PENDEKATAN SUFISTIK
DALAM STUDI ISLAM
A.
Pendahuluan
Agama islam merupakan sebuah kumpulan aturan yang
mengikat seluruh manusia, dalam rangka mengarahkan manusia menuju kebahagiaan
dunia dan akhirat. Di antara aturan yang dirumuskan oleh Islam adalah tentang
adab atau sopan santun dan tata krama. Terkait dengan sopan santun dan tata
krama ini, kemudian para tokoh muslim menyebutnya dengan istilah akhlak atau
tasawuf.
Akhlak menurut para ulama dimaknai sebagai sebuah
spontanitas kebaikan yang muncul dari diri seseorang, baik berupa perkataan
lisan, tulisan, atau perilaku. Berbeda dengan kata sopan santun, yang tidak
menuntut adanya spontanitas. Dengan demikian, akhlak merupakan sebuah sistem
dasar yang terdapat dalam alam bawah sadar manusia, yang akan merespon
kondisi-kondisi yang dialami oleh seseorang dengan respon yang beraneka ragam,
sesuai dengan kondisi sistem tersebut.
Kaitannya dengan penggunaan kata tasawuf, sering kali
dihubungkan dengan aturan, petunjuk operasional, thariqah, dan mujahadah, yang
semuanya sangat erat hubungannya dengan penghayatan ketuhanan atau penghayatan
keagamaan. Sedangkan kata adab, akhlak, dan tata krama biasa digunakan untuk
mengungkapkan aturan yang umum, baik antar sesama manusia maupun dengan Tuhan.
Mengingat bahasan akhlak adalah tentang nilai dan tak
kasat mata, maka pendekatan tasawuf atau akhlak dapat menggunakan fenomena,
yaitu mengukur dan mengamati kondisi individu atau kolektif yang menampilkan
kecenderungan penggunaan sistem nilai yang disebut akhlak. Di samping itu,
pendekatan akhlak atau tasawuf dapat juga dilakukan dengan jalan pemahaman
terhadap teks yang memberikan ajaran tentang tasawuf atau akhlak.
Akhlak dapat muncul karena adanya pemikiran tentang baik
dan buruk, ia juga dapat muncul dari kejernihan hati manusia yang dapat
merasakan adanya akhlak. Di samping itu, akhlak juga dapat dilahirkan oleh
ajaran agama yang bersumber dari wahyu yang mutawattir kepada Nabi dan sunnah
Nabi. Di samping sumber akhlak yang beragam, studi akhlak atau tasawuf juga
memiliki karakteristik yang beragam. Untuk memahami lebih dalam, akan disajikan
beberapa hal pokok terkait dengan pendekatan akhlak/ tasawuf.
B.
Rumusan
Masalah
Sebagai upaya untuk mensistematiskan dan memfokuskan
pembahasan, maka dirumuskanlah beberapa masalah berikut:
- Bagaimana pengertian pendekatan sufistik dalam studi islam?
- Bagaimana karakteristik pendekatan sufistik dalam studi islam?
- Bagaimana ragam pendekatan sufistik dan contoh penelitian yang menggunakan pendekatan sufistik?
C.
Pembahasan
Hal yang akan menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini;
pengertian, karakteristik, dan ragam pendekatan sufistik serta contoh
penelitian yang menggunakan pendekatan sufistik. Berikut uraian selengkapnya:
- Pengertian Pendekatan Sufistik
Istilah “pendekatan” berasal dari kata “dekat” yang
berarti jarak, hampir, akrab. Secara etimologi berarti proses, perbuatan atau
cara mendekati (Tim Penyusun KBBI, 1994: 625). Perspektif terminologi, istilah
pendekatan berarti paradigma yang terdapat dalam suatu disiplin ilmu tertentu
yang selanjutnya dipergunakan untuk memahami suatu masalah tertentu. (Abuddin
Nata, 1999: 88).
Asal kata tasawuf memiliki banyak ragam pendapat, bisa
jadi berasal dari kata shafa (bersih), shuf (wol), atau shuffah
(pelayan, orang-orang yang berada di serambi Masjid Nabawi). Menurut penulis,
tasawuf yang berasal dari kata shafa yang bermakna bersih, lebih tepat
untuk dipilih dalam mengartikan tasawuf sebagai jalan, usaha, dan ilmu.
Pendapat
yang mengatakan bahwa kata tasawwuf berasal dari kata shafa yang berarti
suci dengan alasan berikut:
وقالت
طائفة انما سميت الصوفية صوفية لصفاء اسرارها ونفقاء أثارها
“Segolongan
(ahli tasawuf) berkata: bahwa pemberian nama shufiyah karena kesucian hatinya
dan kebersihan tingkah lakunya.” (Jamil, 2007: 2)
Terkait
dengan asal kata tasawwuf dari shuffah, Abul ‘Alaa ‘Afify berpendapat:
الصوف متصل بأهل الصفة وهو اسم اطلق على بعض
فقراء المسلمين فى صدر الإسلام كانوا ممن لا بيوت لهم فكانوا يأوون إلى صفة بناها الرسول خارج السمجد
بالمدينة
“Kata
shufi berhubungan dengan perkataan ahl al-shuffah, yaitu nama yang diberikan
kepada sebahagian fakir miskin di kalangan orang-orang Islam pada masa awal
Islam. Mereka adalah di antara orang-orang yang tidak punya rumah, maka mereka
menempati gubuk yang telah dibangun oleh Rasulullah di luar masjid di Madinah.”
(Afifi, tt : 66)
Sementara
pendapat yang menyatakan bahwa tasawwuf berasal dari kata shaf, jamil
berpendapat karena mereka berada pada barisan (shaf) terdepan di sisi Allah
‘Azza wa Jalla dengan ketinggian cita-cita mereka kepada-Nya dan kesungguhan
mereka untuk bertemu dengan-Nya dan ketegaran (ketetapan) hati mereka di
sisi-Nya. (Jami, 20007 : 3)
Ada
yang menisbahkan kata tersebut kepada kata ash-shufu yang berarti bulu
atau wol kasar. Hal ini karena para sufi mengkhususkan diri mereka dengan
memakai pakaian yang berasal dari bulu domba. Hanya kain wol yang dipakai kaum
sufi adalah wol yang kasar bukan wol halus yang dipakai sekarang. Memakai wol
pada saat itu adalah sebagai simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Lawannya
ialah memakai sutra, oleh orang-orang yang mewah hidupnya dikalangan
pemerintahan. Kaum sufi sebagai golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan
miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutra dan sebagai
gantinya memakai wol kasar. (Nasution, 1973: 57)
Dengan
demikian, tasawuf adalah usaha, jalan, atau ilmu yang mengarahkan manusia
menuju kedekatan kepada Allah,
melalui pembersihan diri, hati, perbuatan dan sikap (Muhammad Zaki Ibrahim,
2002: 5). Singkatnya, tasawuf adalah disiplin ilmu yang pusat kajiannya adalah
pembersihan dimensi esoterik manusia.
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang
mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan
Allah SWT agar dapat memperoleh hubungan langsung dengan-Nya, artinya bagaimana
diri seseorang dapat betul-betul berada di kehadirat-Nya. (Harun Nasution,
1973: 56). Dengan demikian, intisari dari sufisme adalah kesadaran akan adanya
komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan realitas mutlak (Allah) yang
dapat diperoleh dengan melalui beberapa usaha tertentu.
Menurut Abdullah Hadziq, tasawuf menurut istilah dapat
ditinjau dari tiga sudut pandang; pertama, dilihat dari sudut pandang manusia
sebagai makhluk yang terbatas, tasawuf dapat diartikan sebagai sarana
menyucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan
perhatian hanya kepada Allah. Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang
berjuang, tasawuf dapat diartikan sebagai sarana memperindah diri dengan akhlak
yang mulia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ketiga, dari sudut
pandang manusia sebagai makhluk yang bertuhan, tasawuf dapat diartikan sebagai
sarana pengembangan kesadaran fitrah atau menguatkan potensi fitrah (Abdullah
Hadziq, t.t: 28).
Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat dipahami
bahwa, pendekatan sufistik adalah sebuah paradigma yang memusatkan pada kajian
tentang pembersihan jiwa manusia, yang kemudian digunakan untuk memahami
masalah tertentu.
- Karakteristik Pendekatan Sufistik
Karakteristik dapat diartikan sebagai suatu keunikan yang
dimiliki oleh sesuatu. Sufistik sebagai pendekatan memiliki karakteristik;
tema-tema yang diangkat selalu berhubungan dengan nilai akhlak yang abstrak,
berhubungan dengan jiwa manusia, berbicara tentang pemikiran para tokoh
tasawuf, dan berbicara tentang solusi pembersihan jiwa berdasarkan ajaran al
Quran dan Sunnah.
Karakteristik dalam pendekatan sufistik setidaknya dapat
dilihat dari tiga pokok ajaran tasawuf yang dikembangkan dalam kajian ilmu
keislaman, yaitu:
a. Tasawuf Akhlaqi
Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti
hawa nafsunya, daripada manusia mengendalikan hawa nafsunya. Keinginan untuk
menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia sangatlah besar. Cara
hidup seperti ini menurut Al-Ghazali, akan membawa manusia ke jurang kehancuran
moral. Dalam hal ini rehabilitas kondisi mental yang tidak baik adalah bila
terapinya hanya di dasarkan pada aspek lahiriah saja. Itu sebabnya pada tahap
awal kehidupan tasawuf diharuskan melakukan amalan-amalan atau latihan-latihan
rohani yang cukup, tujuannya tidak lain adalah untuk membersihkan jiwa dari
nafsu yang tidak baik untuk menuju kehadirat Illahi (Asmaran, 2002: 67).
Adapun bentuk dari usaha atau latihan-latihan jiwa (riyadloh)
yang dilakukan ahli tasawuf dalam menuju kehadirat Illahi dilakukan dengan
melalui tiga level (tingkatan) yakni: takhalli, tahalli, dan Tajalli.
Pertama, takhalli, berarti membersihkan diri dari
sifat- sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin. Di antara sifat-
sifat tercela yang mengotori jiwa (hati) manusia adalah hasad (dengki), hiqd
(rasa mendongkol), su’u al-zann (buruk sangka), takkabur (sombong), ‘ujub
(membanggakan diri), riya’ (pamer), bukhl (kikir), dan ghadab (pemarah).
Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari sikap
ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai
dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan
berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu jahat (Asmaran, 2002: 68).
Kedua, tahalli, yakni menyucikan diri dengan sifat-sifat
terpuji, dengan ta’at lahir dan taat batin. Tahalli berarti menghiasi diri
dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik.
Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas
ketentuan-Nya. Yang dimaksud dengan ketaatan lahir (luar) dalam hal ini adalah
kewajiban yang bersifat formal seperti salat, puasa, zakat, haji dan
sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan ketaatan batin (dalam) adalah
seperti iman, sabar, tawadu’, wara’, ikhlas dan lain sebagainya. (Asmaran,
2002: 71)
Ketiga, tajalli, berarti terungkapnya nur ghaib (cahaya
gaib) untuk hati. Tajalli ialah lenyap atau hilangnya hijab dari sifat-sifat
kebasyariahan (kemanusiaan). Usaha ini dimaksudkan untuk pemantapan dan
pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian
pendidikan mental itu disempurnakan pada fase tajalli. (Asmaran, 2002: 73).
Sedangkan
langkah untuk melestarikan
dan memperdalam rasa ketuhanan, ada beberapa cara yang
diajarkan kaum sufi, antara lain adalah:
1)
Munajat, artinya melaporkan diri kehadirat Allah atas segala
aktifitas yang dilakukan.
2)
Muraqabah dan Muhasabah, muraqabah adalah senantiasa memandang
dengan hati kepada Allah dan selalu memperhatikan apa yang diciptakan-Nya dan
tentang hukum-hukum-Nya. Sedangkan muhasabah adalah selalu memikirkan dan
memperhatikan apa yang telah diperbuat dan yang akan diperbuat; dan ini muncul
dari iman terhadap hari perhitungan (hari kiamat).
3)
Memperbanyak
wirid dan dzikir.
4)
Mengingat
mati.
5)
Tafakkur, adalah berfikir, memikirkan, merenungkan atau meditasi
atas ayat-ayat al-Quran dan fenomena alam. (Asmaran, 2002: 76-90)
b. Tasawuf Amali
Pada dasarnya tasawuf amali adalah kelanjutan dari
tasawuf akhlaki, karena seseorang tidak dapat hidup disisi-Nya dengan hanya
mengandalkan amalan yang dikerjakan sebelum ia membersihkan dirinya. Jiwa yang
bersih merupakan syarat utama untuk bisa kembali kepada Tuhan, karena Dia
adalah Maha Bersih dan Maha Suci dan hanya menginginkan atau menerima
orang-orang yang bersih. Dengan demikian, manusia diharapkan mampu mengisi
hatinya (setelah dibersihkan dari sifat-sifat tercela) dengan cara memahami dan
mengamalkan sifat-sifat terpuji melalui aspek lahir dan batin, yang mana kedua
aspek tersebut dalam agama dibagi menjadi 4 (empat) bagian:
Pertama, syari’at, adalah undang-undang atau garis-garis
yang telah ditentukan yang termasuk di dalamnya hukum-hukum halal dan haram,
yang diperintah dan yang dilarang, yang sunnah, makruh, mubah, dan lain
sebagaonya. Dengan kata lain ini merupakan peraturan.
Kedua, thariqat, adalah tata cara dalam melaksanakan
syari’at yang telah digariskan dalam agama dan dilakukan hanya karena
penghambaan diri kepada Allah. Dengan kata lain ini merupakan pelaksanaan.
Ketiga, hakekat, adalah aspek lain dari syari’ah yang
bersifat lahiriyah, yaitu aspek bathiniyah. Dapat juga diartikan sebagai
rahasia yang paling dalam dalam dari segala amal atau inti syari’ah. Dengan
kata lain ini merupakan keadaan yang sebenarnya atau kebenaran sejati.
Keempat, ma’rifat, adalah pengetahuan mengenai Tuhan
melalui hati (qalb). Dengan kata lain ini merupakan pengenalan Tuhan
dari dekat. (Asmaran, 2002: 95-104).
Sedangkan untuk berada dekat pada Allah SWT, seorang sufi
harus menempuh jalan panjang yang berisi station-station yang disebut dengan
maqamat. Beberapa urutan maqamat yang disebutkan oleh Harun Nasution adalah;
taubat, zuhud, sabar, tawakal, dan rida’. Di atas maqamat ini ada lagi;
mahabbah, ma’rifat, fana’ baqa’, serta ittihad. (Asmaran, 2002: 109) Selain
istilah maqamat, ada juga istilah ahwal yang merupakan kondisi mental. Dalam
hal ini ada beberapa tingkah yang sudah mashur, yaitu; khauf, raja’, syauq,
uns, dan yaqin. (Asmaran, 2002: 140-149)
c. Tasawuf Falsafi
Adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara
visi mistis dengan visi rasional. Hal ini berbeda dengan tasawuf akhlaki dan
amali, yang masih berada pada ruang lingkup tasawuf suni seperti tasawufnya
al-Ghazali, tasawuf ini menggunakan terminologi falsafi dalam pengungkapan
ajarannya. Ciri umum tasawuf falsafi adalah kesamaran-kesamaran ajarannya yang diakibatkan
banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka
yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Kemudian tasawuf ini tidak dapat
dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa
(dzauq). Beberapa paham tipe ini antara lain adalah; fana’ dan baqa’,
ittihad, hulul, wahdah al-wujud, dan isyraq. (Asmaran, 2002:
153-177)
- Ragam Pendekatan Sufistik dan Contoh Penelitian yang Menggunakan Pendekatan Sufistik
Kajian tasawuf tidak dapat terlepas dari tokoh dan
karya-karya ulama terdahulu yang konsen dalam bidang tasawuf. Dimulai dengan
kitab yang familiar di kalangan pesantren; Kifayatul Atqiya’, al Hikam,
Minhajul ‘Abidin, dan Mau’idhatul Mu’minin. Sedangkan tokoh yang terkenal
karena karyanya dalam bidang tasawuf antara lain; Abu Hamid al Ghazali, Ibnu
‘Athaillah as-Sakandari, dan Abu al
Faraj Muhammad al Jauzi.
Semua kajian di atas merupakan bentuk karya yang utuh dan
komprehensif, sehingga menuntut tempo yang relatif lama dan kerja keras dalam
memahaminya secara utuh. Sesuai dengan perkembangan zaman, kemudian muncullah
karya-karya dalam bidang akhlak atau tasawuf yang mengkaji menurut tema
tertentu. Misalnya kitab Taubah ila Allah karya Shalih bin Ghanim as Sadlan,
dan Az Zuhdu karya Asy Syaibani.
Berdasarkan pengamatan Penulis, masih terdapat bentuk
karya dalam bidang tasawuf yang memiliki bentuk lain. Misalnya kitab Manhaj at
Tarbiyah al Islamiyah karya Muhammad bin Qutb bin Ibrahim, dan Mausu’ah al
Akhlaq karya Khalid al Kharraz.
Setidaknya kajian-kajian dalam bidang akhlaq atau tasawuf
dapat dikelompokkan dalam enam ragam:
Pertama, ragam kajian tokoh, yaitu studi tentang tokoh
tasawuf dengan pemikirannya yang khas. Misalnya kajian terhadap pemikiran Ibnu
‘Arabi tentang wahdatul wujud.
Kedua, ragam kajian eksploratif, yaitu menggali ajaran
tasawuf dari berbagai literatur islam. Misalnya kajian ajaran tasawuf menurut
Sunnah, atau ajaran tasawuf menurut al Quran.
Ketiga, ragam kajian kitab, yaitu menelusuri pemikiran
tentang tasawuf dalam sebuah teks khusus. Misalnya kajian terhadap kitab al
Hikam.
Keempat, ragam kajian yang fokus pada bidang tertentu.
Misalnya pendidikan dalam perspektif tasawuf.
Kelima, ragam kajian yang fokus pada tema tertentu yang
berhubungan dengan ajaran tasawuf. Misalnya kajian zuhud, taubat, syukur,
sabar, dan sebagainya.
Keenam, ragam kajian campuran. Misalnya; Konsep Syukur
dalam pendidikan islam perspektif al Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad.
D.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, setidaknya dapat dihasilkan
beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Pendekatan sufistik adalah sebuah paradigma yang
memusatkan pada kajian tentang pembersihan jiwa manusia, yang kemudian
digunakan untuk memahami masalah tertentu.
2. Karakteristik pendekatan sufistik terdapat pada;
tema-tema yang diangkat selalu berhubungan dengan nilai akhlak yang abstrak,
berhubungan dengan jiwa manusia, berbicara tentang pemikiran para tokoh
tasawuf, dan berbicara tentang solusi pembersihan jiwa berdasarkan ajaran al
Quran dan Sunnah.
3. Ragam pendekatan sufistik setidaknya ada enam bentuk;
kajian tokoh, kajian eksploratif, kajian kitab, kajian pemikiran dalam bidang
tertentu, kajian tematik, dan kajian bentuk campuran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Hadziq, Ringkasan Materi Perkuliahan
Pendekatan Ilmu-Ilmu Keislaman, t.tp, t.p, t.t
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindio Persada, 1999
Abul ‘Alaa ‘Afify, Fil al-Tashawwuf al-Islam wa
Tarikhihi, Iskandariyah: Lajnah al-Ta’lif wa al- Tarjamah wa al-Nasyr, tt.
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1973 Muhammad Abdul Haq Ansari, Antara Sufisme Dan
Syari’ah, Jakarta: CV. Rajawali, 1990
Jamil,
M. Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Konstektualitas, Jakarta:
Gaung Persada Pers, 2007
Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi, (Terj.
Abdul Syukur dan Rival Usman), Jakarta: Hikmah, 2002
Nasution,
Harun,. Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif al
Quran, Jakarta: Amzah, 2007
-----, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah,
2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar