Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Kamis, 17 November 2016

MAKALAH FILSAFAT RASIONALISME



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang

Tahapan sejarah pemikiran filsafat abad modern menurut versi Barat dibagi menjadi tiga periode, yaitu : zaman kuno, pertengahan, dan modern. Ciri-ciri pemikiran filsafat modern, antara lain menhidupkan kembali rasionalisme keilmuan subjektivisme, humanism dan lepas dari pengaruh atau dominasi agama(gereja). Ahmad Syadali dan Mudzakir menguraikan secara panjang lebar bahwa filsafat abad modern pada pokoknya di mulai dengan tiga aliran yaitu: Aliran Rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1950 M), Aliran empirisme dengan tokohnya Francis Bacon (1210-1292 M), Aliran kritisisme dengan tokohnya Immenuel kant (1724-1804 M).[1] Tiga  aliran di atas adalah aliran filsafat pada abad modern, tetapi di sini kami hanya akan membahas satu aliran saja yakni  : Aliran Rasionalisme.
Usaha manusia untuk memberi kepada akal suatu kedudukan yang ’berdiri sendiri’, sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir renaisance berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah abad dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal (rasio), sehingga tampaklah adanya keyakinan bahwa dengan kemampuan akal itu pasti dapat dijelaskan segala macam persoalan, dan dapat dipecahkannya segala macam masalah kemanusiaan.
Akibat dari keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan akal itu, dinyatakanlah perang terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya, terhadap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti yang terjadi pada abad pertengahan, terhadap tata susila yang bersifat tradisi, terhadap apa saja yang tidak masuk akal, dan terhadap keyakinan-keyakinan dan anggapan-anggapan yang tidak masuk akal.[2]

Lebih lanjut Mustasyir dan Misnal Munir menjelaskan bahwa, dengan berkuasanya akal ini, orang mengharapkan akan lahirnya suatu dunia baru yang lebih sempurna, suatu dunia baru yang dipimpin oleh akal manusia yang sehat. Kepercayaan terhadap akal ini terutama terlihat dalam lapangan filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk menyusun secara ’apriori’ suatu sistem keputusan akal yang luas dan bertingkat tinggi. Corak berpikir dengan melulu mengandalkan atau berdasarkan atas kemampuan akal (rasio), dalam filsafat dikenal dengan nama ’Rasionalisme’[3]. Apa dan bagaimana filsafat rasionalisme itu sendiri akan coba kita bahas dalam makalah ini.

B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa Filsafat Rasionalisme Itu?
2.      Bagaimanakah Pemikiran  Para Tokoh Filsafat Rasionalisme?

C. Tujuan  Pembahasan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui tentang Filsafat Rasionalisme
2.      Untuk mengetahui Pemikiran Para Tokoh Filsafat Rasionalisme.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Filsafat Rasionalisme
Rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalis, suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berfikir. Para tokoh aliran rasionalisme, di antaranya adalah Descartase (1596-1650 M), Spinoza (1632-1677 M) dan Leibniz (1646-1716 M).[4]

Adapun alat berfikir adalah kaidah-kaidah yang logis. Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat Descartes, istilah modern di sini hanya digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat pada abad pertengahan Kristen. Corak utama filsafat modern yang di maksud di sini ialah di anutnya kembali rasionalisme seperti pada masa kuno. Gagasan itu, di sertai oleh argument yang kuat, diajukan oleh Descartes. Oleh karena itu, gerakan pemikiran Descartes sering juga di sebut bercorak renaissance. Pada masa ini, rasionalisme Yunani lahir kembali, sebagai objek kajian yang harus dan menarik untuk di amati. para filosof merdeka terhadap kebebasan berfikirnya, zaman ini memberi pintu lebar-lebar kepada siapapun, bukan hanya kepada filosof, tetapi bagi semua orang yang mau mencurahkan pandangan dan pendapatnya atau kepada siapa pun yang mau berfilsafat.
Anggapan Descartes sebagai Bapak Filsafat Modern, menurut Bertrand Russel, memang benar. Kata bapak diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang di hasilkan oleh pengtahuan rasional. Dialah orang pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, dan bukan yang lainnya.[5]  
Aliran filsafat rasionalisme memiliki pandangan, bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal-lah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh melalui akal. Menurut aliran ini, akal tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar, karena akal dapat menurunkan kebenaran itu dari dirinya sendiri. Metode yang diterapkan oleh para filsuf rasionalisme ialah metode deduktif, seperti yang berlaku pada ilmu pasti.[6]  
Pendapat di atas didukung pula oleh Muhadjir bahwa Rasionalisme pada dasarnya kontras terhadap empirisme. Kebenaran substantif dalam visi rasionalisme diperoleh lewat kekuatan argumentasi rasio manusia. Kontras dengan kebenaran subtantif dan visi empirisme yang diperoleh lewat mengalaman empirik. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa keseluruhan struktur ilmu dalam rasionalisme dibangun dalam sistem deduktif. Mengingat daratan ilmu berada pada yang phisik, yang intersenden, maka para rasionalispun mendudukkan pengembangan ilmu pada yang intrasenden. Karena itu pembuktian kebenaran berada pada dataran tesebut.[7]
Secara ringkas dapatlah dikemukakan beberapa hal pokok yang merupakan ciri dari filsafat rasionalisme yang diungapkan oleh Franz Magnis dan Suseno adalah sebagai berikut:
1.      Kepercayaan terhadap kekuatan akal budi
Segala sesuatu dapat dan harus dimengerti secara rasional. Suatu pernyataan hanya boleh diterima  sebagai benar, dan sebuah claim hanya dapat dianggap sah, apabila dapat dipertanggujawabkan secara rasional. ’Rasional’ itu mempunyai komponen negatif dalam arti: berdasarkan tuntutan rasionalitas itu ditolak, pendasaran-pendasaran, pernyataan-pernyataan dan claim-claim yang dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Dasar-dasar yang tidak rasional yang dimaksud adalah tradisi, wewenang tradisional, otoritas dan dogma. Jadi rasionalisme merupakan semacam pemberontakan terhadap otoritas-otoritas tradisional. Tidak cukup untuk mendasarkan sebuah tuntutan atas wewenang pihak yang menuntut, melainkan isi tuntutan itu sendiri harus dapat dipertanggungjawabkan, diperlihatkan sebagai hal yang masuk akal. Rasional secara hakiki bersifat anti tradisional.
Maka abad ke-17 dan ke-18 diberinama aufklarung atau pencerahan, dimana mereka telah mengatasi masa-masa manusia yang diliputi kegelapan tradisi dan dogma, kegelapan karena tunduk dan percaya tanpa mengerti. Paham Aufkarung itu mencerminkan kepercayaan akan kemajuan dan optimisme polos bahwa umat manusia semakin maju ke arah rasionalitas dan kesempurnaan moral.
2.      Penolakan terhadap Tradisi, Dogma dan Otoritas
Penolakan tersebut mempunyai dampak pada segala bidang pengetahuan, dan juga kehidupan masyarakat.
a.       Dalam Bidang Sosial Politik,
rasionalisme menuntut kepemimpinan rasional. Dalam rangka itu dipergunakan teori perjanjian negara yang mengatakan bahwa negara berasal dari perjanjian antara individu-individu bebas. Akibat dari paham itu ialah bahwa negara berada dibawah para warga nrgara dan tidak sebaliknya, bahwa kekuasaan secara hakiki terbatas dan bahwa negara harus memenuhi fungsi-fungsi tertentu yaitu fungsi-fungsi yang mau dipenuhi waktu manusia menciptakan negara. Paham dasar itu terungkap dalam tuntutan bahwa negara harus diselenggarakan berdasarkan sebuah konstitusi, dan konstitusi itu harus menjamin hak-hak dasar manusia dan warga negara, dan bahwa hak untuk membuat undang-undang harus berada dibawah kontrol demokratis.
b.      Dalam Bidang Agama,
yaitu dogma-dogma. Ialah ajaran agama tentang apa yang harus dipercayai supaya seseorang dapat dianggap orang kristiani. Semula protestantisme mendasarkan pada dogma-dogma atas kitab suci. Tetapi kemudia kitab suci sendiri dipertanyakan secara kritis dengan metode-metode kritik literer, sejarah dan hermeneutika.
c.       Bidang Ilmu Pengetahuan,
Dapat dikatakan bahwa abad ke-16 dan ke-17 menyaksikan kelahiran ilmu-ilmu modern. Sampai abad ini ilmu-ilmu alam dijalankan secara dogmatis, dalam arti bahwa dalil-dalilnya didasarkan pada ahli yunani kuno. Terutama Aristoteles, Ptolemeaus dan lain-lain. Tentu saja ilmu pengetahuan semacam itu mandul. Rasionalisme menolak bahwa tradisi dapat merupakan dasar bagi ilmu-ilmu pengetahuan.
d.      Rasionalisme mengembangkan metode baru bagi ilmu pengetahuan yang jelas menunjukkan ciri-ciri kemoderenan.
Metode untuk mengacu pada otoritas-otoritas tradisonal diganti dengan metode baru yang pada hakekatnya terdiri dari dua unsur: disatu pihak pengamatan dan instrumen, dilain pihak deduksi menurut cara ilmu ukur (more geometrico). Jadi bagaimana gerak-gerak benda alamiah, perubahan-perubahan kimia mana yang akan terjadi apabila dua zat dicampur dan dipanasi dan sebagainya, ingin diketahui melalui pengamatan dan eksperimen dan hasil-hasilnya ditarik kesimpulan menurut metode induksi.
e.       Sekularisasi
Adalah suatu pandangan dasar  dan sikap hidup yang dengan tajam membedakan antara Tuhan dan dunia dan menganggap dunia sebagai sesuatu yang duniawi saja. Sekulerisasi menghilangkan unsur-unsur keramat dan gaib dari dunia. Sekularisme jug diartikan sebagai sikap yang menentang pengaruh agama atas kehidupan masyarakat. Sekularimse mau menjadikan agama sama dengan pelbagai persatuan sosial dan kultural masyarakat, tanpa pengaruh sama sekali atas kehidupan bangsa dan negara. Sekularisme merupakan sikap anti agama. [8]

Ciri-ciri filsafat Rasional secara singkat juga dijelaskan oleh Mustansyir dan Misnal Munir, sebagai berikut:
1)      Adanya pendirian bahwa kebenaran-kebenaran yang hakiki itu secara langsung dapat diperoleh dengan menggunakan akal sebagai sarananya.
2)      Adanya suatu penjabaran secara logik atau deduksi yang dimaksud untuk memberikan pengertian seketat mungkin mengenai segi-segi lain dari seluruh bidang pengetahuan berdasarkan atas apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran hakiki.[9]
B.     Pemikiran Para Tokoh Filsafat Rasionalisme

1.      Rene Descartes (1596-1650)

Rene Descartes, adalah pendiri filsafat modern. Beberapa hal yang pernah ia lakukan yakni: pertama, ia berusaha mencari satu-satunya metode dalam seluruh cabang penyelidikan manusia; kedua, ia memperkenalkan dalam filsafat, terutama tentang penelitian dan konsep dalam filsafat yang menjadi prinsip dasar dalam perkembangan filsafat modern. Metode Descartes dimaksudkan bukan saja sebagai metode penelitian ilmiah, ataupun penelitian filsafat, melainkan sebagai metode penelitian rasional mana saja, sebab akal budi manusia selalu sama.
a.      Metode  Rene Descartes
Metode Rene Descartes Segala sesuatu perlu di pelajari, tetapi di perlukan metode yang tepat untuk mempelajarinya. Rene Descartes  pun berfikir demikian, ia mengatakan bahwa mempelajari filsafat membutuhkan metode tersendiri agar hasilnya benar-benar logis. Ia sendiri mendapatkan metode yang di carinya itu, yaitu dengan menyaksikan segala-galanya atau menerapkan metode keragu-raguan, artinya kesangsian atau keragu-raguan ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang di miliki, temasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggap sudah final dan pasti. Kebenaran itu harus dialami sehingga ia tidak dapat diragukan lagi, dengan kata lain pengertian benar harus bisa menjamin dirinya sendiri.[10]
Descartes memulai metodenya dengan meragukan segala macam pernyataan kecuali pada satu pernyataan saja, yaitu bahwa ia sedang melakukan  keragu-raguan. Maka ia sampai kepada kebenaran yang tak terbantahkan, yakni: saya berpikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum). Pernyataan ini begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptik yang paling ekstrim pun tidak akan mampu menggoyahkannya.
Bagi Descartes, pernyataan ”saya berpikir, jadi saya ada” adalah terang dan jelas, segala sesuatu yang bersifat terang dan jelas bagi akal pikiran manusia dapatlah dipakai sebagai dasar yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya untuk melakukan penjabaran terhadap pernyataan-pernyataan yang lain. Segenap ilmu pengetahuan haruslah didasarkan atas kepastian-kepastian yang tidak dapat diragukan lagi akan kebenarannya yang secara langsung dilihat oleh akal pikiran manusia. Metode semacam ini dinamakan juga metode ’apriori’. Dengan menggunakan metode apriori ini kita seakan-akan sudah mengetahui segala gejala secara pasti, meskipun kita belum mempunyai pengalaman indrawi mengenai hal-hal yang kemudian tampak sebagai gejala-gejala itu.[11]
Dalam karya Descartes, ia menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode keragu-raguan. Karyanya berjudul A Discourse on Methode mengemukakan perlunya memerhatikan empat hal berikut:
1)      Kebenaran baru dinyatakan shahih jika telah benar-benar indrawi dan realitasnya telah jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2)      Pecahkan lah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak-banyaknya, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3)      Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah di ketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4)      Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus di buat perhitungan-perhitungan sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga di peroleh keyakinan banwa tak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahah itu.[12]
Rene Descartes tidak begitu saja menerima kebenaran atas dasar pancaindra. Pada dasarnya, ia bersikukuh bahwa semua yang dilihatnya harus diragukan kebenarannya, dan setiap yang telah terlihat jelas dan tegas harus dipilah-pilah hingga mendapat bagian-bagian yang kecil. Atas dasar aturan-aturan itulah, Descartes mengembangkan pikiran filosofisnya. Dia sendiri meragukan apakah sekarang sedang berdiri menyaksikan realitas yang tampak di matanya atau dia sedang tidur dan bermimpi. Sebagaimana ia meragukan dirinya apakah sedang sadar atau sedang gila. Keraguan Descartes sangat rasional, karena tidak ada perbedaan signifikan antara kenyataan dalam mimpi dan kenyataan ketika terjaga, karena gambarannya sama. Sebagaimana seseorang yang bermimpi bertemu kakeknya, kemudian ia benar-benar bertemu dengan kakeknya. Apakah yang benar itu ketika tertidur atau terjaga, tidaklah jelas karena hasilnya tidak ada bedanya. Bahkan ketika seseorang pernah melihat kuda yang sedang terbang dengan sayapnya. Sebuah kenyataan yang berawal dari dua kenyataan yang berbeda, karena kuda dan sayap semula tidak bersatu, tetapi apa yang bisa di lihat bisa saja menjadi satu. Oleh karena itu, keraguan terhadap semua yang dilihat sangat beralasan, karena terlalu banyak tipu daya terhadap pembuktian kebenaran hakiki.
Juhaya S. Pradja mengatakan bahwa betapapun radikalnya keragu-raguan Descartes ini, akhirnya ia pun mengakui bahwa di sana, ada satu hal yang tak bisa di ragukan, biar setan licik atau jin gundul yang berniat menipunya. Yang dimaksudkannya adalah bahwa “aku yang sedang ragu-ragu menandakan bahwa aku sedang berfikir dan karena aku berfikir, aku ada” (cogito ergo sum). Mengingat bahwa aku berfikir ini adalah sesuatu, dan mengingat bahwa kebenaran cogito ergo sum begitu keras dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptic yang paling hebat pun tidak akan menipu menumbangkannya, sampailah aku pada keyakinan bahwa aku dapat menerimanya sebagai prinsip pertama dari filsafat yang ku cari.[13]
b.      Ide-ide Bawaan Menurut Rene Descartes
Ide- ide Bawaan Descartes  Yang paling fundamental dalam mencari kebenaran adalah senantiasa merujuk kepada prinsip Cogito ergo sum. Hal tersebut di sebabkan oleh keyakinan bahwa dalam diri sendiri, kebenaran lebih terjamin dan terjaga. Dalam diri sendiri terdapat 3 ide bawaan sejak lahir, yaitu: (1) pemikiran, (2) Allah, (3) keluasan.
1)      Pemikiran. Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
2)      Allah sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain dari pada Allah.
3)      keluasan. Materi sebagai keluasan atau eksestensi sebagaimana hal itu di lukiskan dan dipelajari aoleh ahli-ahli ilmu ukur.[14]
Substansi Descartes menyimpulkan bahwa selain Allah, ada dua substansi : pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk membuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materil ialah bahwa Allah akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan di luar tidak ada satu pun yang sesuai dengannya. Dengan demikian, keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia materil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna.[15]
c.       Manusia menurut Descartes.
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi : jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap subtansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh.
Kritik atas Rasionalisme Descartes Fenomenologi jerman, spiritualisme, positivism Bergsonisme dan bentuk-bentuk katholikisme adalah cabang-cabang dari Cartianisme. Adapun aliran-aliran lain, baik yang menyanggah, maupun yang tampil untuk mendukungnya –sadar atau tidak-memperoleh inspirasi dari problem-problem yang dipermasalahkan oleh Descartes, khususnya mengenai dualism jiwa-badan, masalah rasio sebagai dasar keyakinan dan kebenaran, serta masalah berada(exist). Pandangan Rene Descartes tentang kebenaran berpusat pada “Aku” adalah lahirkan kenisbaan, karena setiap orang memiliki keakuan masing-masing akan memiliki hak untuk menyatakan kebenarannya, alhasil, kenisbian akan beranak-pinak.
Rasionalisme tidak lebih dari upaya semua “Aku” untuk membuktikan kebenaran, tetapi semua keakuan tidak berhasil menemukan titik semu alias terjebak oleh dunia relativitas. Di sisi lain, rasio setiap “Aku” berbeda-beda tingkat kecerdasannya, sedangkan Rene Descartes tidak membedakan tingkat kecerdasan, karena setiap rasio memiliki standar kebenaran sendiri-sendiri. Dengan demikian, kebenaran tidak pernah sampai atau sampai pada yang selalu nisbi.
Penganut empirisme begitu kecewa dengan rasionalisme, karena telah menghinakan empirisme, sementara rasionalisme meyakini bahwa kebenaran itu berpusat pada kepastian tentang pikiran diri sendiri, sementara salah satu diri sendiri adalah fungsi-fungsi indrawi, yang berhubungan juga dengan empirisme. Dalam kasus ini, Immanuel Kant mengkritik habis-habisan, karena semuanya menunjjukkan bahwa rasionalisme murni berpijak atas dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang goyah sehingga Cogito ergo sum tidak lagi di anggap titik tolak yang memadai. Descartes mencari suatu dasar bagi metode itu. Bagaimana saya bisa tahu bahwa hal yang menampakkan dirinya dengan jelas pada mata rohani ialah hal yang betul-betul terdapat dalam dunia luar, bagaimana saya tahu bahwa itu bukan impian? Pertanyaan tersebut sebagai awal penerapan paradigm keragu-raguan. Yang membuat tidak ragu adalah kita sendiri. Lalu, mengapa munculnya keraguan itu dari diri kita juga? Kritik demikian dilontarkan kepada Descartes, sehingga rasionalismenya tetap tidak dapat dijadikan paradigma universal dalam berfilsafat.

2.      De Spinoza (1632-1677 M)

Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada tahun 1677 M. Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Ia hidup di pinggiran kota Amsterdam. Spinoza maupun Leibniz mengikuti pemikiran Rene Descartes. Dua tokoh terakhir ini juga menjadikan substansi sebagai tema pokok dalam metafisika mereka, dan mereka berdua juga mengikuti metode Descartes. Tiga filosofis ini, Descartes, Spinoza, dan Leibniz, biasanya di kelompokkan ke dalam suatu mazhab, yaitu Rasionalisme.
Spinoza mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran tentang sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa substansi dari sesuatu, bagaimana kebenaran itu bisa benar-benar yang terbenar. Spinoza menjawabnya dengan pendekatan yang juga sebelumnya dilakukan oleh Rene Descartes, yakni pendekatan deduksi matematis, yang dimulai dengan meletakkan definisi, aksioma, proposisi, kemudian barulah membuat pembuktian berdasarkan definisi, aksioma, proposisi itu.
De Spinoza memiliki cara berfikir yang sama dengan Rene Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan adalah tubuh, yang eksistensinya berbarengan[16]

3.      Leibniz (1646-1716 M)

Seorang filosuf Jerman, matematikawan, fisikawan, dan  sejarawan. Lama menjadi pegawai pemerintah, menjadi atase, pembantu pejabat tinggi nengara pusat. Dialah Gottfried Eilhelm von Leibniz yang dilahirkan pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun 1716 M. metafisikanya adalah idea tentang substansi yang di kembangkanya dalam konsep monad.
Metafisika Leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini, mekanisme dan keseluruhannya bergantung kepada sebab, sementara substansi menurut Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan, “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan, tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang di ciptakannya. Kita lihat bahwa hanya satu substansi , sedangkan Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda dari yang lain, dan Tuhan (supermonad) adalah pencipta monad-monad itu. Karya Leibniz tentang ini di beri judul Monadology (study tentang monad) yang di tulisnya pada tahun 1714 M. ini adalah singkatan metafisika Leibniz.[17]

BAB III
KESIMPULAN
1.            Rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalis, suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berfikir. Para tokoh aliran rasionalisme, di antaranya adalah Descartase (1596-1650 M), Spinoza (1632-1677 M) dan Leibniz (1646-1716 M. Descartes adalah orang pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, dan bukan yang lainnya. Aliran filsafat rasionalisme memiliki pandangan, bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal-lah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh melalui akal. Menurut aliran ini, akal tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar, karena akal dapat menurunkan kebenaran itu dari dirinya sendiri.
2.      Pemikiran Tokoh Filsafat Rasionalisme
a. Rene Descartes
Rene Descartes, adalah pendiri filsafat modern. Beberapa hal yang pernah ia lakukan yakni: pertama, ia berusaha mencari satu-satunya metode dalam seluruh cabang penyelidikan manusia; kedua, ia memperkenalkan dalam filsafat, terutama tentang penelitian dan konsep dalam filsafat yang menjadi prinsip dasar dalam perkembangan filsafat modern. Metode Descartes dimaksudkan bukan saja sebagai metode penelitian ilmiah, ataupun penelitian filsafat, melainkan sebagai metode penelitian rasional mana saja, sebab akal budi manusia selalu sama.
Descartes memulai metodenya dengan meragukan segala macam pernyataan kecuali pada satu pernyataan saja, yaitu bahwa ia sedang melakukan  keragu-raguan. Maka ia sampai kepada kebenaran yang tak terbantahkan, yakni: saya berpikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum). Pernyataan ini begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptik yang paling ekstrim pun tidak akan mampu menggoyahkannya.
Bagi Descartes, pernyataan ”saya berpikir, jadi saya ada” adalah terang dan jelas, segala sesuatu yang bersifat terang dan jelas bagi akal pikiran manusia dapatlah dipakai sebagai dasar yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya untuk melakukan penjabaran terhadap pernyataan-pernyataan yang lain. Segenap ilmu pengetahuan haruslah didasarkan atas kepastian-kepastian yang tidak dapat diragukan lagi akan kebenarannya yang secara langsung dilihat oleh akal pikiran manusia. Metode semacam ini dinamakan juga metode ’apriori’. Dengan menggunakan metode apriori ini kita seakan-akan sudah mengetahui segala gejala secara pasti, meskipun kita belum mempunyai pengalaman indrawi mengenai hal-hal yang kemudian tampak sebagai gejala-gejala itu
Rene Descartes tidak begitu saja menerima kebenaran atas dasar pancaindra. Pada dasarnya, ia bersikukuh bahwa semua yang dilihatnya harus diragukan kebenarannya, dan setiap yang telah terlihat jelas dan tegas harus dipilah-pilah hingga mendapat bagian-bagian yang kecil. Atas dasar aturan-aturan itulah, Descartes mengembangkan pikiran filosofisnya. Dia sendiri meragukan apakah sekarang sedang berdiri menyaksikan realitas yang tampak di matanya atau dia sedang tidur dan bermimpi. Sebagaimana ia meragukan dirinya apakah sedang sadar atau sedang gila. Keraguan Descartes sangat rasional, karena tidak ada perbedaan signifikan antara kenyataan dalam mimpi dan kenyataan ketika terjaga, karena gambarannya sama.  
b.      Spinoza
Spinoza mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran tentang sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa substansi dari sesuatu, bagaimana kebenaran itu bisa benar-benar yang terbenar. Spinoza menjawabnya dengan pendekatan yang juga sebelumnya dilakukan oleh Rene Descartes, yakni pendekatan deduksi matematis, yang dimulai dengan meletakkan definisi, aksioma, proposisi, kemudian barulah membuat pembuktian berdasarkan definisi, aksioma, proposisi itu.
De Spinoza memiliki cara berfikir yang sama dengan Rene Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan adalah tubuh, yang eksistensinya berbarengan

c.       Leibniz
Metafisika Leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini, mekanisme dan keseluruhannya bergantung kepada sebab, sementara substansi menurut Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan, “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan, tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang di ciptakannya. Kita lihat bahwa hanya satu substansi , sedangkan Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda dari yang lain, dan Tuhan (supermonad) adalah pencipta monad-monad itu.


[1][1] Mujib, “aliran rasionalisme dan empirismehttp://mujib-ennal.blogspot.com/2012/10/ aliran-rasionalisme-dan-empirisme html#sthash.n2qh6EOC.dpuf, diaskes tanggal 23 Desember 2014
[2] Mustansyir, Rizal, Misnal Munir,  Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), Hal. 74.
[3] Mustansyir, Rizal, Misnal Munir, Filsafa, Hal. 80.
[4][4] Mujib, “aliran rasionalisme dan empirismehttp://mujib-ennal.blogspot.com/2012/10/ aliran-rasionalisme-dan-empirisme html#sthash.n2qh6EOC.dpuf, diaskes tanggal 23 Desember 2014
[5] Praja, Juhuya S, aliran-aliran filsafat dan etika, (Jakarta: prenada media,2003), Hal.26-27
[6] Mustansyir, Rizal, Misnal, Munir, Filsaf, hal. 74-75.
[7] Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu Positivisme, PostPositivisme dan Post Modernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), Hal, 167-168.
[8] Magnis, Frans; Suseno, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), Hal. 65-68.
[9] Mustansyir, Rizal, Misnal Munir, Filsaf, hal. 74-75.
[10] Zubaedi, Dkk, Filsafat Barat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Grup, 2007), Hal. 21
[11] Mustansyir,Rizal;Misnal Munir, Filsafat, Hal. 75-76.
[12] Pradja, Juahaya , Aliran, Hal. 96.
[13] Juahaya s, pradja, Aliran,  hal. 97
[14] Juahaya s, pradja, Aliran, hal. 99
[15] Juahaya s, pradja, Aliran, hal. 99
[16] Muhammad arsyad, “Makalah Pembahasan Tentang Rasionalismehttp://muh-arsyad92.blogspot.com/2013/07/makalah-pembahasan-tentang-rasionalisme.html, diaskes tanggal 23 Desember 2014
[17] Mujib, “aliran rasionalisme dan empirismehttp://mujib-ennal.blogspot.com/2012/10/ aliran-rasionalisme-dan-empirisme html#sthash.n2qh6EOC.dpuf, diaskes tanggal 23 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar