang kamu darinya, maka
jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia
sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7)
Hadis
Syadz
Secara bahasa, hadis ini berarti hadis yang
ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadis syadz adalah hadis yang
diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang dipercaya, tapi hadis itu berlainan
dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah ar-râwiy (periwayat) yang
juga dipercaya. Hadisnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadis-hadis
lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ
الْفَاكِهِيُّ بِمَكَّةَ ثَنَا أَبُو يَحْيَى بْنُ أَبِي مَيْسَرَةَ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِيُّ ثَنَا مُوسَى بْنُ عُلَىِّ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ
عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : يَوْمُ عَرَفَةَ وَ يَوْمُ النَّحْرِ وَ أَيَّامُ التَشْرِيْقِ
عِيْدُنَا أَهْلُ الْإِسْلَامِ وَ هُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ
(Rasulullah bersabda): “Hari ‘Arafah, hari Nahr
dan hari-hari Tasyriq adalah hari raya bagi umat Islam, dan hari-hari itu
adalah hari-hari makan dan minum.” (HR al-Hakim dari Musa bin Ali bin Rabah)
Hadis di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali
bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari serentetan ar-ruwât (para periwayat)
yang dipercaya, namun matn (matan/teks) hadis tersebut ternyata ganjil, jika
dibandingkan dengan hadis-hadis lain yang diriwayatkan oleh ar-ruwât (para
periwayat) yang juga dipercaya. Pada hadis-hadis lain tidak dijumpai ungkapan
tersebut. Keganjilan hadis di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan
merupakan salah satu contoh hadis syadz pada matn (matan/teks)-nya. Lawan dari
hadis ini adalah hadis mahfûzh.
E. Kehujjahan Hadis Shahih, Hasan dan Dhaif dalam Hukum Islam
Sebagai sumber hukum islam kedua setelah Al Qur’an, kedudukan Al Hadis
menjadi sangat penting dalam menjembatani atau menjelaskan berbagai pesoalan
yang masih bersifat global didalam Al qur’an. Namun demikian adanya perbedaan
periwatan antara Al Qur’an dan Al Hadis telah memunculkan ketidaksempurnaan terutama
tingkat keabsahan /validitas hadis setelah wafat Nabinya Muhammad SAW. Oleh karena itu tingkat kehujjahan hadis-hadis tersebut sebagai sumber hukum kedua setelah
Al Qur’an diuraikan sebagai berikut :
1. Kehujjahan Hadis Shahih dalam Hukum Islam
Para ulama termasuk ahli hadis dan ushul fiqh yang pendapatnya dapat
dijadikan pegangan, hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan,
baik rawinya seorang diri, atau ada rawi lain yang meriwayatkan bersamanya,
atau masyhur dengan diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tidak
mencapai derajat mutawatir. Hadis shahih wajib diamalkan dan dijadikan sebagai sumber hukum islam kedua
setelah Al Qur’an.
2. Kehujjahan Hadis Hasan dalam Hukum Islam
Meskipun derajat keabsahannya dibawah hadis shahih, namun hadis hasan
sebagai mana halnya hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan
dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau
sebagai pedoman dalam beramal. Para ulama hadis, ushul fiqih,
dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.
3. Kehujjahan Hadis Dhaif dalam Hukum Islam
Berbeda dengan hadis shahih dan hasan, hadis dhaif yang tingkat derajat
keabsahannya diragukan demikian pula tingkat kehujjahannya atau sebagai dalil
hukum juga lemah. Oleh karena mengutip pendapat dari Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa hadis
dhaif dapat digunakan sebagai dalil hukum atau sumber dengan beberapa syarat :
a) Tigkat kedhaifannya tidak parah
Menurut para ulama, masih
ada di antara hadis dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam
perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadis yang level kedhaifannya
tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadailul a’mal
(keutamaan amal).
b) Berada di bawah nash lain yang shahih.
Maksudnya hadis yang dhaif
itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus ada hadis lain yang mendukung tersebut
dan hadis lainnya itu harus shahih. Tidak boleh hadis tersebut
c) Ketika mengamalkan tidak boleh meyakini ke-tsabit-annya.
Maksudnya, ketika kita
mengamalkan hadis dhaif itu, kita tidak boleh meyakini sepenuhnya bahwa ini
merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Namun hanya
menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah saw.
BAB III
SIMPULAN
Berpijak dari pemaran dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan :
1. Yang dimaksud dengan kehujahan Hadis (hujjiyah hadis) adalah keadaan
Hadis yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i),
sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang
menunjukkannya.
2. Yang dimaksud dengan hadis shahih adalah hadis yang dalam periwayatannya
dilakukan oleh perawi yang adil, dhabit, sanadnya sambung serta
terhindar dari illat dan cacat.
3. Yang dimaksud dengan hadis hasan adalah hadis yang dalam periwayatannya
dilakukan oleh perawi yang adil, dhabit dasar (kurang kuat hafalannya),
sanadnya sambung serta terhindar dari illat dan cacat.
4. yang dimaksud dengan hadis dhaif adalah hadis yang lemah dari sisi
periwayatan dan tidak memenuhi kriteria sebagai yang persyaratkan dalam hadis
shahih dan hasan.
5. Hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan, baik rawinya
seorang diri, atau ada rawi lain yang meriwayatkan bersamanya, atau masyhur
dengan diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tidak mencapai derajat
mutawatir. Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, adalah hadis yang
dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan
suatu hukum atau sebagai pedoman dalam beramal. Berbeda dengan hadis shahih dan
hasan, hadis dhaif yang tingkat derajat keabsahannya diragukan demikian pula
tingkat kehujjahannya atau sebagai dalil hukum juga lemah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, (Ahzam,Jakarta,2008).
Mahmud Thohan, ulumul hadis studi kompleksitas hadis nabi, (Titian Ilahi Pres, Yogyakarta, 1997).
Fadlil Said,alih bahasa dari Kowaidul Asasiyah Fi Ilmi Mustholahul Hadis, (Al-Hidayah,Surabaya, 2007).
Mahmud Thohan, ulumul hadis studi kompleksitas hadis nabi, (Titian Ilahi Pres, Yogyakarta, 1997).
Fadlil Said,alih bahasa dari Kowaidul Asasiyah Fi Ilmi Mustholahul Hadis, (Al-Hidayah,Surabaya, 2007).
Mohammad Nor
Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Rasail, Semarang, 2007).
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejarah dan pengantar ilmu hadis, (pt. pustaska Rizki Putra, Semarang, 1999)
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejarah dan pengantar ilmu hadis, (pt. pustaska Rizki Putra, Semarang, 1999)
Ahmad Sutarmaji, Al Imam Al Tirmidzi,
Peranannya dalam Hadis dan Fiqih,(Jakarta, 1998,hlm.
Muhammad Ajaz al-Khatib, Ushul
al-Hadis,
T.M.Hasbhi al_Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.
M.Noor.Sulaiman P, Antologi Ilmu Hadis
T.M.Hasbhi al_Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.
M.Noor.Sulaiman P, Antologi Ilmu Hadis
Ushulul Hadis, pokok-pokok ilmu hadis Ajaj
Al Khatib, Gaya Media Pratama, Jakarta 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar