Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Kamis, 17 November 2016

MAKALAH KEHUJJAHAN HADIS SAHIH, HASAN DAN DHAIF



KEHUJJAHAN HADIS SAHIH, HASAN DAN DHA’IF

BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar belakang Masalah
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia. Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai sesuatu yang mutlak kebenaran beritanya, sedangkan hadis Nabi tingkat keabsahannya masih perlu dikaji ulang, apakah betul-betul dari Nabi atau hanya karangan orang atau golongan tertentu saja.
Hadis memiliki peranan penting dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun terutama ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat atau ayat yang bersifat normatif dan perlu penjelasan pada tataran operasional, semisal shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Bagaimana seharusnya shalat itu? tidak dijelaskan secara detail, namun hanya bersifat global. Begitu pula ibadah-iabadah yang lainnya. Bagaimana dikerjakan, syarat dan rukunnya apa saja, itu semua dijelaskan melalui hadis nabi Muahammad SAW.
Sehingga kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam kedua bagi umat islam tidak diragukan lagi keabsahannya, karena memang benar-benar bersumber dari Nabi Muhammad SAW.
Dalam periwatannya ada hadis yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterima sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima), shahih dan hasan. Namun disisi lain ada pula hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’),  hal ini ditemukan setelah adanya upaya penelitian sanad maupun matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
          Mengapa ada perbedaan tingkat keabsan hadis tersebut? Karena memang tingkat integritas dan kredibiltas penerima atau periwayat dari hadis-hadis tersebut juga berbeda. Ada yang rendah, sedang dan tinggi. Itulah salah satu faktor penyebab, mengapa kemudian muncul nama hadis shahih, hasan dan da’if. Tentunya dari jenis-jenis tingkatan hadis tersebut berimplikasi pada tingkat kehujjahan hadis tersebut sebagai sumber hukum kedua setelah Al Qur’an.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh imam Malik, dari sepuluh ribu hadis yang diteliti ternyata hanya tiga ribu saja yang sanad dan matannya yang sambung dan benar-benar berasal dari Rosulullah Muhammad saw.


B.        Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi bahasan dalam makalah ini sebagai berikut:
1.        Apa definisi Kehujahan Hadis?
2.        Apa definisi Hadis Shahih?
3.        Apa definisi Hadis Hasan?
4.        Apa definisi Hadis Dhaif?
5.        Bagaimana kehujjahan hadis shahih, hasan dan dhaif dalam hukum islam?
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1.        Definisi Kehujahan Hadis.
2.        Definisi Hadis Shahih.
3.        Definisi Hadis Hasan.
4.        Definisi Hadis Dhaif.
5.        Kehujjahan hadis shahih, hasan dan dhaif dalam hukum islam



BAB II
P E M B A H A S A N


A.  Pengertian Kehujjahan Hadis
Yang dimaksud dengan kehujahan Hadis (hujjiyah hadis) adalah keadaan Hadis yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Ushul Al-Fiqh Al-Islami, orang yang pertama kali berpegang dengan dalil-dalil ini diluar ‘ijma adalah Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-Umm.
Kehujahan hadis sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy yang menuturkan tentang kenabian Muhammad saw. Selain itu, keabsahan hadis sebagai dalil juga ditunjukkan oleh nash-nash qath’iy yang menyatakan, bahwa beliau saw., tidak menyampaikan sesuatu (dalam konteks syariat) kecuali berdasarkan wahyu yang telah diwahyukan. Semua perkataan beliau saw., adalah wahyu yang diwahyukan. Oleh karena itu, hadis adalah wahyu dari Allah swt, dari sisi maknanya saja, tidak lafadznya. Hadis adalah dalil syariat tak ubahnya dengan al-Quran. Tidak ada perbedaan antara al-Quran dan Hadis dari sisi wajibnya seorang Muslim mengambilnya sebagai dalil syariat. Sebagaimana firman Allah dalam Surah An Nahl  ayat 44 :
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ  
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.[1]
Jika sekiranya, hadis itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an. Sabda Nabi SAW :  "Ingat! Bahwa saya diberi al-Quran dan yang seperti al-Quran (Hadis)." (H.R. Abu Daud). Karena itu, hadis, baik ia menjelaskan al-Qur'an atau berupa penetapan sesuatu hukum, umat Islam wajib mentaatinya.

Apabila diteliti, fungsi hadis terhadap al-Qur'an, dapat berupa menetapkan dan mengokohkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur'an, atau berupa penjelasan terhadap al-Qur'an, menafsiri serta memperincinya, atau juga menetapkan sesuatu hukum yang tidak terdapat di dalam al-Qur'an.
Hal ini juga dikemukakan oleh Imam asy-Syafi'i di dalam ar-Risalahnya.
Jika sekiranya, hadis itu bukan merupakan huj
jah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.

B.  Pengertian Hadis Shahih
Kata Shahih (الصحيح dalam bahasa Arab diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim (السقيم) yang berarti orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadis shahih adalah hadis yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
Kemudian menurut Imam At Tirmidzi sebagaimana dikutip Ahmad Sutarmaji hadis shahih adalah :
 ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وسلم عن شذ ود وعلة
“Hadis yang sanadnya bersambung, yang dinukilkan oleh perawi yang  adil dan (jujur dan taqwa), dhabit serta bersih dari keanehan dan kecacatan”.[2]
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadis shahih dengan “hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.[3]
Definisi hadis shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i yang memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu: pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafadz, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafadz, bunyi hadis yang diriwayatkan sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembunyian cacat).  Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi SAW.
Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadis shahih sebagai berikut :
1.      Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi terakhir.
2.      Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti adil dan dhobith,
3.      Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan  Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
Dari beberapa pengertian hadis shahih tersebut dapat simpulkan bahwa hadis shahioh adalah hadis yang dalam periwayatannya dilakukan oleh perwi yang adil, dhobit, sanad bersambung dan terhindar dari illat atau cacat.
Hadis shahih harus memenuhi lima syarat[4] :
1.      Muttashil sanadnya
2.      Perawi-perawinya adil.
3.      Perawi-perawinya dhabit
4.      Yang diriwayatkan tidak syadz
5.      Yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya)
Adapun contoh hadis yang shahih adalah;
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ "(رواه البخاري(
"Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Analisis terhadap hadits tersebut:
1.      Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari gurunya.
2.      Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut menurut para ulama al-jarhu wa ta'dil sebagai berikut :
a)      Abdullah bin yusuf     = tsiqat mutqin.
b)      Malik bin Annas         = imam hafidz
c)      Ibnu Syihab Az-Zuhri   = Ahli fiqih dan Hafidz
d)     Muhammad bin Jubair = Tsiqat.
e)      Jubair bin muth'im      = Shahabat.
3.      Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat.


Hadis shahih dibagi menjadi dua :
1.      Hadis Shahih li dzati ialah hadis shahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal.
2.      Hadis Shahih Li Ghoirihi ialah hadis yang tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah. Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.

C.  Pengertian Hadis Hasan
Menurut Imam At Tirmidzi, sebagaimana di kutip Ahmad Sutarmajihadis hasan adalah :
كل حديث يروى لا يكون في اسنده من يتهم با لكذ ب ولا يكو ن الحد يث شا ذا ا وير وى من غير وجه ونحو ذ الك  
“Setiap hadis diriwayatkan oleh perawi yang tidak disangka berdusta, tidak syadz (asing) dan diriwayatkan tidak hanya dengan satu sanad”.[5]
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara hadis shahih dan hadis dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya.
Sebagian dari definisinya yaitu:
1.      Definisi al-Chatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fuqoha’
2.      Definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejanggalan), dan diriwatkan dari selain jalan seperti demikian, maka dia menurut kami adalah hadis hasan.
3.      Definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dzatihi.
Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. Hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan lebih unggul.
Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadis hasan adalah adalah hadis yang dalam periwayatannya dilakukan oleh perawi yang adil, tidak kuat hafalannya (dhabit), sanad bersambung dan terhindar dari illat dan cacat.
Contoh Hadis Hasan adalah:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ ، ثنا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْقَطِيعِيُّ ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حَنْبَلٍ ، قَالَ : حَدَّثَنِي أَبِي ، وَأَخْبَرَنَا أبو زكريا العنبري ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى ، قَالا : ثنا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ ، ثنا أَبِي ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ ، قَالَ : ذَكَرَ مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمٍ الزُّهْرِيُّ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " تَفْضُلُ الصَّلاةُ الَّتِي يُسْتَاكُ لَهَا عَلَى الصَّلاةِ الَّتِي لا يُسْتَاكُ لَهَا سَبْعِينَ ضِعْفًا " ،
وَهَذَا الْحَدِيثُ أَحَدُ مَا يُخَافُ أَنْ يَكُونَ مِنْ تَدْلِيسَاتِ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ يَسَارٍ ، وَأَنَّهُ لَمْ يَسْمَعْهُ مِنَ الزُّهْرِيِّ ، وَقَدْ رَوَاهُ مُعَاوِيَةُ بْنُ يَحْيَى الصَّدَفِيُّ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، وَلَيْسَ بِالْقَوِيِّ ، وَرُوِيَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، وَمِنْ وَجْهٍ آخَرَ ، عَنْ عَمْرَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، فَكِلاهُمَا ضَعِيفٌ .
“Memberi kabar padaku Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Hafidz, menceritakan kepadaku Abu Bakr Ahmad bin Ja’far al-Qothi’I, menceritakan kepadaku Abdullah bin Hanbal, dia berkata: telah menceritakan kepadaku ayahku, telah member kabar padaku Zakaria al-Anbari, menceritakan kepadaku Ibrahim bin Abi Thalib, menceritakan kepadaku Muhammad bin Yahya. Mereka berkata, menceritakan kepadaku Ya’kub bin Ibrahim bin Sa’d, menceritakan kepadaku ayahku dari Muhammad bin Ishaq, dia berkata: Muhammad bin Muslim az-Zuhri menuturkan dari Urwah dari Aisyah dia berkata: Rasulullah saw., bersabda Salat dengan bersiwak itu lebih utama dari pada salat tidak menggunakan siwak dengan keutamaan 70 kali lipat”
Analisis Hadis:
Dari hadis tersebut ada seorang perawi yang perlu dicermati, yaitu Muhammad bin Ishaq. Hadis itu dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya dan ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (no 137), dia berkata: “Saya meragukan keabsahan kabar ini karena saya khawatir ibnu Ishaq tidak mendengar dari Muhammad bin Muslim (Az Zuhri) dan ia mentadlisnya”. (1/71).
Dan dikeluarkan juga oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak (no 515), dan beliau berkata: “Shahih sesuai dengan syarat Muslim”. Namun ibnul Mulaqqin berkata: “penshahihan Al Hakim terhadap hadits ini patut diingkari, karena ibnu Ishaq ini terkenal mudallis, dan tidak ada perselisihan di antara ulama bahwa perawi mudallis bila tidak menyebutkan mendengar, maka tidak dapat dijadikan hujah.
Dan pernyataan beliau bahwa sanad ini sesuai dengan syarat Muslim adalah tidak benar, karena ibnu Ishaq tidak diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya sebagai hujjah, akan tetapi sebagai mutaba’ah saja. Dan telah ma’ruf dari kebiasaan Muslim dan ahli hadits lainnya menyebutkan dalam mutaba’ah perawi yang tidak dapat dijadikan hujjah sebatas untuk menguatkan saja, bukan untuk dijadikan hujah. Dan ini masyhur di sisi mereka”.
Hadis ini juga diriwayatkan dari Mua’wiyah bin Yahya Ash Shadafi dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Terdapat juga riwayat dari Jalan Sufyan (bin ‘Uyainah) dari Manshur dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari Aisyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun kedua jalan periwayatan tersebut masih dinilai lemah.
Namun ada satu jalan lagi dalam periwayatan hadis ini yang dinilai bagus sehingga dapat mengangkat derajat hadis ini menjadi hasan. Berikut redaksi hadisnya:
حَدَّثَنَا إِدْرِيسُ بْنُ يَحْيَى ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الْوَاسِطِيُّ ، ثنا مُعَاوِيَةُ بْنُ يَحْيَى ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " رَكْعَتَانِ بِسِوَاكٍ أَفْضَلُ مِنْ سَبْعِينَ رَكْعَةً بِغَيْرِ سِوَاكٍ "
Dari jalan-jalan hadits ini tampak kepada kita bahwa hadits ‘Aisyah ini dapat terangkat kepada derajat hasan. Dan hadits ini juga mempunyai syawahid dari hadits ibnu Umar, ibnu Abbas dan Jabir radliyallahu ‘anhum yang semuanya dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dan disebutkan oleh ibnul Mulaqqin dalam Al Badrul munir dan ibnu Daqiq Al ‘Ied dalam kitab Al Imam. Namun Al Hafidz berkata: “Sanad-sanadnya ma’lul”. (Talkhisul Habiir 1/168).
Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzâtihi dan hasan li-ghairihi;
a.       Hasan Li Dzâtihi
Hadis hasan li-dzâtihi adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan.
b.      Hasan Li-Ghairihi
Hadis hasan li-ghairihi ialah hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. Dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matn (matan/teks) lain yang menguatkannya (syahid atau tâbi’/mutâbi’), maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.

D.  Pengertian Hadis Doif
Menurut Imam At Tirmidzi, sebagaimana dikutip Ahmad Sutarmaji hadis dhaif adalah:
الضعيف ما لم يو جد فيه  شروط الصحة ولا شروط الحسن
“Hadis dhaif adalah yang tidak memenuhi syarat shahih dan juga tidak memenuhi syarat hasan”.[6]
Pengertian hadis dhaif secara bahasa, hadis dhaif berarti hadis yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadis tersebut berasal dari Rasulullah saw. Dugaan kuat mereka hadis tersebut tidak berasal dari Rasulullah saw. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadis dhaif sebagai berikut : “ Hadis dhaif ialah hadis yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadis shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadis hasan”.
Jadi dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan hadis dhaif adalah hadis yang lemah dari sisi periwayatan dan tidak memenuhi kriteria seperti yang persyaratkan dalam hadis shahih dan hasan.
Hadis dha’if dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadis dha’if karena gugurnya ar-râwiy dalam sanadnya, dan hadis dha’if karena adanya cacat pada ar-râwiy atau matn (matan/teks).
a.            Hadis Dha’if Karena Gugurnya ar-Râwiy (Periwayat)
Yang dimaksud dengan gugurnya ar-râwiy adalah tidak adanya satu atau beberapa ar-râwiy, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadis dha’if yang disebabkan karena gugurnya ar-râwiy, antara lain yaitu :
1)      Hadis Mursal
Hadis mursal menurut bahasa, berarti hadis yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis mursal adalah hadis yang gugur ar-râwiy nya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan ar-râwiy di akhir sanad ialah ar-râwiy pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadis dari Rasulullah s.a.w.. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari ar-râwiy yang terdekat dengan imam yang membukukan hadis, seperti al-Bukhari, sampai kepada ar-râwiy yang terdekat dengan Rasulullah s.a.w.). Jadi, hadis mursal adalah hadis yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai ar-râwiy yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah s.a.w..
Contoh hadis mursal :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ الأََسْلَمِيِّ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ :« بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُنَافِقِينَ شُهُودُ الْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ, لاَ يَسْتَطِيعُونَهُمَا ».
 “Antara kita dan kaum munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman  bin Harmalah al-Aslami, dan selanjutnya dari Sa’id bin Musayyab (salah seorang dari generasi tabi’in)). Siapa sahabat Nabi s.a.w. yang meriwayatkan hadis itu kepada Sa’id bin Musayyab, tidak disebutkan dalam sanad hadis di atas.
Kebanyakan ulama memandang hadis mursal ini sebagai hadis dha’if, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadis mursal menjadi hujjah asalkan para ar-râwiy bersifat ‘âdil.
2)      Hadis Munqathi’
Hadis munqathi’ menurut etimologi ialah hadis yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadis munqathi’ adalah hadis yang gugur satu atau dua orang ar-râwiy tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila ar-râwiy di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka ar-râwiy menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadis munqathi’ bukanlah ar-râwiy di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua ar-râwiy yang gugur, maka kedua ar-râwiy tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua ar-râwiy yang gugur itu adalah tabi’in.
Contoh hadis munqathi’ :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ , وَأَبُو مُعَاوِيَةَ ، عَنْ لَيْثٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَسَنِ ، عَنْ أُمِّهِ ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ ، قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَقُولُ : بِسْمِ اللهِ ، وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي , وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ ، وَإِذَا خَرَجَ , قَالَ : بِسْمِ اللهِ ، وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي ، وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ.

“Rasulullah s.a.w. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim dan Abu Mu’awiyah, dari Laits, dari Abdullah bin al-Hasan, dari Ibunya (Fatimah binti al-Husain), dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadis di atas adalah hadis munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada ar-râwiy yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.
3)      Hadis Mu’dhal
Menurut bahasa, hadis mu’dhal adalah hadis yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang ar-râwiy (periwayat)-nya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf (5/286), dan juga Ibnu Abi Dun-ya di dalam kitab Dzimmu al-Malahi (80), dari jalan Qatadah, ia berkata;
ذكر لنا أن نبي الله صلى الله عليه وسلم قال : « الكَعْبَتَانِ مِنْ مَيْسِرِ الْعَجَمِ »
Disebutkan kepada kami bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “kedua mata kaki adalah kemudahan Bangsa ‘Ajam (non-Arab)”. Qatadah yang dimaksud di sini adalah Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi. Riwayatnya dari  tabi’in besar sangat agung, pendapat yang lebih kuat, dalam  sanad ini beliau telah menghilangkan setidaknya dua orang ar-râwiy (periwayat), yaitu seorang tabi’in  dan seorang shahabat. Maka hadis yang demikian ini dinamakan  mu’dhal. Dan hadis mu’dhal (معضل) derajatnya di bawah mursal (مرسل) dan munqathi’ (منقطع), karena banyaknya  ar-râwi (periwayat) yang hilang dari sanad secara berurutan.
4)      Hadis Mu’allaq
Menurut bahasa, hadis mu’allaq berarti hadis yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadis ini ialah hadis yang gugur satu ar-râwiy (periwayat) atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua ar-râwiy (periwayat)-nya digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh; Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitabnya  ash-Shahih, Kitab al-Iman, Bab: Husnu Islami al-Mar’i (1/17), ia mengatakan,

قَالَ مَالِكٌ: أَخْبَرَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ يُكَفِّرُ اللَّهُ عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلَفَهَا ، وَكَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصُ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِئَةِ ضِعْفٍ وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلاَّ أَنْ يَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهَا.
“Telah berkata Malik, telah memberitakan kepada kami Zaid bin Aslam, bahwa ‘Atha’ bin Yasar memberitahu kepadanya, bahwa Abu Sa’id al-Khudri memberitahu kepadanya, bahwasannya ia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda; Apabila seseorang  masuk Islam, dengan keislaman yang bagus maka Allah akan menghapuskan semua kejahatannya yang telah lalu. Setelah itu balasan terhadap suatu kebaikan sebanyak sepuluh kali sampai 700 kali lipat dari kebaikan itu, dan balasan kejahatan sebayak kejahatan itu sendiri, kecuali pelanggaran tehadap Allah.”
Al-Bukhari tidak menyebutkan nama gurunya, padahal ia meriwayatkan hadis dari Imam Malik melalui perantara seorang ar-râwiy (periwayat).
Contoh lain; dikeluarkan oleh al-Bukhari di dalam kitabnya  al-Jâmi’ ash-Shahîh, Kitab ath-Thahârah, Bab Mâ Jâ’a fî Ghusli al-Baul, (1/51).
وَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِصَاحِبِ الْقَبْرِ كَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Rasulullah s.a.w. bersabda kepada penghuni kubur, dahulu dia tidak membersihkan kencingnya”.
Al-Bukhari menghilangkan semua sanadnya, dan hanya mengatakan, “Nabi s.a.w. bersabda”.

b.            Hadis Dha’if Karena Cacat pada Matn (Matan/Teks) atau ar-Râwiy (Periwayat)
Banyak macam cacat yang dapat menimpa ar-râwiy (periwayat) ataupun matan. Seperti pendusta, fâsiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat ‘adil pada ar-râwiy (periwayat). Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi ar-ruwât (para periwayat) yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada ar-râwiy (periwayat). Adapun cacat pada matan, misalnya terdapat sisipan di tengah-tengah lafazh hadis atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafazh yang sebenarnya.

Contoh-contoh hadis dha’if karena cacat pada matn (matan/teks) atau ar-râwiy (periwayat):
1)      Hadis Maudhu’
Menurut bahasa, hadis ini memiliki pengertian hadis palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadis yang bukan berasal dari Rasulullah s.a.w.. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadis palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, madzhabnya, atau kebangsaannya .
Hadis maudhû’ merupakan seburuk-buruk hadis dha’if. Peringatan Rasulullah s.a.w. terhadap orang yang berdusta dengan hadis dha’if serta menjadikan Rasululullah s.a.w. sebagai sandarannya.
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
Contoh hadis maudhu’:
من ولد له مولود فسماه محمدا تبركا به كان هو ومولوده في الجنة
“Siapa yang memeroleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk surga”. (As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts al-Maudhû’ah, Juz I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 97).
الأمناء عند الله ثلاث قيل من هم يا رسول الله قال جبريل وأنا ومعاوية
“Orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku (Muhammad), Jibril, dan Muawiyah”. (As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts al-Maudhû’ah, Juz I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 282).

2)      Hadis matrûk atau hadis mathrûh
Hadis ini, menurut bahasa berarti hadis yang ditinggalkan/dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis matrûk adalah hadis yang diriwayatkan oleh ”orang-orang yang pernah dituduh berdusta (baik berkenaan dengan hadis ataupun mengenai urusan lain), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya”.
Contoh hadis matrûk:
أخبرنا القاضى أبو القاسم نا أبو علي نا عبدالله بن محمد ذكر عبدالرحمن بن صالح الأزدى نا عمرو بن هاشم الجنى عن جوبير عن الضحاك عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال عَلَيْكُمْ بِاصْطَنَاعِ المَعْرُوفِ فَإِنَّهُ يَمْنَعُ مَصَارِعَ السُّوءِ وَعَلَيْكُمْ بِصَدَقَةِ السِّرِّ فَإِنَّهَا تُطْفِىءُ غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ
أخرجه ابن أبى الدنيا فى قضاء الحوائج (ص ٢٥ ، رقم ٦(
“Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian yang buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena sedekah tersembunyi akan memadamkan murka Allah SWT”.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dari Ibnu Abbas. Di dalam sanad  ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy. An-Nasa’i, ad-Daruquthni, dan lain-lain mengatakan bahwa hadisnya ditinggalkan (matrûk). Ibnu Ma’in berkata, “لاَ بَأْسَ بِهِ (Ia tidak ada apa-apanya)”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya), ini berarti ia “الْمُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ (tertuduh berdusta)”.

3)      Hadis Munkar
Hadis munkar, secara bahasa berarti hadis yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadis munkar ialah: hadis yang diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang lemah dan menyalahi ar-râwiy (periwayat) yang kuat, contoh:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ ، نا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، نا مَعْمَرٌ ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ ، عَنِ الْعَيْزَارِ بْنِ حُرَيْثٍ ، أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ ، أَتَاهُ الْأَعْرَابُ , فَقَالَ : ” مَنْ أَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَحَجَّ الْبَيْتَ وَقَرَى الضَّيْفَ دَخَلَ الْجَنَّةَ “ *
“Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji dan menghormati tamu, niscaya masuk surga.” (HR Abu Ishaq dari Abdullah bin Abbas)”
Hadis di atas memiliki ar-ruwât (para periwayat) yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadis yang lebih kuat.

4)      Hadis Mu’allal
Menurut bahasa, hadis mu’allal berarti hadis yang terkena ‘illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadis ini adalah hadis yang mengandung sebab-sebab tersembunyi, dan ‘illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.
Contoh:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“(Rasulullah s.a.w. bersabda): “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu Umar. Matan hadis ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki ‘illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.

5)      Hadis Mudraj
Hadis ini memiliki pengertian hadis yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadis itu.
Contoh:
أَنَا زَعِيمٌ وَالزَّعِيمُ الْحَمِيلُ لِمَنْ آمَنَ بِي وَأَسْلَمَ وَهَاجَرَ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ
“Saya adalah za’im (dan za’im itu adah penanggung jawab) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah, dengan tempat tinggal di taman surga …” (HR Al-Bazzar dari Fadhalah bin ‘Ubaid)
Kalimat akhir dari hadis tersebut (بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ) adalah sisipan, karena tidak termasuk sabda Rasulullah s.a.w..

6)      Hadis Maqlûb
Menurut bahasa, berarti hadis yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama ar-râwiy (periwayat) dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh:
فَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ مِنْ شَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَمَا نَهَيْتُكُمْ فَانْتَهُوْا

“(Rasulullah s.a.w. bersabda): Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu”. (Hadis Riwayat ath-Thabrani dari al-Mughirah)
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, semestinya hadis tersebut berbunyi, Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang aku larang kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.

7)       Hadis Syadz
Secara bahasa, hadis ini berarti hadis yang ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang dipercaya, tapi hadis itu berlainan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah ar-râwiy (periwayat) yang juga dipercaya. Hadisnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadis-hadis lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ الْفَاكِهِيُّ بِمَكَّةَ ثَنَا أَبُو يَحْيَى بْنُ أَبِي مَيْسَرَةَ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِيُّ ثَنَا مُوسَى بْنُ عُلَىِّ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : يَوْمُ عَرَفَةَ وَ يَوْمُ النَّحْرِ وَ أَيَّامُ التَشْرِيْقِ عِيْدُنَا أَهْلُ الْإِسْلَامِ وَ هُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ
(Rasulullah bersabda): “Hari ‘Arafah, hari Nahr dan hari-hari Tasyriq adalah hari raya bagi umat Islam, dan hari-hari itu adalah hari-hari makan dan minum.” (HR al-Hakim dari Musa bin Ali bin Rabah)
Hadis di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari serentetan ar-ruwât (para periwayat) yang dipercaya, namun matn (matan/teks) hadis tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadis-hadis lain yang diriwayatkan oleh ar-ruwât (para periwayat) yang juga dipercaya. Pada hadis-hadis lain tidak dijumpai ungkapan tersebut. Keganjilan hadis di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadis syadz pada matn (matan/teks)-nya. Lawan dari hadis ini adalah hadis mahfûzh.

E.  Kehujjahan Hadis Shahih, Hasan dan Dhaif dalam Hukum Islam
Sebagai sumber hukum islam kedua setelah Al Qur’an, kedudukan Al Hadis menjadi sangat penting dalam menjembatani atau menjelaskan berbagai pesoalan yang masih bersifat global didalam Al qur’an. Namun demikian adanya perbedaan periwatan antara Al Qur’an dan Al Hadis telah memunculkan ketidaksempurnaan terutama tingkat keabsahan /validitas hadis setelah wafat Nabinya Muhammad SAW.  Oleh karena itu tingkat kehujjahan hadis-hadis  tersebut sebagai sumber hukum kedua setelah Al Qur’an diuraikan sebagai berikut :
1.      Kehujjahan Hadis Shahih dalam Hukum Islam
Para ulama termasuk ahli hadis dan ushul fiqh yang pendapatnya dapat dijadikan pegangan, hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan, baik rawinya seorang diri, atau ada rawi lain yang meriwayatkan bersamanya, atau masyhur dengan diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. Hadis shahih wajib diamalkan dan  dijadikan sebagai sumber hukum islam kedua setelah Al Qur’an.
2.      Kehujjahan Hadis Hasan dalam Hukum Islam
Meskipun derajat keabsahannya dibawah hadis shahih, namun hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau sebagai pedoman dalam beramal. Para ulama hadis, ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.
3.      Kehujjahan Hadis Dhaif dalam Hukum Islam
Berbeda dengan hadis shahih dan hasan, hadis dhaif yang tingkat derajat keabsahannya diragukan demikian pula tingkat kehujjahannya atau sebagai dalil hukum juga lemah. Oleh karena mengutip pendapat dari  Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa hadis dhaif dapat digunakan sebagai dalil hukum atau sumber dengan beberapa syarat :
a)      Tigkat kedhaifannya tidak parah
Menurut para ulama, masih ada di antara hadis dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadis yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadailul a’mal (keutamaan amal).
b)      Berada di bawah nash lain yang shahih.
Maksudnya hadis yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal,  harus ada hadis lain yang mendukung tersebut dan hadis lainnya itu harus shahih. Tidak boleh hadis tersebut
c)      Ketika mengamalkan tidak boleh meyakini ke-tsabit-annya.
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadis dhaif itu, kita tidak boleh meyakini sepenuhnya bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Namun hanya menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah saw.




BAB III
SIMPULAN


Berpijak dari pemaran dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan :
1.    Yang dimaksud dengan kehujahan Hadis (hujjiyah hadis) adalah keadaan Hadis yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya.
2.    Yang dimaksud dengan hadis shahih adalah hadis yang dalam periwayatannya dilakukan oleh perawi yang adil, dhabit, sanadnya sambung serta terhindar dari illat dan cacat.
3.    Yang dimaksud dengan hadis hasan adalah hadis yang dalam periwayatannya dilakukan oleh perawi yang adil, dhabit dasar (kurang kuat hafalannya), sanadnya sambung serta terhindar dari illat dan cacat.
4.    yang dimaksud dengan hadis dhaif adalah hadis yang lemah dari sisi periwayatan dan tidak memenuhi kriteria sebagai yang persyaratkan dalam hadis shahih dan hasan.
5.    Hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan, baik rawinya seorang diri, atau ada rawi lain yang meriwayatkan bersamanya, atau masyhur dengan diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau sebagai pedoman dalam beramal. Berbeda dengan hadis shahih dan hasan, hadis dhaif yang tingkat derajat keabsahannya diragukan demikian pula tingkat kehujjahannya atau sebagai dalil hukum juga lemah.





DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Ahzam,Jakarta,2008).
Mahmud Thohan, ulumul hadis studi kompleksitas hadis nabi, (Titian Ilahi Pres, Yogyakarta, 1997)
.
Fadlil Said,alih bahasa dari Kowaidul Asasiyah Fi Ilmi Mustholahul Hadis, (Al-Hidayah,Surabaya, 2007)
.
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Rasail, Semarang, 2007).
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejarah dan pengantar ilmu hadis, (pt. pustaska Rizki Putra,
Semarang, 1999)
Ahmad Sutarmaji, Al Imam Al Tirmidzi, Peranannya dalam Hadis dan Fiqih,(Jakarta, 1998,hlm.
Hadis-Ilmu Hadis. Departemen Agama RI. Jakarta.
http://www.eramuslim.com
Muhammad Ajaz al-Khatib, Ushul al-Hadis,
T.M.Hasbhi al_Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.
M.Noor.Sulaiman P, Antologi Ilmu Hadis
Ushulul Hadis, pokok-pokok ilmu hadis Ajaj Al Khatib, Gaya Media Pratama, Jakarta 1997


[1] Departemen Agama RI, (Jakarta) 2000
[2] Ahmad Sutarmaji, Al Imam Al Tirmidzi, Peranannya dalam Hadits dan Fiqih,(Jakarta, 1998,hlm. 93.
[3] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis, Remaja Rosda Karya (Bandung) 2012, hlm. 240
[4]  Ushulul Hadis, pokok-pokok ilmu hadis Ajaj Al Khatib, (Gaya Media Pratama, Jakarta 1997), hlm 276.
[5] Ahmad Sutarmaji, Al Imam Al Tirmidzi, Peranannya dalam Hadits dan Fiqih,(Jakarta, 1998), hlm. 94
[6] Ahmad Sutarmaji, Al Imam Al Tirmidzi, Peranannya dalam Hadits dan Fiqih,(Jakarta, 1998,hlm. 94.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar