BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tahapan sejarah pemikiran filsafat
abad modern menurut versi Barat dibagi menjadi tiga periode, yaitu : zaman
kuno, pertengahan, dan modern. Ciri-ciri pemikiran filsafat modern, antara lain
menhidupkan kembali rasionalisme keilmuan subjektivisme, humanism dan lepas
dari pengaruh atau dominasi agama(gereja). Ahmad Syadali dan Mudzakir
menguraikan secara panjang lebar bahwa filsafat abad modern pada pokoknya di
mulai dengan tiga aliran yaitu: Aliran Rasionalisme dengan tokohnya Rene
Descartes (1596-1950 M), Aliran empirisme dengan tokohnya Francis Bacon
(1210-1292 M), Aliran kritisisme dengan tokohnya Immenuel kant (1724-1804 M).[1] Tiga aliran di atas adalah aliran filsafat pada
abad modern, tetapi di sini kami hanya akan membahas satu aliran saja yakni : Aliran Rasionalisme.
Usaha
manusia untuk memberi kepada akal suatu kedudukan yang ’berdiri sendiri’,
sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir renaisance berlanjut terus
sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah abad dimulainya pemikiran-pemikiran
kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh
kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal (rasio), sehingga tampaklah adanya keyakinan
bahwa dengan kemampuan akal itu pasti dapat dijelaskan segala macam persoalan,
dan dapat dipecahkannya segala macam masalah kemanusiaan.
Akibat
dari keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan akal itu, dinyatakanlah
perang terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya, terhadap kepercayaan yang
bersifat dogmatis seperti yang terjadi pada abad pertengahan, terhadap tata
susila yang bersifat tradisi, terhadap apa saja yang tidak masuk akal, dan
terhadap keyakinan-keyakinan dan anggapan-anggapan yang tidak masuk akal.[2]
Lebih
lanjut Mustasyir dan Misnal Munir menjelaskan bahwa, dengan berkuasanya akal
ini, orang mengharapkan akan lahirnya suatu dunia baru yang lebih sempurna,
suatu dunia baru yang dipimpin oleh akal manusia yang sehat. Kepercayaan
terhadap akal ini terutama terlihat dalam lapangan filsafat, yaitu dalam bentuk
suatu keinginan untuk menyusun secara ’apriori’ suatu sistem keputusan akal
yang luas dan bertingkat tinggi. Corak berpikir dengan melulu mengandalkan atau
berdasarkan atas kemampuan akal (rasio), dalam filsafat dikenal dengan nama
’Rasionalisme’[3]. Apa dan bagaimana
filsafat rasionalisme itu sendiri akan coba kita bahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa Filsafat Rasionalisme
Itu?
2. Bagaimanakah Pemikiran Para Tokoh Filsafat Rasionalisme?
C.
Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui tentang Filsafat Rasionalisme
2. Untuk
mengetahui Pemikiran
Para Tokoh Filsafat Rasionalisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat
Rasionalisme
Rasionalisme adalah faham filsafat
yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh
pengetahuan. Menurut aliran rasionalis, suatu pengetahuan diperoleh dengan cara
berfikir. Para tokoh aliran rasionalisme, di antaranya adalah
Descartase (1596-1650 M), Spinoza (1632-1677 M) dan Leibniz (1646-1716 M).[4]
Adapun alat berfikir adalah
kaidah-kaidah yang logis. Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai
oleh filsafat Descartes, istilah modern di sini hanya digunakan untuk
menunjukkan suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan
berlawanan dengan corak filsafat pada abad pertengahan Kristen. Corak utama
filsafat modern yang di maksud di sini ialah di anutnya kembali rasionalisme
seperti pada masa kuno. Gagasan itu, di sertai oleh argument yang kuat, diajukan
oleh Descartes. Oleh karena itu, gerakan pemikiran Descartes sering juga di
sebut bercorak renaissance. Pada masa ini, rasionalisme Yunani lahir kembali,
sebagai objek kajian yang harus dan menarik untuk di amati. para filosof merdeka terhadap kebebasan berfikirnya, zaman ini
memberi pintu lebar-lebar kepada siapapun, bukan hanya kepada filosof, tetapi bagi semua orang yang mau
mencurahkan pandangan dan pendapatnya atau kepada siapa pun yang mau
berfilsafat.
Anggapan Descartes sebagai Bapak
Filsafat Modern, menurut Bertrand Russel, memang benar. Kata bapak diberikan
kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern yang membangun
filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang di hasilkan oleh
pengtahuan rasional. Dialah orang pertama pada akhir abad pertengahan yang
menyusun argumentasi yang kuat, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah
akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, dan bukan yang lainnya.[5]
Aliran
filsafat rasionalisme memiliki pandangan, bahwa sumber pengetahuan yang memadai
dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh
melalui akal-lah
yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu
syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya
dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh
melalui akal. Menurut aliran ini, akal tidak memerlukan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan yang benar, karena akal dapat menurunkan kebenaran itu
dari dirinya sendiri. Metode yang diterapkan oleh para filsuf rasionalisme
ialah metode deduktif, seperti yang berlaku pada ilmu pasti.[6]
Pendapat
di atas didukung pula oleh Muhadjir bahwa Rasionalisme pada dasarnya kontras
terhadap empirisme. Kebenaran substantif dalam visi rasionalisme diperoleh
lewat kekuatan argumentasi rasio manusia. Kontras dengan kebenaran subtantif
dan visi empirisme yang diperoleh lewat mengalaman empirik. Lebih lanjut,
dijelaskan bahwa keseluruhan struktur ilmu dalam rasionalisme dibangun dalam
sistem deduktif. Mengingat daratan ilmu berada pada yang phisik, yang
intersenden, maka para rasionalispun mendudukkan pengembangan ilmu pada yang
intrasenden. Karena itu pembuktian kebenaran berada pada dataran tesebut.[7]
Secara
ringkas dapatlah dikemukakan beberapa hal pokok yang merupakan ciri dari
filsafat rasionalisme yang diungapkan oleh Franz Magnis dan Suseno adalah
sebagai berikut:
1. Kepercayaan
terhadap kekuatan akal budi
Segala
sesuatu dapat dan harus dimengerti secara rasional. Suatu pernyataan hanya
boleh diterima sebagai benar, dan sebuah
claim hanya dapat dianggap sah, apabila dapat dipertanggujawabkan secara
rasional. ’Rasional’ itu mempunyai komponen negatif dalam arti: berdasarkan
tuntutan rasionalitas itu ditolak, pendasaran-pendasaran, pernyataan-pernyataan
dan claim-claim yang dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional.
Dasar-dasar
yang tidak rasional yang dimaksud adalah tradisi, wewenang tradisional,
otoritas dan dogma. Jadi rasionalisme merupakan semacam pemberontakan terhadap
otoritas-otoritas tradisional. Tidak cukup untuk mendasarkan sebuah tuntutan
atas wewenang pihak yang menuntut, melainkan isi tuntutan itu sendiri harus
dapat dipertanggungjawabkan, diperlihatkan sebagai hal yang masuk akal.
Rasional secara hakiki bersifat anti tradisional.
Maka
abad ke-17 dan ke-18 diberinama aufklarung atau pencerahan, dimana mereka telah
mengatasi masa-masa manusia yang diliputi kegelapan tradisi dan dogma,
kegelapan karena tunduk dan percaya tanpa mengerti. Paham Aufkarung itu
mencerminkan kepercayaan akan kemajuan dan optimisme polos bahwa umat manusia
semakin maju ke arah rasionalitas dan kesempurnaan moral.
2. Penolakan
terhadap Tradisi, Dogma dan Otoritas
Penolakan tersebut
mempunyai dampak pada segala bidang pengetahuan, dan juga kehidupan masyarakat.
a. Dalam
Bidang Sosial Politik,
rasionalisme
menuntut kepemimpinan rasional. Dalam rangka itu dipergunakan teori perjanjian
negara yang mengatakan bahwa negara berasal dari perjanjian antara
individu-individu bebas. Akibat dari paham itu ialah bahwa negara berada
dibawah para warga nrgara dan tidak sebaliknya, bahwa kekuasaan secara hakiki
terbatas dan bahwa negara harus memenuhi fungsi-fungsi tertentu yaitu
fungsi-fungsi yang mau dipenuhi waktu manusia menciptakan negara. Paham dasar
itu terungkap dalam tuntutan bahwa negara harus diselenggarakan berdasarkan
sebuah konstitusi, dan konstitusi itu harus menjamin hak-hak dasar manusia dan
warga negara, dan bahwa hak untuk membuat undang-undang harus berada dibawah
kontrol demokratis.
b.
Dalam Bidang Agama,
yaitu
dogma-dogma. Ialah ajaran agama tentang apa yang harus dipercayai supaya
seseorang dapat dianggap orang kristiani. Semula protestantisme mendasarkan
pada dogma-dogma atas kitab suci. Tetapi kemudia kitab suci sendiri
dipertanyakan secara kritis dengan metode-metode kritik literer, sejarah dan
hermeneutika.
c.
Bidang Ilmu
Pengetahuan,
Dapat
dikatakan bahwa abad ke-16 dan ke-17 menyaksikan kelahiran ilmu-ilmu modern.
Sampai abad ini ilmu-ilmu alam dijalankan secara dogmatis, dalam arti bahwa
dalil-dalilnya didasarkan pada ahli yunani kuno. Terutama Aristoteles,
Ptolemeaus dan lain-lain. Tentu saja ilmu pengetahuan semacam itu mandul.
Rasionalisme menolak bahwa tradisi dapat merupakan dasar bagi ilmu-ilmu
pengetahuan.
d. Rasionalisme
mengembangkan metode baru bagi ilmu pengetahuan yang jelas menunjukkan
ciri-ciri kemoderenan.
Metode
untuk mengacu pada otoritas-otoritas tradisonal diganti dengan metode baru yang
pada hakekatnya terdiri dari dua unsur: disatu pihak pengamatan dan instrumen,
dilain pihak deduksi menurut cara ilmu ukur (more geometrico). Jadi bagaimana
gerak-gerak benda alamiah, perubahan-perubahan kimia mana yang akan terjadi
apabila dua zat dicampur dan dipanasi dan sebagainya, ingin diketahui melalui
pengamatan dan eksperimen dan hasil-hasilnya ditarik kesimpulan menurut metode
induksi.
e. Sekularisasi
Adalah
suatu pandangan dasar dan sikap hidup
yang dengan tajam membedakan antara Tuhan dan dunia dan menganggap dunia
sebagai sesuatu yang duniawi saja. Sekulerisasi menghilangkan unsur-unsur
keramat dan gaib dari dunia. Sekularisme jug diartikan sebagai sikap yang
menentang pengaruh agama atas kehidupan masyarakat. Sekularimse mau menjadikan
agama sama dengan pelbagai persatuan sosial dan kultural masyarakat, tanpa
pengaruh sama sekali atas kehidupan bangsa dan negara. Sekularisme merupakan
sikap anti agama. [8]
Ciri-ciri
filsafat Rasional secara singkat juga dijelaskan oleh Mustansyir dan Misnal
Munir, sebagai berikut:
1) Adanya
pendirian bahwa kebenaran-kebenaran yang hakiki itu secara langsung dapat
diperoleh dengan menggunakan akal sebagai sarananya.
2) Adanya
suatu penjabaran secara logik atau deduksi yang dimaksud untuk memberikan
pengertian seketat mungkin mengenai segi-segi lain dari seluruh bidang
pengetahuan berdasarkan atas apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran
hakiki.[9]
B.
Pemikiran Para Tokoh Filsafat
Rasionalisme
1. Rene Descartes
(1596-1650)
Rene
Descartes, adalah pendiri filsafat modern. Beberapa hal yang pernah ia lakukan
yakni: pertama, ia berusaha mencari satu-satunya metode dalam seluruh cabang
penyelidikan manusia; kedua, ia memperkenalkan dalam filsafat, terutama tentang
penelitian dan konsep dalam filsafat yang menjadi prinsip dasar dalam
perkembangan filsafat modern. Metode Descartes dimaksudkan bukan saja sebagai
metode penelitian ilmiah, ataupun penelitian filsafat, melainkan sebagai metode
penelitian rasional mana saja, sebab akal budi manusia selalu sama.
a. Metode Rene Descartes
Metode Rene Descartes Segala sesuatu
perlu di pelajari, tetapi di perlukan metode yang tepat untuk mempelajarinya.
Rene Descartes pun berfikir demikian, ia
mengatakan bahwa mempelajari filsafat membutuhkan metode tersendiri agar
hasilnya benar-benar logis. Ia sendiri mendapatkan metode yang di carinya itu,
yaitu dengan menyaksikan segala-galanya atau menerapkan metode keragu-raguan,
artinya kesangsian atau keragu-raguan ini harus meliputi seluruh pengetahuan
yang di miliki, temasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggap
sudah final dan pasti. Kebenaran itu harus dialami sehingga ia tidak dapat
diragukan lagi, dengan kata lain pengertian benar harus bisa menjamin dirinya
sendiri.[10]
Descartes
memulai metodenya dengan meragukan segala macam pernyataan kecuali pada satu
pernyataan saja, yaitu bahwa ia sedang melakukan keragu-raguan.
Maka ia sampai kepada kebenaran yang tak terbantahkan, yakni: saya berpikir,
jadi saya ada (Cogito ergo sum).
Pernyataan ini begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptik yang
paling ekstrim pun tidak akan mampu menggoyahkannya.
Bagi
Descartes, pernyataan ”saya berpikir, jadi saya ada” adalah terang dan jelas,
segala sesuatu yang bersifat terang dan jelas bagi akal pikiran manusia
dapatlah dipakai sebagai dasar yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya
untuk melakukan penjabaran terhadap pernyataan-pernyataan yang lain. Segenap
ilmu pengetahuan haruslah didasarkan atas kepastian-kepastian yang tidak dapat
diragukan lagi akan kebenarannya yang secara langsung dilihat oleh akal pikiran
manusia. Metode semacam ini dinamakan juga metode ’apriori’. Dengan menggunakan metode apriori ini kita seakan-akan
sudah mengetahui segala gejala secara pasti, meskipun kita belum mempunyai
pengalaman indrawi mengenai hal-hal yang kemudian tampak sebagai gejala-gejala
itu.[11]
Dalam karya Descartes, ia
menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode keragu-raguan. Karyanya berjudul
A Discourse on Methode mengemukakan perlunya memerhatikan empat hal
berikut:
1) Kebenaran baru dinyatakan shahih
jika telah benar-benar indrawi dan realitasnya telah jelas dan tegas, sehingga
tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2) Pecahkan lah setiap kesulitan atau
masalah itu sebanyak-banyaknya, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang
mampu merobohkannya.
3) Bimbinglah pikiran dengan teratur,
dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah di ketahui, kemudian secara
bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4) Dalam proses pencarian dan
pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus di buat perhitungan-perhitungan
sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga di peroleh
keyakinan banwa tak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam
penjelajahah itu.[12]
Rene Descartes tidak begitu saja
menerima kebenaran atas dasar pancaindra. Pada dasarnya, ia bersikukuh bahwa
semua yang dilihatnya harus diragukan kebenarannya, dan setiap yang telah
terlihat jelas dan tegas harus dipilah-pilah hingga mendapat bagian-bagian yang
kecil. Atas dasar aturan-aturan itulah, Descartes mengembangkan pikiran
filosofisnya. Dia sendiri meragukan apakah sekarang sedang berdiri
menyaksikan realitas yang tampak di matanya atau dia sedang tidur dan bermimpi.
Sebagaimana ia meragukan dirinya apakah sedang sadar atau sedang gila. Keraguan Descartes sangat rasional,
karena tidak ada perbedaan signifikan antara kenyataan dalam mimpi dan
kenyataan ketika terjaga, karena gambarannya sama. Sebagaimana seseorang yang
bermimpi bertemu kakeknya, kemudian ia benar-benar bertemu dengan kakeknya.
Apakah yang benar itu ketika tertidur atau terjaga, tidaklah jelas karena
hasilnya tidak ada bedanya. Bahkan ketika seseorang pernah melihat kuda yang
sedang terbang dengan sayapnya. Sebuah kenyataan yang berawal dari dua
kenyataan yang berbeda, karena kuda dan sayap semula tidak bersatu, tetapi apa
yang bisa di lihat bisa saja menjadi satu. Oleh karena itu, keraguan terhadap
semua yang dilihat sangat beralasan, karena terlalu banyak tipu daya terhadap
pembuktian kebenaran hakiki.
Juhaya S. Pradja mengatakan bahwa
betapapun radikalnya keragu-raguan Descartes ini, akhirnya ia pun mengakui
bahwa di sana, ada satu hal yang tak bisa di ragukan, biar setan licik atau jin
gundul yang berniat menipunya. Yang dimaksudkannya adalah bahwa “aku yang
sedang ragu-ragu menandakan bahwa aku sedang berfikir dan karena aku berfikir,
aku ada” (cogito ergo sum). Mengingat bahwa aku berfikir ini adalah
sesuatu, dan mengingat bahwa kebenaran cogito ergo sum begitu keras dan
meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptic yang paling hebat pun tidak akan
menipu menumbangkannya, sampailah aku pada keyakinan bahwa aku dapat
menerimanya sebagai prinsip pertama dari filsafat yang ku cari.[13]
b. Ide-ide Bawaan Menurut Rene Descartes
Ide- ide Bawaan Descartes Yang paling fundamental dalam mencari
kebenaran adalah senantiasa merujuk kepada prinsip Cogito ergo sum. Hal
tersebut di sebabkan oleh keyakinan bahwa dalam diri sendiri, kebenaran lebih
terjamin dan terjaga. Dalam diri sendiri terdapat 3 ide bawaan sejak lahir,
yaitu: (1) pemikiran, (2) Allah, (3) keluasan.
1)
Pemikiran. Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk
yang berfikir, harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
2)
Allah sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya
mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu karena
akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain dari
pada Allah.
3)
keluasan. Materi sebagai keluasan atau eksestensi sebagaimana
hal itu di lukiskan dan dipelajari aoleh ahli-ahli ilmu ukur.[14]
Substansi Descartes menyimpulkan bahwa selain Allah, ada dua
substansi : pertama, jiwa yang
hakikatnya adalah pemikiran. Kedua,
materi yang hakikatnya adalah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah
menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk
membuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materil
ialah bahwa Allah akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan di
luar tidak ada satu pun yang sesuai dengannya. Dengan demikian, keberadaan yang
sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia
materil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna.[15]
c. Manusia menurut Descartes.
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas.
Manusia terdiri dari dua substansi : jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan
tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang
dijalankan oleh jiwa. Karena setiap subtansi yang satu sama sekali terpisah
dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Descartes mempunyai banyak
kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh
jiwa atas tubuh.
Kritik atas Rasionalisme Descartes Fenomenologi jerman,
spiritualisme, positivism Bergsonisme dan bentuk-bentuk katholikisme adalah
cabang-cabang dari Cartianisme. Adapun aliran-aliran lain, baik yang
menyanggah, maupun yang tampil untuk mendukungnya –sadar atau tidak-memperoleh
inspirasi dari problem-problem yang dipermasalahkan oleh Descartes, khususnya
mengenai dualism jiwa-badan, masalah rasio sebagai dasar keyakinan dan
kebenaran, serta masalah berada(exist). Pandangan Rene Descartes tentang
kebenaran berpusat pada “Aku” adalah lahirkan kenisbaan, karena setiap
orang memiliki keakuan masing-masing akan memiliki hak untuk menyatakan
kebenarannya, alhasil, kenisbian akan beranak-pinak.
Rasionalisme tidak lebih dari upaya semua “Aku” untuk membuktikan kebenaran, tetapi semua keakuan tidak berhasil menemukan titik semu alias terjebak oleh dunia relativitas. Di sisi lain, rasio setiap “Aku” berbeda-beda tingkat kecerdasannya, sedangkan Rene Descartes tidak membedakan tingkat kecerdasan, karena setiap rasio memiliki standar kebenaran sendiri-sendiri. Dengan demikian, kebenaran tidak pernah sampai atau sampai pada yang selalu nisbi.
Rasionalisme tidak lebih dari upaya semua “Aku” untuk membuktikan kebenaran, tetapi semua keakuan tidak berhasil menemukan titik semu alias terjebak oleh dunia relativitas. Di sisi lain, rasio setiap “Aku” berbeda-beda tingkat kecerdasannya, sedangkan Rene Descartes tidak membedakan tingkat kecerdasan, karena setiap rasio memiliki standar kebenaran sendiri-sendiri. Dengan demikian, kebenaran tidak pernah sampai atau sampai pada yang selalu nisbi.
Penganut empirisme begitu kecewa dengan rasionalisme, karena
telah menghinakan empirisme, sementara rasionalisme meyakini bahwa kebenaran
itu berpusat pada kepastian tentang pikiran diri sendiri, sementara salah satu
diri sendiri adalah fungsi-fungsi indrawi, yang berhubungan juga dengan
empirisme. Dalam kasus ini, Immanuel Kant mengkritik habis-habisan, karena
semuanya menunjjukkan bahwa rasionalisme murni berpijak atas dasar-dasar dan
prinsip-prinsip yang goyah sehingga Cogito
ergo sum tidak lagi di anggap titik tolak yang memadai. Descartes mencari suatu dasar bagi
metode itu. Bagaimana saya bisa tahu bahwa hal yang menampakkan dirinya dengan
jelas pada mata rohani ialah hal yang betul-betul terdapat dalam dunia luar,
bagaimana saya tahu bahwa itu bukan impian? Pertanyaan tersebut sebagai awal
penerapan paradigm keragu-raguan. Yang membuat tidak ragu adalah kita sendiri.
Lalu, mengapa munculnya keraguan itu dari diri kita juga? Kritik demikian
dilontarkan kepada Descartes, sehingga rasionalismenya tetap tidak dapat
dijadikan paradigma universal dalam berfilsafat.
2.
De Spinoza (1632-1677 M)
Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada
tahun 1677 M. Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari
agama yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Ia hidup di
pinggiran kota Amsterdam. Spinoza maupun Leibniz mengikuti pemikiran Rene
Descartes. Dua tokoh terakhir ini juga menjadikan substansi sebagai tema pokok
dalam metafisika mereka, dan mereka berdua juga mengikuti metode Descartes.
Tiga filosofis ini, Descartes, Spinoza, dan Leibniz, biasanya di kelompokkan ke
dalam suatu mazhab, yaitu Rasionalisme.
Spinoza mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan kebenaran tentang sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa
substansi dari sesuatu, bagaimana kebenaran itu bisa benar-benar yang terbenar.
Spinoza menjawabnya dengan pendekatan yang juga sebelumnya dilakukan oleh Rene
Descartes, yakni pendekatan deduksi matematis, yang dimulai dengan meletakkan
definisi, aksioma, proposisi, kemudian barulah membuat pembuktian berdasarkan
definisi, aksioma, proposisi itu.
De Spinoza memiliki cara berfikir
yang sama dengan Rene Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat
pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan adalah
tubuh, yang eksistensinya berbarengan[16]
3.
Leibniz (1646-1716 M)
Seorang filosuf Jerman,
matematikawan, fisikawan, dan sejarawan.
Lama menjadi pegawai pemerintah, menjadi atase, pembantu pejabat tinggi nengara
pusat. Dialah Gottfried Eilhelm von Leibniz yang dilahirkan pada tahun 1646 M
dan meninggal pada tahun 1716 M. metafisikanya adalah idea tentang substansi
yang di kembangkanya dalam konsep monad.
Metafisika Leibniz sama-sama
memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini, mekanisme
dan keseluruhannya bergantung kepada sebab, sementara substansi menurut Leibniz
ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan, “sesuatu
harus mempunyai alasan”. Bahkan, tuhan juga harus mempunyai alasan untuk
setiap yang di ciptakannya. Kita lihat bahwa hanya satu substansi , sedangkan
Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi
itu monad. Setiap monad berbeda dari yang lain, dan Tuhan (supermonad) adalah
pencipta monad-monad itu. Karya Leibniz tentang ini di beri judul Monadology
(study tentang monad) yang di tulisnya pada tahun 1714 M. ini adalah singkatan
metafisika Leibniz.[17]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa
akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut
aliran rasionalis, suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berfikir. Para tokoh aliran rasionalisme, di
antaranya adalah Descartase (1596-1650 M), Spinoza (1632-1677 M) dan Leibniz
(1646-1716 M. Descartes adalah
orang pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat,
yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman,
bukan ayat suci, dan bukan yang lainnya. Aliran
filsafat rasionalisme memiliki pandangan, bahwa sumber pengetahuan yang memadai
dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh
melalui akal-lah
yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu
syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya
dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh
melalui akal. Menurut aliran ini, akal tidak memerlukan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan yang benar, karena akal dapat menurunkan kebenaran itu
dari dirinya sendiri.
2.
Pemikiran Tokoh
Filsafat Rasionalisme
a. Rene Descartes
Rene
Descartes, adalah pendiri filsafat modern. Beberapa hal yang pernah ia lakukan
yakni: pertama, ia berusaha mencari satu-satunya metode dalam seluruh cabang
penyelidikan manusia; kedua, ia memperkenalkan dalam filsafat, terutama tentang
penelitian dan konsep dalam filsafat yang menjadi prinsip dasar dalam perkembangan
filsafat modern. Metode Descartes dimaksudkan bukan saja sebagai metode
penelitian ilmiah, ataupun penelitian filsafat, melainkan sebagai metode
penelitian rasional mana saja, sebab akal budi manusia selalu sama.
Descartes
memulai metodenya dengan meragukan segala macam pernyataan kecuali pada satu
pernyataan saja, yaitu bahwa ia sedang melakukan keragu-raguan.
Maka ia sampai kepada kebenaran yang tak terbantahkan, yakni: saya berpikir,
jadi saya ada (Cogito ergo sum).
Pernyataan ini begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptik yang
paling ekstrim pun tidak akan mampu menggoyahkannya.
Bagi
Descartes, pernyataan ”saya berpikir, jadi saya ada” adalah terang dan jelas,
segala sesuatu yang bersifat terang dan jelas bagi akal pikiran manusia
dapatlah dipakai sebagai dasar yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya
untuk melakukan penjabaran terhadap pernyataan-pernyataan yang lain. Segenap
ilmu pengetahuan haruslah didasarkan atas kepastian-kepastian yang tidak dapat
diragukan lagi akan kebenarannya yang secara langsung dilihat oleh akal pikiran
manusia. Metode semacam ini dinamakan juga metode ’apriori’. Dengan menggunakan metode apriori ini kita seakan-akan
sudah mengetahui segala gejala secara pasti, meskipun kita belum mempunyai
pengalaman indrawi mengenai hal-hal yang kemudian tampak sebagai gejala-gejala
itu
Rene Descartes tidak begitu saja
menerima kebenaran atas dasar pancaindra. Pada dasarnya, ia bersikukuh bahwa
semua yang dilihatnya harus diragukan kebenarannya, dan setiap yang telah
terlihat jelas dan tegas harus dipilah-pilah hingga mendapat bagian-bagian yang
kecil. Atas dasar aturan-aturan itulah, Descartes mengembangkan pikiran
filosofisnya. Dia sendiri meragukan apakah sekarang sedang berdiri
menyaksikan realitas yang tampak di matanya atau dia sedang tidur dan bermimpi.
Sebagaimana ia meragukan dirinya apakah sedang sadar atau sedang gila. Keraguan Descartes sangat rasional,
karena tidak ada perbedaan signifikan antara kenyataan dalam mimpi dan
kenyataan ketika terjaga, karena gambarannya sama.
b. Spinoza
Spinoza mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran tentang sesuatu,
sebagaimana pertanyaan, apa substansi dari sesuatu, bagaimana kebenaran itu
bisa benar-benar yang terbenar. Spinoza menjawabnya dengan pendekatan yang juga
sebelumnya dilakukan oleh Rene Descartes, yakni pendekatan deduksi matematis,
yang dimulai dengan meletakkan definisi, aksioma, proposisi, kemudian barulah
membuat pembuktian berdasarkan definisi, aksioma, proposisi itu.
De Spinoza memiliki cara berfikir
yang sama dengan Rene Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat
pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan adalah
tubuh, yang eksistensinya berbarengan
c.
Leibniz
Metafisika Leibniz sama-sama
memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini, mekanisme
dan keseluruhannya bergantung kepada sebab, sementara substansi menurut Leibniz
ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan, “sesuatu
harus mempunyai alasan”. Bahkan, tuhan juga harus mempunyai alasan untuk
setiap yang di ciptakannya. Kita lihat bahwa hanya satu substansi , sedangkan
Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi
itu monad. Setiap monad berbeda dari yang lain, dan Tuhan (supermonad) adalah
pencipta monad-monad itu.
[1][1]
Mujib, “aliran
rasionalisme dan empirisme” http://mujib-ennal.blogspot.com/2012/10/ aliran-rasionalisme-dan-empirisme html#sthash.n2qh6EOC.dpuf, diaskes tanggal 23 Desember 2014
[2]
Mustansyir, Rizal, Misnal Munir, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 2001), Hal. 74.
[4][4]
Mujib, “aliran
rasionalisme dan empirisme” http://mujib-ennal.blogspot.com/2012/10/ aliran-rasionalisme-dan-empirisme html#sthash.n2qh6EOC.dpuf, diaskes tanggal 23 Desember 2014
[7]
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu Positivisme,
PostPositivisme dan Post Modernisme, (Yogyakarta:
Rakesarasin, 2001), Hal, 167-168.
[8]
Magnis, Frans; Suseno, 1992, Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1992), Hal. 65-68.
[16] Muhammad arsyad, “Makalah
Pembahasan Tentang Rasionalisme” http://muh-arsyad92.blogspot.com/2013/07/makalah-pembahasan-tentang-rasionalisme.html, diaskes tanggal 23 Desember 2014
[17]
Mujib, “aliran
rasionalisme dan empirisme” http://mujib-ennal.blogspot.com/2012/10/ aliran-rasionalisme-dan-empirisme html#sthash.n2qh6EOC.dpuf, diaskes tanggal 23 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar