BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an dan
Al-hadits adalah dua sumber hukum islam, sumber ajaran serta dua sumber yang
mengatur segala aspek kehidupan umat islam. Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan
warisan yang sangat berharga dari Rosulullah Muhammad SAW. Khusus diberikan
kepada kita umat muslim sebagaimana sabda beliau.
تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ مَا لَنْ
تَضِلُّ بَعْدَهُ اِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كَتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ.
(رواه مسلم)
Artinya:
Aku tinggalkan pada kalian dua
perkara, yang mana tidak pernah tersesat jika kalian berpegang teguh kepada
keduanya, yaitu, kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rosulnya (Muhammad
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam)
Al-Qur’an adalah kalam
(firman/ucapan) yang memiliki nilai mukjizat yang diturunkan melalui wahyu
Ilahi kepada Rasulullah saw,yang tertulis dalam mushaf dan diturnkan secara mutawatir
dan bagi siapa saja yang membacanya akan bernilai ibadah.Allah Swt telah
memeberikan nama-nama yang berbeda bagi kalam yang bernilai mukjizat ini sesuai
dengan kebiasaa-kebiasaan bangsa Arab dalam memberikan nama-nama bagi ucapan
mereka,baik secara global maupun terperinci[1].Salah
satu nama lain dari Al-Quran adalah al-kitab,sebagaimana yang terdapat
dalam Al-Quran QS.Al-[2]Baqarah
(2):
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇË
Artinya
: Kitab(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bag mereka yang
bertaqwa.(QS.Al-Baqarah:2)[3]
Memposisikan
hadis secara struktural dan fungsional sebagai sumber ajaran setelah al-Quran,
atau sebgai bayaan (penjelas) terhadap al-Quran merupakan suatu
keniscayaan. Nabi Muhammd saw. dalam kapasitas sebagai Nabi dan Rasul,
tidak seperti tukang pos dan bukan pula sebagai medium al-Quran, tetapi
beliau adalah mediator, mufassir
awal al-Quran.[4]
Dari aspek
periwayatan, hadis Nabi berbeda dengan Al-Quran. Al-Quran, semua
periwayatannya berlangsung secara mutawatir, dan untuk hadis
Nabi sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir, dan
sebagian yang lainnya berlangsung secara ahad.[5]
Olehnya Al-Quran dilihat dari aspek periwayatan dapat dikategorikan
qat’i al-wurud. Sedangkan untuk hadis Nabi, sebagiannya saja
dikategorikan qat’i al-wurud, ada sebgian lainnya, bahkan yang terbanyak
berkedudukan sebagai dzanni al-wurud.[6]
Dengan demikian
dilihat dari segi periwayatannya, seluruh ayat Al-Quran tidak perlu lagi
dilakukan penelitian untuk membuktikan orosinalitasnya. Adapun hadis
Nabi, dalam hal ini berkategori ahad, harus diteliti. Dengan penelitian
itu akan diketahui, apakah hadis tersebut dapat dipertanggung jawabkan
periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Panjangnya jarak
antara wafatnya Nabi SAW. Dengan masa penulisan kitab-kitab hadis memungkinkan
terjadi kesalahan dalam periwayatan sehingga menyebabkan riwayat
hadis tersebut menyalahi substansi hadits Rosulullah SAW. Oleh sebab itu untuk
membuktikan orosinalitas hadis dalam makalah ini akan membahas tentang sistem
periwayatan Al-Qur’an dan Hadis.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaiamana sistem periwayatan Al-Qur’an?
2.
Bagaiman sistem periwayatan Hadis ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui dan mendeskripsikan
sistem periwayatan Al-Qur’am
2.
Untun mengetahui dan mendeskripsikan
sistem periwayatan Hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Periwayatan Al-Qur’an
Sebagai salah satu
unsur pendefinisian Al-Qur’an, mutawatir
dalam periwayatan Al-Qur’an adalah suatu keharusan. Hal ini karena Al-Qur’an
merupakan kalam Allah yang terkandung di dalamnya hukum-hukum syari’at, dan
keberadaannya sebagai mujizat. Maka suatu qira’ah (ragam bacaan) yang
tidak memenuhi syarat mutawatir dalam periwayatannya, tidaklah dapat
dikatakan sebagai Al-Qur’an. Ulama’ ushul fiqh mengklaim bahwa masing-masing
dari qira’ah sab’ah (bacaan imam tujuh) adalah mutawatir. Qira’ah
sab’ah tersebut adalah :Abu ‘Amr, Nafi‘, Ashim, Hamzah, Kisa’i, Ibn Katsîr,
dan Ibn ‘Amir. Sebagian lagi
mengklaim bahwa qira’ah mutawatir adalah qira’ah ‘asyrah (qira’ah
sepuluh), yakni qira’ah sab’ah ditambah qira’ah Ya’qub, Abu
Ja’far dan Khalaf.
Namun para ulama’ mutaakhir
dari para ahli qira’ah mengutarakan bahwa qira’ah sab’ah adalah mutawatir
periwayatannya mulai dari para imam sab'ah tersebut, bukan yang
teriwayatkan sejak dari Rasulullah saw. Karena pada beberapa bagian, qira’ah-qira’ah
tersebut diriwayatkan dari Rasulullah secara ahad (tidak mutawatir),
sehingga dalam qira’ah sab'ah tidak terpenuhi beberapa syarat mutawatir.
Mereka tidak memutlakkan kemutawâtiran dari masing-masing qira’ah
sab’ah, terlebih lagi dari qira’ah ‘asyrah. Klaim mutawatir
dari qira’ah sab’ah
hanyalah cetusan dari ulama’ ushul fiqh.[7]
Namun, pernyataan para ahli qira’ah ini disanggah dengan suatu kenyataan
sebagaimana diungkapkan Al-Qadli Abu Bakar bahwa umat Islam telah bersepakat
menerimanya dan menjadikannya sebagai mushaf jama'ah, serta memastikan
keberadaannya sebagai Al-Qur'an.
Selain qira’ah-qira’ah tersebut, umat
Islam tidak membaca dan menyebutnya sebagai al-qur'an. Sebagaimana metode ini
pula, Ibn Shalah memastikan kebenaran hadits-hadits shahih Bukhari-Muslim meski
teriwayatkan secara ahad, karena umat Islam telah menyepakati untuk menerimanya.
Apalagi dalam hal penerimaan qira’ah sab'ah sebagai al-qur'an yang di
dalamnya terpenuhi sebagian besar syarat-syarat mutawatir. Inilah yang
dijadikan pegangan mayoritas ulama' ushul fiqh, bahwa khabar ahad bila oleh
umat Islam disepakati penerimaannya, maka ia adalah sesuatu yang dapat
dipastikan kebenarannya.[8]
1.
Sesuai
dengan kaidah bahasa Arab, walau hanya dari satu sisi
2.
Sesuai
dengan salah satu teks mushaf Utsmani, walau hanya sekedar mendekati
3.
Sahih
sanad periwayatannya.
Bila suatu qira’ah
memenuhi syarat-syarat di atas, maka tidak layak untuk ditolak dan diingkari. Qira’ah
tersebut adalah satu di antara tujuh huruf yang dengannya Al-Qur’an diturunkan.
Maka bagi kita wajib menerimanya, baik qiraah
tersebut berasal dari qira’ah sab’ah, asyrah atau yang lainnya.
Sehingga apabila salah satu kriteria ini tidak terpenuhi, maka qira’ah
tersebut dikategorikan sebagai qira’ah yang lemah, syadz, atau
batal. Baik qira’ah
tersebut teriwayatkan dari imam Sab’ah, atau yang lain. Kriteria inilah
yang dianggap sahih oleh ulama’ muhaqqiqin, salaf maupun khalaf.
Pendapat ini diikuti oleh Abu ‘Amr ‘Utsman bin Said al-Dani, Abu Muhammad Makki bin Abi Thalib,
Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Ammar al-Mahdawi dan AbûuSyamah.
Imam Abû Muhammad
Makki dalam kitabnya Al-Kasyf menuturkan bahwa periwayatan dalam
Al-Qur’an diklasifikasikan menjadi tiga bagian :[10]
a.
Qira’ah yang dapat diterima dan dapat dibaca, yaitu qirâ’ah
yang memenuhi tiga kriteria sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Bin Al
Jazari.
b.
Qira’ah yang dapat diterima, namun tidak boleh dibaca, yaitu qirâ’ah
yang sahih periwayatannya, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, akan tetapi
menyalahi teks mushaf Utsmani.
c.
Qira’ah yang tidak dapat diterima dan juga tidak dapat dibaca,
yaitu setiap qira’ah yang diriwayatkan oleh bukan orang yang tsiqah (terpercaya),
atau diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, namun menyalahi kaidah bahasa
Arab. Qira’ah ini tidak dapat diterima walaupun
sesuai dengan teks mushaf Utsmani.
Dari pendapat di atas, Al-Suyûthi menyimpulkan, bahwa ada beberapa macam qirâ’ah,
yaitu:[11]
1)
Mutawâtir, yakni qira’ah yang diriwayatkan oleh segolongan
ulama’ yang tidak memungkinkan timbul kesepakatan di antara mereka untuk
berdusta.
2)
Masyhûr, yakni qira’ah yang sahih
sanadnya, namun tingkat kesahihannya masih berada di bawah riwayat mutawatir,
serta sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan naskah Mushaf 'Utsmani.
3)
Âhâd, yakni qira’ah yang sahih
periwayatannya, namun menyalahi teks Mushaf Utsmani, dan kaidah-kaidah bahasa
Arab.
4)
Syadz, yakni qira’ah yang periwayatannya tidak sahih.
5)
Maudlû’, yakni qira’ah palsu, yang dikarang tanpa
periwayatan
6)
Semacam hadits mudraj, yakni qirâ’ah yang
ditambah dengan penafsiran, seperti qira’ah Sa’ad bin Abi Waqqash وله أخ أو أخت أم
dengan tambahan من أم (QS:An-Nisa' 12).
Kemudian adanya
perbedaan qira’ah
seringkali menyebabkan perbedaan hukum. Sebagaimana batal tidaknya wudlu orang
yang disentuh oleh lawan jenis, yang timbul dari perbedaan qira’ah لمستمdanلامستم
.
Dengan qira’ah pertama disimpulkan hukum ketidak batalan wudlu,
sedangkan berdasarkan qira’ah kedua sebaliknya.[12]
Contoh lain adalah boleh tidaknya menggauli wanita setelah terhentinya haid dan
sebelum mandi, yang timbul dari perbedaan qira’ah يطْهُرن
(dengan
takhfîf, ringan) dan يطّهّرن
(dengan tasydîd, rangkap). Menurut sebagian ulama', qira’ah
pertama bermakna keadaan suci pada wanita dengan berhentinya darah haid,
sehingga diperbolehkan menggaulinya setelah terhentinya darah haid meski belum
melakukan mandi. Sedangkan qiraah kedua, selain bermakna seperti qira’ah
pertama, juga memiliki makna bersuci, yakni mandi, sehingga meski seorang
wanita telah terhenti darah haidnya, namun belum diperbolehkan untuk
menggaulinya selama belum melakukan mandi atau tayammum dengan syarat-syarat
yang telah ditetapkan.[13]
Selanjutnya dalam kaitannya dengan berhujjah menggunakan qirâ’ah syadz,
terdapat perbedaan pendapat. Imam Al-Haramain dalam kitabnya Al-Burhân
meriwayatkan dari zhahir madzhab Al-Syafi’i bahwa tidak diperbolehkan
mengamalkan qira’ah syadz. Pendapat ini diikuti oleh Abû Nashr
Al-Qusyairi dan Ibn al-Hâjib. Karena qira’ah syadz
adalah periwayatan yang menyandarkan suatu bacaan sebagai Al-Qur’an, padahal
bacaan tersebut bukanlah Al-Qur’an. Al-Ghazâli berpendapat bahwa qira’ah
syadz tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, karena bukan merupakan
Al-Qur’an. Sebagaimana qira’ah Ibn Mas‘ûd mengenai kafarah (denda) pelanggaran sumpah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ
Artinya: Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang
demikian, maka kaffaratnya melakukan puasa selama tiga hari berturut-turut.
(Dalam qirâ’ah standar terbaca tanpa lafal terakhir, QS: Al-Ma'idah 89).
Tidak diperbolehkan
berhujjah berdasarkan qira’ah
ini tentang adanya kewajiban berturut-turut melakukan puasa dalam rangka kafarah melanggar
sumpah. Karena boleh jadi tambahan tersebut hanya sebagai penafsiran belaka
dengan mengqiyaskan dalil muthlaq (tanpa batasan rinci) pada dalil muqayyad (dengan
batasan).
1.
Penulisan alqur’an
Bahwasanya Al-Qur’an di
zaman Rosulullah SAW. Sudah ditulis secara keseluruhan, hanya saja belum
terkumpul dalam satu buku dan surat-suratnya belum teratur seperti sekarang. Sebagaimana riwayat dari al-Hakim bahwa zaid
bin Tsabit pernah diperintah oleh Rosulullah SAW untuk mengumpulkan mushaf yang
ditulis pada batu, kayu kulit binatang dll. Demikianlah yang ditulis imam
Jalaluddin As-suyuti dalam Al-Itqon
2.
Perawi dan Para Huffadz al-Qur’an di
Zaman Rasulullah Saw.
Allah Swt. telah memberikan jaminan akan keotentikan
al-Qur’an sampai hancurnya semesta ini. Sistem periwayatan atau kesaksian
merupakan salah satu metode untuk menjaga keotentikan al-Qur’an. Itu merupakan
sebuah alternatif untuk menfilter yang benar dan yang salah, berguna untuk
memelihara keutuhan dari keterangan dan pemalsuan yang mungkin dilakukan oleh
ilmuwan di masa depan. Ini merupakan metode unik, tak ada yang mampu menyaingi
dalam sejarah literature.[14]
Jika kembali kepada generasi awal, maka akan
ditemukan bahwa al-Qur’an telah dijaga (baca: ditulis) pada pelepah
kurma, lempengan batu, belulang, pelana onta, dan sebagainya. Saat itu juga
al-Qur’an telah dihafal oleh para sahabat.[15]
Sebuah hadis riwayat Bukhar Muslim berbunyi,
روىالبخاري عن عبدالله بن عمرو بن العاص, قال: سمعت النبي صلى الله عليه
وسلم يقول: ((خذواالقرأن من أربعة : من عبدالله بن مسعود,وسالم, ومعاذ , وأبى بن كعب)
“Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash, dia
berkata: saya mendengar Rasululah Saw. Bersabda, ambillah (bacaan) al-Qur’an
dari empat orang, dari Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz dan Ubay bin Ka’ab.”
Dalam hadis di atas, dimaksudkan bahwa empat sahabat
tersebut memang dhobit dan mutqin di dalam lafaz al-Qur’an,
walaupun selain dari mereka masih ada sahabat yang lebih mahir dari segi
maknanya.[16]
Salim wafat ketika terjadi perang yamamah, Mu’adz wafat saat kekhalifahan Umar,
Ubay dan Ibnu Mas’ud wafat ketika kekhalifahan Usman radhiallahu ‘anhum.
Masih ada hadis yang lain yang berhubungan dengan
tema di atas. Hadis ini diriwayatkan Bukhari dari jalur yang kuat,
عن أنس,قال: مات النبي صلى الله عليه وسلم,ولم يجمع القرأن غير أربعة: أبو الدرداء,ومعاذ
بن جبل,وزيد بن ثا بت, وأبو زيد
“Dari Anas, dia berkata:
(Ketika) Rasulullah Saw. wafat, dan tidak (ada yang) mengumpulkan al-Qur’an
kecuali empat orang: Abu Darda’, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid.”
Pengecualian kepada empat orang di atas, telah
membuat gerah beberapa ulama, bahkan mengingkarinya. Misalnya, imam Qurtubi
mengatakan bahwa pengkhususan Anas kepada empat orang tersebut merupakan imbas
dari kedekatan Anas yang teramat sangat dengan mereka, bukan yang lainnya, atau
karena merekalah sajalah yang berada di benak anas, bukan yang lainnya. Begitu
juga dengan al-Qodhi al-Baqilani yang menjawab hadis Anas dengan delapan cara,
serta beberapa ulama lainnya.[17]
3.
Para Perawi al-Qur’an Yang Tujuh.
Periwayatan al-Qur’an sejak zaman Rasulullah Saw.
sampai generasi era ini, terus berlangsung dan akan eksis sampai hari akhir, biidznillah.
Inilah metode unik yang melibatkan para saksi-saksi al-Qur’an. Hari ini pun
telah sampai kepada kita sebuah istilah ‘Qiro’ah Sab’ah.’ Sab’ah’ atau
tujuh di sini sebenarnya disandarkan pada para imam yang tujuh. Abu Bakar bin
Mujahid merupakan orang pertama kali yang telah meringkas para qurro’
menjadi tujuh ini.[18]
Jadi, apakah penentuan tujuh orang ini, merupakan subjektifitas Abu Bakar bin
Mujahid semata? Jawabannya, bahwa hal tersebut bukanlah subjektifitas Abu Bakar
bin Mujahid semata, karena pembatasan pada tujuh orang itu, sebenarnya telah
menjadi ijma’ pada waktu itu. Tujuh imam itu adalah bagian dari mata rantai
yang telah diawali oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum dalam
periwayatan al-Qur’an. Dengan tanpa rasa sangsi, kita menerima qiro’ah
dari tujuh imam, yang telah disepakati secara ijma’ itu. Jika kita
kritisi lebih jauh, maka qiro’ah sab’ah bukanlah ahrufus sab’ah seperti anggapan sebagian orang,
namun qiro’ah sab’ah itu hanyalah bagian dari ahrufus sab’ah.[19]
Riwayat yang paling populer dari setiap
jalur yang berjumlah tujuh ini adalah periwatannya dua perawi, misal:
Dari jalur imam Nafi’, yang paling masyhur yaitu Qolun dan Warasy, dst.[20]
4.
Kualitas Sanad al-Qur’an.
Sistem sanad al-Qur’an menyerupai sanad hadis.
Seperti ketentuan para ulama hadis, kualitas sanad al-Qur’an ditentukan oleh
beberapa hal di bawah ini: [21]
a.
Kedekatan dengan Rasulullah Saw. dari
segi jumlah sanad yang sahih, bebas dari yang dho’if atau bisa
dikatakan, hampir semua sanadnya sahih. Ini merupakan top record,
kualitas klimaks dari semua kualitas yang ada. Pada saat ini, sanad yang
tertinggi itu dipegang oleh empat belas orang, dari qiro’ah-nya Ibnu
‘Amr dari riwayat Ibnu Dzakwan. Kemudian lima belas lagi, dari qiro’ah-nya
‘Ashim dari riwayat hafs, serta qiro’ah Ya’qub dari riwayat Ruwais.
b.
Kedekatan dengan para imam hadis,
seperti ‘Amasy, Husyaim, Ibnu Juraih, Auza’i, dan imam Malik. Jika kita
terapkan pada imam qiro’ah yang tujuh, maka kualitas tertinggi ada pada syuyukh
dua belas yang sanadnya bersambung dengan imam Nafi’, serta dua belas lagi
bersambung dengan imam ‘Amir.
c.
Tingginya kualitas sanad, didasarkan
pada riwayat salah satu kutubussittah.[35] Jika periwayatan
melalui salah satu jalur kutubussittah, maka sanadnya akan lebih tinggi
jika dibandingkan dengan yang lainnya. Jika kita terapkan pada kitab-kitab qiro’ah
yang masyhur, maka contohnya seperti kitab taisir dan syathibiyyah.
Beberapa kitab yang masuk kriteria ini, yaitu: muwafaqat, abdal, musawah,
musafahat.
d.
Syaikh wafat lebih dulu daripada qarinah-nya,
yang pernah mengambil dari syaikhnya. Contoh: A (Syaikh), B (Murid ), C
(qarinah B).
e.
Penjelasan: (A), (B), dan (C), hidup
semasa. (B) bisa mengambil dari (A). Akan tetapi (C) tidak bisa mengambil dari
(A), karena (A) kemudian wafat. Akhirnya, (C) melalui perantara (B) dalam
mengambil hadisnya (A). Jadi, (B) inilah pemilik sanad yang kualitasnya lebih
tinggi.
f.
Sanad yang berkualitas tinggi,
didasarkan pada wafatnya syaikh, bukan hal lain yang memalingkannya. Ini
menyerupai poin sebelumnya, hanya saja di sini dijelaskan standar tingginya
sanad hanya didasarkan pada wafatnya syaikh. Contoh: Ahmad tiba-tiba
meriwayatkan sebuah hadis dari syaikh yang sudah meninggal setelah lima puluh
tahun. Dalam rentang waktu lima puluh tahun itu tak ada satu pun yang
meriwayatkan hadis dari syaikh itu, kecuali Ahmad. Jadi Ahmad pemilik sanad
yang tinggi (sanad ‘aali)
B.
System Periwayatan Hadis
1.
Pengertian Periwayatan Hadits
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab
hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai
dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa
Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-riwayah adalah
masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr
(penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian
minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa
disebut dengan riwayat.[22]
Sementara secara istilah ilmu
hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah
kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada
rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah
menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadis itu
kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah
melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang
diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak
menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat
dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.
Dari definisi di atas, dapat
ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi,
yaitu:
1.
Orang
yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat).
2.
Apa
yang diriwayatkan (al-marwiy)
3.
Susunan
rangkaian pera periwayat (sanad/isnad)
4.
kalimat
yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan.
5.
kegiatan
yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa
ada al- Hadis).
Adapun metode mempelajari hadits /
menerima hadits yang biasa di pakai secara umum oleh ulama berbagai generasi
adalah:[23]
a.
Al-Sima’,
yaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang ada di kitab
tertentu di hadapan murid, orang mendengarkan kata-katanya. Metode ini
dipandang paling bagus di antara metode yang ada menurut para ulama hadits.
Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau disamping mendengar
juga mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedua metode yang menyatu ini
mempersempit peluang tercecernya hadits.
b.
Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh.
Yaitu seorang murid membaca hadits (yang boleh jadi diperoleh dari
guru yang lain) di depan guru. Agaknya metode ini diilhami oleh sebuah
peristiwa ketika Dhammam ibn Tsa’labah memperoleh informasi dari orang lain,
kemudian bertanya kepada Rasulullah, “apakah Allah memerintahkan agar engkau
sholat beberapa kali?” Rasulullah menjawab “ya”.
c.
Al-Ijazah.
Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin seorang guru kepada murid
untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut sata demi satu.
d.
Al-Munawalah.
Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadits atau kitab utuk
diriwayatkan. Metode ini mirip ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa
murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang diberikan.
e.
Al-Mukatabah yaitu sorang guru menulis hadits untuk
seseorang.misalnya tulisan seorang ulama tentang hadits yang dikirimkan kepada
ulama lain. Kelihatannya, metode ini secara implisit mengandung ijazah. Itu
sebabnya, ada yang berpendapat bahwa metode ini dengan ijazah ini lebih baik.
Menurut Prof, A’zami dalam terminologi modern, cara ini dapat disebut
korespodensi.
f.
I’lam al-Syaikh yaitu pemberian informasi guru kepada murid
bahwa hadits-hadits yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang
diperoleh guru dari si fulan, tanpa menyebut izin / ijazah periwayatan si murid
kepada orang lain.
g.
Al-Wasyiyah
yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada muridnya sebelum pergi
atau meninggal.
h.
Al-Wijada yaitu ada orang yang menemukan catatan atau
buku hadits yang ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk
meriwayatkan hadits di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. Metode ini
disamping dilakukan orang pada masa lalu banyak juga dilakukan pada masa
sekarang di mana banyak orang memperoleh hadits dari buku tanpa melalui proses
seperti di atas.
2.
Bentuk Periwayatan Hadits
a.
Bil
Lafadzi
Dalam kamus besar Indonesia, periwayatan adalah kata
yang memberoleh awalan “me” dan akhiran “an” yang berasal dari kata “riwayat”
yaitu cerita yang turun temurun. Periwayatan hadis dengan lafadz dimaksudkan
adalah periwayatan hadis dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW
tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya
satu kata. Riwayat hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada persoalan,
karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun
perbuatan dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Sahabat yang terkenal ketat dalam menjaga
otentisitas redaksi hadis adalah Abdullah bin Umar. Ia tidak memperkenankan
adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun dari redaksi hadis. Dalam
sebuah kasus, ia pernah menegur ‘Ubaid bin Amir ketika meletakkan puasa dalam
lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada urutan nomor
empat.
Dikisahkan pula bahwa Barrā’ ibn ‘Āzib pernah
diajari oleh Rasulullah saw. sebuah do’a sebelum tidur yang didalamnya ada kata
“bi nabiyyika” dan ketika itu al-Barra’ menyakan apakah kata itu bisa
diganti dengan “bi rasūlika” beliau menolak, dan tetap meneruskan dengan kata “bi
nabiyyik”. Tingkat kepedulian para sahabat dalam menjaga otentisitas hadis
ini tergambar jelas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum
mereka yakin betul kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya.
Jika mereka menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih
diam. Hal demikian dilakukan karena mengingat peringatan keras Nabi saw yang
akan memasukkan mereka pada golongan pendusta hadis. Sikap demikian tidak hanya
terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat
segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang
sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan
hadis dengan lafal dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama
sekali.
Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis
dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang harus
diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara lain:
1)
Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah
(ta’abbudiyyah), seperti tentang bacaan azan, zikir, doa, syahadat.
Hadis yang bisa dijadikan contoh untuk lafal ibadah ini seperti bacaan dzikir
yang diriwayatkan dari Shaddad bin Aus ra. bahwa Rasulullah saw.bersabda:
سيد الاستغفار: اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، خلقتني وأنا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت، أبوء لك بنعمتكّ عليّ، وأبوء لك بذنبي فاغفر لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بك من شر ما صنعت. إذا قال حين يمسي فمات دخل الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال حين يصبح فمات من يومه مثله.
Artinya: “Paling tingginya ucapan istighfar
adalah: ‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau
menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan ancaman-Mu aku
lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa
ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada yang bisa mengampuni segala dosaku
selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika
ini dibaca pada waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung masuk surga atau
ia termasuk dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi.”
2)
Jawāmi’ al-kalimah
(ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna) karena Nabi saw memiliki faṣaḥaḥ
dalam perkataan yang tidak dimiliki yang lainnya.Bisa diambil contoh seperti
sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari Abū Hurairah ra. bahwa Rasulullah
bersabda
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
artinya: “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”
3)
Hadis yang berkaitan dengan masalah
aqidah seperti tentang dzat dan sifat Allah, rukun Islam, rukun iman, dan
sebagainya. Untuk kategori ini penulis mengambil contoh hadis tentang sifat
Allah.
يقبض الله الأرض يوم القيامة، ويطوي
السماء بيمينه، ثم يقول: أنا الملك، أين
ملوك الأرض؟
Artinya: “Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi
dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman; ‘Akulah
yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”
Namun ketika dihadapkan pada
persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan
perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras mempertahankan
riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin,
Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat
bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan
pada tingkatan sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan
bahasa Arab yang tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan
susunan kalimat Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan
dan perbuatan Nabi saw. Periwayatan secara lafal tidak mungkin seluruh hadis
bisa dilaksanakan mengingat pengertian hadis itu sendiri merupakan segala
sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan,
tekad dan cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam bentuk perkataan sehingga
keharusan periwayatan hadis harus dengan lafal itu tidak bisa terjadi. Tentunya
hal ini tetap dalam batasan-batasan yang telah diungkapkan oleh para ulama di
atas, yaitu tidak boleh masuk pada ranah hadis yang berbau aqidah, ibadah dan
yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi saw.
Sebagaimana yang terdapat dalam
suatu riwayat bahwa Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk-bentuk/cara-cara
sebagai berikut:
a)
Cara lisan dimuka orang banyak yang
terdiri dari kaum laki-laki.
b)
Pengajian rutin dikalangan kaum
laki-laki.
c)
Pengajian diadakan juga dikalangan kaum
wanita setelah kaum wanita memintanya.
Selain itu masih ada riwayat lain
yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya melalui yaitu:
1.
Dengan
lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu malam dan
subuh.
2.
Hadis
Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi” berupa
penerimaan hadiah dari masyarakat.
3.
Hadis
Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak, berisi
jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan
tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.
4.
Cara
Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan
penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah sahabat yang
belum dicontokan langsung oleh Nabi.
5.
Riwayat
lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.
6.
Dalam
bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan
melainkan berupa keadaan.
Itulah tadi bentuk-bentuk
periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan,
berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.
Adapun bentuk atau cara-cara Para
Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai berikut:
a.
Adakala
dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka
hafal benar lafal dari Nabi itu.
b.
Adakala
dengan maknanya saja, yakni mereka maeriwayatkan maknanya bukan lafalnya,
karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi SAW.
Yang penting dari hadis ialah isi,
bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada
dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Alqur’an, yakni harus dengan lafal dan
maknanya yang asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.[24]
b. Bil Ma’na
Dalam sejarah perjalanan hadits
diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW. periwayatan hadits itu diperketat
agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW tetapi
disandarkan kapada Nabi. Disamping itu, hadits harus dilakukan apa adanya,
tidak ada penambahan atau pengurangan. Diharapkan, redaksi hadits tidak
mengalami perubahan.
Tetapi dalam kenyataan, banyak
dijumpai hadits yang dimaksudkannya sama diungkapkan dengan redaksi yang
berbeda-beda. Karena itu, kita menjumpai komentar hadits “muttafaq ‘alaih,
wal-lafdzu li muslim, atau wa lafzu lil- bukhori”. Tampaknya peluang
riwayat hadits dengan makna itu memang ada. Bukankah hadits itu tidak hanya
berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan
tingkah laku nabi yang disaksikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul
redaksi yang berbeda kendati maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya
tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga
berbeda.
Ada sebuah hadits yang
menggambarkan bahwa riwayat dengan redaksi yang berbeda itu ditolelir. Abdullah
ibn Sulaiman al-laits menyampaikan keterbatasan kemampuannya menerima hadits
secara utuh. Artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadits persis seperti apa
yang didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah, terkadang juga berkurang.
Meskipun terjadi perbedaan
dikalangan para fukaha tentang kebolehan tidaknya meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini
merupakan ilmu riwayah hadis yang penting, . Diantara kewajiban para perawi,
ialah menerangkan cara tahammul ialah
dengan cara itu dia menerima apa yang diwahnyukannya. Sebagaimana para ulama
sangat memerlukan dengan cara-cara tahammul di waktu menyampaikan hadis
kepada orang lain, begitu pula sangat memerlukan penyampaian hadis itu
sebagaimana mereka dengar tampa menukar ataupun menggati kalimat-kalimatnya.
Bahkan sebahagian ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi
meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan
dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinukilkan oleh Ibnush Shalah
dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat
bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia dengar.
Dalam bukunya Ahmad Muhammad Šakir
yang berjudul Ihtisar Ulum Al-Hadis, dalam kaitanya dengan Periwayatan dengan
makna. Bahwa seorang perawi yang tidak mengetahui makna hadis sesungguhnya
tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan sifatnya itu. Namun demikian
Jumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa: boleh bagi perawi hadis menyebut
makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila dia seorang
yang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun
kalimat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui
pula hal-hal yang bisa merobahkan makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia
bersifat demikian, bolelah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia
dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perobahan makna
tersebut. begitu juga dengan pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil ibn Ahmad
dan Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’.
Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat
memperbolehkan seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja
bahkan dengan selain bahasa arab.
Bukti lain adalah bahwa periwayatan
hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode
pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan
beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang
kepada makna hadis bukan kepada lafalnya. Intinya bahwa periwayatan hadis
dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena
apabila si perawi bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna,
maka tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama
sependapat menetapkan, bahwa orang yang demikian itu wajib menyampaikan dengan
hadis persis sebagaimana yang ia dengarnya.
Al- Imam Asy Syafi’i telah
menerangkan tentang sifat-sifat perawi yaitu:
“Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna, karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”.
“Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna, karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”.
Seluruh ulama sependapat
menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna
hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayatkan hadis dengan
makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan
yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya
hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu.
Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan
menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan
lafal lebih utama dari pada dengan makna.[25]
3.
Proses Periwayatan Hadis
a)
Periwayatan Zaman nabi
Sahabat dalam
mendapatkan hadis Nabi sangatlah antusias. Kegigihan mendapatkan hadis Nabi
terlihat seperti yang dilakukan Umar ra dengan tetangga ansharnya.
Ditengah-tengah kondisi kesibukan menjalankan usaha untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka, seperti berdagang, mengembala hewan dan usaha yang
lain-lainya. Para sahabat masih tetap menyempatkan diri dan bergantian
menghadiri majlis tersebut menceritakan kepada sahabat yang tidak dapat
menghadiri tersebut.[26]
Melihat peristiwa diatas bahwasanya hadis yang diketahui oleh sahabat tidak
seluruhnya didapatkan langsung dari Nabi, tapi ada juga yang melalui sahabat
yang lain.
Menurut Syuhudi
Ismail minat sahabat dalam menerima dan meriwayatkan hadis berdasarkan petunjuk
Allah SWT. Al – Qur’an menyatakan bahwasanya Nabi adalah uswatun
hasanah panutan utama yang harus diikuti dan ditaati bagi orang yang
beriman. Allah juga memberikan penghargaan yang tinggi bagi orang yang
berpengetahuan. Nabi memerintahkan para sahabat menyampaikan pengajaran kepada
mereka yang tidak hadir, Nabi menyatakan “ boleh jadi orang
yang tidak hadir lebih paham daripada mereka yang hadir”, perintah nabi
mendorong sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh.[27]
b)
Periwayatan Zaman Sahabat
Penerimaan
dan periwayatan hadist Nabi
pada masa ini dilakukan oleh para sahabat dengan sangat selektif. Hal ini
dikarenakan adanya kekhawatiran sahabat bahwa orang-orang yang banyak
meriwayatkan hadis mudah tergelincir karena salah atau lupa, yang pada
gilirannya mereka akan berdusta atas nama Rasullallah SAW dengan tanpa
disadari. Lebih – lebih pada waktu itu para sahabat sangat besar perhatiannya
dalam menghafal al-Qur’an dan tidak ingin perhatiannya terganggu oleh urusan
lain.[28]
Kehati-hatian
sahabat dalam meriwayatkan sebuah hadis ditunjukkan Khulafa’ ar-Rasyiddin
dimana seseorang dilarang memperbanyak meriwayatkan hadis tujuannya agar
periwayat berlaku selektif dalam meriwayatkan hadis, dimana seseorang yang
meriwayatkan dinilai memiliki kredibilitas yang tinggi tidak di bebani
kewajiban mengajukan saksi atau bersumpah.
Riwayat hadis yang diriwayatkna khalifah
sebelum Ali seluruhnya dalam bentuk lisan. Hanya masa kekhalifahan Ali yang
meriwayatkan hadis secara tulisan, disamping secara lisan. Kehati-hatian
menerima dan meriwayatkan hadis ini bukan hanya khusus pada sahabat Khulafa’
al- Rasyidin. Tetapi juga sahabat yang lainnya.[29]
c)
Periwayatan pasca sahabat
Sikap
hati-hati dalam periwayatan hadis dari kalangan ulama pada masa setelah sahabat
terlihat tidak jauh berbeda dengan sikap hati-hati para sahabat Nabi. Disamping
itu kegiatan periwayatan hadis tampak semarak dimana-mana seperti halnya yang
dilakukan oleh Sa’id bin al- Musayyab ( wafat 94 H/ 712 M ) tabiin besar dikota
Madinah, mengaku telah mengadakan perjalanan siang – malam untuk mendapatkan
sebuah hadis.
Begitu
juga yang dilakukan Abu ‘Amr ‘Abd ar- Rahman al- Awzai ( wafat 234 H/ 848 M )
menyatakan, “ apabila dia dan ulama sejawatnya menerima riwayat hadis, maka
hadis itu diteliti bersama. Apabila para ulama menyimpulkan bahwa riwayat itu
memang hadis Nabi, maka al- Awzai mengambilnya dan apabila para ulama tersebut
mengingkarinya, maka ditinggalkannya”.[30]
Sikap
serius dan hati-hati generasi atba’ at- Tabi’in digambarkan oleh
al-Bukhari, diamana al- Bukhari telah melawat untuk mencari dan meneliti hadis
Nabi ke berbagai kota dan daerah- daerah, diantaranya Makkah, Madinah, Syam,
Baghdad, Wasith, Kufah, Bashrah, Mesir, Naysabur, Khurasan, dan lain-lain.
Al
– Bukhari pernah secara mendadak diuji dimuka umum oleh ulama Baghdad, al-
Bukhari tanpa persiapan disodori seratus hadis yang ditukar – tukarkan
sanad dan matannya. Lalu al – Bukhari diminta oleh hadirin yang telah sengaja
ditukar – tukarkan itu. Pada saat itu juga tanpa dibantu oleh catatan dan orang
lain, al-Bukahri mampu dengan lancar mengembalikan sanad dan matan yang telah
ditukar – tukarkan tersebut ke persambungannya masing-masing secara benar. Hal
ini menunjukkan betapa tinggi tingkat penguasaan dan hafalan al – Bukahari
tentang matan dan sanad Hadis yang diriwayatkan.
BAB
III
PENUTUP
B.
Kesimpulan
Berdasarkan dari rumusan masalah diatas dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an
adalah dalil pertama dan utama dalam perujukan dan penetapan hukum Islam.
Al-Qur’an merupakan pokok agama, dasar aqidah, sumber syari’at dan petunjuk
bagi orang-orang bertaqwa. Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dengan makna qirâ’ah
(bacaan), yang dalam pengertian selanjutnya diungkapkan sebagai kumpulan
kalam Allah SWT. yang dibaca dengan lisan makhluk yang berbahasa Arab sebagai
mu’jizat yang diturunkan pada RasulNya, Muhammad saw. melalui perantara
malaikat Jibril yang tertulis di lembaran-lembaran yang teriwayatkan secara
mutawatir serta membacanya mengandung nilai ibadah. Serta al qur’an tidak perlu
diragukan lagi orisinalitasnya karena periwayatan dapat
dikategorikan qat’i al-wurud
2.
Sebuah periwayatan hadits merupakan
bagian proses kodifikasi hadits yang sangat urgen, penting. Karena dalam proses
inilah letak kesahihan hadits, apakah hadits tersebut yang memang benar-benar
bisa diterima dan tidak ada kontradiksi secara subtansinya dengan al-Qur’an.
Sebagimana yang telah ketahui hadits adalah sebuah perkataan seorang manusia,
Nabi, yang tentunya secara gramtika bisa ditiru oleh manusia lain. sedangkan al-Qur’an
adalah perkataan Tuhan, Allah, yang susunan kata-katanya bernilai lebih, baik
bahasa, sastra atau tingkat kesulitan olah letak akhir bunyi dan sisi
hakikatnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Qahar, Mas’ud
Khaasan Abdul. Kamus Ilmu Pengetahuan Populer. Jakarta: CV. Bintang
Pelajar
Ismail, M.
Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi,Cet.I. Jakarta: Bulan
Bintang
al-Shalih, Subhi.
1977M. Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu. Bairut:
Dar al-‘Ilm li Mlayin
Abû al-Khair Muhammad bin Muhammad
al-Dimasyqî (Ibn al-Jazarî). 2000. Al-Nasyr fî Qirâ'ât al 'Asyr, Beirut:
Dâr al-Fikr, tt.Juz I
Badr al-Dîn Muhammad Bahâdir bin ’Abd Allâh
al-Zarkasyi. 2000. Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh,
Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, , juz I
Abû Bakar bin 'Alî al-Râzî (Al-Jashshâsh), Al-Fushûl
fi al-Ushûl, Kuwait: Wizârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt. Juz I
Prof. Dr. M. M. Al-A’zami. 2005. Sejarah al-Qur’an
dari wahyu sampai kompilasi, Gema Insani, Jakarta
Syaikh M. Thahir bin Abdul Qadir Al-Kurdy Al Makky. 2008Tarikh
al-Qur’an wa Gharaibu Rasmihi wa hukmihi, cet. I ditahkik oleh Ust. Dr. Ahmad Isa Al-Mi’sarawy,
Adhwaussalaf, Riyad
Nawawi, Imam. Syarhu
Sohih Muslim, ditahkik oleh Muhamad Abdul ‘Adzim, vol. 15. Kairo: Darut
Taqwa
Suyuti, Imam.
2004. Al-Itqan, ditahkik oleh
Ahmad bin Ali. Cairo: Darul Hadit
As-Syaikh
Kholid Abdurrahaman Al-Ak. 2007. Ushuluttafsir wa Qowa’iduhu, cet.
V. Lebanon: Darun Nafai
Dr.
Abdussalam bin Soleh bin sulaiman Al-Jarulla. 2008. Naqd Assohabah
wattabi’iin littafsir, cet. I. Riyad:
Dar At-Tadmuriyy
Endang Soetari.
1997. Ilmu Hadis, Cet. II. Bandung: Amal Bakti Perss
Ismail, M.Syhudi.
1988. Kaedah Kesahihan Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang
Munzier, Suparta.
2008. “Ilmu hadis”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Ismail, M.
Syuhudi. 1995. Kaedah Kesehehan Sanad
Hadis Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta :
Bulan Bintang
Nurudin. 1995. Ulumul
Hadis I, terj: Endang Soetari dan Mujiyo. Bandung: Remaja Rosda Karya
Ismail, M.
Syuhudi. 1995. “Kaedah Kesehehan Sanad Hadis Telaah Kritis Dan Tinjauan
Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah”. Jakarta : Bulan Bintang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar