BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Tinggi
rendahnya tingkat pendidikan, sangat berpengaruh terhadap peradaban sebuah
bangsa. Itulah sebabnya, mengapa wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah
Subhanahu Wata’ala adalah Surah Al-Alaq 1-5:
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ -١- خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ -٢- اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ -٣- الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ -٤- عَلَّمَ الْإِنسَانَ
مَا لَمْ يَعْلَمْ -٥-
1. bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang Menciptakan,
2.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4.
yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],
5.
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[1]
Dengan sangat tegas dan jelas, Allah
Subhanahu wata’ala memberi petunjuk kepada umat islam untukmembaca, dan dalam arti luas adalah belajar serta lebih memprioritaskan aspek pendidikan dari pada
aspek-aspek yang lain.
Jika kita
membuka kembali lembaran sejarah dunia, pasca peristiwa luluh lantaknya
Hirosima dan Nagasaki, banyak korban jiwa, baik yang tewas maupun cacat seumur
hidup.bangunan rata dengan tanah, termasuk gedung-gedung sekolah, menghadapi
peristiwa Hirosima dan Nagasaki, kaisar Jepang kaisar Hirohito memerintahkan
supaya segera diidentifikasi korban dari para guru. Berapa guru yang meninggal,
berapa sekolah-sekolah yang kehilangan gedung dan fasilitas.Mengapa guru dan
sekolah yang pertama ditanyakan oleh kaisar?Karena kaisar memahami bahwa
pendidikan adalah factor penentu kemajuan suatu Negara dan bangsa.
Kemudian
bagaimanakah dengan Indonesia? Lebih mengerucut lagi, bagaimanakah pendidikan
Islam di Indonesia, setelah Umat islam Indonesia terbebas dari imperialisme
selama 70 tahun, dan selama 70 tahun itu masyarakat islam membangun segala
aspek kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, termasuk juga aspek
pendidikan. Namun hasil penelitian menunjukan, kualitas pendidikan islam di
Indonesia belum menunjukan hasil yang signifikan. Masih banyak ditemukan kekurangan dan ketimpangan.
Seperti
statement Winarto Surakhmad ketika menganalisa persoalan pendidikan di
Indonesia, dia mengistilahkan dengan Busung pendidikanmenurut Winarto, timbulnya
fenomena busung pendidikan merupakan peringatan bahwa pemerintah tidak boleh
terus-menerus mengabaikan kewajibannya dalam pelayanan publik, karena cepat
atau lambat akan berakibat negative terhadap segala segi kehidupan. Kondisi
kependidikan yang negative di kalangan masyarakat yang hampir tidak layak lagi
disebut pendidikan-bukanlah gejala baru.Namun, selama ini fenomena itu tidak
seberapa mengusik bangsa ini, dan tampaknya justru masih diberi
toleransi.Remedinya adalah terus-menerus memperkatakan tentang tentang
peningkatan kualitas.[2][1]
Education must sift in to the future tense, artinya
pendidikan harus berorientasi pada perubahan masa depan.[3][5] Hal ini yang mendasari untuk pengembangan
pendidikan yang berbasis masyarakat Indonesia. Sehingga pendidikan di Indonesia
mampu mengikuti perkembangan zaman[4][6]. Agar tercapai tujuan itu maka dibentuklah
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun
ketidaksesuaian antara pasal demi pasal yang ada di dalam UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat
menunjukkan indikasi tidak tercapainya asas keadilan. Kebijakan politik ekonomi
pendidikan yang diamanatkan undang-undang itu belum seluruhnya bisa dipenuhi
oleh pemerintah.[5][7] Seharusnya DPR yang merupakan lembaga yang
memiliki kewenangan dalam pembuatan Undang Undang, haruslah membuat Undang
Undang yang sesuai dengan tujuan nasional Indonesia yang tercantum dalam Undang
Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, penulis tertarik mengambil masalah yang
berjudul “Penyimpangan Penyelenggaraan Sistem Pendidikan di Indonesia “Analisis Kritis Undang-Undang No 20 Tahun 2003”
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah pengaruh Undang-Undang Sisdiknas
No. 20 tahun 2003 terhadap independensi
pendidikan?
2.
Bagaimanakah problem substansif dari
Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003?
3.
Apakah penerapan Undang-Undang Sisdiknas No. 20
tahun 2003 sudah sesuai dengan tujuan pendidikan?
C. Tujuan
Penyususnan
makalah ini sebagaimana 3 rumusan masalah di atas adalah untuk mengungkap fakta
tentang:
1.
Pengaruh Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun
2003 terhadap independensi pendidikan di
Indonesia.
2.
Menganalisa substansif dari Undang-Undang
Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
3.
Tingkat keberhasilan penerapan Undang-Undang
Sisdiknas No. 20 tahun 2003 jika diukur dengan parameter tujuan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
Perlu kita
katehui terlebih dahulu, bahwa UU Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 adalah tentang sitem pendidikan
nasional, undang-undang tersebut memiliki 22 BAB dan 77 Pasal, yang keseluruhan
isi dari undang-undang tersebut mengatur tentang penngelenggaraan pendidikan di
Indonesia.
Pendidikan juga
menjamin kelangsungan hidup suatu bangsa, sebab melalui pendidikanlah akan
diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki suatu bangsa. Karena itu pendidikan
tidak hanya berfungsi untuk how to know, dan how to do tetapi yang amat penting
adalah how to be, bagaimana supaya how to beterwujud maka
diperlukan transfer budaya dan kultur. [6]
Begitu pentingnya masalah
pendidikan, maka perlunya adanya regulasi yang jelas dan bakumengenai
pendidikan tersebut, sebagai dasar hukum dalam sistem pendidikan nasional. Ada beberapa
catatan dari kronologisnya menunjukkan keseriusan dan kesungguhan para pendiri
negara ini untuk membenahi pendidikan. Catatan tersebut adalah sebagai berikut
:[7]
1.
Tahun 1946
membentuk panitia penyelidik pendidikan dan pengajaran.
2.
Tahun 1947,
kongres pendidikan di Solo
3.
Tahun 1948,
membentuk panitia pembentukan rancangan undang-undang peendidikan.
4.
Tahun 1949
kongres pendidkan II di Yogjakarta.
5.
Tahun 1950,
lahirnya UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar Pendidikan dan Pengajaran (UUPP).
6.
Tahun 1954
lahirnya UU No. 12 tahun 1954 tentang berlakunya UU No. 4 tahun 1950.
7.
Tahun 1961,
lahirnya Undang-undang tentang Perguruan Tinggi
8.
Tahun 1965,
lahirnya majelis pendidikan nasional.
9.
Tahun 1989
lahirnya undang-undang tentang sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) UU NO. 2
TAHUN 1989.
10. Tahun 1990 lahirnya PP No. 27, 28, 29, 30 tahun 1990.
11. Tahun 1991 lahirnya PP No. 72, 73 tahun 1991.
12. Tahun 1992 lahirnya PP No. 38, 39
13. Tahun 1993 lahirnya PP No. 60, 61.
14. Tahun 2003 lahirnya undang-undang tentang sistem pendidikan
nasional yaitu UU No. 20 tahun 2003 pengganti dari UU No. 2 tahun 1989.
Sesuai dengan pasal 31 ayat 2 UUD
1945 mengamanahkan bahwa pendidikan yang dimaksud harus diusahakan dan
diselenggarakan oleh pemerintah “ sebagai suatu sistem pendidikan nasional”.
A.
Dampak Sisdiknas no 20 terhadap independensi
pendidikan
Menurut Henry
Giroux dan Aronowitz, Pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni
‘structural functionalisme’ justu dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan
norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk
mensosialisasikan dan mereproduksi nilai nilai tata susila keyakinan dan nilai
nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
Hal ini
tercermin dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 yakni, Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Sedangkan pendidikan menurut Muhammad athiyah
Al-Abrosy yang dikutib oleh Ramayulis, pendidikan islam adalah usaha
mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia mencintai
tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya,
halus perasaanya, mahir dalam pekerjaanya, manis tutur katanya baik dengan
lisan ataupun tulisan.[8]
Jika kita menyimak definisi pendidikan yang
tercantum dalam UU SISDIKNAS, dan ketika dikomparasikan dengan definisi dari
ahli pendidikan Islam, maka secara tidak langsung mengartikan bahwa pendidikan
tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat.Dengan
keyakinan seperti itu tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan
persoalan politik dan ekonomi. Hal ini sesuai dengan paradigma liberal
memisahkan masalah masyarakat yakni persoalan ekonomi dan politik dengan proses
pendidikan yang ada.
Begitu pula yang tercantum dalam Pasal 3 yang
berbunyi, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam tataran
konsep pendidikan dan idealisme pemerintah memang seperti yang dipaparkan di
atas, akan tetapi realitasnya, independensi
pendidikan di Indonesia sering terganggu oleh kepentingan oknum atau
pemerintah itu sendiri. Entah sadar atau tidak sadar, terencana ataupun tidak
terencana, namun faktalah yang membuktikannya.
Seperti
halnya berita yang dilansir oleh Antara yang isi berita tersebut adalah, Wakil Ketua I Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) Budiharjo mengatakan kepentingan politik praktis seharusnya
tidak masuk ke dunia pendidikan apalagi sampai menjadi soal dalam ujian
nasional (UN). "KPAI menyayangkan adanya soal tentang Gubernur DKI Joko
Widodo dalam soal UN.Apalagi diduga soal itu ada kepentingan politik
praktis," kata Budiharjo di Jakarta, Selasa.Budi mengatakan soal mengenai
tokoh tertentu dalam UN tidak menjadi masalah asalkan komprehensif dan tidak
tunggal.Banyak tokoh dalam sejarah Indonesia yang layak masuk dalam soal UN.
Masalahnya, kata Budi, soal dalam UN bahasa Indonesia yang diujikan Senin
(14/4) hanya mencantumkan tokohJokowi, tidak ada tokoh lain."Kalau
walikota atau gubernur terbaik kan Indonesia juga tidak hanya satu. Apalagi
momennya juga setelah pemilihan legislatif menjelang pemilihan presiden,"
tuturnya.[9]
Ini
adalah contoh kecil dari busungnya pendidikan di Indonesia, kerikil-kerikil
kecil yang mengganggu perputaran roda system pendidikan Indonesia.Masih banyak
- terutama di daerah-daerah.Seperti upaya menodai pendidikan melalui intervensi
pendidikan seperti proyek berbau politis, ancaman-ancaman terhadap civitas
pendidikan, atau maneuver-manuver politik melalui organisasi profesi pendidik.
Jika persoalan ini dibiarkan berlarut-larut, maka UU Republik Indonesia Nomor
20 tahun 2003 hanya sebatas tulisan tanpa makna. Dan biaya yang dianggarkan
dalam proses legislasi UURI no 20 tahun 2003, yang tentunya bermilyar menjadi
mubadzir. Dan tujuan pendidikan nasional tidak tercapai disebabkan kepentingan
sesaat dan kepentingan para penguasa.
B.
Analisis substansif dari Undang-Undang
Sisdiknas No. 20 tahun 2003
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah produk
hukum dalam bidang pendidikan yang disusun atas dasar penyempurnaan dari
Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989. UU No. 20
Tahun 2003 ini disahkan di Jakarta pada 8 Juli 2003 oleh Presiden Republik
Indonesia yakni Ibu Megawati Soekarnoputri. UU No. 20 Tahun 2003 ini mengatur
tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU No. 20 Tahun 2003 ini terdiri dari 22
BAB, 77 Pasal dan 252 Ayat. Dalam peraturan ini secara teknis peraturan ini
sudah mencakup tiga kaedah hukum sebuah peraturan, diantaranya, yakni gebod (perintah atau suruhan), mogen (kebolehan), dan verbod (larangan).[10]
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini, tiga
kaedah hukum yang ada, sebagaimana dapat dilihat pada pemaparan dari ayat ke
ayat dalam sebuah pasal. Dimana diantaranya untuk contoh dari ayat yang memuat
unsur kaedah hukum berupa gebod (perintah
atau suruhan) adalah pada pasal 7 ayat 2 yang berbunyi “Orang tua dari anak
usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.”.
Selanjutnya unsur kaedah hukum berupa mogen
(kebolehan) dapat dilihat dari pasal 23 ayat 1 yang berbunyi “Pada
universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau
profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”.Dan yang
terakhir untuk pasal yang memuat kaedah hukum berupa verbod (larangan) dapat dilihat dari pasal 21 ayat 2 yang berbunyi
“Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan
tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi”. Berikutnya
marilah kita bahan substansi dari UU RI no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas
tersebut.
UU No. 20 Tahun
2003 sebagai produk sebuah perundang-undangan dalam mengatur sistem pendidikan
nasional tersusun atas tiga kelompok bagian.Ketiga kelompok bagian tersebut
terdiri daripada pendahuluan, batang tubuh, dan penutup.Berikut penjabaran atas
tiga kelompok bagian daripada UU NO.20 Tahun 2003 tersebut.
1.
Pendahuluan UU
No. 20 Tahun 2003
Bagian pendahuluan daripada UU No.
20 Tahun 2003 ini memuat bagian konsideran beserta definisi-definisi mengenai
makna-makna daripada kata-kata yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini.
Dalam bagian pendahuluan tepatnya untuk konsideran ini UU No. 20 Tahun 2003
ditetapkan berdasarkan berbagai aspek pertimbangan, antara lain: pembukaan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang
mengamanatkan bahwa Pemerintahan Negara Indonesia berperan dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa, isi daripada UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Pemerintah
perlu untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dan UU No. 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dianggap tidak memadai lagi
dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan
UUD Tahun 1945 serta dengan mengingat Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1),
Pasal 31, dan Pasal 32 UUD Tahun 1945.
2.
Batang Tubuh UU
No. 20 Tahun 2003
Dalam bagian batang tubuh ini kami membaginya
beradasarkan bidang garapan Administrasi Pendidikan, antara lain:
a.
Peserta Didik
Dalam BAB V pasal 12 ayat 1 sampai 4 dijelaskan
bahwa peserta didik memiliki hak dan kewajiban, antara lain berhak mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya, mendapatkan pelayanan
pendidikan sesuai dengan minat dan bakat serta kemampuannya, bagi yang
orangtuanya tidak mampu peserta didik mendapat bantuan biaya. Selanjutnya
peserta didik berkewajiban menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin
keberlangsungan proses dan hasil pendidikan. Disini juga dijelaskan bahwa warga
negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan dalam wilayah NKRI.
(a)
Realitas di Lapangan
Implementasi pasal 12 sampai saaat ini yakni
tahun 2015, menurut pengamatan penulis belum sesuai dengan idealisme yang
termaktub dalam undang-undang.Masih banyak siswa yang belum mendapatkan
pelajaran agama sesuai dengan yang dianutnya.Terutana siswa muslim yang
bersekolah di yayasan bukan yayasan islam. Sebagai data autentik, berikut
penulis cuplikan berita yang di orbitkan oleh kantor berita antara Jawa Timur
yang judul beritanya adalah, “Pelajar
Kritik Pengajaran Agama di Sekolah Non-Muslim”Kamis, 2 Mei
2013 14:47 WIB- Sekitar 100 pelajar baik SMP, SMA ataupun SMK di Kota Blitar,
Jawa Timur, unjuk rasa di kantor DPRD setempat, mengkritik penerapan pendidikan
agama di sejumlah sekolah non-Muslim."Terdapat beberapa yayasan yang tidak
memasukkan kurikulum pendidikan di sekolahnya," kata koordinator aksi
Ahmad Mustofa ditemui saat unjuk rasa, Kamis.Sejumlah sekolah yang dikritik itu
di antaranya SMK Katolik Santo Yusuf Blitar, Yayasan Yohanes Gabriel Kota
Blitar, yang tercatat sebagai penyelenggara sekolah Katholik mulai dari TK, SD,
SMP dan SLTA (SMA/SMK), SD-SMP Yos Sudarso Blitar, sampai SDK Santa Maria
Blitar, dan sejumlah sekolah lain Saat
unjuk rasa, massa yang merupakan pelajar itu membawa berbagai macam spanduk
yang isinya tentang pentingnya pendidikan agama. Mereka juga membawa spanduk
tentang ketentuan sekolah yang telah menyalahi aturan pemerintah.Mereka sempat
ditemui oleh Komisi I DPRD Kota Bltar.Komisi yang membawahi bidang pendidikan
itu berjanji segera menyelesaikan masalah ini, sehingga sistem pendidikan pun
bisa berjalan dengan lancar.Anggota Komisi I DPRD Kota Blitar Supriyono
mengatakan masalah ini memang perlu ditegaskan. DPRD juga akan memanggil
sekolah terkait serta instansi terkait untuk mencari jalan keluar dari masalah
itu..[11]
Hal ini menunjukan lemahnya kredibilitas
pememrintah sebagai pengemban undang-undang.Seharusnya pemerintah memiliki
power full dan hak prerogratif untuk menjalankan undang-undang sesuai dengan
substansi undang-undang itu sendiri.
Seharusnya pemerintah mulai pusat sampai daerah
memiliki ketegasan dan keberanian untuk menjalankan pasal ini. Jika memang ada
sekolah yang tidak memberikan pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianut
oleh siswa, maka pemerintah berhak mencabut izin tersebut, sebab dengan dalih
apapun, yayasan atau sekolah tersebut telah berani melawan undang-undang,
berarti juga secara terang-terangan melawan kekuasaan Negara.
Kemudian masyarakat, dan masyarakat muslim pada
khususnya, seharusnya sangat selektif dan hati-hati dalam memilikan dan
mengarahkan pendidikan anak, terutama dalam memilih sekolah dan lembaga
pendidikan. Bagaimanapun juga persoalan ketauhidan dan syariat islam harus
menjadi prioritas utama dalam menentukan arah pendidikan anak. Sangat tidak
dibenarkan jika anak dimasukan pada lembaga yang di dalamnya tidak mengajarkan
pelajaran agama sama sekali atau bahkan di lembaga tersebut siswa muslim
diwajibkan mengikuti pelajaran agama katolik, Kristen atau pendidikan agama non
muslim lainya. Selain bertentangan dengan undang-undang, memusukan anak ke
dalam lembaga pendidikan yang di dalamnya diwajibkan mengikuti pendidikan agama
non muslim jelaslah haram hukumnya. Karena berarti orang tua siswa tersebut
telah menjerumuskan kedalam kekafiran dan kemusyrikan.
(b)
Solusi alternative
Persoalan siswa muslim yang bersekolah di
yayasan non muslim kemudian anak tersebut tidak mendapat pendidikan agama
sesuai yang dianutnya sebenarnya bukanlah persoalan yang baru. Itu adalah
persoalan klasik yang tak kunjung ada solusi yang kongkrit baik dari pemerintah
maupun reaksi yang signifikan dari umat muslim sendiri.
Jika menurut penulis, para ulama, umaro, pegiat
pendidikan dan masyarakat harus persatu padu dan menyamakan persepsi dalam
pendidikan. Bagaimanapun juga umat Islam harus memiliki lembaga pendidikan yang
mencukupi secara kuantitas serta memiliki kualitas yang patut dibanggakan
terlebih jika dapat menjadi lembaga pendidikan yang mendunia, dapat bersaing di
dunia internasional. Bagimanapun juga umat Islam di Indonesia adalah mayoritas,
maka ironi sekali jika umat Islam yang sangat besar dan mayoritas ini ditak
memiliki lembaga pendidikan yang berkualitas.
b.
Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Dalam BAB XI pasal 39 sampai pasal 44
dijelaskan bahwa tugas pendidik pada intinya adalah melaksanakan pembelajaran
dan tenaga kependidikan bertugas dalam kegiatan administrasi.Selanjutnya
dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban dari pendidik dan tenaga
kependidikan.Pendidik dan tenaga kependidikan disini ditempatkan berdasarkan
kebutuhan satuan pendidikan formal melihat dari kebutuhan daerah dimana disini
pemerintah memfasilitasi segala keperluan dari pendidik dan tenaga
kependidikan.Selain itu dalam hal ini dipaparkan juga mengenai ketentuan
kualifikasi, promosi, penghargaan, dan sertifikasi.Pengembangan pendidik dan
tenaga pendidik dalam hal ini harus mampu dikembangkan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah.
(a)
Analisisi relitas di lapangan
Dalam menginterpretasikan pasal 39 inilah
menurut penulis terjadi bias.Pada item tenaga pendidik pada intinya adalah
melaksanakan pembelajaran dan tenaga kependidikan bertugas dalam kegiatan
administrasi sebenarnya sudah jelas dan proporsional. Namun pada kenyataanya
sering tenaga pendidik justru terjebak pada wilayah penyelesaian tugas
admnistratif.Yang tentulah sangat mengganggu tugas utama sebagai pendidik.
Kenyataan di lapangan ternyata masih jauh dari
idealnya implementasi pasal ini, yaitu masih kurangnya tenaga kependidikan yang
memenuhi standart baik secara kuantitas maupun bahkan kualitasnya. Terutama
disekolah negeri yang justru mengalami banyak kesulitan dalam persoalan ini. Sebagaimana
contoh di sekolah kami SMKN 1 Blitar, dengan jumlah siswa lebih dari 2500
siswa, sekolah hanya memiliki 1 orang tenaga tetap tata usaha yang mengurus
data kesiswaan. Realitas ini menunjukan ketidak idealan dalam pelaksanaan
pelayanan pendidikan. Padahal lembaga pendidikan dihadapkan pada tuntutan pelayanan
prima dan harus mampu menyiapkan output yang handal, sehingga siap dan berani
dihadapkan pada tantangan MEA atau pasar bebas. Yang mana dalam era tersebut
nantinya banyak tenaga kerja luar negeri bidang apapun termasuk guru, yang
masuk dalam bursa kerja Indonesia, gelomba arus tenaga kerja luar negeri pada
era masyarakat MEA arusnya sangat besar, sehingga generasi muda Indonesia jika
tidak siap berkompetisi dengan tenaga dari luar negeri, maka mereka harus siap
menjadi penonton dan terlindas di negeri sendiri.
Realiatas kekurangan tenaga kependidikan ini
diperumit lagi dengan tidak diperbolehkanya sekolah negeri mengangkat pegawai
tidak tetap secara resmi, atau diperbolehkan akan tetapi ada kendala dalam
persoalan mencari sumber dana dalam penggajian pegawai tidak tetap tersebut.
Disebabkan sumber pendanaan dari sekolah adalah Bantuan Operasional Sekolah
(BOS). Sedangkan dana BOS tidak diperbolehkan untuk dialokasikan kepada
penggajian pegawai. Ditambah lagi dengan problem kebijakan pemerintah daerah
yang melarang sekolah untuk menarik pembayaran partisipasi dari wali murid
(iuran komite) yaitu dengan program sekolah gratis.
(b)
Solusi kekurangan tenaga kependidikan
Untuk mengatasi
persoalan kekurangn tenaga kependidikan ini, jika menunggu pengangkatan CPNS
masih terlalu lama atau terhalanf persoalan birokrasi, maka pemerintah pusat
maupun daerah dapat mengangkat tenaga kontrak bukan honorer. Larangan mengankat
tenaga honorer dalam Surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 814.1/169/SJ Tanggal 10
Januari 2013 Perihal Penegasan Larangan Pengangkatan Tenaga Honorer. Dapat
dicari jalan kekuarnya dengan mengangkat Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian
Kerja (PPPK) atau dapat diistilahkan dengan tenaga kontrak. Bagi pemerintah
daerah yang memiliki APBD lebih dari anggaran pengeluaran daerah atau mengalami
surplus, maka bisa mengangkat tenaga kependidikan bahkan tenaga pendidik dika
keufrangan tenaga pendidikan, direkrut tenaga untuk mengutup kekurangan tenaga
tersebut melalui PPPK, dengan gaji diambilkan dari APBD.
Namun jika
pemerintah daerah tidak mampu membayar PPPK tersebut melalui APBD, maka sekolah
dapat meminta rekomendasi dari pemerintah daerah agar diberi kewenangan untuk
mencari sumber dana selain dana BOS dan DAK, yang digunakan menggaji PPPK
tersebut. Penggalian dana tambahan dapat melalui iuran komite sekolah atau dari
sumber dana yang lain. Seperti dana CSR dari perusahaan baik BUMN maupun
perusahaan swasta. Pemerintah bisa mendorong perusahaan untuk mengalokasikan
CSR nya ke dunia pendidikan dengan lebih maksimal. Terutama lembaga pendidikan
yang masih sangat membutuhan bantuan pendanaan.
c.
Sarana dan Prasarana
Dalam BAB XII pasal 45 yang terdiri dari 2 ayat
dijelaskan bahwa setiap satuan pendidikan wajib menyediakan sarana dan
prasarana yang mendukung keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan peserta didik.Selanjutnya ketentuan yang berkaitan dengan
penyediaan sarana dan prasarana ini diatur dalam peraturan menteri pendidikan
nasional republik indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang standar sarana dan
prasarana untuk SD/MI, SMP/MTS, DAN SMA/MA. Dalam menyelenggarakan pendidikan
Setidaknya ada 31 ketentuan yang harus dipatuhi dalam mempersiapkan sarana dan
prasarana. Berikut ini 31 hal terkait dengan sarana prasarans sekaligus
penjelasanya yaitu:[12]
1)
Sarana adalah perlengkapan pembelajaran yang
dapat dipindah-pindah.
2)
Prasarana adalah fasilitas dasar untuk
menjalankan fungsi sekolah/ madrasah.
3)
Perabot adalah sarana pengisi ruang.
4)
Peralatan pendidikan adalah sarana yang dapat
secara langsung digunakan untuk pembelajaran.
5)
Media pendidikan adalah peralatan pendidikan
yang digunakan untuk membantu komunikasi dalam pembelajaran.
6)
Buku adalah karya tulis yang diterbitkan
sebagai sumber belajar.
7)
Buku teks pelajaran adalah buku pelajaran yang
menjadi pegangan siswa dan guru untuk setiap mata pelajaran.
8)
Buku pengayaan adalah buku untuk memperkaya
pengetahuan siswa dan guru.
9)
Buku referensi adalah rujukan untuk mencari informasi
atau data tertentu.
10) Sumber belajar
lainnya adalah sumber informasi dalam bentuk selain buku meliputi jurnal,
majalah, surat kabar, poster, situs (website), dan compact disk.
11) Bahan habis
pakai adalah barang yang digunakan dan habis dalam waktu relatif singkat.
12) Perlengkapan
lain adalah alat mesin kantor dan peralatan tambahan yang digunakan untuk
mendukung fungsi sekolah/madrasah.
13) Teknologi
informasi dan komunikasi adalah satuan perangkat keras dan lunak yang berkaitan
dengan akses dan pengelolaan informasi dan komunikasi.
14) Lahan adalah
bidang permukaan tanah yang di atasnya terdapat prasarana sekolah/madrasah
meliputi bangunan, lahan praktik, lahan untuk prasarana penunjang, dan lahan
pertamanan.
15) Bangunan adalah
gedung yang digunakan untuk menjalankan fungsi sekolah/ madrasah.
16) Ruang kelas
adalah ruang untuk pembelajaran teori dan praktik yang tidak memerlukan
peralatan khusus.
17) Ruang
perpustakaan adalah ruang untuk menyimpan dan memperoleh informasi dari
berbagai jenis bahan pustaka.
18) Ruang
laboratorium adalah ruang untuk pembelajaran secara praktik yang memerlukan
peralatan khusus.
19) Ruang pimpinan
adalah ruang untuk melakukan kegiatan pengelolaan sekolah/madrasah.
20) Ruang guru
adalah ruang untuk guru bekerja di luar kelas, beristirahat dan menerima tamu.
21) Ruang tata
usaha adalah ruang untuk pengelolaan administrasi sekolah/ madrasah.
22) Ruang konseling
adalah ruang untuk siswa mendapatkan layanan konseling dari konselor berkaitan
dengan pengembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir.
23) Ruang UKS
adalah ruang untuk menangani siswa yang mengalami gangguan kesehatan dini dan
ringan di sekolah/madrasah.
24) Tempat
beribadah adalah tempat warga sekolah/madrasah melakukan ibadah yang diwajibkan
oleh agama masing-masing pada waktu sekolah/ madrasah.
25) Ruang
organisasi kesiswaan adalah ruang untuk melakukan kegiatan kesekretariatan
pengelolaan organisasi siswa.
26) Jamban adalah
tempat buang air besar dan/atau kecil.
27) Gudang adalah
tempat menyimpan peralatan pembelajaran di luar kelas, peralatan
sekolah/madrasah yang tidak/belum berfungsi, dan arsip sekolah/ madrasah.
28) Ruang sirkulasi
adalah ruang penghubung antar bagian bangunan sekolah/ madrasah.
29) Tempat
berolahraga adalah ruang terbuka atau tertutup yang dilengkapi dengan sarana
untuk melakukan pendidikan jasmani dan olah raga.
30) Tempat bermain
adalah tempat terbuka atau tertutup untuk siswa dapat melakukan kegiatan bebas.
31) Rombongan
belajar adalah kelompok siswa yang terdaftar pada satu satuan kelas.
Dari
31 standart yang harus dipenuhi untuk melengkapi sara dan prasara sekolah tersebut
harus benar-benar dilaksanakan dengan secermat mungkin dan sebaik-baiknya agar
memenuhi idialisme lembaga pendidikan.
a)
Ralitas di lapangan
Masih banyak
persoalan sarana dan prasaramna yang dialami oleh lembaga pendidikan di
Indonesia seperti bertita yang kami kutip berikut ini:
“TIMESINDONESIA, WAISAI – Sarana prasarana
sekolah di daerah masih jadi problem serius yang harus segera ditangani pemerintah
pusat. Mulai dari ruang kelas, sarana penunjang, hingga sarana belajar.
Di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, misalnya.
Masih banyak sekolah yang belum memiliki sarana yang layak. Kendati begitu,
para guru dan pimpinan sekolah tetap semangat melakukan proses belajar
mengajar.
Seperti terjadi di SMPN 14 Waisai, Kabupaten
Raja Ampat. Sebagai salah satu sekolah persiapan percontohan, SMP ini
membutuhkan sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan belajar mengajar
(KBM).
’’Ruang kelas masih kurang. Kami punya 16
rombel (rombongan belajar, Red), tapi ruang kelas yang tersedia baru 8 ruang,’’
kata Amin Saikuri SPd, kepala Sekolah SMPN 14 Waisai Raja Ampat pada
SORONGTIMES (Times Indonesia Network) di kantornya.
Selain ruang kelas, kebutuhan ruang lain juga
sangat diperlukan. Seperti ruang manajemen sekolah dan ruang pimpinan. ’’Kami
punya 500 siswa, 30 guru, dan dibantu 5 tata usaha (TU). Karena kekurangan
kelas, terpaksa para siswa sebagian menggunakan ruangan yang bukan
semestinya,’’tambah Amin.
Di sisi lain, sarana laboratorium untuk siswa
juga masih sangat kurang. Termasuk Lab IPA dan Lab Bahasa. Karena itu, ia
berharap pemerintah turut membantu memikirkan persoalan yang dihadai SMPN 14
Waisai ini.
Sementara, Ketua Komisi A DPRD Raja Ampat
Veronika F. Watem mengakui bahwa sarana di SMP tersebut masih kurang. Komisi
ini telah berkunjung ke sekolah. ’’Kami akan segera koordinasi dengan dinas
pendidikan untuk mengatasi masalah ini,’’ tandas Veronika. (*)[13]
Persoalan kekurangan sarana dan prasarana tidak
hanya di daerah, atau daerah terpencil. Bahkan di kota besar pun juga
terkendala kekurangan sarana prasarana, seperti kurangnya fasilitas olahraga/
lapangan olah raga, laboratorium atau bahkan ruang kelas atau UKS.
b)
Solusi Kekurangan Sarana prasarana
Dalam memenuhi
sarana prasarana pendidikan yang standard, jika menunggu dana dari pemerintah
memang lama dan agak sulit. Maka lembaga pendidikan harus pandai-pandainya
mencari sumber pendapatan lain yang dibenarkaan oleh undang-undang atau
peraturan pemerintah. Pada umumnya penggalian dana yang dialokasikan kepada
sarana prasarana ini diambilkan dari iuran para wali murid atau dana komite,
namun jika lembaga pendidikan yang kebetulan berada di tengah-tengah daerah
tertinggal atau masyarakat yang kurang mampu, maka situasi tersebut juga
menjadi kendala tersendiri.
Sebenarnya ada
beberapa jalur arternatif untuk menggali dana tambahan untuk melengkapi sarana
prasarana, yang selain diambilkan dari dana komite. Yaitu dana tersebut bisa
digali melalui lembaga-lembaga swasta yang peduli terhadap pendidikan yang
tentunya danya non profit, yang tidak mengikat sehingga lembaga tidak terjebak
ke dalam politik atau hal-hal yang menjadi kendala independensi pendidikan.
d.
Pendanaan Pendidikan
Dalam BAB XIII pasal 46 sampai pasal 49
dijelaskan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggungjawab
terhadap pendanaan pendidikan dalam hal menyediakan sumber pendanaan pendidikan
dengan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan serta pengarahannya yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengelolaan dana
pendidikan, dan pengalokasian dana pendidikan minimal sebesar 20 % dari APBN,
20 % APBD dan hibah yang dialokasikan untuk dana penyelenggaraan pendidikan.
a)
Persoalan di lapangan
Jika dianalisa melalui realisasi pemerintah
pusat, maka pelaksanaan perundangan dana pendidikan 20 % disimpulkan sudah
terealisasi dan telah tepat sasaran sesuai dengan yang diharapkan oleh
pemerintah.[14]
Namun realitas ini akan berbeda jika dianalisis pelaksanaan di daerah atau
dilapangan maka akan muncul beberapa ketimpangan-ketimpangan. Pertama,
angka 20 % tersebut ternyata memasukan gaji guru dan tujangan profesi. Maka
yang terjadi adalah, pada daerah tertentu masih ditemui lembaga-lembaga yang
kekurangan dana pendidikan, sehingga sarana kelas untuk pembekajaran pun masih
kurang.[15] Kedua,
pengalokasian dana pendidikan di daerah, sering disalahgunakan oleh pemerintah
daerah untuk pencitraan diri atau kampanye terselubung. Tidak kepala daerah
memutuskan kebijakan program realisasi dana pendidikan dengan mengatasnamakan
pribadi atau kelompok tertentu.
b)
Solusi pemecahan
Pemerintah harus lebih meningkatkan
meningkatkan besaran anggaran biaya pendidikan, karena bagaimanapun juga
pendidikan di Indonesia harus ditingkatkan, jangan sampai dikalahkan oleh
lembaga pendidikan asing yang sudah mulai berkembang di Indonesia. Perkembangan
pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari ketersediaan dana pendidikan. Jadi
jika dana pendidikan yang dialokasikan sangat minim maka pendidikan di Indonesia
akan terus tertinggal oleh lembaga pendidikan dari luar negeri.
Pelaksanaan penerapan dana pendidikan di
daerah-daerah harus dipantau dan diawasi semaksimal mungkin. Karena tidak
jarang pemerintah daerah memanfaatkan pengalokasian dana pendidikan dan lembaga
pendidikan ini untuk pencitraan figure politikus atsu kampanye terselubung.
Perbuatan dholim ini tidak hanya berdampak pada terseretnya lembaga pendidikan
ke dalam politik praktis, yang lebih berbahaya lagi adalah, pembelajaran
politik yang tidak baik kepada generasi muda penerus bangsa. Generasi muda
diajari maneuver politik yang kotor dan menghalalkan segala cara tanpa
mempertimbangkan etika dan syariat agama.
Pemerintah pusat harus bertindak tegas dan
merespon persoalan ini dengan serius, atau jika tidak ada peraturan yang
mengarahkan pemerintah daerah dalam kasus ini, maka perlu diterbitkan
perundang-undangan yang mengatur etika berpolitik para elite politik. Jika
rakyat kecil melanggar hal kecil saja masuk bui apalagi ada pemerintah daerah yang
melanggar etika berpolitik, mereka justru mendapat dukungan penuh dan dielu-elu
bagaikan seorang pahlawan.
e.
Kurikulum
Dalam BAB X pasal 36 sampai 38 dijelaskan bahwa
pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan potensi daerah dan peserta didik.Dalam kurikulum
ini harus memuat nilai-nilai khusus yang telah disepakati dalam menjamin
tercapainya tujuan pendidikan nasional.Selanjutnya dalam struktur kurikulum
pada pendidikan dasar, menengah, bahkan tinggi ini harus memuat beberapa muatan
wajib berupa matapelajaran yang harus disampaikan dalam penyelenggaraan kegitan
pendidikan yang dilaksanakan pada jenjang-jenjang tersebut.Lebih lanjut lagi,
bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah
ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan kerangka dasar dan struktur kurikulum
pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi itu sendiri dengan mengacu
pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studinya.
Pada struktur kurikulum UU no 20 tahun 2003,
ada mata pelajaran yang menurut analisa penulis, pada konteks tertentu justru
tidak sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan.Penulis ambil contoh
pelajaran seni budaya bagi siswa SMK rumpun teknologi dan rekayasa.
Pelajaran seni budaya bagi para calon teknokrat
jika harus mendalami bahkan harus mempraktikan pelajaran tersebut, akan
bertolak belakang dengan karakteristik teknokrat dan tipologi bakat siswa SMK
rumpun teknologi dengan kapasitas
kecerdasan kinestetik logisnya. Jika mereka diajak menari atau membuata patung
dan lain sebagainya, maka menurut pengamatan penulis pada tataran aplikatif,
banyak menimbulkan problem. Dikecualikan siswa yang memang masuk pada SMK
rumpun Pariwisata, mereka memang diambil dari input yang memiliki keinginan dan
bakat dalam hal seni dan budaya. Sebagai bahan pertimbangan berikut kami
paparkan sitem kurikulum sekolah di UU no 20,
Pasal 37
1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib
memuat:
a.
pendidikan
agama;
b.
pendidikan
kewarganegaraan;
c.
bahasa;
d.
matematika;
e.
ilmu
pengetahuan alam;
f.
ilmu
pengetahuan sosial;
g.
seni dan
budaya;
h.
pendidikan
jasmani dan olahraga;
i.
keterampilan/kejuruan;
dan
j.
muatan lokal.
2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a.
pendidikan
agama;
b.
pendidikan
kewarganegaraan; dan
c.
bahasa.
3) Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
f.
Hubungan Sekolah dan Masyarakat
Dalam BAB XV pasal 54 sampai pasal 56
dijelaskan bahwa hubungan sekolah dan masyarakat dalam hal ini salah satunya
berupa peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan. Melihat terdapatnya hubungan sekolah dan masyarakat maka dalam hal
ini perlu adanya penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dengan
mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta
manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Konsep
ini sangat bagus dalam upaya membentuk system pendidikan yang membangun.
Namun perkembangan lingkungan masyarakat dewasa
ini kurang begitu mendudkang dalam menciptakan iklim pendidikan yang diharapkan
dan ideal. Banyak ditemui kegiatan-kegiatan atau kebiasaan baru atau lama di
dalam masyarakat yang kontra produktif dan menghambat keberhasilan usaha
pendidikan. Bagaimanapun juga keberhasilan pendidikan tidak bisa dibebankan
kepada lembaga pendidikan formal saja, harus ada peran serta dari seluruh
elemen masyarakat, terutama wali murid.
Solusi yang dapat diterapkan dalam upaya
memciptakan system pendidikan di Indonesia sehingga ada sinergi antara lembaga
formal dan masyarakat adalah:
a)
Membuat peratuaran dimasyarakat tentang jam
wajib belajar
b)
Mendirikan lembaga pendidikan non formal yang
dimasyarakat yang berbasis kebutuhan local guna mendukung keberhasilan
pendidikan.
c)
Ada sinergi antara tokoh masyarakat, ulama dan
umarok dalam memotifasi dan menciptakan lingkungan yang edukatif.
d)
Ada ketegasan dari fihak yang berwenang untuk
berkomitmen dalam memberantas hiburan yang tidak mendidik.
3.
Penutup UU No.
20 Tahun 2003
Bagian penutup dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini
terdiri daripada ketentuan pidana dalam BAB XX pasal 67 sampai pasal 71,
ketentuan peralihan dalam BAB XXI pasal 72 sampai pasal 74, dan ketentuan penutup
dalam pasal 75 sampai pasal 77.Ketentuan pidana berisi mengenai beberapa
tindakan pidana baik berupa kurungan maupun denda terhadap segala tindakan yang
melanggar peraturan mengenai penyelenggaraan pendidikan dari berbagai
kegiatannya. Selanjutnya dalam ketentuan peralihan diatur mengenai pemberlakuan
penyelenggaraan pendidikan yang pada saat undang-undang ini diberlakukan belum
berbentuk badan hukum pendidikan, waktu perijinan selambat-lambatnya 2 tahun
bagi satuan pendidikan formal yang telah berjalan namun belum memiliki ijin,
dan pemberlakuan peraturan pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 selama tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini. Kemudian yang
terakhir dalam bagian penutup ini dipaparkan mengenai peraturan perundang-undangan
yang tidak berlaku lagi setelah UU ini diterbitkan.
C.
Penerapan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun
2003
Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 telah bertahan untuk saat ini kurang lebih selama 12
tahun.Angka tersebut merupakan angka yang cukup matang untuk terlaksananya
suatu kualitas pendidikan yang semakin tinggi dan bermutu.Namun pada
akhir-akhir ini aturan yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut banyak yang
kurang atau bahkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan negara Indonesia saat
ini.
Sejatinya posisi Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 sangatlah strategis.Sebab salah satu alat
kebijakan pemerintah yang terindependensi dengan kebijakan-kebijakan publik lainnya adalah
perencanaan pendidikan. Proses perencanaan pendidikan di Indonesia diarahkan
pada relevansi, efesiensi, dan efektivitas, namun optimalisasi kinerja
manajemen pendidikannya belum berjalan sesuai dengan harapan.[16][11]
Pendapat H. A. R Tilaar bahwa:“Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
menggarisbawahi perlunya komitmen pemerintah terhadap pendidikan namun dalam
APBN/ APBD justru dikalahkan oleh suatu peraturan pemerintah. Kurangnya
komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan pendidikan sebagai titik
tolak reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang cerdas
dan demokratis sebenarnya telah tampak di dalam ketiadaan arah pengembangan
pendidikan nasional.” [17][12]
Pendapat dari H. A. R
Tilaar di atas telah menggambarkan keberadaan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
ini kurang bisa mempertahankan peraturan yang telah dimuat didalamnya untuk
kondisi pendidikan di lapangan pada saat ini. Pemerintah yang semula
berkomitemen untuk pendidikan, dewasa ini komitmen mereka telah memudar hingga
tidak memikirkan pengembangan pendidikan nasional. Hal tersebut merupakan
sebuah pemikiran kritis dan membutuhkan kebijakan-kebijakan daripada perbaikan sebuah Peraturan Perundang- Undangan.
Sebagai salah satu subsistem
di dalam sistem negara/pemerintahan, keterkaitan pendidikan dengan subsistem lainnya bahkan
saling membutuhkan, saling berketergantungan, dan saling melengkapi. Setidaknya ada
dua realiatas yang bias disampaikan penulis terkait dengan problematika dalam
penerapan UU no 20 than 2003.
1.
Berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah
membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai
bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya
sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan
dijadikan sebagai jasa komoditas, yang dapat diakses oleh masyarakat (para
pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja ralitas ini adalah
sebagaimana yang diungkapkan oleh Veithzal Rivai dan Sylviana Murni. [18][13]
Hal ini terlihat dalam UU
Sisdiknas N0. 20 Tahun 2003 pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP)
bahwa: 1) Penyelenggara dana/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh
pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. 2) Badan hukum
pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan
pelayanan pendidikan kepada peserta didik. 3) Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana
secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54
disebutkan pula 1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan. 2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan
pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di
atas, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat
ini akan dialihkan dari negara ke masyarakat dengan mekanisme Badan Hukum
Pendidikan (BHP), yaitu adanya mekanisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada
tingkat SD-SMA dan otonomi pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Seperti
halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam
operasional pendidikan. Dengan demikian, sekolah memiliki otonomi untuk
menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Yang patut kita
antisipasi dalam konteks ini adalah, ketika ada lembaga pendidikan menentukan
tariff pendidikan setinggi-tingginya tanpa memperhatikan dan mempertahankan mutu.
2.
Berlangsungnya kehidupan sosial yang berlandaskan sekularisme telah
menyuburkan paradigm hidonisme (hura-hura), permisivisme (serba boleh),
materialistic (money oriented), dan lainnya di dalam kehidupan
masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat, saat ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan
hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan
dengan tujuan membentuk kepribadian (akhlak) yang utuh berdasarkan pandangan
syari`at Islam).[19][14]
Hal ini dapat dilihat
dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 3 yang menunjukkan paradigma
pendidikan nasional. Dalam bab IV menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan yang membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu dapat pula dilihat dalam regulasi
derivatnya seperti PP tentang SNP No. 19 tahun 2005, UU Wajib Belajar dan UU BHP.
Dalam paradigma
materialistik pun indikator keberhasilan belajar murid setelah menempuh proses
pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan perlakuan yang
sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional
(UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional
(EBTANAS). Indikator itu pun saat ini hanya pada tiga mata pelajaran saja,
Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, yang ketiganya tersebut
berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah (Mendiknas) menilai
bahwa UN sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan
hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan. Di sisi
lain, aspek pembentukan kepribadian (akhlak) yang utuh dalam diri murid, tidak
pernah menjadi indikator keberhasilan murid dalam menempuh suatu proses
pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama (lihat standar
kompotensi dan kelulusan murid dalam PP No. 19 tahun 2005).
Padahal Fenomena pergaulan
bebas di kalangan remaja (pelajar) yang menjerumuskan pelajar pada seks bebas,
terlibat narkotika, perilaku sarkasme/kekerasan, dan berbagai tindakan kriminal
lainnya semakin meluas dan merajalela.namun standar kelulusan secara nasional
bagi murid, belum juga melibatkan assessment (penilaian) terhadap aspek kepribadian
(pola pikir dan prilaku) yang telah terbentuk dalam individu murid berdasarkan
hasil pendidikan (akhlak) di sekolahnya. Begitu jugaassessment atau penilaian yang mengarah pada tingkat
spiritual dan keterampilan yang dimiliki
murid yang kelak
menjadi modal dalam menempuh kehidupan di dalam masyarakat, juga belum
tersentuh.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Terjadi kekeliruan dalam interpretasi dan
aplikasi Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, yang berdampak pada adanya
upaya hegemoni pemerintah ataupun fihak lain terhadap pendidikan dan lembaga
pendidikan.
2.
Secara umum substansi Undang-Undang Sisdiknas
No. 20 tahun 2003 sudah mengatur dan mengarahkan pendidikan sesuai dengan
definisi dan asas pendidikan itu sendiri. Dan aada beberapa item undang-undang
yang perlu kajian ulang dengan menyesuaikan konteks pendidikan dan realitas
perkembangan obyek pendidikan.
3.
Implementasi Undang-Undang Sisdiknas No. 20
tahun 2003 selama kurang lebih 12 tahun pada dunia pendidikan Indonesia belum
mencapai titik pencapaian yang maksimal. Masih sangat memerlukan upaya-upaya
redefinisi ulang terhadap Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, sehingga
undang-undang tersebut dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya..
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an dan terjemahnya, 1424 H. Mujamma’ Almalik Fahd Lithibaat
Al-Mushaf Assyariif Madinah,
Haidar Putra
Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem
Pendidikan Nasional di Indonesia
Tilaar, H &
Nugroho, R (2009).Kebijakan Pendidikan:
Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikandan Kebijakan Pendidikan sebagai
Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tilaar, H.
(2009). Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen
Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta
Tilaar, H.
(2006). Standarisasi Pendidikan Nasional:
Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta
Yamin, M.
(2009).Menggugat Pendidikan Indonesia.Jogjakarta:
Ar- Ruzz Media
H. Syamsul
Nizar (2004), Seabad Buya Hamka Jakarta, Prenanda Media Grup.
Veithzal Rivai
dan Sylviana Murni. 2009 Education Management,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Udin Syaefudin Sa`ud dan Abin Syamsuddin
Makmun. 2005, Perencanaan Pendidikan (Suatu Pendekatan Komprehensif),
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ramayulis, 1998, Ilmu Pendidikan
Islam, Kalam Mulia, Jakarta Pusat
A Malik Fadjar. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta
: PT RajaGarfindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar