IMPLEMENTASI STRATEGI
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
PADA PONDOK PESANTREN
A. Pendahuluan
Pada era globalisasi, pondok pesantren dihadapkan
pada beberapa perubahan sosial budaya yang tidak terelakkan, pondok pesantren tidak
dapat melepaskan diri dari perubahan-perubahan. Kemajuan teknologi informasi
dapat menembus benteng budaya pondok pesantren. Dinamika sosial ekonomi telah
mengharuskan pondok pesantren untuk tampil dalam persaingan dunia pasar bebas (free
market), belum lagi sejumlah perkembangan lain yang terbungkus dalam
dinamika masyarakat yang juga berujung pada pertanyaan tentang resistensi
(ketahanan), responsibilitas (tanggung jawab), kapabilitas (kemampuan), dan
kecanggihan pondok pesantren dalam tuntutan perubahan besar. Apakah pesantren
mampu menghadapi konsekuensi logis dari perubahan-perubahan tersebut?. Usaha
mencari alternatif jawaban itu relatif akan ditemukan bila diketahui dan
dipahami secara persis antropologi internal dan eksternal pondok pesantren.
Upaya ini meniscayakan penelanjangan yang jujur dan rela melepaskan diri dari
segala asumsi negatif dan sikap apriori terhadap pondok pesantren (Suwendi,
2004:118).
Pesantren, dengan teologi yang dianutnya hingga
kini, ditantang untuk menyikapi globalisasi secara kritis dan bijak. Pesantren harus
mampu mencari solusi yang benar-benar mencerahkan, sehingga pada pada suatu
sisi, dapat menumbuh kembangkan kaum santri untuk memiliki wawasan yang luas,
yang tidak gamang menghadapi modernitas, dan sekaligus tidak kehilangan
identitas dan jati dirinya, dan pada sisi lain, dapat mengantarkan
masyarakatnya menjadi komunitas yang menyadari tentang persoalan yang dihadapi dan
mampu mengatasi dengan penuh kemandirian dan peradaban (Abdul A’la, 2006: 9).
Seiring dengan kebutuhan yang demikian cepat
berkembang dan beragam serta kompleksitasnya masalah yang dihadapi, maka diperlukan
adanya profesionalitas dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja lembaga
dakwah. Lembaga pesantren perlu berbenah diri untuk dapat berhasil memenuhi
kebutuhan dan tuntutan masyarakat modern tersebut. Pesantren sebagai lembaga
dakwah sekaligus sabagai lembaga pendidikan yang mencetak generasi penerus
Islam yang handal dan profesional sesuai dengan perkembangan jaman, dituntut
untuk mampu menawarkan pemahaman Islam yang modern dan universal. Di samping
modernisasi ide, modernisasi kelembagaan organisasi juga harus dilakukan dengan
penerapan proses manajemen yang benar.
Tantangan terbesar bagi keberhasilan sebuah lembaga
dakwah seperti pesantren dalam mencapai tujuan adalah berubahnya jaman yang
menuntut profesionalisme dalam pengelolaan lembaga, kualitas sumber daya
pengelola, kemampuan pengelola dalam menyikapi kemajuan teknologi, serta
meluluskan alumni yang berkualitas. Untuk bisa memenuhi hal tersebut suatu
lembaga dakwah seperti pesantren dapat menerapkan dan mengaplikasikan konsep
manajemen strategi dalam usaha mencapai tujuannya.
Dengan perencanaan strategi dapat membantu lembaga dakwah
seperti pesantren untuk menangani kondisi yang berubah, membantu untuk
merumuskan dan menyelesaikan isu-isu penting yang dihadapi. Dengan perencanaan
stategi dapat membantu membangun kekuatan dan menarik manfaat dari
peluang-peluang penting, sementara di lain pihak dapat juga mengurangi apa yang
merupakan kelemahannya atau menghindari ancaman serius. Bahkan perencanaan
strategi mampu membuat lebih efektif dalam kondisi lingkungan yang penuh
ancaman.
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan
masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah:
1.
Apa pengertian manajemen strategic itu?
2.
Bagaimana system pendidikan pesantren?
3.
Apa saja yang mempengaruhi pengembangan
Pondok Pesantren?
4.
Bagaimanakah strategi pengembangan yang
tepat untuk diterapkan pondok pesantren?
B. Pengertian
Manajemen Strategi
Strategi berasal dari bahasa Yunani stratogos
yang artinya ilmu para jenderal untuk memenangkan suatu pertempuran dengan
menggunakan sumber daya yang terbatas (Sihombing, 2000). Pengertian atau
definisi Manajemen strategi dalam khasanah literatur ilmu manajemen memiliki
cakupan yang luas, dan tidak ada suatu pengertian yang dianggap baku. Itulah sebabnya defenisi
manajemen strategi berkembang luas tergantung pemahaman ataupun penafsiran seseorang.
Barney (2007:27) menyatakan bahwa Manajemen
strategis (strategic management) dapat dipahami sebagai proses pemilihan
dan penerapan strategi-strategi. Sedangkan strategi adalah pola alokasi sumber
daya yang memungkinkan organisasi-organisasi dapat mempertahankan kinerjanya.
Grant (2008:10) berpendapat Strategi juga dapat
diartikan sebagai keseluruhan rencana mengenai penggunaan sumber daya-sumber
daya untuk menciptakan suatu posisi menguntungkan. Dengan kata lain, manajamen
strategis terlibat dengan pengembangan dan implementasi strategi-strategi dalam
kerangka pengembangan keunggulan bersaing.
Menurut Michael A. Hitt & R. Duane Ireland &
Robert E. Hoslisson (2006; XV) Manajemen strategis adalah proses untuk membantu
organisasi dalam mengidentifikasi apa yang ingin mereka capai, dan bagaimana
seharusnya mereka mencapai hasil yang bernilai. Besarnya peranan manajemen strategis
semakin banyak diakui pada masa-masa ini dibanding masa-masa sebelumnya. Dalam
perekonomian global yang memungkinkan pergerakan barang dan jasa secara bebas
diantara berbagai negara, perusahaan-perusahaan terus ditantang untuk semakin
kompetitif. Banyak dari perusahaan yang telah meningkatkan tingkat kompetisinya
ini menawarkan produk kepada konsumen dengan nilai yang lebih tinggi, dan hal
ini sering menghasilkan laba diatas rata-rata
David (2005:5) mendefinisikan manajemen strategic
sebagai Seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan and
mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai
obyektifnya. Sementara Hunger dan Wheelen (2006:4) berpendapat bahwa manajemen
strategic adalah Serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan
kinerja perusahaan dalam jangka panjang.
Dengan demikian dari definisi di atas dapat
diketahui fokus manajemen strategis terletak dalam memadukan manajemen,
pemasaran, keuangan/akunting, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan,
serta system informasi komputer untuk mencapai keberhasilan organisasi.
Dari definisi tersebut terdapat dua hal penting yang
dapat disimpulkan, yaitu:
- Manajemen Strategik terdiri atas tiga proses:
Pembuatan Strategi, yang meliputi pengembnagan misi
dan tujuan jangka panjang, mengidentifiksikan peluang dan ancaman dari luar
serta kekuatan dan kelemahan organisasi, pengembangan alternatif-alternatif
strategi dan penentuan strategi yang sesuai untuk diadopsi.
Penerapan strategi meliputi penentuan
sasaran-sasaran operasional tahunan, kebijakan organisasi, memotovasi anggota
dan mengalokasikan sumber-sumber daya agar strategi yang telah ditetapkan dapat
diimplementasikan.
Evaluasi/Kontrol strategi, mencakup usaha-usaha
untuk memonitor seluruh hasil-hasil dari pembuatan dan penerapan strategi,
termasuk mengukur kinerja individu dan organisasi serta mengambil
langkah-langkah perbaikan jika diperlukan.
- Manajemen Strategik memfokuskan pada penyatuan/ penggabungan aspek-aspek pemasaran, riset dan pengembangan, keuangan/ akuntansi, operasional/ produksi dari sebuah organisasi.
Strategik selalu “memberikan sebuah keuntungan”,
sehingga apabila proses manajemen yang dilakukan oleh organisasi gagal
menciptakan keuntungan bagi organisasi tersebut maka dapat dikatakan proses
manajemen tersebut bukan manajemen strategik.
Strategi menjadi suatu kerangka yang fundamental
tempat suatu organisasi mampu menyatakan kontinuitasnya yang vital, sementara
pada saat yang bersamaan ia akan memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri
terhadap lingkungan yang selalu berubah. Dengan menggunakan manajemen strategik
sebagai suatu kerangka kerja untuk menyelesaikan setiap masalah strategis
didalam perusahaan, terutama yang berkaitan dengan persaingan, maka para menajer
diajak untuk berpikir lebih kreatif atau berpikir secara strategik. Merancang Strategic
Architecture dan Operasi dalam Dunia Pendidikan penting dilakukan setelah
analisis lingkungan, lembaga pendidikan diharapkan mampu memperoleh gambaran
yang cukup utuh mengenai kondisi eksternal dan kondisi internalnya.
Bila dikaitkan dengan analisis SWOT, maka sebuah
organisasi atau lembaga pendidikan harus mengetahui terlebih dahulu dimana
posisinya. Sebuah organisasi atau lembaga pendidikan dalam hal ini lembaga
pendidikan pesantren harus mengetahui kelemahan dan kekuatannya disamping juga
harus mengetahui secara persis tantangan dan peluangnya. Dengan demikian
faktor-faktor yang merupakan kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman sudah
mampu terdefenisi dengan jelas. Berdasarkan hal ini, suatu institusi pendidikan
kemudian dapat menentukan dan menetapkan arah yang ingin dituju dimasa depan.
C. Sistem
Pendidikan Pondok Pesantren
1.
Sekilas tentang pesantren
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan
sekaligus lembaga dakwah Islam yang ada di Indonesia, pesantren pada dasarnya dibangun
atas keinginan bersama antara dua komunitas yang saling bertemu yaitu santri
(masyarakat) yang ingin menimba ilmu sebagai bekal hidup dan kyai/guru yang
secara ikhlas ingin mengajarkan ilmu dan pengalamannya. Seperti yang dikatakan
oleh Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi dalam bukunya membuka jendela Pendidikan
(2004:55), “Kyai dan santri adalah dua komunitas yang memiliki kesadaran yang
sama untuk sacara bersama-sama membangun komunitas keagamaan yang disebut
pesantren”.
Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan
perkembangannya setelah abad ke 16. Karya-karya jawa klasik seperti serat
cabolek dan serat centini mengungkapkan bahwa sejak permulaan abad ke 16 di
Indonesia telah banyak di jumpai lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai
kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, aqidah, tasawuf, dan menjadi pusat-pusat
penyiaran Islam yaitu pesantren.
Pada masa penjajahan, pesantren mengalami tekanan
yang amat berat, pesantren memang memberikan pengajaran tentang cinta tanah air
dan menanamkan sikap patriotik pada para santrinya. Karena, walaupun pada
dasarnya hanya merupakan lembaga pendidikan keagamaan, namun lembaga ini juga
mengutamakan dalam pembinaan mental dan spiritual para santrinya. Hal inilah yang
menjadi kekhawatiran penjajah. Untuk menanggulangi hal yang demikian,
pemerintah Hindia belanda kemudian menawarkan bentuk pendidikan yang modern
dalam performa sekolah.
Sekolah-sekolah Hindia Belanda kemudian berkembang
menyaingi keberadaan pesantren, sekolah-sekolah ini lebih
bersifat pendidikan yang berorientai kepada kerja, dalam arti para lulusannya
dapat memperoleh kerja melalui ijasah yang diberikan oleh sekolah tersebut. Untuk
mengimbangai hal yang demikian, beberapa cendekiawan muslim Indonesia pada saat
itu mencoba mendirikan sekolah-sekolah lebih berciri khas keIslaman yaitu
madrasah. Mulailah pengajaran agama diperkenalkan melalui sistem sekolah modern.
Akan tetapi sistem ini tidak serta merta diterima begitu saja. Sehingga mulai
muncul dikotomi-dikotomi antara pesantren yang mengadopsi sistem sebagaimana
pesantren didirikan pada awalnya atau lebih dikenal dengan istilah pesantren
salaf dan kholaf atau modern.
Menurut Qomar (2007:6-7),tujuan umum pesantren
adalah membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran
agama Islam dan menanam rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupan. Ciri-ciri
pesantren yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai salafiyah menurut Sulthon
dan Khusnurridlo (2006:12-13) dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) Adanya
hubungan yang akrab antara santri dan kyai, (2) Kepatuhan santri pada kyai, (3)
Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren,
hidup mewah hampir tidak ditemukan di sana, (4) Kemandirian amat terasa di
kehidupan pesantren, (5) Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (Ukhuwah
Islamiyah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren. (6) Disiplin sangat
dianjurkan, (7) Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia, (8) Pemberian ijazah.
2.
Karakteristik Pondok Pesantren
Karakteristik atau ciri-ciri umum pondok pesantren
(Mujib; 235) adalah:
a) Adanya
kiai
b) Adanya
santri
c) Adanya
masjid
d) Adanya
pondok atau asrama
Sedangkan ciri-ciri khusus pondok pesantren adalah
isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu
sintaksis Arab, morfologi arab,hukum islam, tafsir Hadis, tafsir Al-Qur’an dan
lain-lain.
Dalam penjelasan lain juga dijelaskan tentang
ciri-ciri pesantren dan juga pendidikan yang ada didalamnya, maka ciri-cirinya
adalah:
a) Adanya
hubungan akrab antar santri dengan kiainya.
b) Adanya
kepatuhan santri kepada kiai.
c) Hidup
hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren.
d) Kemandirian
sangat terasa dipesantren.
e) Jiwa
tolong-menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di
pesantren.
f) Disiplin
sangat dianjurkan.
g) Keprihatinan
untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebagai akibat kebiasaan puasa sunat,
zikir, dan i’tikaf, shalat tahajud dan lain-lain.
h) Pemberian
ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai pengalihan pengetahuan
yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi. (Sulton: 93-94)
Ciri-ciri diatas menggambarkan pendidikan pesantren
dalam bentuknya yang masih murni (tradisional). Adapun penampilan pendidikan
pesantren sekarang yang lebih beragam merupakan akibat dinamika dan kemajuan
zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus, sehingga lembaga
tersebut melakukan berbagai adopsi dan adaptasi sedemikian rupa. Tetapi pada
masa sekarang ini, pondok pesantren kini mulai menampakan eksistensinya sebagai
lembaga pendidikan islam yang mumpuni, yaitu didalamnya didirikan sekolah, baik
formal maupun nonformal.
Dengan adanya tranformasi, baik kultur, sistem dan
nilai yang ada di pondok pesantren, maka kini pondok pesantren yang dikenal
dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern).
Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada
pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur
pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya;
·
Perubahan sistem pengajaran dari
perseorangan atau sorogan menjadi system klasikal yang kemudian kita kenal
dengan istilah madrasah (sekolah).
·
Pemberian pengetahuan umum disamping
masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab.
·
Bertambahnya komponen pendidikan pondok
pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
masyarakat, kesenian yang islami.
·
Lulusan pondok pesantren diberikan
syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian
syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri. (Mujib; 237-238)
3.
Tipologi Pondok Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat maka
pendidikan pesantren baik tempat, bentuk, hingga substansi telah jauh mengalami
perubahan. Pesantren tak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan
seseorang, akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut Yacub ada beberapa pembagian tipologi pondok
pesantren (Khosin: 101) yaitu :
a) Pesantren
Salafi yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajaran dengan kitab-kitab
klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannya pun
sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf yaitu dengan metode
sorogan dan weton.
b) Pesantren
Khalafi yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi)
memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan
keterampilan.
c) Pesantren
Kilat yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif
singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik
beratkan pada keterampilan ibadah dan kepemimpinan. Sedangkan santri terdiri
dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan
dipesantren kilat.
d) Pesantren
terintegrasi yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional
atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja dengan
program yang terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan
anak putus sekolah atau para pencari kerja.
Sedangkan menurut Mas’ud dkk (2002: 149-150) ada
beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
a) Pesantren
yang mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu
agama (tafaqquh fiddin) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan
dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab
berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren
Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di daerah Sarang Kabupaten
Rembang Jawa tengah dan lain-lain.
b) Pesantren
yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun dengan kurikulum yang
disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak mengikuti kurikulum yang ditetapkan
pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tak mendapatkan
pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
c) Pesantren
yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah (sekolah
umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di
bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi
yang tak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga
fakultas-fakultas umum. Contohnya adalah Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa
Timur.
d) Pesantren
yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri belajar
disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama
dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti
oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak
jumlahnya.
4.
Sistem Pendidikan dalam Pondok Pesantren
Sistem yang ditampilkan dalam pondok pesantren
mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam lembaga
pendidikan pada umumnya, yaitu:
·
Memakai sistem tradisional, yang
memiliki kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern, sehingga terjadi
hubungan 2 arah antara kiai dan santri.
·
Kehidupan dipesantren menampakkan
semangat demokrasi, karena mereka praktis bekerjasama mengatasi problem non
kurikuler mereka sendiri.
·
Para santri tidak mengidap penyakit
simbolis, yaitu perolehan gelar dan ijazah, karena sebagian besar pesantren
tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan hatinya masuk
pesantren tanpa adanyaijazah tersebut. Hal itu karena tujuan utama mereka hanya
ingin mencari keridhoan Allah SWT semata.
·
Sistem pondok pesantren mengutamakan
kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan
keberanian hidup.
·
Alumni pondok pesantren tak ingin
menduduki jabatan pemeritahan, sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh
pemerintah. (Amien, 1989: 162)
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan
pesantren adalah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan merupakan metode
kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai
yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat
jika perlu. Metode sorogan sedikit berbeda dari metode weronan dimana santri
menghadap guru satu-persatu dengan membawa kitab yang dipelajari sendiri. Kiai
membacakan dan menerjemahkan kalimat demi kalimat, kemudian menerangkan
maksudnya, atau kiai cukup menunjukan cara membaca yang benar, tergantung
materi yang diajukan dan kemampuan ssantri.
Adapun metode hafalan berlangsung dimana santri
menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Materi
hafalan biasanya dalam bentuk syair atau nazham. Sebagai pelengkap metode
hafalan sangat efektif untuk memelihara daya ingat (memorizing) santri terhadap
materi yang dipelajarinya, karena dapat dilakukan baik didalan maupun diluar
kelas. (Sulthon: 89)
Sedangkan jenjang pendidikan dalam pesantren tidak
dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal.
Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri didasarkan isi mata pelajaran tertentu
yang ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila
seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus
ujian (imtihan) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah kekitab lain yang
lebih tinggi tingkatannya. Jelasnya, penjenjangan pendidikan pesantren tidak
berdasarkan usia, tetapi berdasarkan penguasaan kitab-kitab yang telah
ditetapkan dari paling rendah sampai paling tinggi.
Tetapi seiring dengan perkembangan zaman kini pondok
pesantren banyak yang menggunakan sistem klasikal, dimana ilmu yang dipelajari
tidak hanya agama saja, melainkan ilmu umum juga dipelajari.
D. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pengembangan Pesantren
Sedikitnya ada 2 faktor yang mempengaruhi
perkembangan pendidikan di pondok pesantren. Factor itu adalah factor ekternal
dan factor internal. Faktor eksternal dalam hal ini dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Peluang
atau kesempatan diantaranya; adanya kepercayaan masyarakat kepada pesantren dan
adanya perhatian dari pihak pemerintah dan swasta.
2. Ancaman
diantaranya; adanya anggapan masyarakat bahwa pesantren dengan lembaga
pendidikan yang diselenggarakannya merupakan the second choice dan
pesantren merupakan kawasan kumuh.
Faktor internal dalam hal ini dibagi menjadi 2,
yaitu:
- Kekuatan antara lain; pesantren telah mengakar di masyarakat dan predikat “The High Moral” yang dimiliki oleh pesantren, serta kyai sebagai figur teladan.
- Kelemahan antara lain; penerapan manajemen yang kurang profesional, Sumber Daya Insani yang rendah dan pengelolaan Sumber Daya Alam pesantren yang kurang optimal, serta sikap inklusif pengelola pesantren.
E. Strategi
pengembangan yang tepat untuk diterapkan pesantren
1.
Strategi pengembangan lembaga pendidikan
Islam ada 2, yaitu:
a. Konsisten,
dengan peluang dan kekuatan yang dimiliki oleh pesantren berupa kepercayaan
dari masyarakat sebagai lembaga pendidikan berbasis pendidikan moral, sekaligus
adanya kyai sebagai tokoh sentral pesantren dengan charisma serta kelebihan
lain yang dimiliki mampu menjadi daya tarik masyarakat untuk mendaftarkan
putra-putrinya belajar di pesantren, maka sudah seharusnya pesantren berupaya sedemikian
rupa mewujudkan asumsi masyarakat, bahwa pesantren layak menyandang predikat The
High Moral. Adapun caranya dengan mempertahankan sistem pendidikan yang
telah diselenggarakannya selama ini yakni pendidikan berbasis keagamaan melalui
madrasah diniyah yang disebut sebagai ruhnya pesantren. Hal inilah yang selaras
dengan konsep almuhafadhotu ‘alaa al-qodiimi as-shoolih (mempertahankan
sitem lama yang baik).
b. Adaptif,
untuk bersaing dengan lembaga pendidikan non pesantren baik yang dibina oleh
pemerintah maupun swasta, maka pesantren melalui lembaga pendidikan Islam yang dikelolanya
harus mau membuka diri dengan cara transformasi pendidikan, misalnya dengan
sistem pendidikan yang berbasis IT yang memungkinkan lembaga pendidikan Islam tersebut
mampu menerapkan variasi metode pembelajaran dengan media visual maupun audio
visual dan pada akhirnya bisa menciptakan suasanan pembelajaran aktif,
inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM). Kondisi inilah yang
sebenarnya selaras dengan konsep wa al-akhdu bi aljadiid al-ashlah
(mengambil sistem baru yang lebih baik).
2.
Strategi pembaruan manajemen pesantren
Selama ini pesantren sangat kental dengan manajemen
tradisionalnya. Hal ini tampak pada struktur kepemimpinan pesantren serta
personalia pengelolanya yang cenderung atas restu dari kyai sepuh yang menjadi
pengasuh utama pesantren. Keadaan ini membawa dampak diantaranya: pengambilan
keputusan/kebijakan, penentuan ustadz/ustadzahnya, termasuk kinerjanya hanya
berorientasi pada pengabdian, sehingga berakibat pada peningkatan kinerja yang
rendah. Oleh karena itu untuk memperbarui manajemen pesantren harus ada wacana
baru yang berupa penerapan manajemen profesional, diantaranya rekuitment
pegawai harus melalui tes kemampuan, kepemilikin latar belakang pendidikan yang
mendukung dengan ketrampilannya selain tingkat kepatuhan kepada kyai (mengikuti
aturan pesantren). Dengan demikian akan terbangun kualitas pelayanan pendidikan
yang baik sehingga bisa meningkatkan mutu lembaga pendidikan Islam di
pesantren.
3.
Strategi peningkatan sumber daya
pesantren ada 2, yaitu:
a. Peningkatan
Sumber Daya Insani, diantaranya dengan memberikan pembinaan mendatangkan tim
ahli sesuai dengan bidang yang dibutuhkan, mengadakan pelatihan yang mendukung
pada peningkatan kreatifitas sumber daya insane bahkan bisa dengan memberikan
rekomendasi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan melalui kerjasama dengan pihak
pemerintah maupun swasta.
b. Peningkatan
Sumber Daya Alam, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mandiri sudah
seharusnya mampu mengoptimalkan aset yang dimilikinya agar bisa dimanfaatkan sepenuhnya
untuk meningkatan eksistensinya. Diantara cara yang bisa ditempuh adalah
mengembangkan Koperasi Pesantren melalui berbagai unit usahanya (berupa jasa pelayanan,
baik untuk santri maupun masyarakat) dalam rangka memenuhi operasional
penyelenggaran pendidikan pesantren. Adapun pengelolaan Koperasi Pesantren tersebut
harus dengan manajemen profesional dan berbadan hukum secara resmi agar
perkembangannya tidak mendapat hambatan, baik hambatan yang datang dari
pemerintah maupun swasta.
F. Simpulan
Dari pemaparan tersebut, maka dapat
diambil benag merah yang dapat dijadikan sebagai kesimpulan, yaitu:
1.
Manajemen strategic adalah Serangkaian
keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam
jangka panjang. Bila dikaitkan dengan analisis SWOT, maka sebuah organisasi
atau lembaga pendidikan harus mengetahui terlebih dahulu dimana posisinya.
Sebuah organisasi atau lembaga pendidikan dalam hal ini lembaga pendidikan
pesantren harus mengetahui kelemahan dan kekuatannya disamping juga harus
mengetahui secara persis tantangan dan peluangnya
2.
Sistem yang ditampilkan dalam pondok
pesantren Memakai sistem tradisional. Adapun metode yang lazim digunakan dalam
pendidikan pesantren adalah wetonan, sorogan, dan hafalan.
3.
ada 2 faktor yang mempengaruhi
perkembangan pendidikan di pondok pesantren factor ekternal dan factor internal.
Faktor eksternal dalam hal ini dibagi menjadi 2, yaitu peluang dan ancaman.
Peluang atau kesempatan diantaranya; adanya kepercayaan masyarakat kepada
pesantren dan adanya perhatian dari pihak pemerintah dan swasta. Ancaman
diantaranya; adanya anggapan masyarakat bahwa pesantren dengan lembaga
pendidikan yang diselenggarakannya merupakan the second choice dan
pesantren merupakan kawasan kumuh
4.
Strategi pengembangan lembaga pendidikan
Islam ada 2, yaitu: Konsisten dan Adaptif
Referensi
A’la,
Abdul. 2006. Pembaharuan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren (‘eLKIS)
Amien
Rais M.Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan. 1989.
David,
Fred R. (1997). Strategic Management. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Higgins,
James, M. dan Vincze, Julian, W. (1993). Strategic Management text and cases.
USA: The Dryden Press
Khosin.Tipologi
Pondok Pesantren. Jakarta: diva Pustaka. 2006.
Mas’ud,
dkk. Tipologi Pondok Pesantren. Jakarta: Putra Kencana. 2002.
Masyhud,
Sulthon dan Khusnurdilo. ManajemenPondokPesantren. Jakarta: Diva
Masyhud,Sulthon
&Ridlo. 2005. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.
Mujib,Abdul.Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2006.
Pierce,
J.A. dan Robinson, R.B. (2000).Strategic management, Formulation Implementation
and Control. Malaysia: McGraw Hill.
Porter,
M.E. (1985). Competitive Adventage, Creating and Sustaining Superior
Performance. New York : The free pross.
Pustaka.
2003.
Qomar,
Mujamil. 2007. Manajemen Pendidikan Islam- strategi Baru Pengelolaan Lembaga
Pendidikan. Penerbit: Erlangga
Sihombing,
Umberto. 2000. Manajemen Strategi, Jakarta: Mahkota.
Suwendi,
RA. 2004. Sejarah&Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gravindo
Persada
Syam,
Nur. 2005. Penguatan Kelembagaan Ekonomi Bebasis Pesantren, Yogyakarta:
Pustaka Pesantren.
Tholkhah,
Imam dan Barizi, Ahmad. 2004. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Wheelen,
Thomas, J. dan Hunger, J. David. (2000). Strategic Management. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.
Wright,
P., Kroll, Mark, J. dan Parnel, J. (1998). Strategic Management Concepts.
USA: Prentice Hall, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar