Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Kamis, 17 November 2016

MAKALAH SISTEM PERIWAYATAN AL QURAN DAN HADIS



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur’an dan Al-hadits adalah dua sumber hukum islam, sumber ajaran serta dua sumber yang mengatur segala aspek kehidupan umat islam. Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan warisan yang sangat berharga dari Rosulullah Muhammad SAW. Khusus diberikan kepada kita umat muslim sebagaimana sabda beliau.


تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ مَا لَنْ تَضِلُّ بَعْدَهُ اِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كَتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ. (رواه مسلم)

Artinya:
Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, yang mana tidak pernah tersesat jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu, kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rosulnya (Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam)
Al-Qur’an adalah kalam (firman/ucapan) yang memiliki nilai mukjizat yang diturunkan melalui wahyu Ilahi kepada Rasulullah saw,yang tertulis dalam mushaf dan diturnkan secara mutawatir dan bagi siapa saja yang membacanya akan bernilai ibadah.Allah Swt telah memeberikan nama-nama yang berbeda bagi kalam yang bernilai mukjizat ini sesuai dengan kebiasaa-kebiasaan bangsa Arab dalam memberikan nama-nama bagi ucapan mereka,baik secara global maupun terperinci[1].Salah satu nama lain dari Al-Quran adalah al-kitab,sebagaimana yang terdapat dalam Al-Quran QS.Al-[2]Baqarah (2):
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇË
                      
Artinya : Kitab(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bag mereka yang bertaqwa.(QS.Al-Baqarah:2)[3]   
Memposisikan  hadis secara struktural dan fungsional sebagai sumber ajaran setelah al-Quran, atau sebgai bayaan (penjelas) terhadap al-Quran merupakan suatu keniscayaan.  Nabi Muhammd saw. dalam kapasitas sebagai Nabi dan Rasul, tidak seperti tukang pos dan bukan pula sebagai medium al-Quran, tetapi beliau adalah mediator,  mufassir awal al-Quran.[4]
Dari aspek periwayatan, hadis Nabi berbeda dengan  Al-Quran. Al-Quran, semua periwayatannya  berlangsung secara mutawatir, dan untuk  hadis Nabi sebagian periwayatannya berlangsung secara  mutawatir, dan sebagian yang lainnya berlangsung secara ahad.[5] Olehnya  Al-Quran dilihat dari aspek periwayatan dapat  dikategorikan qat’i al-wurud. Sedangkan untuk hadis Nabi, sebagiannya saja dikategorikan qat’i al-wurud, ada sebgian lainnya, bahkan yang terbanyak berkedudukan sebagai dzanni al-wurud.[6]
Dengan demikian dilihat dari segi periwayatannya, seluruh ayat Al-Quran tidak perlu lagi dilakukan penelitian untuk membuktikan orosinalitasnya.  Adapun hadis Nabi, dalam hal ini berkategori ahad, harus diteliti. Dengan penelitian itu akan diketahui, apakah hadis tersebut dapat dipertanggung jawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Panjangnya jarak antara wafatnya Nabi  SAW. Dengan masa penulisan kitab-kitab hadis memungkinkan terjadi  kesalahan dalam periwayatan sehingga menyebabkan  riwayat hadis tersebut menyalahi substansi hadits Rosulullah SAW. Oleh sebab itu untuk membuktikan orosinalitas hadis dalam makalah ini akan membahas tentang sistem periwayatan Al-Qur’an dan Hadis.

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaiamana sistem periwayatan Al-Qur’an?
2.      Bagaiman sistem periwayatan Hadis ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan mendeskripsikan sistem periwayatan Al-Qur’am
2.      Untun mengetahui dan mendeskripsikan sistem periwayatan Hadis.
 
  
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Periwayatan Al-Qur’an
Sebagai salah satu unsur pendefinisian Al-Qur’an, mutawatir dalam periwayatan Al-Qur’an adalah suatu keharusan. Hal ini karena Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang terkandung di dalamnya hukum-hukum syari’at, dan keberadaannya sebagai mujizat. Maka suatu qira’ah (ragam bacaan) yang tidak memenuhi syarat mutawatir dalam periwayatannya, tidaklah dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an. Ulama’ ushul fiqh mengklaim bahwa masing-masing dari qira’ah sab’ah (bacaan imam tujuh) adalah mutawatir. Qira’ah sab’ah tersebut adalah :Abu ‘Amr, Nafi‘, Ashim, Hamzah, Kisa’i, Ibn Katsîr, dan Ibn ‘Amir. Sebagian lagi mengklaim bahwa qira’ah mutawatir adalah qira’ah ‘asyrah (qira’ah sepuluh), yakni qira’ah sab’ah ditambah qira’ah Ya’qub, Abu Ja’far dan Khalaf.
Namun para ulama’ mutaakhir dari para ahli qira’ah mengutarakan bahwa qira’ah sab’ah adalah mutawatir periwayatannya mulai dari para imam sab'ah tersebut, bukan yang teriwayatkan sejak dari Rasulullah saw. Karena pada beberapa bagian, qira’ah-qira’ah tersebut diriwayatkan dari Rasulullah secara ahad (tidak mutawatir), sehingga dalam qira’ah sab'ah tidak terpenuhi beberapa syarat mutawatir. Mereka tidak memutlakkan kemutawâtiran dari masing-masing qira’ah sab’ah, terlebih lagi dari qira’ah ‘asyrah. Klaim mutawatir dari qira’ah sab’ah hanyalah cetusan dari ulama’ ushul fiqh.[7] Namun, pernyataan para ahli qira’ah ini disanggah dengan suatu kenyataan sebagaimana diungkapkan Al-Qadli Abu Bakar bahwa umat Islam telah bersepakat menerimanya dan menjadikannya sebagai mushaf jama'ah, serta memastikan keberadaannya sebagai Al-Qur'an.
Selain qira’ah-qira’ah tersebut, umat Islam tidak membaca dan menyebutnya sebagai al-qur'an. Sebagaimana metode ini pula, Ibn Shalah memastikan kebenaran hadits-hadits shahih Bukhari-Muslim meski teriwayatkan secara ahad, karena umat Islam telah menyepakati untuk menerimanya. Apalagi dalam hal penerimaan qira’ah sab'ah sebagai al-qur'an yang di dalamnya terpenuhi sebagian besar syarat-syarat mutawatir. Inilah yang dijadikan pegangan mayoritas ulama' ushul fiqh, bahwa khabar ahad bila oleh umat Islam disepakati penerimaannya, maka ia adalah sesuatu yang dapat dipastikan kebenarannya.[8]
Kemudian secara terperinci Ibn Al-Jazari memberikan kriteria qirâ’ah shahihah:[9]
1.      Sesuai dengan kaidah bahasa Arab, walau hanya dari satu sisi
2.      Sesuai dengan salah satu teks mushaf Utsmani, walau hanya sekedar mendekati
3.      Sahih sanad periwayatannya.
Bila suatu qira’ah memenuhi syarat-syarat di atas, maka tidak layak untuk ditolak dan diingkari. Qira’ah tersebut adalah satu di antara tujuh huruf yang dengannya Al-Qur’an diturunkan. Maka bagi kita wajib menerimanya, baik qiraah tersebut berasal dari qira’ah sab’ah, asyrah atau yang lainnya.  Sehingga apabila salah satu kriteria ini tidak terpenuhi, maka qira’ah tersebut dikategorikan sebagai qira’ah yang lemah, syadz, atau batal. Baik qira’ah tersebut teriwayatkan dari imam Sab’ah, atau yang lain. Kriteria inilah yang dianggap sahih oleh ulama’ muhaqqiqin, salaf maupun khalaf. Pendapat ini diikuti oleh Abu ‘Amr ‘Utsman bin Said al-Dani, Abu Muhammad Makki bin Abi Thalib, Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Ammar al-Mahdawi dan AbûuSyamah.
Imam Abû Muhammad Makki dalam kitabnya Al-Kasyf menuturkan bahwa periwayatan dalam Al-Qur’an diklasifikasikan menjadi tiga bagian :[10]
a.       Qira’ah yang dapat diterima dan dapat dibaca, yaitu qirâ’ah yang memenuhi tiga kriteria sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Bin Al Jazari.
b.      Qira’ah yang dapat diterima, namun tidak boleh dibaca, yaitu qirâ’ah yang sahih periwayatannya, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, akan tetapi menyalahi teks mushaf Utsmani.
c.       Qira’ah yang tidak dapat diterima dan juga tidak dapat dibaca, yaitu setiap qira’ah yang diriwayatkan oleh bukan orang yang tsiqah (terpercaya), atau diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, namun menyalahi kaidah bahasa Arab. Qira’ah ini tidak dapat diterima walaupun sesuai dengan teks mushaf Utsmani.
Dari pendapat di atas, Al-Suyûthi menyimpulkan, bahwa ada beberapa macam qirâ’ah, yaitu:[11]
1)      Mutawâtir, yakni qira’ah yang diriwayatkan oleh segolongan ulama’ yang tidak memungkinkan timbul kesepakatan di antara mereka untuk berdusta.
2)       Masyhûr, yakni qira’ah yang sahih sanadnya, namun tingkat kesahihannya masih berada di bawah riwayat mutawatir, serta sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan naskah Mushaf 'Utsmani.
3)       Âhâd, yakni qira’ah yang sahih periwayatannya, namun menyalahi teks Mushaf Utsmani, dan kaidah-kaidah bahasa Arab.
4)      Syadz, yakni qira’ah yang periwayatannya tidak sahih.
5)      Maudlû’, yakni qira’ah palsu, yang dikarang tanpa periwayatan
6)      Semacam hadits mudraj, yakni qirâ’ah yang ditambah dengan penafsiran, seperti qira’ah Sa’ad bin Abi Waqqash  وله أخ أو أخت أم   dengan tambahan   من أم  (QS:An-Nisa' 12).
Kemudian adanya perbedaan qira’ah seringkali menyebabkan perbedaan hukum. Sebagaimana batal tidaknya wudlu orang yang disentuh oleh lawan jenis, yang timbul dari perbedaan qira’ah     لمستمdanلامستم  . Dengan qira’ah pertama disimpulkan hukum ketidak batalan wudlu, sedangkan berdasarkan qira’ah kedua sebaliknya.[12] Contoh lain adalah boleh tidaknya menggauli wanita setelah terhentinya haid dan sebelum mandi, yang timbul dari perbedaan qira’ah يطْهُرن (dengan takhfîf, ringan) dan   يطّهّرن  (dengan tasydîd, rangkap). Menurut sebagian ulama', qira’ah pertama bermakna keadaan suci pada wanita dengan berhentinya darah haid, sehingga diperbolehkan menggaulinya setelah terhentinya darah haid meski belum melakukan mandi.  Sedangkan qiraah kedua, selain bermakna seperti qira’ah pertama, juga memiliki makna bersuci, yakni mandi, sehingga meski seorang wanita telah terhenti darah haidnya, namun belum diperbolehkan untuk menggaulinya selama belum melakukan mandi atau tayammum dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.[13]
Selanjutnya dalam kaitannya dengan berhujjah menggunakan qirâ’ah syadz, terdapat perbedaan pendapat. Imam Al-Haramain dalam kitabnya Al-Burhân meriwayatkan dari zhahir madzhab Al-Syafi’i bahwa tidak diperbolehkan mengamalkan qira’ah syadz. Pendapat ini diikuti oleh Abû Nashr Al-Qusyairi dan Ibn al-Hâjib. Karena qira’ah syadz adalah periwayatan yang menyandarkan suatu bacaan sebagai Al-Qur’an, padahal bacaan tersebut bukanlah Al-Qur’an. Al-Ghazâli berpendapat bahwa qira’ah syadz tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, karena bukan merupakan Al-Qur’an. Sebagaimana qira’ah Ibn Mas‘ûd mengenai kafarah (denda) pelanggaran sumpah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ
Artinya: Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya melakukan puasa selama tiga hari berturut-turut. (Dalam qirâ’ah standar terbaca tanpa lafal terakhir, QS: Al-Ma'idah 89).
Tidak diperbolehkan berhujjah berdasarkan qira’ah ini tentang adanya kewajiban berturut-turut melakukan puasa dalam rangka kafarah melanggar sumpah. Karena boleh jadi tambahan tersebut hanya sebagai penafsiran belaka dengan mengqiyaskan dalil muthlaq (tanpa batasan rinci) pada dalil muqayyad (dengan batasan).
1.      Penulisan alqur’an
Bahwasanya Al-Qur’an di zaman Rosulullah SAW. Sudah ditulis secara keseluruhan, hanya saja belum terkumpul dalam satu buku dan surat-suratnya belum teratur seperti sekarang.  Sebagaimana riwayat dari al-Hakim bahwa zaid bin Tsabit pernah diperintah oleh Rosulullah SAW untuk mengumpulkan mushaf yang ditulis pada batu, kayu kulit binatang dll. Demikianlah yang ditulis imam Jalaluddin As-suyuti dalam Al-Itqon
2.       Perawi dan Para Huffadz al-Qur’an di Zaman Rasulullah Saw.
Allah Swt. telah memberikan jaminan akan keotentikan al-Qur’an sampai hancurnya semesta ini. Sistem periwayatan atau kesaksian merupakan salah satu metode untuk menjaga keotentikan al-Qur’an. Itu merupakan sebuah alternatif untuk menfilter yang benar dan yang salah, berguna untuk memelihara keutuhan dari keterangan dan pemalsuan yang mungkin dilakukan oleh ilmuwan di masa depan. Ini merupakan metode unik, tak ada yang mampu menyaingi dalam sejarah literature.[14]
Jika kembali kepada generasi awal, maka akan ditemukan bahwa al-Qur’an telah dijaga (baca: ditulis) pada pelepah kurma, lempengan batu, belulang, pelana onta, dan sebagainya. Saat itu juga al-Qur’an telah dihafal oleh para sahabat.[15] Sebuah hadis riwayat Bukhar Muslim berbunyi,
روىالبخاري عن عبدالله بن عمرو بن العاص, قال: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: ((خذواالقرأن من أربعة : من عبدالله بن مسعود,وسالم, ومعاذ , وأبى بن كعب)
“Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash, dia berkata: saya mendengar Rasululah Saw. Bersabda, ambillah (bacaan) al-Qur’an dari empat orang, dari Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz dan Ubay bin Ka’ab.”
Dalam hadis di atas, dimaksudkan bahwa empat sahabat tersebut memang dhobit dan mutqin di dalam lafaz al-Qur’an, walaupun selain dari mereka masih ada sahabat yang lebih mahir dari segi maknanya.[16] Salim wafat ketika terjadi perang yamamah, Mu’adz wafat saat kekhalifahan Umar, Ubay dan Ibnu Mas’ud wafat ketika kekhalifahan Usman radhiallahu ‘anhum.
Masih ada hadis yang lain yang berhubungan dengan tema di atas. Hadis ini diriwayatkan Bukhari dari jalur yang kuat,
عن أنس,قال: مات النبي صلى الله عليه وسلم,ولم يجمع القرأن غير أربعة: أبو الدرداء,ومعاذ بن جبل,وزيد بن ثا بت, وأبو زيد
“Dari Anas, dia berkata: (Ketika) Rasulullah Saw. wafat, dan tidak (ada yang) mengumpulkan al-Qur’an kecuali empat orang: Abu Darda’, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid.”
Pengecualian kepada empat orang di atas, telah membuat gerah beberapa ulama, bahkan mengingkarinya. Misalnya, imam Qurtubi mengatakan bahwa pengkhususan Anas kepada empat orang tersebut merupakan imbas dari kedekatan Anas yang teramat sangat dengan mereka, bukan yang lainnya, atau karena merekalah sajalah yang berada di benak anas, bukan yang lainnya. Begitu juga dengan al-Qodhi al-Baqilani yang menjawab hadis Anas dengan delapan cara, serta beberapa ulama lainnya.[17]

3.      Para Perawi al-Qur’an Yang Tujuh.
Periwayatan al-Qur’an sejak zaman Rasulullah Saw. sampai generasi era ini, terus berlangsung dan akan eksis sampai hari akhir, biidznillah. Inilah metode unik yang melibatkan para saksi-saksi al-Qur’an. Hari ini pun telah sampai kepada kita sebuah istilah ‘Qiro’ah Sab’ah.’ Sab’ah’ atau tujuh di sini sebenarnya disandarkan pada para imam yang tujuh. Abu Bakar bin Mujahid merupakan orang pertama kali yang telah meringkas para qurro’ menjadi tujuh ini.[18] Jadi, apakah penentuan tujuh orang ini, merupakan subjektifitas Abu Bakar bin Mujahid semata? Jawabannya, bahwa hal tersebut bukanlah subjektifitas Abu Bakar bin Mujahid semata, karena pembatasan pada tujuh orang itu, sebenarnya telah menjadi ijma’ pada waktu itu.  Tujuh imam itu adalah bagian dari mata rantai yang telah diawali oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum dalam periwayatan al-Qur’an. Dengan tanpa rasa sangsi, kita menerima qiro’ah dari tujuh imam, yang telah disepakati secara ijma’ itu. Jika kita kritisi lebih jauh, maka qiro’ah sab’ah bukanlah ahrufus sab’ah seperti anggapan sebagian orang, namun qiro’ah sab’ah itu hanyalah bagian dari ahrufus sab’ah.[19]
Riwayat yang paling populer dari setiap jalur yang berjumlah tujuh ini adalah periwatannya dua perawi, misal: Dari jalur imam Nafi’, yang paling masyhur yaitu Qolun dan Warasy, dst.[20]
4.      Kualitas Sanad al-Qur’an.
Sistem sanad al-Qur’an menyerupai sanad hadis. Seperti ketentuan para ulama hadis, kualitas sanad al-Qur’an ditentukan oleh beberapa hal di bawah ini: [21]
a.       Kedekatan dengan Rasulullah Saw. dari segi jumlah sanad yang sahih, bebas dari yang dho’if atau bisa dikatakan, hampir semua sanadnya sahih. Ini merupakan top record, kualitas klimaks dari semua kualitas yang ada. Pada saat ini, sanad yang tertinggi itu dipegang oleh empat belas orang, dari qiro’ah-nya Ibnu ‘Amr dari riwayat Ibnu Dzakwan. Kemudian lima belas lagi, dari qiro’ah-nya ‘Ashim dari riwayat hafs, serta qiro’ah Ya’qub dari riwayat Ruwais.
b.      Kedekatan dengan para imam hadis, seperti ‘Amasy, Husyaim, Ibnu Juraih, Auza’i, dan imam Malik. Jika kita terapkan pada imam qiro’ah yang tujuh, maka kualitas tertinggi ada pada syuyukh dua belas yang sanadnya bersambung dengan imam Nafi’, serta dua belas lagi bersambung dengan imam ‘Amir.
c.       Tingginya kualitas sanad, didasarkan pada riwayat salah satu kutubussittah.[35] Jika periwayatan melalui salah satu jalur kutubussittah, maka sanadnya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang lainnya. Jika kita terapkan pada kitab-kitab qiro’ah yang masyhur, maka contohnya seperti kitab taisir dan syathibiyyah. Beberapa kitab yang masuk kriteria ini, yaitu: muwafaqat, abdal, musawah, musafahat.
d.      Syaikh wafat lebih dulu daripada qarinah-nya, yang pernah mengambil dari syaikhnya. Contoh: A (Syaikh), B (Murid ), C (qarinah B).
e.       Penjelasan: (A), (B), dan (C), hidup semasa. (B) bisa mengambil dari (A). Akan tetapi (C) tidak bisa mengambil dari (A), karena (A) kemudian wafat. Akhirnya, (C) melalui perantara (B) dalam mengambil hadisnya (A). Jadi, (B) inilah pemilik sanad yang kualitasnya lebih tinggi.
f.       Sanad yang berkualitas tinggi, didasarkan pada wafatnya syaikh, bukan hal lain yang memalingkannya. Ini menyerupai poin sebelumnya, hanya saja di sini dijelaskan standar tingginya sanad hanya didasarkan pada wafatnya syaikh. Contoh: Ahmad tiba-tiba meriwayatkan sebuah hadis dari syaikh yang sudah meninggal setelah lima puluh tahun. Dalam rentang waktu lima puluh tahun itu tak ada satu pun yang meriwayatkan hadis dari syaikh itu, kecuali Ahmad. Jadi Ahmad pemilik sanad yang tinggi (sanad ‘aali)

B.     System Periwayatan  Hadis
1.      Pengertian Periwayatan Hadits
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[22]
Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu:
1.      Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat).
2.      Apa yang diriwayatkan (al-marwiy)
3.      Susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad)
4.      kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan.
5.      kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- Hadis).
Adapun metode mempelajari hadits / menerima hadits yang biasa di pakai secara umum oleh ulama berbagai generasi adalah:[23]
a.       Al-Sima’, yaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang ada di kitab tertentu di hadapan murid, orang mendengarkan kata-katanya. Metode ini dipandang paling bagus di antara metode yang ada menurut para ulama hadits. Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau disamping mendengar juga mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedua metode yang menyatu ini mempersempit peluang tercecernya hadits.
b.      Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh. Yaitu seorang murid membaca  hadits  (yang boleh jadi diperoleh dari guru yang lain) di depan guru. Agaknya metode ini diilhami oleh sebuah peristiwa ketika Dhammam ibn Tsa’labah memperoleh informasi dari orang lain, kemudian bertanya kepada Rasulullah, “apakah Allah memerintahkan agar engkau sholat beberapa kali?” Rasulullah menjawab “ya”.
c.       Al-Ijazah. Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut sata demi satu.
d.      Al-Munawalah. Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadits atau kitab utuk diriwayatkan. Metode ini mirip ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang diberikan.
e.       Al-Mukatabah  yaitu sorang guru menulis hadits untuk seseorang.misalnya tulisan seorang ulama tentang hadits yang dikirimkan kepada ulama lain. Kelihatannya, metode ini secara implisit mengandung ijazah. Itu sebabnya, ada yang berpendapat bahwa metode ini dengan ijazah ini lebih baik. Menurut Prof, A’zami dalam terminologi modern, cara ini dapat disebut korespodensi.
f.       I’lam al-Syaikh  yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadits-hadits yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru dari si fulan, tanpa menyebut izin / ijazah periwayatan si murid kepada orang lain.
g.      Al-Wasyiyah yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada muridnya sebelum pergi atau meninggal.
h.      Al-Wijada  yaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku hadits yang ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. Metode ini disamping dilakukan orang pada masa lalu banyak juga  dilakukan pada masa sekarang di mana banyak orang memperoleh hadits dari buku tanpa melalui proses seperti di atas.
2.      Bentuk Periwayatan Hadits
a.    Bil Lafadzi
Dalam kamus besar Indonesia, periwayatan adalah kata yang memberoleh awalan “me” dan akhiran “an” yang berasal dari kata “riwayat” yaitu cerita yang turun temurun. Periwayatan hadis dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadis dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Riwayat hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Sahabat yang terkenal ketat dalam menjaga otentisitas redaksi hadis adalah Abdullah bin Umar. Ia tidak memperkenankan adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun dari redaksi hadis. Dalam sebuah kasus, ia pernah menegur ‘Ubaid bin Amir ketika meletakkan puasa dalam lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada urutan nomor empat.
Dikisahkan pula bahwa Barrā’ ibn ‘Āzib pernah diajari oleh Rasulullah saw. sebuah do’a sebelum tidur yang didalamnya ada kata “bi nabiyyika” dan ketika itu al-Barra’ menyakan apakah kata itu bisa diganti dengan “bi rasūlika” beliau menolak, dan tetap meneruskan dengan kata “bi nabiyyik”. Tingkat kepedulian para sahabat dalam menjaga otentisitas hadis ini tergambar jelas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin betul kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam. Hal demikian dilakukan karena mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan memasukkan mereka pada golongan pendusta hadis. Sikap demikian tidak hanya terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.
Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara lain:
1)      Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah (ta’abbudiyyah), seperti tentang bacaan azan, zikir, doa, syahadat. Hadis yang bisa dijadikan contoh untuk lafal ibadah ini seperti bacaan dzikir yang diriwayatkan dari Shaddad bin Aus ra. bahwa Rasulullah saw.bersabda:

سيد الاستغفار: اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، خلقتني وأنا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت، أبوء لك بنعمتكّ عليّ، وأبوء لك بذنبي فاغفر لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بك من شر ما صنعت. إذا قال حين يمسي فمات دخل الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال حين يصبح فمات من يومه مثله.
Artinya: “Paling tingginya ucapan istighfar adalah: ‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan ancaman-Mu aku lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada yang bisa mengampuni segala dosaku selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini dibaca pada waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung masuk surga atau ia termasuk dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi.”
2)      Jawāmi’ al-kalimah (ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna) karena Nabi saw memiliki faṣaḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang lainnya.Bisa diambil contoh seperti sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari Abū Hurairah ra. bahwa Rasulullah bersabda

المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
artinya: “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”
3)      Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat dan sifat Allah, rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori ini penulis mengambil contoh hadis tentang sifat Allah.

يقبض الله الأرض يوم القيامة، ويطوي السماء بيمينه، ثم يقول: أنا الملك،                 أين ملوك الأرض؟   

Artinya: “Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman; ‘Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”
Namun ketika dihadapkan pada persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras mempertahankan riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan pada tingkatan sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan susunan kalimat Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan dan perbuatan Nabi saw. Periwayatan secara lafal tidak mungkin seluruh hadis bisa dilaksanakan mengingat pengertian hadis itu sendiri merupakan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam bentuk perkataan sehingga keharusan periwayatan hadis harus dengan lafal itu tidak bisa terjadi. Tentunya hal ini tetap dalam batasan-batasan yang telah diungkapkan oleh para ulama di atas, yaitu tidak boleh masuk pada ranah hadis yang berbau aqidah, ibadah dan yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi saw.
Sebagaimana yang terdapat dalam suatu riwayat bahwa Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai berikut:
a)      Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki.
b)      Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki.
c)      Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya.
Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya melalui yaitu:
1.      Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu malam dan subuh.
2.      Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat.
3.      Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.
4.      Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontokan langsung oleh Nabi.
5.      Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.
6.      Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan melainkan berupa keadaan.
Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.
Adapun bentuk atau cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai berikut:
a.      Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b.      Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka maeriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi SAW.
Yang penting dari hadis ialah isi, bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Alqur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.[24]

b.      Bil Ma’na
Dalam sejarah perjalanan hadits diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW. periwayatan hadits itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW tetapi disandarkan kapada Nabi. Disamping itu, hadits harus dilakukan apa adanya, tidak ada penambahan atau pengurangan. Diharapkan, redaksi hadits tidak mengalami perubahan.
Tetapi dalam kenyataan, banyak dijumpai hadits yang dimaksudkannya sama diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Karena itu, kita menjumpai komentar hadits “muttafaq ‘alaih, wal-lafdzu li muslim, atau wa lafzu lil- bukhori”. Tampaknya peluang riwayat hadits dengan makna itu memang ada. Bukankah hadits itu tidak hanya berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku nabi yang disaksikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda kendati maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga berbeda.
Ada sebuah hadits yang menggambarkan bahwa riwayat dengan redaksi yang berbeda itu ditolelir. Abdullah ibn Sulaiman al-laits menyampaikan keterbatasan kemampuannya menerima hadits secara utuh. Artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadits persis seperti apa yang didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah, terkadang juga berkurang.
Meskipun terjadi perbedaan dikalangan para fukaha tentang kebolehan tidaknya   meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini merupakan ilmu riwayah hadis yang penting, . Diantara kewajiban para perawi, ialah menerangkan cara tahammul  ialah dengan cara itu dia menerima apa yang diwahnyukannya. Sebagaimana para ulama sangat memerlukan dengan cara-cara tahammul di waktu menyampaikan hadis kepada orang lain, begitu pula sangat memerlukan penyampaian hadis itu sebagaimana mereka dengar tampa menukar ataupun menggati kalimat-kalimatnya. Bahkan sebahagian ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinukilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia dengar.
Dalam bukunya Ahmad Muhammad Šakir yang berjudul Ihtisar Ulum Al-Hadis, dalam kaitanya dengan Periwayatan dengan makna. Bahwa seorang perawi yang tidak mengetahui makna hadis sesungguhnya tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan sifatnya itu. Namun demikian Jumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa: boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila dia seorang yang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang bisa merobahkan makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia bersifat demikian, bolelah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perobahan makna tersebut. begitu juga dengan pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil ibn Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’. Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa arab.
Bukti lain adalah bahwa periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya. Intinya bahwa periwayatan hadis dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila si perawi bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang demikian itu wajib menyampaikan dengan hadis persis sebagaimana yang ia dengarnya.
Al- Imam Asy Syafi’i telah menerangkan tentang sifat-sifat perawi yaitu:
“Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna,  karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”.
Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayatkan hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu. Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari pada dengan makna.[25]
3.      Proses Periwayatan Hadis
a)      Periwayatan Zaman nabi
Sahabat dalam mendapatkan hadis Nabi sangatlah antusias. Kegigihan mendapatkan hadis Nabi terlihat seperti yang dilakukan Umar ra dengan tetangga ansharnya. Ditengah-tengah kondisi kesibukan menjalankan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, seperti berdagang, mengembala hewan dan usaha  yang lain-lainya. Para sahabat masih tetap menyempatkan diri dan bergantian menghadiri majlis tersebut menceritakan kepada sahabat yang tidak dapat menghadiri tersebut.[26] Melihat peristiwa diatas bahwasanya hadis yang diketahui oleh sahabat tidak seluruhnya didapatkan langsung dari Nabi, tapi ada juga yang melalui sahabat yang lain.
Menurut Syuhudi Ismail minat sahabat dalam menerima dan meriwayatkan hadis berdasarkan petunjuk Allah SWT. Al – Qur’an menyatakan bahwasanya Nabi  adalah uswatun hasanah panutan utama  yang harus diikuti dan ditaati bagi orang yang beriman. Allah juga memberikan penghargaan yang tinggi bagi orang yang berpengetahuan. Nabi memerintahkan para sahabat menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir, Nabi  menyatakan “ boleh jadi  orang  yang tidak hadir lebih paham daripada mereka yang hadir”, perintah nabi mendorong sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh.[27]
b)      Periwayatan Zaman Sahabat
Penerimaan dan periwayatan hadist Nabi pada masa ini dilakukan oleh para sahabat dengan sangat selektif. Hal ini dikarenakan adanya kekhawatiran sahabat bahwa orang-orang yang banyak meriwayatkan hadis mudah tergelincir karena salah atau lupa, yang pada gilirannya mereka akan berdusta atas nama Rasullallah SAW dengan tanpa disadari. Lebih – lebih pada waktu itu para sahabat sangat besar perhatiannya dalam menghafal al-Qur’an dan tidak ingin perhatiannya terganggu oleh urusan lain.[28]
Kehati-hatian sahabat dalam meriwayatkan sebuah hadis ditunjukkan Khulafa’ ar-Rasyiddin dimana seseorang dilarang memperbanyak meriwayatkan hadis tujuannya agar periwayat berlaku selektif dalam meriwayatkan hadis, dimana seseorang yang meriwayatkan dinilai memiliki kredibilitas yang tinggi tidak di bebani kewajiban mengajukan saksi atau bersumpah.
 Riwayat hadis yang diriwayatkna khalifah sebelum Ali seluruhnya dalam bentuk lisan. Hanya masa kekhalifahan Ali yang meriwayatkan hadis secara tulisan, disamping  secara lisan. Kehati-hatian menerima dan meriwayatkan hadis ini bukan hanya khusus pada sahabat  Khulafa’ al- Rasyidin. Tetapi  juga sahabat yang lainnya.[29]
c)      Periwayatan pasca sahabat
Sikap hati-hati dalam periwayatan hadis dari kalangan ulama pada masa setelah sahabat terlihat tidak jauh berbeda dengan sikap hati-hati para sahabat Nabi. Disamping itu kegiatan periwayatan hadis tampak semarak dimana-mana seperti halnya yang dilakukan oleh Sa’id bin al- Musayyab ( wafat 94 H/ 712 M ) tabiin besar dikota Madinah, mengaku telah mengadakan perjalanan siang – malam untuk mendapatkan sebuah hadis.
Begitu juga yang dilakukan Abu ‘Amr ‘Abd ar- Rahman al- Awzai ( wafat 234 H/ 848 M ) menyatakan, “ apabila dia dan ulama sejawatnya menerima riwayat hadis, maka hadis itu diteliti bersama. Apabila para ulama menyimpulkan bahwa riwayat itu memang hadis Nabi, maka al- Awzai mengambilnya dan apabila para ulama tersebut mengingkarinya, maka ditinggalkannya”.[30]
Sikap serius dan hati-hati generasi atba’ at- Tabi’in digambarkan oleh al-Bukhari, diamana al- Bukhari telah melawat untuk mencari dan meneliti hadis Nabi ke berbagai kota dan daerah- daerah, diantaranya Makkah, Madinah, Syam, Baghdad, Wasith, Kufah, Bashrah, Mesir, Naysabur, Khurasan, dan lain-lain.
Al – Bukhari pernah secara mendadak diuji dimuka umum oleh ulama Baghdad, al- Bukhari  tanpa persiapan disodori seratus hadis yang ditukar – tukarkan sanad dan matannya. Lalu al – Bukhari diminta oleh hadirin yang telah sengaja ditukar – tukarkan itu. Pada saat itu juga tanpa dibantu oleh catatan dan orang lain, al-Bukahri mampu dengan lancar mengembalikan sanad dan matan yang telah ditukar – tukarkan tersebut ke persambungannya masing-masing secara benar. Hal ini menunjukkan betapa tinggi tingkat penguasaan dan hafalan al – Bukahari tentang matan dan sanad Hadis yang diriwayatkan.
  
BAB III
PENUTUP

B.     Kesimpulan
Berdasarkan dari rumusan masalah diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an adalah dalil pertama dan utama dalam perujukan dan penetapan hukum Islam. Al-Qur’an merupakan pokok agama, dasar aqidah, sumber syari’at dan petunjuk bagi orang-orang bertaqwa. Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dengan makna qirâ’ah (bacaan), yang dalam pengertian selanjutnya diungkapkan sebagai kumpulan kalam Allah SWT. yang dibaca dengan lisan makhluk yang berbahasa Arab sebagai mu’jizat yang diturunkan pada RasulNya, Muhammad saw. melalui perantara malaikat Jibril yang tertulis di lembaran-lembaran yang teriwayatkan secara mutawatir serta membacanya mengandung nilai ibadah. Serta al qur’an tidak perlu diragukan lagi orisinalitasnya karena periwayatan dapat  dikategorikan qat’i al-wurud
2.      Sebuah periwayatan hadits merupakan bagian proses kodifikasi hadits yang sangat urgen, penting. Karena dalam proses inilah letak kesahihan hadits, apakah hadits tersebut yang memang benar-benar bisa diterima dan tidak ada kontradiksi secara subtansinya dengan al-Qur’an. Sebagimana yang telah ketahui hadits adalah sebuah perkataan seorang manusia, Nabi, yang tentunya secara gramtika bisa ditiru oleh manusia lain. sedangkan al-Qur’an adalah perkataan Tuhan, Allah, yang susunan kata-katanya bernilai lebih, baik bahasa, sastra atau tingkat kesulitan olah letak akhir bunyi dan sisi hakikatnya.
             




DAFTAR PUSTAKA

Qahar, Mas’ud Khaasan Abdul. Kamus Ilmu Pengetahuan Populer. Jakarta: CV. Bintang Pelajar
Ismail, M. Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi,Cet.I. Jakarta: Bulan Bintang
al-Shalih, Subhi.  1977M.  Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu. Bairut: Dar al-‘Ilm li Mlayin
Abû al-Khair Muhammad bin Muhammad al-Dimasyqî (Ibn al-Jazarî). 2000. Al-Nasyr fî Qirâ'ât al 'Asyr, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.Juz I
Badr al-Dîn Muhammad Bahâdir bin ’Abd Allâh al-Zarkasyi. 2000. Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, , juz I
Abû Bakar bin 'Alî al-Râzî (Al-Jashshâsh), Al-Fushûl fi al-Ushûl, Kuwait: Wizârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt. Juz I
Prof. Dr. M. M. Al-A’zami. 2005. Sejarah al-Qur’an dari wahyu sampai kompilasi, Gema Insani, Jakarta
Syaikh M. Thahir bin Abdul Qadir Al-Kurdy Al Makky. 2008Tarikh al-Qur’an wa Gharaibu Rasmihi wa hukmihi, cet. I ditahkik oleh Ust. Dr. Ahmad Isa Al-Mi’sarawy, Adhwaussalaf, Riyad
Nawawi, Imam. Syarhu Sohih Muslim, ditahkik oleh Muhamad Abdul ‘Adzim, vol. 15. Kairo: Darut Taqwa
Suyuti, Imam. 2004.  Al-Itqan, ditahkik oleh Ahmad bin Ali. Cairo: Darul Hadit
As-Syaikh Kholid Abdurrahaman Al-Ak. 2007. Ushuluttafsir wa Qowa’iduhu, cet. V.  Lebanon: Darun Nafai
Dr. Abdussalam bin Soleh bin sulaiman Al-Jarulla. 2008. Naqd Assohabah wattabi’iin littafsir, cet. I.  Riyad: Dar At-Tadmuriyy
Endang Soetari. 1997. Ilmu Hadis, Cet. II. Bandung: Amal Bakti Perss
Ismail, M.Syhudi. 1988. Kaedah Kesahihan Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang
Munzier, Suparta. 2008. “Ilmu hadis”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Ismail, M. Syuhudi.  1995. Kaedah Kesehehan Sanad Hadis Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta : Bulan Bintang
Nurudin. 1995. Ulumul Hadis I, terj: Endang Soetari dan Mujiyo. Bandung: Remaja Rosda Karya
Ismail, M. Syuhudi. 1995. “Kaedah Kesehehan Sanad Hadis Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah”. Jakarta : Bulan Bintang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar