Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Kamis, 17 November 2016

MAKALAH EPISTEMOLOGY BURHANI



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kehebatan islam zaman keemasan dengan kemajuan para teknokrat, filusuf dengan kejuan ipteknya kiranya tidaklah hanya sekedar romantisme sejarah yang membius generasi islam di abad 21. Kemajuan ilmu pengetahuan, dan agama mulai dari ilmu lughoh, nahwu, shorof, balaghoh, fiqih, ushul fiqih. Bahkan ilmu pengetahuan juga mengalami kemajuan yang sangat pesat. Muncul para ahli astronomi, arsitektur, kedokteran dan filosof. Kemajuan pengetahuan dan teknologi lazimnya diawali dengan perkembangan filsafat.
Tradisi berfilsafat dalam dunia islam sudah mengakar, jauh sebelum masa helenisme (abad 9 M) walaupun belum bisa disebut dengan filsafat secara formal. Tradisi berfilsafat dalam dunia islam dapat dilihat pada diskusi-diskusi ilmu nahwu shorof, mantiq, dan terlebih diskusi teologi atau ilmu kalam. Muktazilah yang paling banyak memberikan sumbangsih dalam menyusun konstruksi pemikiran islam. Dengan paradigma yang dipandang lebih rasional dibanding aliran lainya, muktazilah berani menyandingkan rasio dengan wahyu dalam mempersoalkan masalah-masalah teologis. Tradisi inilah yang kita sebut dengan berfilsafat sudah berkembang dalam dunia ilmu keislaman.
Pada abad 9 M terjadi perubahan besar-besaran dalam dunia islam. Kholifah daulah abasiah yaitu Al-Makmun saat itu memerintahkan beberapa ulama  untuk menterjemah teks-teks yunani kedalam bahasa Arab. Masuknya buku-buku yunani ke dunia islam membuka paradigm baru. Sebagaimana disampaikan zaprulkhan, “  kehadiran filsafat Yunani banyak memotivasi pengembangan filsafat Islam walaupun hal ini tidak berarti bahwa para pemikir Islam sepenuhnya mengikuti ide-ide orang Yunani. Sebab sekiranya demikian, mereka akan menjadi pemikir-pemikir yang miskin mengenai teori-teori pemikiran filosofis. Sebaliknya mereka menerapkan pemikiran Yunani sebagai metodologi untuk menelaah subyek-subyek keislaman, dan dalam tataran tertentu mereka mengembangkan pula metodologi-metodologi baru sehingga membuahkan gagasan-gagasan cemerlang yang belum pernah ada sebelum di negeri Yunani.[1]
Memasuki era globalisasi diawali dengan modernisasi segala aspek keilmuan dan kehidupan. Situasi pada era modern sangat berbeda dengan abad klasik. Mitologi yang sangat identic dengan abad klasik, pada abad modern sudah mulai diabaikan. Kebenaran yang diterima dalam era ini adalah kebenaran yang bersifat rasionalis empiric. Perkembangan ilmu pengetahuan pada era modern setelah tradisi keilmuan dalam dunia islam mengalami kejumudan, maka baratlah yang pada giliranya mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemampuan pengembangan IPTEK ini diawali dengan perkembangan filsafat yang merupakan embrio metodologi-metodologi ilmiyah yang dikaji dari kajian epistemology fislafat.
Dalam upaya mengejar ketertinggalan keilmuan islam dari eskalasi keilmuan di dunia barat, Amin Abdullah berpendapat bahwa untuk pengembangan dan kajian keilmuan Islam kontemporer, kita tidak lagi bisa berpaling dari dan meninggalkan filsafat. Tanpa sentuhan filsafat, pemikiran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit menjelaskan jati dirinya dalam era global. Namun sekali lagi, apa yang dimaksud filsafat di sini bukan sekedar uraian sejarah dan metafisikanya yang nota bene merupakan “produk” pemikiran melankan lebih pada sebuah metodologi atau epistemology.[2]

B.     Rumusan masalah
1.      Apakah epistemology burhani?
2.      Bagaimanah kontruksi epistemology burhani?
3.      Bagaimanakah implikasi epistemology burhani pada managemen pendidikan Islam?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui serta memahami pengertian epistemology burhani.
2.      Mengetahui dan memahami konstruksi dari epistemology burhani
3.      Memahami implikasi epistemology burhani terhadap managemen pendidikan Islam.

 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN EPISTEMOLOGY BURHANI
Epistemologi merupakan pembicaraan filsafat tentang bagaimanakah sebuah pengetahuan dihasilkan. Menurut Runes dalam kamusnya yang dikuti oleh Ahmad Tafsir. “Epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, structure, method, and validity of knowledge” oleh karena itu epistemology sering disebut sebagai filsafat ilmu pengetahuan. Epistemology pertama kali digunakan oleh JF. Ferrier pada tahun 1854. [3]  epistemology merupakan cabang ilmu filsafat yang secara spesifik mengupas struktur, metode dan validasi knowledge atau ilmu pengetahuan.
Burhani yang dalam bahasa aslinya البرهان dalam arti lughoh atau arti bahasa adalah الحجة الفاصلة البينة    argument/ hujjah yang memberi perincian dan memberi penjelasan. Adapun menurut bahasa inggrisnya demonstration yang berasal dari baha latin demontratio yang berarti  الإشارة  memberi isyarat/ kriteria البيان  menjelaskan  الوصف  mengidentifikasi الإظهارة     menampakkan/ eksplorasi.  Menurut ilmu mantiq, البرهان  adalah proses berfikir dalam upaya mencari kebenaran dengan mengambil kesimpulan. [4]
Menurut khudori soleh mengutip dari al-jabiri bahwa Al-Burhan (demonstrative), secara sederhana bisa diartikan sebagai aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qodliyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenaranya secara aksiomatik.[5]
Dengan demikian, dapat kita fahamii bahwa epistemology burhani merupakan gaya berfikir atau penggalian ilmu pengetahuan yang bertumpu pada kekuatan nalar manusia yaitu melalui pengalaman empiric dan penilaian akal, dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dan segala sesuatu.

B.     Konstruksi Epistemologi burhani
Burhani sangat berbeda dengan dua epistemology lainya yang juga menjadi peroyek Aljabiri dalam Bunyah Aqlul Arobi. Jika bayani dan irfani masih berkaitan langsung dengan teks suci, juga tidak pada pengalaman, maka burhani lebih menyandarkan pada kekuatan logika, rasio dan penalaran. Proses pencarian kebenaran dan pengungkapan ilmu pengetahuan burhani dengan menyusun premis premis hingga mengasilkan sebuah kesimpulan  dengan mengandalan kekuatan dan kecermatan logika. Al-Jabiri membandingkan antara ketiga epistemology tersebut sebagaimana yang telah dikutip oleh Khudhori Soleh, bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non fisik atas realitas fisik (qiyas al-ghoib ala al-syahid) atau furu’ kepada asal; irfani menghasilkan ilmu pengetahuan lewat proses penyatyan rohani paa Tuhan dengan penyatuan universal (kulliat); burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelunya yang telah diyakini kebenaranya.[6]
1.         Sumber epistemologi burhani
Prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles (384 – 322 SM) yang dikenal dengan istilah metode analitik (tahlili), yaitu sebuah kerangka pemikiran yang didasarkan atas proposisi tertentu pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles, digunakan istilah logika dan ketika masuk pada  khasanah pemikiran Islam berganti nama menjadi burhani. Cara berpikir analitik Aristoteles ini, masuk ke dalam pemikiran Islam pertama kali lewat program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa pemerintahan Al-Makmun.[7] Peristiwa penterjenahan ini oleh Al-Jabiri disebut sebagai tonggak sejarah pertemuan antara pemikiran rasional Yunani dan pemikiran keagamaan Arab. Situasi perkembangan pemikiran saat itu memang menuntut adanya proyek penterjemahan tersebut. Yakni munculnya berbagai macam ideologi dari daerah-daerah seperti Iran, India, Persia, dan daerah lain sekitar arab yang tidak mampu dianalisa dan didiagnosa oleh metode bayani, sehingga perlu menggunakan metode lain yang bersifat logis dan rasional.
Nalar burhani masuk pertama kali ke dalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi (806 – 875 M) namun karena minimnya referensi dan dominasi kaum bayani (fuqoha).  Melalui sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah tulisan tentang filsafat yang didasari oleh filsafat Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan tulisan ini kepada khalifah al-Makmun (833 – 842 M). Di dalam al-Falsafah al-Ula, al-Kindi menegasakan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan manusia yang menempati posisi paling tinggi dan paling agung, karena dengannya hakikat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi menepis keraguan orang-orang yang selama ini menolak keberadaan filsafat dan menyatakan bahwa filsafat adalah jalan mengetahui kebenaran. Bahkan Al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam islam; mensejajarkan antara pengetahuan manusia dengan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta bagaimana terjadinya (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaiman pembuktianya, (3) pengetahuan tuhan yang particular, apa ada hubunganya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya .[8]
Naral burhani adalah epistemology yang masuk dalam kategori rasionalis. Masuk kedalam khasanah keilmuan Islam secara formal sebagai solusi untuk mencari jawaban persoalan yang tidak bias di jawab oleh kedua nalar pendahulunya yaitu bayani dan irfani. Sumber atau tema utama burhani adalah relitas atau persoalan yang bersifat rasionalis empiris, sepertihalnya yang dijelaskan oleh Al-Farobi.
Al-Farobi mensyaratkan sumber ilmu pengetahuan dalam menyusun premis-premis dalam epistemology burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan, meyakinkan. Al-Farobi membagi materi premis-premis silogisme menjadi empat bentuk:
(a)    Pengetahuan primer
(b)   Pengetahuan indera (mahsusat)
(c)    Opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat)
(d)   Opini yang diterima (maqbulat).
Keempat premis ini tidak sama tingkat kepercayaanya, ada yang mencapai tingkat meyakinkan, mendekati keyakinan, sehinggga memunculkan hierarki tingkat hasil silogisme. Pengetahuan primer adalah sebuah realitas yang ada dalam alam ide, logika atau rasio manusia. Kemudia sumber kedua yaitu mahshushot adalah penangkapan panca indera terhadap obyek yang kemudian ditashowurkan (digambarkan) pada alam ide, kemudian baru dijadikan premis-premis atau postulat-postulat.

2.         Metode Epistemologi Burhani
Metode rasional atau burhani ini semakin masuk sebagai salah satu system pemikiran Islam Arab adalah masa al-Rozi (865-925 M). Ia lebih ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut Al-Rozi semua pengetahuan – pada prinsipnya – dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akallah yang menjadi hakekat kemanusian, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan.[9]
Metode burhani akhirnya benar-benar mendapat tempat dalam system pemikiran Islam setelah masa al-Farobi (870-950 M). Filosof paripatetik yang dikenal sebagai ‘guru kedua’ (al-muallim al-tsani) setelah Aristoteles sebagai ‘guru pertama’ (al-muallim al-awwal) karena pengaruhnya yang besar dalam peletakan dasar-dasar filsafatnya, bahkan menempatkanya sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukanya dibanding ilmu-ilmu agama; ilmu kalam (teologi) dan fiqh (yurisprudensi), yang tidah mempergunakan metode burhani. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibnu Rusyd (1126-1198) ketika secara jelas menyatakan bahwa metode burhani (demonstratif) untuk kalangan elit terpelajar, metode dialektika (jadal) untuk kalangan menengah dan metode retorik (khitobi) untuk kalangan awam.[10]
Sistem pemikiran Burhani sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan sistem pemikiran Bayani yang secara apriori telah menjadikan realitas kewahyuan (al-Quran dan Sunnah) yang terkemas dalam wacana bahasa dan agama sebagai acuan berpijak bagi pemerolehan pengetahuan. Juga berbeda dengan nalar 'Irfani yang mendasarkan pengetahun pada direct experience (pengalaman langsung). Demikian juga, menurut Ibn Bajjah, nalar Burhani (rasional) berbeda dengan nalar Jadali (dialektis). Nalar Jadali dipergunakan untuk meyakinkan lawan bicara dengan menunjukkan keabsahan atau ketidak absahan suatu ajaran tertentu terlepas dari persoalan apakah pemikiran itu sendiri benar atau tidak. Sedang nalar Burhani dimaksudkan untuk menganalisis  faktor kausalitas dari tema-tema yang dikajinya dan merumuskan suatu kebenaran, yaitu pengetahuan yang bersifat benar dan meyakinkan, atau yang dikenal dalam bahasa Aristoteles sebagai "ilmu". Di sinilah letak "keunggulan" nalar Burhani jika dibandingkan dengan nalar yang lainnya, yaitu adanya kenyataan bahwa ia menggunakan silogisme atau penalaran logis dengan menggunakan premis-premis yang "benar, primer, dan niscaya", sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan pengetahuan yang benar dan pasti. Oleh karenanya, pembuktian secara demonstratif (Burhani) ini dipandang sebagai metode pembuktian yang paling ilmiah.[11]
Sebagaimana telah diuraikan di atas, Aristoteles merupakan orang pertama yang membangun epistemologi burhani yang populer dengan logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia dan Tuhan. Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan metode analitik.. Analitika dipakai untuk menyebut cara penalaran dan argumentasi yang berdasarkan pada pernyataan-pernyataan yang benar, akan tetapi burhani adalah aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik dengan silogisme atau al-qiyas  al-jami` yang tersusun dari beberapa proposisi. Dengan demikian, burhani (al-qiyas al-'ilmi) menekankan tiga syarat, yaitu:
1.         Pertama, mengetahui terma perantara yang 'illah (causa) bagi kesimpulan (ma'rifat al-hadd al-ausat wa al-natijah);
2.         Kedua, keserasian hubungan relasional antara tema-tema dan kesimpulan (tartib al-`alaqah bayn al-illah wa al-ma'lul), antara tema perantara dan kesimpulan-kesimpulan sebagai sistematika qiyas; dan
3.          Ketiga, natijah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin muncul kesimpulan yang lain. Qiyas ketiga ini yang inheren dengan epistemologi burhani.
Ciri utama dalam system epistemology burhani adalah silogisme, tetapi silogisme tidak mesti menunjukan burhani. Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan ‘qiyas’, atau ‘al-qiyas al-jam’i’ yang mengacu pada makna asal, mengumpulkan. Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argument di mana dua proposisi yang disebut premis, dirujuk bersama sedemikian rupa, sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti menyertai.
Namun demikian, karena pengetahuan burhani didasarkan atas obyek-obyek eksternal seperti disinggung di atas, ia harus melalui tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme, (1) tahap pengertian (ma’qulat), (2) tahap pernyataan (ibarat),  dan (3) tahap penalaran (tahliyat).
Tahap pengertian adalah proses abstraksi atas obyek-obyek eksternal yang masuk ke dalam pikiran, dengan merujuk pada 10 kategori yang diberikan Aristoteles. Yaitu Sepuluh kategori tersebut yaitu:
(a)                Substansi, setiap hal pasti berada didalam dirinya sendiri, bukan yang lain. Misalnya, manusia tetaplah berada dalam dirinya sendiri, tidak berada dalam binatang. Begitu pula binatang, tumbuhan, air, dan sebagainya.
(b)               Kualitas, setiap hal pasti berada di dalam kualitas sendiri, bukan yang lain. Misalnya, Aristoteles itu cerdas, bijaksana, putih, dan sebagainya.
(c)                Kuantitas setiap hal pasti berada di dalam bentuk dirinya sendiri, bukan yang lain. Misalnya, dua, setengah, panjang, dalam, seliter, semeter, dan sebagainya.
(d)               Relasi adalah setiap hal pasti berada di dalam hubungan dengan yang lain. Misalnya, Aristoteles murid Plato atau Edi putra dari Bambang, dan sebagainya.
(e)                Tempat atau ruang, eksistensi setiap hal pasti terikat dalam ruang tertentu, atau di dalam habitatnya. Misalnya di rumahnya.
(f)                Waktu, setiap hal dalam eksistensinya pasti terikat dalam waktu tertentu. Misal, Sokrates dalam melakukan seluruh kegiatan kehidupan keluarga, mengatur jadwal yang teratur.
(g)               Keadaan, eksistensi setiap hal pasti terikat dalam keadaan tertentu. Misalnya, air itu begitu tenang (tidak terbebas dari situasi alam) atau Sokrates dalam melakukan seluruh kegiatannya, tidak bias terbebas dari keadaan  dirinya dan situasi lingkungan alam; dan sebagainya.
(h)               Mempunyai, artinya dalam eksistensinya setiap hal pasti terikat dalam kebiasaannya sendiri. Misalnya, kebiasaan berdialog dalam perkuliahan.
(i)                 Berbuat (aksi), dalam hubungannya dengan yang lain, setiap hal pasti memainkan suatu peran. Misalnya sebagai guru. aksi, yaitu pengertian yang menyatakan suatu tindakan atau aktivitas dari ada itu, seperti Socrates itu minum racun.
(j)                 Menderita, setiap hal pasti menanggung derita atas aksi atau tindakan yang diperankan. Misalnya sebagai mempertanggungjawabkan perannya baik sebagai kepala rumah tangga maupun perannya sebagai guru.
Tahap pernyataan adalah proses pembentukan kalimat atau proposisi (qoddiyah) atas pengertian-pengertian yang ada. Dalam proposisi ini harus memuat unsur subjek (maudlu’) dan predikat (mahmul) serta adanya relasi di antara keduanya, dan dari sini hanya lahir satu pengertian serta kebenaran, yakni adanya kesesuaian dengan obyek. Untuk mendapatkan pengertian yang tidak diragukan kebenaranya, pengertian harus mengandung ‘lima kriteria’:
(a)    Spesies (nau’)
(b)   Genus (jins)
(c)    Difrentia (fashl)
(d)   Propium (khas)
(e)    Aksidental (aradh)
Setelah sampai pada tahap pernyataan kemudian dilanjutnya tahap penalaran. Adalah proses pengambilan kesimpulan berdasarkan atas hubungan di antara premis – premis yang ada, dan disinilah terjadilah silogisme. Menurut Al-Jabiri yang dikutib oleh Khudori Sholeh, dengan mengikuti Aristoteles, penarikan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat,
(a)    Mengetahui latar belakang dari penyusunan premis
(b)   Adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan
(c)    Kesimpulan yang diambil harus pasti dan benar sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran dan atau kepastian lain.[12]
Premis dianggap mendekati keyakinan jika hanya mengacu dua kriteria pertama, sedangkan hanya dipercaya belaka mempersyaratkan kriteria pertama diantara ketiga persyaratan tersebut. Dan proposisi pengetahuan primer menduduki peringkat pertama dan teratas dikarenakan memenuhi ketiga syarat yang telah disayarakan dalam kriteria premis yang logis dan rasional.[13]
Kiranya perbedaan antara epistemology burhani dengan rasionalisme filsafat Yunani sangat kongkrit. Kendati pun secara substansi ada letak kesamaanya, bukan berarti epistemology burhani membebek – meminjam istilah khudori soleh – pada rasionalisme barat. Pada statement yang dikutip khudhori silogisme burhani menggunakan pengetahuan primer sebagai  premis-premisnya. Selain itu juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek-objek pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati. Di manapun dan kapan pun, dan dan tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.

3.         Verifikasi Epistemology Burhani
Epistemology burhani dalam memverifasi kebenaranya dengan menggunakan teknik koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsisten. Suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu dapat diterima secara logis dan teori koherensi mamandang bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan yang lain sudah lebih dahulu diketahui,diterima dan diakui sebagai sesuatu yang benar. Dengan demikian suatu keputusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang sudah diketahui,diterima dan diakui kebenarannya.
Proposisi dianggap koheren jika tidak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan yang secara umum diterima kebenaranya baik secara rasional maupun empiric. Contoh: “Semua manusia akan mati. Si Fulan adalah seorang manusia. Si Fulan pasti akan mati.”
4.         Peran Burhani terhadap Epistem berikutnya
Metode burhani menurut catatan sejarah memiliki kelebihan-kelebihan dan keunggulan dibanding dua epistemology lainya (bayani dan irfani), ternyata ditemui mengandung kekurangan, bahwa ia tidak bisa menggapai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional, meski rasio telah mengklaim sesuai dengan prinsip-prinsip segala sesuatu. Bahkan silogosme rasional sendiri pada saat tertentu tidak bisa menjelaskan atau mendefiinisikan sesuai yang diketahuinya.
Menurut suhrowardi, kekurangan rasionalisme antara lain:
(a)    Bahwa ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio atau didekati lewat burhani.
(b)   Ada eksistensi di luar pikiran yang bisa dicapai nalar akan tetapi tidak bisa dijelaskan oleh burhani. Seperti soal warna, bau, rasa atau bayangan.
(c)    Prinsip burhani yang menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan menggiring pada proses tanpa akhir, yang itu berarti didak aka nada absurditas yang bisa diketahui.[14]
Karena itulah pada tahap berikutnya munculah metode iluminasi (isyraki), yaitu penggabungan antara metode burhani yang menganalisa sesuatu atau kebenaran menggunakan kekuatan rasio dan irfani yang menganalisa sesuatu atau mengungkap kebenaran melalui kasf atau intuisi. Metode ini mencoba mengungkap kebenaran yang tidak dapat diungkap melalui rasio dengan menngggunakan intuisi. Yaitu dengan membersihkan hati terlebih dahulu kemudian menganalisa dengan argument-argumen yang rasional.   
Namun ternyata pada akhirnya masih saja ditemukan beberapa kelemahan pada metode iluminasi (isyraki) ini. Metode isyraki hanya berlaku dan diterima oleh para akademisi dan masyarakat kelas atas saja. Kurang menyentuh ada masyarakat kelas bawah. Dan tidak jarang bertentangan dengan kalangan eksiteris (fiqh), bahkan sering menimbulkan kontroversi. Karena itulah Mulla Sadra mencetuskan teori falsafah transenden (hikamah muta’aliyah).
Dengan metode falsafah transenden pengetahuan tidak hanya didapat melalui rasional, melalui kekuatan akal namun bisa juga melalui proses pencerahan ruhaniyah, yang semuanya disajikan dengan bentuk rasional dengan argument-argumen rasional. Bagi kaum muta’aliyah, pengetahuan atau hikmah tidak hanya untuk memberikan pencerahan kognisi tetapi juga realisasi. Mengubah wujud penerima pencerahan itu sendiri dan merealisasikan pengetahuan yang diperoleh   sehingga terjadi transformasi wujud. Semua tidak bisa dicapai kecuali dengan mengikuti syariat, sehingga sebuah pemikiran harus menggaet metode bayani dalam sistemnya. Sebagaimana menurut pandangan M. Amin Abdullah, bahawa untuk mencapai analasa yang sempurna (Kaffah), maka ketiga nalar atau epistemology tersebut haruslah memiliki hubungan yang serkuler. Sebagai gambaran diagram di bawah ini.

C.    Implikasi Nalar Burhani Terhadap Management Pendidikan Islam
Begitu pentingya pendidikan bagi seluruh bangsa dan manusia penduduk dunia pada umumnya wabilkhusus bagi umat islam sehingga munculah berbagai disiplin ilmu dan diskusi-diskusi pendidikan. Pendidikan selalu dibutuhkan dan dibicarakan oleh manusia itu sendiri sejak manusia itu sendiri mulai ada dan diciptakan yakni sejak zaman Adam as. Maka diera moderen munculah Managem pendidikan yang visi misinya adalah mengatur pendidikan agar mencapai tujuan yang diharapkan serta brjalan secara maksimal dan komperhensif.
Berikut ini adalah pandangan beberapa ahli teang pendidikan. Bahwa Pendidikan menjamin kelangsungan hidup suatu bangsa, sebab melalui pendidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki suatu bangsa. Karena itu pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to know, dan how to do tetapi yang amat penting adalah how to be, bagaimana supaya how to beterwujud maka diperlukan transfer budaya dan kultur. [15]
Atau pandangan lainya mengatakan bahwa Education must sift in to the future tense, artinya pendidikan harus berorientasi pada perubahan masa depan.[16] Hal ini yang mendasari untuk pengembangan pendidikan yang berbasis masyarakat Indonesia. Sehingga pendidikan di Indonesia mampu mengikuti perkembangan zaman.[17]
Untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana diungkapkan beberapa pakar pendidikan di atas maka dibutuhkan managemen yang proporsional. Disamping itu juga perlu adanya upaya filosofis untuk menginfentarisir persoalan-persoalan pendidikan, dan menggali solusi dari problem pendidikan tersebut. Yakni melaui kajian epistemologis, dalam kontek pembahasan makalah ini adalah epistemology burhani.
Nalar burhani sebagai nalar epistemologis yang rasional dan empiric, sangat proporsional untuk diaplikasikan dalam managemen pendidikan. Sebab obyek dari managemen pendidikan adalah persoalan-persoalan yang mayoritas rasionalis empiric. Maka penting sekali dalam memecahkan persoalan pendidikan melalui proses silogisme tentulah dengan akurasi premis-premis yang dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya sesuai dengan kritera-kriteria yang sudah dibahas yaitu diantaranya ada yang berpendapat syarat-syarat dari premis-premis ada 3:
(a)    Kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik
(b)   Kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain dirinya
(c)    Kepercayaan bahwa keperyaaan kedua tidak mungkin sebaliknya.

Juga tidak boleh mengabaikan pendapat Al-Farobi yang membagi materi premis-premis silogisme menjadi empat bentuk:
(a)    Pengetahuan primer
(b)   Pengetahuan indera (mahsusat)
(c)    Opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat)
(d)   Opini yang diterima (maqbulat).


 
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Al-Burhan (demonstrative), secara sederhana bisa diartikan sebagai aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qodliyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenaranya secara aksiomatik.
2.      Ciri utama dalam system epistemology burhani adalah silogisme, tetapi silogisme tidak mesti menunjukan burhani. Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan ‘qiyas’, atau ‘al-qiyas al-jam’i’ yang mengacu pada makna asal, mengumpulkan. Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argument di mana dua proposisi yang disebut premis, dirujuk bersama sedemikian rupa, sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti menyertai. Pengetahuan burhani didasarkan atas obyek-obyek eksternal seperti disinggung di atas, ia harus melalui tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme, (1) tahap pengertian (ma’qulat), (2) tahap pernyataan (ibarat),  dan (3) tahap penalaran (tahliyat).
3.      Managemen pendidikan Islam merupakan diskursus yang termasuk dalam tema pembahasan dengan objek empiris, maka epistemology burhani sangat tajam jika diterapkan sebagai pisau analisa managemen pendidikan Islam.






DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, 2010 “Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra”, Bandung, PT Remaja Rosda Karya:
Khudori Sholeh, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
Khudori Sholeh, 2013, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
Mohammed Abed Al-Jabiri,” Bunyah Aqlul Arobi”,  Beirut, Al-Markaz Dirasat Al-wahdah Al-Islamiyyah
Mulyadi Kartanegara, 2003 "Fondasi Metafisik Bangunan Epistemologi Islam", dalam M. Amin Abdullah dkk. Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan epistemologi Islam dan Umum, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press,
Zaprulkhan, 2014, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, Jakarta, Rajawali Pers
Muhamad Nurdin. 2005. Pendidikan yang menyebalkan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.



[1] Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, Jakarta, Rajawali Pers, 2014: Hlm. 3
[2] Amin Abdulah, Khudhori Sholeh, Pengantar “Wacana Filsafat Baru” Yogyakarta, Purtaka Pelajar
[3] Ahmad Tafsir, “Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra”, Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 2010; hlm 23
[4] Mohammed Abed Al-Jabiri,2007, ” Bunyah Aqlul Arobi”,  Beirut, Al-Markaz Dirasat Al-wahdah Al-Islamiyyah, hlm 383
[5] Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Purtaka Pelajar, 2004,hlm 219.
[6] Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Purtaka Pelajar, 2004,hlm  219
 [7] Khudori Sholeh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013,  hlm. 276.
 [8] Muhammad Abed al-Jabiri, bagian ketiga, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut, Markaz ad-Dirasat Wahdah al-‘Arabiyah, 2007, , hlm. 416-417.
[9] Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Purtaka Pelajar, 2004,hlm 221.
[10] Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Purtaka Pelajar, 2004, hlm 222.
  [11] Mulyadi Kartanegara, "Fondasi Metafisik Bangunan Epistemologi Islam", dalam M. Amin Abdullah dkk. Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan epistemologi Islam dan Umum, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003, hlm. 26-27.
[12] Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Purtaka Pelajar, 2004, hlm 225.
[13] Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Purtaka Pelajar, 2004,  hlm 226.
[14] Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Purtaka Pelajar, 2004, hlm 228.
[15] Haidar Putra Daulay,  Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia hal 9.
[16] Muhamad Nurdin. 2005. Pendidikan yang menyebalkan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hal 30.
[17] Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Hal 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar