BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehebatan islam
zaman keemasan dengan kemajuan para teknokrat, filusuf dengan kejuan ipteknya kiranya
tidaklah hanya sekedar romantisme sejarah yang membius generasi islam di abad
21. Kemajuan ilmu pengetahuan, dan agama mulai dari ilmu lughoh, nahwu, shorof,
balaghoh, fiqih, ushul fiqih. Bahkan ilmu pengetahuan juga mengalami kemajuan
yang sangat pesat. Muncul para ahli astronomi, arsitektur, kedokteran dan
filosof. Kemajuan pengetahuan dan teknologi lazimnya diawali dengan perkembangan
filsafat.
Tradisi
berfilsafat dalam dunia islam sudah mengakar, jauh sebelum masa helenisme (abad
9 M) walaupun belum bisa disebut dengan filsafat secara formal. Tradisi
berfilsafat dalam dunia islam dapat dilihat pada diskusi-diskusi ilmu nahwu shorof,
mantiq, dan terlebih diskusi teologi atau ilmu kalam. Muktazilah yang paling
banyak memberikan sumbangsih dalam menyusun konstruksi pemikiran islam. Dengan
paradigma yang dipandang lebih rasional dibanding aliran lainya, muktazilah
berani menyandingkan rasio dengan wahyu dalam mempersoalkan masalah-masalah
teologis. Tradisi inilah yang kita sebut dengan berfilsafat sudah berkembang
dalam dunia ilmu keislaman.
Pada abad 9 M
terjadi perubahan besar-besaran dalam dunia islam. Kholifah daulah abasiah yaitu
Al-Makmun saat itu memerintahkan beberapa ulama
untuk menterjemah teks-teks yunani kedalam bahasa Arab. Masuknya
buku-buku yunani ke dunia islam membuka paradigm baru. Sebagaimana disampaikan
zaprulkhan, “ kehadiran filsafat Yunani
banyak memotivasi pengembangan filsafat Islam walaupun hal ini tidak berarti
bahwa para pemikir Islam sepenuhnya mengikuti ide-ide orang Yunani. Sebab
sekiranya demikian, mereka akan menjadi pemikir-pemikir yang miskin mengenai
teori-teori pemikiran filosofis. Sebaliknya mereka menerapkan pemikiran Yunani
sebagai metodologi untuk menelaah subyek-subyek keislaman, dan dalam tataran
tertentu mereka mengembangkan pula metodologi-metodologi baru sehingga
membuahkan gagasan-gagasan cemerlang yang belum pernah ada sebelum di negeri Yunani.[1]
Memasuki era
globalisasi diawali dengan modernisasi segala aspek keilmuan dan kehidupan.
Situasi pada era modern sangat berbeda dengan abad klasik. Mitologi yang sangat
identic dengan abad klasik, pada abad modern sudah mulai diabaikan. Kebenaran yang
diterima dalam era ini adalah kebenaran yang bersifat rasionalis empiric.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada era modern setelah tradisi keilmuan dalam
dunia islam mengalami kejumudan, maka baratlah yang pada giliranya mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemampuan pengembangan IPTEK ini
diawali dengan perkembangan filsafat yang merupakan embrio
metodologi-metodologi ilmiyah yang dikaji dari kajian epistemology fislafat.
Dalam upaya
mengejar ketertinggalan keilmuan islam dari eskalasi keilmuan di dunia barat, Amin
Abdullah berpendapat bahwa untuk pengembangan dan kajian keilmuan Islam
kontemporer, kita tidak lagi bisa berpaling dari dan meninggalkan filsafat.
Tanpa sentuhan filsafat, pemikiran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit
menjelaskan jati dirinya dalam era global. Namun sekali lagi, apa yang dimaksud
filsafat di sini bukan sekedar uraian sejarah dan metafisikanya yang nota bene
merupakan “produk” pemikiran melankan lebih pada sebuah metodologi atau
epistemology.[2]
B.
Rumusan masalah
1.
Apakah epistemology burhani?
2.
Bagaimanah kontruksi epistemology
burhani?
3.
Bagaimanakah implikasi epistemology
burhani pada managemen pendidikan Islam?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui serta memahami pengertian
epistemology burhani.
2.
Mengetahui dan memahami konstruksi dari epistemology
burhani
3.
Memahami implikasi epistemology burhani
terhadap managemen pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN EPISTEMOLOGY BURHANI
Epistemologi
merupakan pembicaraan filsafat tentang bagaimanakah sebuah pengetahuan dihasilkan.
Menurut Runes dalam kamusnya yang dikuti oleh Ahmad Tafsir. “Epistemology is
the branch of philosophy which investigates the origin, structure, method, and
validity of knowledge” oleh karena itu epistemology sering disebut sebagai
filsafat ilmu pengetahuan. Epistemology pertama kali digunakan oleh JF. Ferrier
pada tahun 1854. [3] epistemology merupakan cabang ilmu filsafat
yang secara spesifik mengupas struktur, metode dan validasi knowledge
atau ilmu pengetahuan.
Burhani yang
dalam bahasa aslinya البرهان dalam arti lughoh atau arti bahasa
adalah الحجة الفاصلة البينة argument/ hujjah yang memberi perincian dan
memberi penjelasan. Adapun menurut bahasa inggrisnya demonstration yang berasal
dari baha latin demontratio yang berarti الإشارة memberi isyarat/ kriteria البيان menjelaskan الوصف
mengidentifikasi
الإظهارة menampakkan/ eksplorasi. Menurut ilmu mantiq, البرهان adalah proses
berfikir dalam upaya mencari kebenaran dengan mengambil kesimpulan. [4]
Menurut
khudori soleh mengutip dari al-jabiri bahwa Al-Burhan (demonstrative), secara
sederhana bisa diartikan sebagai aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran
proposisi (qodliyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintaj) dengan
mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti
kebenaranya secara aksiomatik.[5]
Dengan
demikian, dapat kita fahamii bahwa epistemology burhani merupakan gaya berfikir
atau penggalian ilmu pengetahuan yang bertumpu pada kekuatan nalar manusia
yaitu melalui pengalaman empiric dan penilaian akal, dalam mendapatkan ilmu
pengetahuan dan segala sesuatu.
B.
Konstruksi Epistemologi burhani
Burhani
sangat berbeda dengan dua epistemology lainya yang juga menjadi peroyek
Aljabiri dalam Bunyah Aqlul Arobi. Jika bayani dan irfani masih berkaitan langsung
dengan teks suci, juga tidak pada pengalaman, maka burhani lebih menyandarkan
pada kekuatan logika, rasio dan penalaran. Proses pencarian kebenaran dan
pengungkapan ilmu pengetahuan burhani dengan menyusun premis premis hingga
mengasilkan sebuah kesimpulan dengan
mengandalan kekuatan dan kecermatan logika. Al-Jabiri membandingkan antara
ketiga epistemology tersebut sebagaimana yang telah dikutip oleh Khudhori Soleh,
bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non fisik atas
realitas fisik (qiyas al-ghoib ala al-syahid) atau furu’ kepada asal; irfani
menghasilkan ilmu pengetahuan lewat proses penyatyan rohani paa Tuhan dengan
penyatuan universal (kulliat); burhani menghasilkan pengetahuan melalui
prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelunya yang telah diyakini
kebenaranya.[6]
1.
Sumber epistemologi burhani
Prinsip burhani pertama kali dibangun oleh
Aristoteles (384 – 322 SM) yang dikenal dengan istilah metode analitik (tahlili),
yaitu sebuah kerangka pemikiran yang didasarkan atas proposisi tertentu pada
masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles, digunakan istilah
logika dan ketika masuk pada khasanah
pemikiran Islam berganti nama menjadi burhani. Cara berpikir analitik Aristoteles ini, masuk ke dalam
pemikiran Islam pertama kali lewat program penterjemahan buku-buku filsafat
yang gencar dilakukan pada masa pemerintahan Al-Makmun.[7]
Peristiwa penterjenahan ini oleh Al-Jabiri disebut sebagai tonggak sejarah
pertemuan antara pemikiran rasional Yunani dan pemikiran keagamaan Arab.
Situasi perkembangan pemikiran saat itu memang menuntut adanya proyek
penterjemahan tersebut. Yakni munculnya berbagai macam ideologi dari
daerah-daerah seperti Iran, India, Persia, dan daerah lain sekitar arab yang
tidak mampu dianalisa dan didiagnosa oleh metode bayani, sehingga perlu
menggunakan metode lain yang bersifat logis dan rasional.
Nalar burhani masuk pertama kali ke dalam
peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi (806 – 875 M) namun karena minimnya
referensi dan dominasi kaum bayani (fuqoha).
Melalui sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah
tulisan tentang filsafat yang didasari oleh filsafat Aristoteles. Al-Kindi
menghadiahkan tulisan ini kepada khalifah al-Makmun (833 – 842 M). Di dalam al-Falsafah
al-Ula, al-Kindi menegasakan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan
manusia yang menempati posisi paling tinggi dan paling agung, karena dengannya
hakikat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi
menepis keraguan orang-orang yang selama ini menolak keberadaan filsafat dan
menyatakan bahwa filsafat adalah jalan mengetahui kebenaran. Bahkan Al-Kindi
telah memperkenalkan persoalan baru dalam islam; mensejajarkan antara
pengetahuan manusia dengan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus
hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta bagaimana terjadinya (2)
keabadian jiwa, apa artinya dan bagaiman pembuktianya, (3) pengetahuan tuhan
yang particular, apa ada hubunganya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya .[8]
Naral burhani adalah epistemology yang masuk dalam
kategori rasionalis. Masuk kedalam khasanah keilmuan Islam secara formal
sebagai solusi untuk mencari jawaban persoalan yang tidak bias di jawab oleh
kedua nalar pendahulunya yaitu bayani dan irfani. Sumber atau tema utama
burhani adalah relitas atau persoalan yang bersifat rasionalis empiris,
sepertihalnya yang dijelaskan oleh Al-Farobi.
Al-Farobi
mensyaratkan sumber ilmu pengetahuan dalam menyusun premis-premis dalam
epistemology burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan
diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan, meyakinkan.
Al-Farobi membagi materi premis-premis silogisme menjadi empat bentuk:
(a)
Pengetahuan primer
(b)
Pengetahuan indera (mahsusat)
(c)
Opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat)
(d)
Opini yang diterima (maqbulat).
Keempat
premis ini tidak sama tingkat kepercayaanya, ada yang mencapai tingkat
meyakinkan, mendekati keyakinan, sehinggga memunculkan hierarki tingkat hasil
silogisme. Pengetahuan primer adalah sebuah realitas yang ada dalam alam ide,
logika atau rasio manusia. Kemudia sumber kedua yaitu mahshushot adalah
penangkapan panca indera terhadap obyek yang kemudian ditashowurkan
(digambarkan) pada alam ide, kemudian baru dijadikan premis-premis atau
postulat-postulat.
2.
Metode Epistemologi Burhani
Metode rasional atau burhani ini semakin masuk
sebagai salah satu system pemikiran Islam Arab adalah masa al-Rozi (865-925 M).
Ia lebih ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni
yang hanya mempercayai akal. Menurut Al-Rozi semua pengetahuan – pada
prinsipnya – dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akallah yang
menjadi hakekat kemanusian, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh
pengetahuan.[9]
Metode burhani akhirnya benar-benar mendapat tempat
dalam system pemikiran Islam setelah masa al-Farobi (870-950 M). Filosof
paripatetik yang dikenal sebagai ‘guru kedua’ (al-muallim al-tsani)
setelah Aristoteles sebagai ‘guru pertama’ (al-muallim al-awwal) karena
pengaruhnya yang besar dalam peletakan dasar-dasar filsafatnya, bahkan menempatkanya
sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai
metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukanya dibanding ilmu-ilmu agama; ilmu
kalam (teologi) dan fiqh (yurisprudensi), yang tidah mempergunakan metode
burhani. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibnu Rusyd (1126-1198) ketika secara
jelas menyatakan bahwa metode burhani (demonstratif) untuk kalangan elit
terpelajar, metode dialektika (jadal) untuk kalangan menengah dan metode
retorik (khitobi) untuk kalangan awam.[10]
Sistem pemikiran Burhani sangatlah berbeda
jika dibandingkan dengan sistem pemikiran Bayani yang secara apriori
telah menjadikan realitas kewahyuan (al-Quran dan Sunnah) yang terkemas
dalam wacana bahasa dan agama sebagai acuan berpijak bagi pemerolehan
pengetahuan. Juga berbeda dengan nalar 'Irfani yang mendasarkan
pengetahun pada direct experience (pengalaman langsung). Demikian juga,
menurut Ibn Bajjah, nalar Burhani (rasional) berbeda dengan nalar Jadali
(dialektis). Nalar Jadali dipergunakan untuk meyakinkan lawan bicara
dengan menunjukkan keabsahan atau ketidak absahan suatu ajaran tertentu
terlepas dari persoalan apakah pemikiran itu sendiri benar atau tidak. Sedang
nalar Burhani dimaksudkan untuk menganalisis faktor kausalitas dari tema-tema yang
dikajinya dan merumuskan suatu kebenaran, yaitu pengetahuan yang bersifat benar
dan meyakinkan, atau yang dikenal dalam bahasa Aristoteles sebagai
"ilmu". Di sinilah letak "keunggulan" nalar Burhani jika
dibandingkan dengan nalar yang lainnya, yaitu adanya kenyataan bahwa ia
menggunakan silogisme atau penalaran logis dengan menggunakan premis-premis
yang "benar, primer, dan niscaya", sehingga menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan pengetahuan yang benar dan pasti. Oleh karenanya,
pembuktian secara demonstratif (Burhani) ini dipandang sebagai metode
pembuktian yang paling ilmiah.[11]
Sebagaimana telah diuraikan di atas, Aristoteles
merupakan orang pertama yang membangun epistemologi burhani yang populer dengan
logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia dan Tuhan.
Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan metode analitik.. Analitika
dipakai untuk menyebut cara penalaran dan argumentasi yang berdasarkan pada
pernyataan-pernyataan yang benar, akan tetapi burhani adalah aktifitas
berpikir secara mantiqi yang identik dengan silogisme atau al-qiyas
al-jami` yang tersusun dari beberapa proposisi. Dengan
demikian, burhani (al-qiyas al-'ilmi) menekankan tiga syarat,
yaitu:
1.
Pertama,
mengetahui terma perantara yang 'illah (causa) bagi kesimpulan (ma'rifat
al-hadd al-ausat wa al-natijah);
2.
Kedua,
keserasian hubungan relasional antara tema-tema dan kesimpulan (tartib
al-`alaqah bayn al-illah wa al-ma'lul), antara tema perantara dan
kesimpulan-kesimpulan sebagai sistematika qiyas; dan
3.
Ketiga,
natijah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin
muncul kesimpulan yang lain. Qiyas ketiga ini yang inheren dengan epistemologi burhani.
Ciri
utama dalam system epistemology burhani adalah silogisme, tetapi silogisme
tidak mesti menunjukan burhani. Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan
dengan ‘qiyas’, atau ‘al-qiyas al-jam’i’ yang mengacu pada makna asal, mengumpulkan.
Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argument di mana dua proposisi
yang disebut premis, dirujuk bersama sedemikian rupa, sehingga sebuah keputusan
(konklusi) pasti menyertai.
Namun
demikian, karena pengetahuan burhani didasarkan atas obyek-obyek eksternal
seperti disinggung di atas, ia harus melalui tahapan-tahapan sebelum dilakukan
silogisme, (1) tahap pengertian (ma’qulat), (2) tahap pernyataan (ibarat), dan (3) tahap penalaran (tahliyat).
Tahap pengertian adalah proses abstraksi atas
obyek-obyek eksternal yang masuk ke dalam pikiran, dengan merujuk pada 10
kategori yang diberikan Aristoteles. Yaitu Sepuluh kategori tersebut yaitu:
(a)
Substansi, setiap hal pasti berada
didalam dirinya sendiri, bukan yang lain. Misalnya, manusia tetaplah berada
dalam dirinya sendiri, tidak berada dalam binatang. Begitu pula binatang,
tumbuhan, air, dan sebagainya.
(b)
Kualitas, setiap hal pasti berada di dalam kualitas sendiri, bukan yang lain. Misalnya, Aristoteles itu cerdas, bijaksana, putih, dan
sebagainya.
(c)
Kuantitas setiap hal pasti berada di
dalam bentuk dirinya sendiri, bukan yang lain. Misalnya, dua, setengah,
panjang, dalam, seliter, semeter, dan sebagainya.
(d)
Relasi adalah setiap hal pasti berada
di dalam hubungan dengan yang lain. Misalnya, Aristoteles murid Plato atau Edi putra dari Bambang, dan
sebagainya.
(e)
Tempat atau ruang, eksistensi setiap hal
pasti terikat dalam ruang tertentu, atau di dalam habitatnya. Misalnya di
rumahnya.
(f)
Waktu, setiap hal
dalam eksistensinya pasti terikat dalam waktu tertentu.
Misal, Sokrates dalam melakukan seluruh kegiatan kehidupan keluarga,
mengatur jadwal yang teratur.
(g)
Keadaan, eksistensi setiap hal pasti
terikat dalam keadaan tertentu. Misalnya, air itu begitu tenang (tidak terbebas
dari situasi alam) atau Sokrates dalam melakukan seluruh kegiatannya, tidak bias terbebas dari keadaan
dirinya dan situasi lingkungan alam; dan sebagainya.
(h)
Mempunyai, artinya dalam eksistensinya setiap hal pasti terikat
dalam kebiasaannya sendiri. Misalnya, kebiasaan berdialog dalam perkuliahan.
(i)
Berbuat (aksi), dalam hubungannya dengan
yang lain, setiap hal pasti memainkan suatu peran. Misalnya sebagai guru. aksi, yaitu pengertian yang menyatakan
suatu tindakan atau aktivitas dari ada itu, seperti Socrates itu minum racun.
(j)
Menderita, setiap hal pasti menanggung
derita atas aksi atau tindakan yang diperankan. Misalnya sebagai mempertanggungjawabkan perannya baik sebagai kepala
rumah tangga maupun perannya sebagai guru.
Tahap
pernyataan adalah proses pembentukan kalimat atau proposisi (qoddiyah) atas
pengertian-pengertian yang ada. Dalam proposisi ini harus memuat unsur subjek
(maudlu’) dan predikat (mahmul) serta adanya relasi di antara keduanya, dan
dari sini hanya lahir satu pengertian serta kebenaran, yakni adanya kesesuaian
dengan obyek. Untuk mendapatkan pengertian yang tidak diragukan kebenaranya,
pengertian harus mengandung ‘lima kriteria’:
(a)
Spesies (nau’)
(b)
Genus (jins)
(c)
Difrentia (fashl)
(d)
Propium (khas)
(e)
Aksidental (aradh)
Setelah
sampai pada tahap pernyataan kemudian dilanjutnya tahap penalaran. Adalah
proses pengambilan kesimpulan berdasarkan atas hubungan di antara premis –
premis yang ada, dan disinilah terjadilah silogisme. Menurut Al-Jabiri yang
dikutib oleh Khudori Sholeh, dengan mengikuti Aristoteles, penarikan silogisme
ini harus memenuhi beberapa syarat,
(a)
Mengetahui latar belakang dari
penyusunan premis
(b)
Adanya konsistensi logis antara alasan
dan kesimpulan
(c)
Kesimpulan yang diambil harus pasti dan
benar sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran dan atau kepastian lain.[12]
Premis
dianggap mendekati keyakinan jika hanya mengacu dua kriteria pertama, sedangkan
hanya dipercaya belaka mempersyaratkan kriteria pertama diantara ketiga
persyaratan tersebut. Dan proposisi pengetahuan primer menduduki peringkat
pertama dan teratas dikarenakan memenuhi ketiga syarat yang telah disayarakan
dalam kriteria premis yang logis dan rasional.[13]
Kiranya
perbedaan antara epistemology burhani dengan rasionalisme filsafat Yunani
sangat kongkrit. Kendati pun secara substansi ada letak kesamaanya, bukan
berarti epistemology burhani membebek – meminjam istilah khudori soleh – pada
rasionalisme barat. Pada statement yang dikutip khudhori silogisme burhani
menggunakan pengetahuan primer sebagai
premis-premisnya. Selain itu juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis
pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek-objek pengetahuan indera tersebut
harus senantiasa sama (konstan) saat diamati. Di manapun dan kapan pun, dan dan
tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.
3.
Verifikasi Epistemology Burhani
Epistemology burhani
dalam memverifasi kebenaranya dengan menggunakan teknik koherensi adalah teori
kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsisten. Suatu
pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu dapat diterima secara logis dan
teori koherensi mamandang bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara suatu
pernyataan dengan pernyataan yang lain sudah lebih dahulu diketahui,diterima
dan diakui sebagai sesuatu yang benar. Dengan demikian suatu keputusan dianggap
benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya
yang sudah diketahui,diterima dan diakui kebenarannya.
Proposisi dianggap
koheren jika tidak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan yang secara umum
diterima kebenaranya baik secara rasional maupun empiric. Contoh: “Semua
manusia akan mati. Si Fulan adalah seorang manusia. Si Fulan pasti akan mati.”
4.
Peran Burhani terhadap Epistem
berikutnya
Metode
burhani menurut catatan sejarah memiliki kelebihan-kelebihan dan keunggulan
dibanding dua epistemology lainya (bayani dan irfani), ternyata ditemui
mengandung kekurangan, bahwa ia tidak bisa menggapai seluruh realitas wujud.
Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional, meski rasio telah
mengklaim sesuai dengan prinsip-prinsip segala sesuatu. Bahkan silogosme
rasional sendiri pada saat tertentu tidak bisa menjelaskan atau mendefiinisikan
sesuai yang diketahuinya.
Menurut
suhrowardi, kekurangan rasionalisme antara lain:
(a)
Bahwa ada kebenaran-kebenaran yang tidak
bisa dicapai oleh rasio atau didekati lewat burhani.
(b)
Ada eksistensi di luar pikiran yang bisa
dicapai nalar akan tetapi tidak bisa dijelaskan oleh burhani. Seperti soal
warna, bau, rasa atau bayangan.
(c)
Prinsip burhani yang menyatakan bahwa
atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan menggiring pada
proses tanpa akhir, yang itu berarti didak aka nada absurditas yang bisa
diketahui.[14]
Karena
itulah pada tahap berikutnya munculah metode iluminasi (isyraki), yaitu
penggabungan antara metode burhani yang menganalisa sesuatu atau kebenaran
menggunakan kekuatan rasio dan irfani yang menganalisa sesuatu atau mengungkap
kebenaran melalui kasf atau intuisi. Metode ini mencoba mengungkap kebenaran
yang tidak dapat diungkap melalui rasio dengan menngggunakan intuisi. Yaitu
dengan membersihkan hati terlebih dahulu kemudian menganalisa dengan
argument-argumen yang rasional.
Namun
ternyata pada akhirnya masih saja ditemukan beberapa kelemahan pada metode
iluminasi (isyraki) ini. Metode isyraki hanya berlaku dan diterima oleh para
akademisi dan masyarakat kelas atas saja. Kurang menyentuh ada masyarakat kelas
bawah. Dan tidak jarang bertentangan dengan kalangan eksiteris (fiqh), bahkan
sering menimbulkan kontroversi. Karena itulah Mulla Sadra mencetuskan teori
falsafah transenden (hikamah muta’aliyah).
Dengan
metode falsafah transenden pengetahuan tidak hanya didapat melalui rasional,
melalui kekuatan akal namun bisa juga melalui proses pencerahan ruhaniyah, yang
semuanya disajikan dengan bentuk rasional dengan argument-argumen rasional.
Bagi kaum muta’aliyah, pengetahuan atau hikmah tidak hanya untuk memberikan
pencerahan kognisi tetapi juga realisasi. Mengubah wujud penerima pencerahan
itu sendiri dan merealisasikan pengetahuan yang diperoleh sehingga terjadi transformasi wujud. Semua
tidak bisa dicapai kecuali dengan mengikuti syariat, sehingga sebuah pemikiran
harus menggaet metode bayani dalam sistemnya. Sebagaimana menurut pandangan M.
Amin Abdullah, bahawa untuk mencapai analasa yang sempurna (Kaffah), maka
ketiga nalar atau epistemology tersebut haruslah memiliki hubungan yang
serkuler. Sebagai gambaran diagram di bawah ini.
C.
Implikasi Nalar Burhani Terhadap
Management Pendidikan Islam
Begitu pentingya pendidikan bagi seluruh
bangsa dan manusia penduduk dunia pada umumnya wabilkhusus bagi umat
islam sehingga munculah berbagai disiplin ilmu dan diskusi-diskusi pendidikan.
Pendidikan selalu dibutuhkan dan dibicarakan oleh manusia itu sendiri sejak
manusia itu sendiri mulai ada dan diciptakan yakni sejak zaman Adam as. Maka
diera moderen munculah Managem pendidikan yang visi misinya adalah mengatur
pendidikan agar mencapai tujuan yang diharapkan serta brjalan secara maksimal
dan komperhensif.
Berikut ini adalah pandangan beberapa
ahli teang pendidikan. Bahwa Pendidikan menjamin kelangsungan hidup suatu
bangsa, sebab melalui pendidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang
dimiliki suatu bangsa. Karena itu pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to
know, dan how to do tetapi yang amat penting adalah how to be, bagaimana
supaya how to beterwujud maka diperlukan transfer budaya dan kultur. [15]
Atau pandangan lainya mengatakan bahwa Education must sift in to the future tense,
artinya pendidikan harus berorientasi pada perubahan masa depan.[16]
Hal ini yang mendasari untuk pengembangan pendidikan yang berbasis masyarakat
Indonesia. Sehingga pendidikan di Indonesia mampu mengikuti perkembangan zaman.[17]
Untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana
diungkapkan beberapa pakar pendidikan di atas maka dibutuhkan managemen yang
proporsional. Disamping itu juga perlu adanya upaya filosofis untuk
menginfentarisir persoalan-persoalan pendidikan, dan menggali solusi dari
problem pendidikan tersebut. Yakni melaui kajian epistemologis, dalam kontek
pembahasan makalah ini adalah epistemology burhani.
Nalar burhani sebagai nalar
epistemologis yang rasional dan empiric, sangat proporsional untuk
diaplikasikan dalam managemen pendidikan. Sebab obyek dari managemen pendidikan
adalah persoalan-persoalan yang mayoritas rasionalis empiric. Maka penting
sekali dalam memecahkan persoalan pendidikan melalui proses silogisme tentulah
dengan akurasi premis-premis yang dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya
sesuai dengan kritera-kriteria yang sudah dibahas yaitu diantaranya ada yang
berpendapat syarat-syarat dari premis-premis ada 3:
(a)
Kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu
berada atau tidak dalam kondisi spesifik
(b)
Kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak
mungkin merupakan sesuatu yang lain selain dirinya
(c)
Kepercayaan bahwa keperyaaan kedua tidak
mungkin sebaliknya.
Juga tidak boleh
mengabaikan pendapat Al-Farobi yang membagi materi premis-premis silogisme
menjadi empat bentuk:
(a)
Pengetahuan primer
(b)
Pengetahuan indera (mahsusat)
(c)
Opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat)
(d)
Opini yang diterima (maqbulat).
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Al-Burhan (demonstrative), secara
sederhana bisa diartikan sebagai aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran
proposisi (qodliyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintaj) dengan
mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti
kebenaranya secara aksiomatik.
2.
Ciri utama dalam system epistemology
burhani adalah silogisme, tetapi silogisme tidak mesti menunjukan burhani.
Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan ‘qiyas’, atau ‘al-qiyas
al-jam’i’ yang mengacu pada makna asal, mengumpulkan. Secara istilah, silogisme
adalah suatu bentuk argument di mana dua proposisi yang disebut premis, dirujuk
bersama sedemikian rupa, sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti menyertai.
Pengetahuan burhani didasarkan atas obyek-obyek eksternal seperti disinggung di
atas, ia harus melalui tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme, (1) tahap
pengertian (ma’qulat), (2) tahap pernyataan (ibarat), dan (3) tahap penalaran (tahliyat).
3.
Managemen pendidikan Islam merupakan
diskursus yang termasuk dalam tema pembahasan dengan objek empiris, maka
epistemology burhani sangat tajam jika diterapkan sebagai pisau analisa managemen
pendidikan Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Tafsir, 2010 “Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra”,
Bandung, PT Remaja Rosda Karya:
Khudori
Sholeh, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
Khudori
Sholeh, 2013, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media,
Mohammed
Abed Al-Jabiri,” Bunyah Aqlul Arobi”,
Beirut, Al-Markaz Dirasat Al-wahdah Al-Islamiyyah
Mulyadi
Kartanegara, 2003 "Fondasi Metafisik Bangunan Epistemologi Islam",
dalam M. Amin Abdullah dkk. Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum:
Upaya Mempertemukan epistemologi Islam dan Umum, Yogyakarta: Sunan Kalijaga
Press,
Zaprulkhan,
2014, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, Jakarta, Rajawali Pers
Muhamad
Nurdin. 2005. Pendidikan yang menyebalkan.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Azyumardi
Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan
Nasional. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
[1] Zaprulkhan, Filsafat
Islam Sebuah Kajian Tematik, Jakarta, Rajawali Pers, 2014: Hlm. 3
[2] Amin Abdulah, Khudhori
Sholeh, Pengantar “Wacana Filsafat Baru” Yogyakarta, Purtaka Pelajar
[3] Ahmad Tafsir, “Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra”, Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 2010; hlm 23
[4] Mohammed Abed Al-Jabiri,2007, ” Bunyah Aqlul Arobi”, Beirut, Al-Markaz Dirasat Al-wahdah
Al-Islamiyyah, hlm 383
[15] Haidar Putra
Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem
Pendidikan Nasional di Indonesia hal 9.
[16] Muhamad Nurdin. 2005. Pendidikan
yang menyebalkan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hal 30.
[17] Azyumardi Azra. 2002. Paradigma
Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Hal 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar