Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Kamis, 17 November 2016

MAKALAH PENDEKATAN SUFISTIK DALAM STUDI ISLAM



PENDEKATAN SUFISTIK DALAM STUDI ISLAM


A.    Pendahuluan
Agama islam merupakan sebuah kumpulan aturan yang mengikat seluruh manusia, dalam rangka mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Di antara aturan yang dirumuskan oleh Islam adalah tentang adab atau sopan santun dan tata krama. Terkait dengan sopan santun dan tata krama ini, kemudian para tokoh muslim menyebutnya dengan istilah akhlak atau tasawuf.
Akhlak menurut para ulama dimaknai sebagai sebuah spontanitas kebaikan yang muncul dari diri seseorang, baik berupa perkataan lisan, tulisan, atau perilaku. Berbeda dengan kata sopan santun, yang tidak menuntut adanya spontanitas. Dengan demikian, akhlak merupakan sebuah sistem dasar yang terdapat dalam alam bawah sadar manusia, yang akan merespon kondisi-kondisi yang dialami oleh seseorang dengan respon yang beraneka ragam, sesuai dengan kondisi sistem tersebut.
Kaitannya dengan penggunaan kata tasawuf, sering kali dihubungkan dengan aturan, petunjuk operasional, thariqah, dan mujahadah, yang semuanya sangat erat hubungannya dengan penghayatan ketuhanan atau penghayatan keagamaan. Sedangkan kata adab, akhlak, dan tata krama biasa digunakan untuk mengungkapkan aturan yang umum, baik antar sesama manusia maupun dengan Tuhan.
Mengingat bahasan akhlak adalah tentang nilai dan tak kasat mata, maka pendekatan tasawuf atau akhlak dapat menggunakan fenomena, yaitu mengukur dan mengamati kondisi individu atau kolektif yang menampilkan kecenderungan penggunaan sistem nilai yang disebut akhlak. Di samping itu, pendekatan akhlak atau tasawuf dapat juga dilakukan dengan jalan pemahaman terhadap teks yang memberikan ajaran tentang tasawuf atau akhlak.
Akhlak dapat muncul karena adanya pemikiran tentang baik dan buruk, ia juga dapat muncul dari kejernihan hati manusia yang dapat merasakan adanya akhlak. Di samping itu, akhlak juga dapat dilahirkan oleh ajaran agama yang bersumber dari wahyu yang mutawattir kepada Nabi dan sunnah Nabi. Di samping sumber akhlak yang beragam, studi akhlak atau tasawuf juga memiliki karakteristik yang beragam. Untuk memahami lebih dalam, akan disajikan beberapa hal pokok terkait dengan pendekatan akhlak/ tasawuf.


B.     Rumusan Masalah
Sebagai upaya untuk mensistematiskan dan memfokuskan pembahasan, maka dirumuskanlah beberapa masalah berikut:
  1. Bagaimana pengertian pendekatan sufistik dalam studi islam?
  2. Bagaimana karakteristik pendekatan sufistik dalam studi islam?
  3. Bagaimana ragam pendekatan sufistik dan contoh penelitian yang menggunakan pendekatan sufistik?

C.    Pembahasan
Hal yang akan menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini; pengertian, karakteristik, dan ragam pendekatan sufistik serta contoh penelitian yang menggunakan pendekatan sufistik. Berikut uraian selengkapnya:
  1. Pengertian Pendekatan Sufistik
Istilah “pendekatan” berasal dari kata “dekat” yang berarti jarak, hampir, akrab. Secara etimologi berarti proses, perbuatan atau cara mendekati (Tim Penyusun KBBI, 1994: 625). Perspektif terminologi, istilah pendekatan berarti paradigma yang terdapat dalam suatu disiplin ilmu tertentu yang selanjutnya dipergunakan untuk memahami suatu masalah tertentu. (Abuddin Nata, 1999: 88).
Asal kata tasawuf memiliki banyak ragam pendapat, bisa jadi berasal dari kata shafa (bersih), shuf (wol), atau shuffah (pelayan, orang-orang yang berada di serambi Masjid Nabawi). Menurut penulis, tasawuf yang berasal dari kata shafa yang bermakna bersih, lebih tepat untuk dipilih dalam mengartikan tasawuf sebagai jalan, usaha, dan ilmu.
Pendapat yang mengatakan bahwa kata tasawwuf berasal dari kata shafa yang berarti suci dengan alasan berikut:

وقالت طائفة انما سميت الصوفية صوفية لصفاء اسرارها ونفقاء أثارها
Segolongan (ahli tasawuf) berkata: bahwa pemberian nama shufiyah karena kesucian hatinya dan kebersihan tingkah lakunya.” (Jamil, 2007: 2)
Terkait dengan asal kata tasawwuf dari shuffah, Abul ‘Alaa ‘Afify berpendapat:

الصوف متصل بأهل الصفة وهو اسم اطلق على بعض فقراء المسلمين فى صدر الإسلام كانوا ممن لا بيوت لهم  فكانوا يأوون إلى صفة بناها الرسول خارج السمجد بالمدينة
“Kata shufi berhubungan dengan perkataan ahl al-shuffah, yaitu nama yang diberikan kepada sebahagian fakir miskin di kalangan orang-orang Islam pada masa awal Islam. Mereka adalah di antara orang-orang yang tidak punya rumah, maka mereka menempati gubuk yang telah dibangun oleh Rasulullah di luar masjid di Madinah.” (Afifi, tt : 66)
Sementara pendapat yang menyatakan bahwa tasawwuf berasal dari kata shaf, jamil berpendapat karena mereka berada pada barisan (shaf) terdepan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dengan ketinggian cita-cita mereka kepada-Nya dan kesungguhan mereka untuk bertemu dengan-Nya dan ketegaran (ketetapan) hati mereka di sisi-Nya. (Jami, 20007 : 3)
Ada yang menisbahkan kata tersebut kepada kata ash-shufu yang berarti bulu atau wol kasar. Hal ini karena para sufi mengkhususkan diri mereka dengan memakai pakaian yang berasal dari bulu domba. Hanya kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol yang kasar bukan wol halus yang dipakai sekarang. Memakai wol pada saat itu adalah sebagai simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Lawannya ialah memakai sutra, oleh orang-orang yang mewah hidupnya dikalangan pemerintahan. Kaum sufi sebagai golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutra dan sebagai gantinya memakai wol kasar. (Nasution, 1973: 57)
Dengan demikian, tasawuf adalah usaha, jalan, atau ilmu yang mengarahkan manusia menuju kedekatan kepada Allah, melalui pembersihan diri, hati, perbuatan dan sikap (Muhammad Zaki Ibrahim, 2002: 5). Singkatnya, tasawuf adalah disiplin ilmu yang pusat kajiannya adalah pembersihan dimensi esoterik manusia.
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Allah SWT agar dapat memperoleh hubungan langsung dengan-Nya, artinya bagaimana diri seseorang dapat betul-betul berada di kehadirat-Nya. (Harun Nasution, 1973: 56). Dengan demikian, intisari dari sufisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan realitas mutlak (Allah) yang dapat diperoleh dengan melalui beberapa usaha tertentu.
Menurut Abdullah Hadziq, tasawuf menurut istilah dapat ditinjau dari tiga sudut pandang; pertama, dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, tasawuf dapat diartikan sebagai sarana menyucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang berjuang, tasawuf dapat diartikan sebagai sarana memperindah diri dengan akhlak yang mulia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ketiga, dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang bertuhan, tasawuf dapat diartikan sebagai sarana pengembangan kesadaran fitrah atau menguatkan potensi fitrah (Abdullah Hadziq, t.t: 28).
Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat dipahami bahwa, pendekatan sufistik adalah sebuah paradigma yang memusatkan pada kajian tentang pembersihan jiwa manusia, yang kemudian digunakan untuk memahami masalah tertentu.

  1. Karakteristik Pendekatan Sufistik
Karakteristik dapat diartikan sebagai suatu keunikan yang dimiliki oleh sesuatu. Sufistik sebagai pendekatan memiliki karakteristik; tema-tema yang diangkat selalu berhubungan dengan nilai akhlak yang abstrak, berhubungan dengan jiwa manusia, berbicara tentang pemikiran para tokoh tasawuf, dan berbicara tentang solusi pembersihan jiwa berdasarkan ajaran al Quran dan Sunnah.
Karakteristik dalam pendekatan sufistik setidaknya dapat dilihat dari tiga pokok ajaran tasawuf yang dikembangkan dalam kajian ilmu keislaman, yaitu:
a.       Tasawuf Akhlaqi
Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsunya, daripada manusia mengendalikan hawa nafsunya. Keinginan untuk menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia sangatlah besar. Cara hidup seperti ini menurut Al-Ghazali, akan membawa manusia ke jurang kehancuran moral. Dalam hal ini rehabilitas kondisi mental yang tidak baik adalah bila terapinya hanya di dasarkan pada aspek lahiriah saja. Itu sebabnya pada tahap awal kehidupan tasawuf diharuskan melakukan amalan-amalan atau latihan-latihan rohani yang cukup, tujuannya tidak lain adalah untuk membersihkan jiwa dari nafsu yang tidak baik untuk menuju kehadirat Illahi (Asmaran, 2002: 67).
Adapun bentuk dari usaha atau latihan-latihan jiwa (riyadloh) yang dilakukan ahli tasawuf dalam menuju kehadirat Illahi dilakukan dengan melalui tiga level (tingkatan) yakni: takhalli, tahalli, dan Tajalli.
Pertama, takhalli, berarti membersihkan diri dari sifat- sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin. Di antara sifat- sifat tercela yang mengotori jiwa (hati) manusia adalah hasad (dengki), hiqd (rasa mendongkol), su’u al-zann (buruk sangka), takkabur (sombong), ‘ujub (membanggakan diri), riya’ (pamer), bukhl (kikir), dan ghadab (pemarah).
Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu jahat (Asmaran, 2002: 68).
Kedua, tahalli, yakni menyucikan diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan ta’at lahir dan taat batin. Tahalli berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas ketentuan-Nya. Yang dimaksud dengan ketaatan lahir (luar) dalam hal ini adalah kewajiban yang bersifat formal seperti salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan ketaatan batin (dalam) adalah seperti iman, sabar, tawadu’, wara’, ikhlas dan lain sebagainya. (Asmaran, 2002: 71)
Ketiga, tajalli, berarti terungkapnya nur ghaib (cahaya gaib) untuk hati. Tajalli ialah lenyap atau hilangnya hijab dari sifat-sifat kebasyariahan (kemanusiaan). Usaha ini dimaksudkan untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan mental itu disempurnakan pada fase tajalli. (Asmaran, 2002: 73).
Sedangkan  langkah  untuk  melestarikan  dan  memperdalam  rasa ketuhanan, ada beberapa cara yang diajarkan kaum sufi, antara lain adalah:
1)      Munajat, artinya melaporkan diri kehadirat Allah atas segala aktifitas yang dilakukan.
2)      Muraqabah dan Muhasabah, muraqabah adalah senantiasa memandang dengan hati kepada Allah dan selalu memperhatikan apa yang diciptakan-Nya dan tentang hukum-hukum-Nya. Sedangkan muhasabah adalah selalu memikirkan dan memperhatikan apa yang telah diperbuat dan yang akan diperbuat; dan ini muncul dari iman terhadap hari perhitungan (hari kiamat).
3)      Memperbanyak wirid dan dzikir.
4)      Mengingat mati.
5)      Tafakkur, adalah berfikir, memikirkan, merenungkan atau meditasi atas ayat-ayat al-Quran dan fenomena alam. (Asmaran, 2002: 76-90)

b.      Tasawuf Amali
Pada dasarnya tasawuf amali adalah kelanjutan dari tasawuf akhlaki, karena seseorang tidak dapat hidup disisi-Nya dengan hanya mengandalkan amalan yang dikerjakan sebelum ia membersihkan dirinya. Jiwa yang bersih merupakan syarat utama untuk bisa kembali kepada Tuhan, karena Dia adalah Maha Bersih dan Maha Suci dan hanya menginginkan atau menerima orang-orang yang bersih. Dengan demikian, manusia diharapkan mampu mengisi hatinya (setelah dibersihkan dari sifat-sifat tercela) dengan cara memahami dan mengamalkan sifat-sifat terpuji melalui aspek lahir dan batin, yang mana kedua aspek tersebut dalam agama dibagi menjadi 4 (empat) bagian:
Pertama, syari’at, adalah undang-undang atau garis-garis yang telah ditentukan yang termasuk di dalamnya hukum-hukum halal dan haram, yang diperintah dan yang dilarang, yang sunnah, makruh, mubah, dan lain sebagaonya. Dengan kata lain ini merupakan peraturan.
Kedua, thariqat, adalah tata cara dalam melaksanakan syari’at yang telah digariskan dalam agama dan dilakukan hanya karena penghambaan diri kepada Allah. Dengan kata lain ini merupakan pelaksanaan.
Ketiga, hakekat, adalah aspek lain dari syari’ah yang bersifat lahiriyah, yaitu aspek bathiniyah. Dapat juga diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dalam dari segala amal atau inti syari’ah. Dengan kata lain ini merupakan keadaan yang sebenarnya atau kebenaran sejati.
Keempat, ma’rifat, adalah pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati (qalb). Dengan kata lain ini merupakan pengenalan Tuhan dari dekat. (Asmaran, 2002: 95-104).
Sedangkan untuk berada dekat pada Allah SWT, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi station-station yang disebut dengan maqamat. Beberapa urutan maqamat yang disebutkan oleh Harun Nasution adalah; taubat, zuhud, sabar, tawakal, dan rida’. Di atas maqamat ini ada lagi; mahabbah, ma’rifat, fana’ baqa’, serta ittihad. (Asmaran, 2002: 109) Selain istilah maqamat, ada juga istilah ahwal yang merupakan kondisi mental. Dalam hal ini ada beberapa tingkah yang sudah mashur, yaitu; khauf, raja’, syauq, uns, dan yaqin. (Asmaran, 2002: 140-149)
c.       Tasawuf Falsafi
Adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dengan visi rasional. Hal ini berbeda dengan tasawuf akhlaki dan amali, yang masih berada pada ruang lingkup tasawuf suni seperti tasawufnya al-Ghazali, tasawuf ini menggunakan terminologi falsafi dalam pengungkapan ajarannya. Ciri umum tasawuf falsafi adalah kesamaran-kesamaran ajarannya yang diakibatkan banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Kemudian tasawuf ini tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq). Beberapa paham tipe ini antara lain adalah; fana’ dan baqa’, ittihad, hulul, wahdah al-wujud, dan isyraq. (Asmaran, 2002: 153-177)

  1. Ragam Pendekatan Sufistik dan Contoh Penelitian yang Menggunakan Pendekatan Sufistik
Kajian tasawuf tidak dapat terlepas dari tokoh dan karya-karya ulama terdahulu yang konsen dalam bidang tasawuf. Dimulai dengan kitab yang familiar di kalangan pesantren; Kifayatul Atqiya’, al Hikam, Minhajul ‘Abidin, dan Mau’idhatul Mu’minin. Sedangkan tokoh yang terkenal karena karyanya dalam bidang tasawuf antara lain; Abu Hamid al Ghazali, Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, dan  Abu al Faraj Muhammad al Jauzi.
Semua kajian di atas merupakan bentuk karya yang utuh dan komprehensif, sehingga menuntut tempo yang relatif lama dan kerja keras dalam memahaminya secara utuh. Sesuai dengan perkembangan zaman, kemudian muncullah karya-karya dalam bidang akhlak atau tasawuf yang mengkaji menurut tema tertentu. Misalnya kitab Taubah ila Allah karya Shalih bin Ghanim as Sadlan, dan Az Zuhdu karya Asy Syaibani.
Berdasarkan pengamatan Penulis, masih terdapat bentuk karya dalam bidang tasawuf yang memiliki bentuk lain. Misalnya kitab Manhaj at Tarbiyah al Islamiyah karya Muhammad bin Qutb bin Ibrahim, dan Mausu’ah al Akhlaq karya Khalid al Kharraz.
Setidaknya kajian-kajian dalam bidang akhlaq atau tasawuf dapat dikelompokkan dalam enam ragam:
Pertama, ragam kajian tokoh, yaitu studi tentang tokoh tasawuf dengan pemikirannya yang khas. Misalnya kajian terhadap pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang wahdatul wujud.
Kedua, ragam kajian eksploratif, yaitu menggali ajaran tasawuf dari berbagai literatur islam. Misalnya kajian ajaran tasawuf menurut Sunnah, atau ajaran tasawuf menurut al Quran.
Ketiga, ragam kajian kitab, yaitu menelusuri pemikiran tentang tasawuf dalam sebuah teks khusus. Misalnya kajian terhadap kitab al Hikam.
Keempat, ragam kajian yang fokus pada bidang tertentu. Misalnya pendidikan dalam perspektif tasawuf.
Kelima, ragam kajian yang fokus pada tema tertentu yang berhubungan dengan ajaran tasawuf. Misalnya kajian zuhud, taubat, syukur, sabar, dan sebagainya.
Keenam, ragam kajian campuran. Misalnya; Konsep Syukur dalam pendidikan islam perspektif al Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad.

D.    Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, setidaknya dapat dihasilkan beberapa simpulan sebagai berikut:
1.      Pendekatan sufistik adalah sebuah paradigma yang memusatkan pada kajian tentang pembersihan jiwa manusia, yang kemudian digunakan untuk memahami masalah tertentu.
2.      Karakteristik pendekatan sufistik terdapat pada; tema-tema yang diangkat selalu berhubungan dengan nilai akhlak yang abstrak, berhubungan dengan jiwa manusia, berbicara tentang pemikiran para tokoh tasawuf, dan berbicara tentang solusi pembersihan jiwa berdasarkan ajaran al Quran dan Sunnah.
3.      Ragam pendekatan sufistik setidaknya ada enam bentuk; kajian tokoh, kajian eksploratif, kajian kitab, kajian pemikiran dalam bidang tertentu, kajian tematik, dan kajian bentuk campuran.

  
 

DAFTAR PUSTAKA



Abdullah Hadziq, Ringkasan Materi Perkuliahan Pendekatan Ilmu-Ilmu Keislaman, t.tp, t.p, t.t
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada, 1999
Abul ‘Alaa ‘Afify, Fil al-Tashawwuf al-Islam wa Tarikhihi, Iskandariyah: Lajnah al-Ta’lif wa al- Tarjamah wa al-Nasyr, tt.
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973 Muhammad Abdul Haq Ansari, Antara Sufisme Dan Syari’ah, Jakarta: CV. Rajawali, 1990
Jamil, M. Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Konstektualitas, Jakarta: Gaung Persada Pers, 2007
Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi, (Terj. Abdul Syukur dan Rival Usman), Jakarta: Hikmah, 2002
Nasution, Harun,. Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif al Quran, Jakarta: Amzah, 2007
-----, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar