Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Kamis, 17 November 2016

MAKALAH STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI PONPES



IMPLEMENTASI STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
PADA PONDOK PESANTREN


A.    Pendahuluan
Pada era globalisasi, pondok pesantren dihadapkan pada beberapa perubahan sosial budaya yang tidak terelakkan, pondok pesantren tidak dapat melepaskan diri dari perubahan-perubahan. Kemajuan teknologi informasi dapat menembus benteng budaya pondok pesantren. Dinamika sosial ekonomi telah mengharuskan pondok pesantren untuk tampil dalam persaingan dunia pasar bebas (free market), belum lagi sejumlah perkembangan lain yang terbungkus dalam dinamika masyarakat yang juga berujung pada pertanyaan tentang resistensi (ketahanan), responsibilitas (tanggung jawab), kapabilitas (kemampuan), dan kecanggihan pondok pesantren dalam tuntutan perubahan besar. Apakah pesantren mampu menghadapi konsekuensi logis dari perubahan-perubahan tersebut?. Usaha mencari alternatif jawaban itu relatif akan ditemukan bila diketahui dan dipahami secara persis antropologi internal dan eksternal pondok pesantren. Upaya ini meniscayakan penelanjangan yang jujur dan rela melepaskan diri dari segala asumsi negatif dan sikap apriori terhadap pondok pesantren (Suwendi, 2004:118).
Pesantren, dengan teologi yang dianutnya hingga kini, ditantang untuk menyikapi globalisasi secara kritis dan bijak. Pesantren harus mampu mencari solusi yang benar-benar mencerahkan, sehingga pada pada suatu sisi, dapat menumbuh kembangkan kaum santri untuk memiliki wawasan yang luas, yang tidak gamang menghadapi modernitas, dan sekaligus tidak kehilangan identitas dan jati dirinya, dan pada sisi lain, dapat mengantarkan masyarakatnya menjadi komunitas yang menyadari tentang persoalan yang dihadapi dan mampu mengatasi dengan penuh kemandirian dan peradaban (Abdul A’la, 2006: 9).
Seiring dengan kebutuhan yang demikian cepat berkembang dan beragam serta kompleksitasnya masalah yang dihadapi, maka diperlukan adanya profesionalitas dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja lembaga dakwah. Lembaga pesantren perlu berbenah diri untuk dapat berhasil memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat modern tersebut. Pesantren sebagai lembaga dakwah sekaligus sabagai lembaga pendidikan yang mencetak generasi penerus Islam yang handal dan profesional sesuai dengan perkembangan jaman, dituntut untuk mampu menawarkan pemahaman Islam yang modern dan universal. Di samping modernisasi ide, modernisasi kelembagaan organisasi juga harus dilakukan dengan penerapan proses manajemen yang benar.
Tantangan terbesar bagi keberhasilan sebuah lembaga dakwah seperti pesantren dalam mencapai tujuan adalah berubahnya jaman yang menuntut profesionalisme dalam pengelolaan lembaga, kualitas sumber daya pengelola, kemampuan pengelola dalam menyikapi kemajuan teknologi, serta meluluskan alumni yang berkualitas. Untuk bisa memenuhi hal tersebut suatu lembaga dakwah seperti pesantren dapat menerapkan dan mengaplikasikan konsep manajemen strategi dalam usaha mencapai tujuannya.
Dengan perencanaan strategi dapat membantu lembaga dakwah seperti pesantren untuk menangani kondisi yang berubah, membantu untuk merumuskan dan menyelesaikan isu-isu penting yang dihadapi. Dengan perencanaan stategi dapat membantu membangun kekuatan dan menarik manfaat dari peluang-peluang penting, sementara di lain pihak dapat juga mengurangi apa yang merupakan kelemahannya atau menghindari ancaman serius. Bahkan perencanaan strategi mampu membuat lebih efektif dalam kondisi lingkungan yang penuh ancaman.
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah:
1.      Apa pengertian manajemen strategic itu?
2.      Bagaimana system pendidikan pesantren?
3.      Apa saja yang mempengaruhi pengembangan Pondok Pesantren?
4.      Bagaimanakah strategi pengembangan yang tepat untuk diterapkan pondok pesantren?

B.     Pengertian Manajemen Strategi
Strategi berasal dari bahasa Yunani stratogos yang artinya ilmu para jenderal untuk memenangkan suatu pertempuran dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (Sihombing, 2000). Pengertian atau definisi Manajemen strategi dalam khasanah literatur ilmu manajemen memiliki cakupan yang luas, dan tidak ada suatu pengertian  yang dianggap baku. Itulah sebabnya defenisi manajemen strategi berkembang luas tergantung pemahaman ataupun penafsiran seseorang.
Barney (2007:27) menyatakan bahwa Manajemen strategis (strategic management) dapat dipahami sebagai proses pemilihan dan penerapan strategi-strategi. Sedangkan strategi adalah pola alokasi sumber daya yang memungkinkan organisasi-organisasi dapat mempertahankan kinerjanya.
Grant (2008:10) berpendapat Strategi juga dapat diartikan sebagai keseluruhan rencana mengenai penggunaan sumber daya-sumber daya untuk menciptakan suatu posisi menguntungkan. Dengan kata lain, manajamen strategis terlibat dengan pengembangan dan implementasi strategi-strategi dalam kerangka pengembangan keunggulan bersaing.
Menurut Michael A. Hitt & R. Duane Ireland & Robert E. Hoslisson (2006; XV) Manajemen strategis adalah proses untuk membantu organisasi dalam mengidentifikasi apa yang ingin mereka capai, dan bagaimana seharusnya mereka mencapai hasil yang bernilai. Besarnya peranan manajemen strategis semakin banyak diakui pada masa-masa ini dibanding masa-masa sebelumnya. Dalam perekonomian global yang memungkinkan pergerakan barang dan jasa secara bebas diantara berbagai negara, perusahaan-perusahaan terus ditantang untuk semakin kompetitif. Banyak dari perusahaan yang telah meningkatkan tingkat kompetisinya ini menawarkan produk kepada konsumen dengan nilai yang lebih tinggi, dan hal ini sering menghasilkan laba diatas rata-rata
David (2005:5) mendefinisikan manajemen strategic sebagai Seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan and mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai obyektifnya. Sementara Hunger dan Wheelen (2006:4) berpendapat bahwa manajemen strategic adalah Serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang.
Dengan demikian dari definisi di atas dapat diketahui fokus manajemen strategis terletak dalam memadukan manajemen, pemasaran, keuangan/akunting, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan, serta system informasi komputer untuk mencapai keberhasilan organisasi.
Dari definisi tersebut terdapat dua hal penting yang dapat disimpulkan, yaitu:
  1. Manajemen Strategik terdiri atas tiga proses:
Pembuatan Strategi, yang meliputi pengembnagan misi dan tujuan jangka panjang, mengidentifiksikan peluang dan ancaman dari luar serta kekuatan dan kelemahan organisasi, pengembangan alternatif-alternatif strategi dan penentuan strategi yang sesuai untuk diadopsi.
Penerapan strategi meliputi penentuan sasaran-sasaran operasional tahunan, kebijakan organisasi, memotovasi anggota dan mengalokasikan sumber-sumber daya agar strategi yang telah ditetapkan dapat diimplementasikan.
Evaluasi/Kontrol strategi, mencakup usaha-usaha untuk memonitor seluruh hasil-hasil dari pembuatan dan penerapan strategi, termasuk mengukur kinerja individu dan organisasi serta mengambil langkah-langkah perbaikan jika diperlukan.
  1. Manajemen Strategik memfokuskan pada penyatuan/ penggabungan aspek-aspek pemasaran, riset dan pengembangan, keuangan/ akuntansi, operasional/ produksi dari sebuah organisasi.
Strategik selalu “memberikan sebuah keuntungan”, sehingga apabila proses manajemen yang dilakukan oleh organisasi gagal menciptakan keuntungan bagi organisasi tersebut maka dapat dikatakan proses manajemen tersebut bukan manajemen strategik.
Strategi menjadi suatu kerangka yang fundamental tempat suatu organisasi mampu menyatakan kontinuitasnya yang vital, sementara pada saat yang bersamaan ia akan memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah. Dengan menggunakan manajemen strategik sebagai suatu kerangka kerja untuk menyelesaikan setiap masalah strategis didalam perusahaan, terutama yang berkaitan dengan persaingan, maka para menajer diajak untuk berpikir lebih kreatif atau berpikir secara strategik. Merancang Strategic Architecture dan Operasi dalam Dunia Pendidikan penting dilakukan setelah analisis lingkungan, lembaga pendidikan diharapkan mampu memperoleh gambaran yang cukup utuh mengenai kondisi eksternal dan kondisi internalnya.
Bila dikaitkan dengan analisis SWOT, maka sebuah organisasi atau lembaga pendidikan harus mengetahui terlebih dahulu dimana posisinya. Sebuah organisasi atau lembaga pendidikan dalam hal ini lembaga pendidikan pesantren harus mengetahui kelemahan dan kekuatannya disamping juga harus mengetahui secara persis tantangan dan peluangnya. Dengan demikian faktor-faktor yang merupakan kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman sudah mampu terdefenisi dengan jelas. Berdasarkan hal ini, suatu institusi pendidikan kemudian dapat menentukan dan menetapkan arah yang ingin dituju dimasa depan.

C.    Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
1.                                          Sekilas tentang pesantren
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan sekaligus lembaga dakwah Islam yang ada di Indonesia, pesantren pada dasarnya dibangun atas keinginan bersama antara dua komunitas yang saling bertemu yaitu santri (masyarakat) yang ingin menimba ilmu sebagai bekal hidup dan kyai/guru yang secara ikhlas ingin mengajarkan ilmu dan pengalamannya. Seperti yang dikatakan oleh Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi dalam bukunya membuka jendela Pendidikan (2004:55), “Kyai dan santri adalah dua komunitas yang memiliki kesadaran yang sama untuk sacara bersama-sama membangun komunitas keagamaan yang disebut pesantren”.
Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke 16. Karya-karya jawa klasik seperti serat cabolek dan serat centini mengungkapkan bahwa sejak permulaan abad ke 16 di Indonesia telah banyak di jumpai lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, aqidah, tasawuf, dan menjadi pusat-pusat penyiaran Islam yaitu pesantren.
Pada masa penjajahan, pesantren mengalami tekanan yang amat berat, pesantren memang memberikan pengajaran tentang cinta tanah air dan menanamkan sikap patriotik pada para santrinya. Karena, walaupun pada dasarnya hanya merupakan lembaga pendidikan keagamaan, namun lembaga ini juga mengutamakan dalam pembinaan mental dan spiritual para santrinya. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran penjajah. Untuk menanggulangi hal yang demikian, pemerintah Hindia belanda kemudian menawarkan bentuk pendidikan yang modern dalam performa sekolah.
Sekolah-sekolah Hindia Belanda kemudian berkembang menyaingi keberadaan pesantren, sekolah-sekolah ini lebih bersifat pendidikan yang berorientai kepada kerja, dalam arti para lulusannya dapat memperoleh kerja melalui ijasah yang diberikan oleh sekolah tersebut. Untuk mengimbangai hal yang demikian, beberapa cendekiawan muslim Indonesia pada saat itu mencoba mendirikan sekolah-sekolah lebih berciri khas keIslaman yaitu madrasah. Mulailah pengajaran agama diperkenalkan melalui sistem sekolah modern. Akan tetapi sistem ini tidak serta merta diterima begitu saja. Sehingga mulai muncul dikotomi-dikotomi antara pesantren yang mengadopsi sistem sebagaimana pesantren didirikan pada awalnya atau lebih dikenal dengan istilah pesantren salaf dan kholaf atau modern.
Menurut Qomar (2007:6-7),tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanam rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupan. Ciri-ciri pesantren yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai salafiyah menurut Sulthon dan Khusnurridlo (2006:12-13) dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kyai, (2) Kepatuhan santri pada kyai, (3) Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren, hidup mewah hampir tidak ditemukan di sana, (4) Kemandirian amat terasa di kehidupan pesantren, (5) Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren. (6) Disiplin sangat dianjurkan, (7) Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia, (8) Pemberian ijazah.
2.                                          Karakteristik Pondok Pesantren
Karakteristik atau ciri-ciri umum pondok pesantren (Mujib; 235) adalah:
a)      Adanya kiai
b)      Adanya santri
c)      Adanya masjid
d)     Adanya pondok atau asrama
Sedangkan ciri-ciri khusus pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi arab,hukum islam, tafsir Hadis, tafsir Al-Qur’an dan lain-lain.
Dalam penjelasan lain juga dijelaskan tentang ciri-ciri pesantren dan juga pendidikan yang ada didalamnya, maka ciri-cirinya adalah:
a)      Adanya hubungan akrab antar santri dengan kiainya.
b)      Adanya kepatuhan santri kepada kiai.
c)      Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren.
d)     Kemandirian sangat terasa dipesantren.
e)      Jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren.
f)       Disiplin sangat dianjurkan.
g)      Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebagai akibat kebiasaan puasa sunat, zikir, dan i’tikaf, shalat tahajud dan lain-lain.
h)      Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi. (Sulton: 93-94)
Ciri-ciri diatas menggambarkan pendidikan pesantren dalam bentuknya yang masih murni (tradisional). Adapun penampilan pendidikan pesantren sekarang yang lebih beragam merupakan akibat dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus, sehingga lembaga tersebut melakukan berbagai adopsi dan adaptasi sedemikian rupa. Tetapi pada masa sekarang ini, pondok pesantren kini mulai menampakan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang mumpuni, yaitu didalamnya didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal.
Dengan adanya tranformasi, baik kultur, sistem dan nilai yang ada di pondok pesantren, maka kini pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya;
·         Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau sorogan menjadi system klasikal yang kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah).
·         Pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab.
·         Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat, kesenian yang islami.
·         Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri. (Mujib; 237-238)

3.                                          Tipologi Pondok Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk, hingga substansi telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang, akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut Yacub ada beberapa pembagian tipologi pondok pesantren (Khosin: 101) yaitu :
a)      Pesantren Salafi yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajaran dengan kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf yaitu dengan metode sorogan dan weton.
b)      Pesantren Khalafi yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi) memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan keterampilan.
c)      Pesantren Kilat yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik beratkan pada keterampilan ibadah dan kepemimpinan. Sedangkan santri terdiri dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.
d)     Pesantren terintegrasi yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja dengan program yang terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.
Sedangkan menurut Mas’ud dkk (2002: 149-150) ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
a)      Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di daerah Sarang Kabupaten Rembang Jawa tengah dan lain-lain.
b)      Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
c)      Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Contohnya adalah Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur.
d)     Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya.
4.                                          Sistem Pendidikan dalam Pondok Pesantren
Sistem yang ditampilkan dalam pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam lembaga pendidikan pada umumnya, yaitu:
·         Memakai sistem tradisional, yang memiliki kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern, sehingga terjadi hubungan 2 arah antara kiai dan santri.
·         Kehidupan dipesantren menampakkan semangat demokrasi, karena mereka praktis bekerjasama mengatasi problem non kurikuler mereka sendiri.
·         Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar dan ijazah, karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanyaijazah tersebut. Hal itu karena tujuan utama mereka hanya ingin mencari keridhoan Allah SWT semata.
·         Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
·         Alumni pondok pesantren tak ingin menduduki jabatan pemeritahan, sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah. (Amien, 1989: 162)
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren adalah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan merupakan metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Metode sorogan sedikit berbeda dari metode weronan dimana santri menghadap guru satu-persatu dengan membawa kitab yang dipelajari sendiri. Kiai membacakan dan menerjemahkan kalimat demi kalimat, kemudian menerangkan maksudnya, atau kiai cukup menunjukan cara membaca yang benar, tergantung materi yang diajukan dan kemampuan ssantri.
Adapun metode hafalan berlangsung dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Materi hafalan biasanya dalam bentuk syair atau nazham. Sebagai pelengkap metode hafalan sangat efektif untuk memelihara daya ingat (memorizing) santri terhadap materi yang dipelajarinya, karena dapat dilakukan baik didalan maupun diluar kelas. (Sulthon: 89)
Sedangkan jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri didasarkan isi mata pelajaran tertentu yang ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus ujian (imtihan) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah kekitab lain yang lebih tinggi tingkatannya. Jelasnya, penjenjangan pendidikan pesantren tidak berdasarkan usia, tetapi berdasarkan penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari paling rendah sampai paling tinggi.
Tetapi seiring dengan perkembangan zaman kini pondok pesantren banyak yang menggunakan sistem klasikal, dimana ilmu yang dipelajari tidak hanya agama saja, melainkan ilmu umum juga dipelajari.

D.    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Pesantren
Sedikitnya ada 2 faktor yang mempengaruhi perkembangan pendidikan di pondok pesantren. Factor itu adalah factor ekternal dan factor internal. Faktor eksternal dalam hal ini dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Peluang atau kesempatan diantaranya; adanya kepercayaan masyarakat kepada pesantren dan adanya perhatian dari pihak pemerintah dan swasta.
2.      Ancaman diantaranya; adanya anggapan masyarakat bahwa pesantren dengan lembaga pendidikan yang diselenggarakannya merupakan the second choice dan pesantren merupakan kawasan kumuh.
Faktor internal dalam hal ini dibagi menjadi 2, yaitu:
  1. Kekuatan antara lain; pesantren telah mengakar di masyarakat dan predikat “The High Moral” yang dimiliki oleh pesantren, serta kyai sebagai figur teladan.
  2. Kelemahan antara lain; penerapan manajemen yang kurang profesional, Sumber Daya Insani yang rendah dan pengelolaan Sumber Daya Alam pesantren yang kurang optimal, serta sikap inklusif pengelola pesantren.

E.     Strategi pengembangan yang tepat untuk diterapkan pesantren
1.                                          Strategi pengembangan lembaga pendidikan Islam ada 2, yaitu:
a.       Konsisten, dengan peluang dan kekuatan yang dimiliki oleh pesantren berupa kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga pendidikan berbasis pendidikan moral, sekaligus adanya kyai sebagai tokoh sentral pesantren dengan charisma serta kelebihan lain yang dimiliki mampu menjadi daya tarik masyarakat untuk mendaftarkan putra-putrinya belajar di pesantren, maka sudah seharusnya pesantren berupaya sedemikian rupa mewujudkan asumsi masyarakat, bahwa pesantren layak menyandang predikat The High Moral. Adapun caranya dengan mempertahankan sistem pendidikan yang telah diselenggarakannya selama ini yakni pendidikan berbasis keagamaan melalui madrasah diniyah yang disebut sebagai ruhnya pesantren. Hal inilah yang selaras dengan konsep almuhafadhotu ‘alaa al-qodiimi as-shoolih (mempertahankan sitem lama yang baik).
b.      Adaptif, untuk bersaing dengan lembaga pendidikan non pesantren baik yang dibina oleh pemerintah maupun swasta, maka pesantren melalui lembaga pendidikan Islam yang dikelolanya harus mau membuka diri dengan cara transformasi pendidikan, misalnya dengan sistem pendidikan yang berbasis IT yang memungkinkan lembaga pendidikan Islam tersebut mampu menerapkan variasi metode pembelajaran dengan media visual maupun audio visual dan pada akhirnya bisa menciptakan suasanan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM). Kondisi inilah yang sebenarnya selaras dengan konsep wa al-akhdu bi aljadiid al-ashlah (mengambil sistem baru yang lebih baik).
2.                                          Strategi pembaruan manajemen pesantren
Selama ini pesantren sangat kental dengan manajemen tradisionalnya. Hal ini tampak pada struktur kepemimpinan pesantren serta personalia pengelolanya yang cenderung atas restu dari kyai sepuh yang menjadi pengasuh utama pesantren. Keadaan ini membawa dampak diantaranya: pengambilan keputusan/kebijakan, penentuan ustadz/ustadzahnya, termasuk kinerjanya hanya berorientasi pada pengabdian, sehingga berakibat pada peningkatan kinerja yang rendah. Oleh karena itu untuk memperbarui manajemen pesantren harus ada wacana baru yang berupa penerapan manajemen profesional, diantaranya rekuitment pegawai harus melalui tes kemampuan, kepemilikin latar belakang pendidikan yang mendukung dengan ketrampilannya selain tingkat kepatuhan kepada kyai (mengikuti aturan pesantren). Dengan demikian akan terbangun kualitas pelayanan pendidikan yang baik sehingga bisa meningkatkan mutu lembaga pendidikan Islam di pesantren.
3.                                          Strategi peningkatan sumber daya pesantren ada 2, yaitu:
a.       Peningkatan Sumber Daya Insani, diantaranya dengan memberikan pembinaan mendatangkan tim ahli sesuai dengan bidang yang dibutuhkan, mengadakan pelatihan yang mendukung pada peningkatan kreatifitas sumber daya insane bahkan bisa dengan memberikan rekomendasi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan melalui kerjasama dengan pihak pemerintah maupun swasta.
b.      Peningkatan Sumber Daya Alam, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mandiri sudah seharusnya mampu mengoptimalkan aset yang dimilikinya agar bisa dimanfaatkan sepenuhnya untuk meningkatan eksistensinya. Diantara cara yang bisa ditempuh adalah mengembangkan Koperasi Pesantren melalui berbagai unit usahanya (berupa jasa pelayanan, baik untuk santri maupun masyarakat) dalam rangka memenuhi operasional penyelenggaran pendidikan pesantren. Adapun pengelolaan Koperasi Pesantren tersebut harus dengan manajemen profesional dan berbadan hukum secara resmi agar perkembangannya tidak mendapat hambatan, baik hambatan yang datang dari pemerintah maupun swasta.

F.     Simpulan
Dari pemaparan tersebut, maka dapat diambil benag merah yang dapat dijadikan sebagai kesimpulan, yaitu:
1.      Manajemen strategic adalah Serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Bila dikaitkan dengan analisis SWOT, maka sebuah organisasi atau lembaga pendidikan harus mengetahui terlebih dahulu dimana posisinya. Sebuah organisasi atau lembaga pendidikan dalam hal ini lembaga pendidikan pesantren harus mengetahui kelemahan dan kekuatannya disamping juga harus mengetahui secara persis tantangan dan peluangnya
2.      Sistem yang ditampilkan dalam pondok pesantren Memakai sistem tradisional. Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren adalah wetonan, sorogan, dan hafalan.
3.      ada 2 faktor yang mempengaruhi perkembangan pendidikan di pondok pesantren factor ekternal dan factor internal. Faktor eksternal dalam hal ini dibagi menjadi 2, yaitu peluang dan ancaman. Peluang atau kesempatan diantaranya; adanya kepercayaan masyarakat kepada pesantren dan adanya perhatian dari pihak pemerintah dan swasta. Ancaman diantaranya; adanya anggapan masyarakat bahwa pesantren dengan lembaga pendidikan yang diselenggarakannya merupakan the second choice dan pesantren merupakan kawasan kumuh
4.      Strategi pengembangan lembaga pendidikan Islam ada 2, yaitu: Konsisten dan Adaptif


Referensi


A’la, Abdul. 2006. Pembaharuan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren (‘eLKIS)
Amien Rais M.Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan. 1989.
David, Fred R. (1997). Strategic Management. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Higgins, James, M. dan Vincze, Julian, W. (1993). Strategic Management text and cases. USA: The Dryden Press
Khosin.Tipologi Pondok Pesantren. Jakarta: diva Pustaka. 2006.
Mas’ud, dkk. Tipologi Pondok Pesantren. Jakarta: Putra Kencana. 2002.
Masyhud, Sulthon dan Khusnurdilo. ManajemenPondokPesantren. Jakarta: Diva
Masyhud,Sulthon &Ridlo. 2005. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.
Mujib,Abdul.Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2006.
Pierce, J.A. dan Robinson, R.B. (2000).Strategic management, Formulation Implementation and Control. Malaysia: McGraw Hill.
Porter, M.E. (1985). Competitive Adventage, Creating and Sustaining Superior Performance. New York : The free pross.
Pustaka. 2003.
Qomar, Mujamil. 2007. Manajemen Pendidikan Islam- strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan. Penerbit: Erlangga
Sihombing, Umberto. 2000. Manajemen Strategi, Jakarta: Mahkota.
Suwendi, RA. 2004. Sejarah&Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gravindo Persada
Syam, Nur. 2005. Penguatan Kelembagaan Ekonomi Bebasis Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Tholkhah, Imam dan Barizi, Ahmad. 2004. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Wheelen, Thomas, J. dan Hunger, J. David. (2000). Strategic Management. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Wright, P., Kroll, Mark, J. dan Parnel, J. (1998). Strategic Management Concepts. USA: Prentice Hall, Inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar