BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan Islam adalah salah satu obyek kajian filsafat ilmu,
karena ilmu Islam itu ruang lingkupnya luas, materinya sangat luas dan padat.
Al-Qur’an sebagai sumber utama yang berisi dasar-dasar ilmu pengetahuan. Banyak
ayat al-Qur’an yang maknanya masih bersifat abstrak (makna tersirat) dan
membutuhkan penjelasan dan penafsiran
agar dapat dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penndidikan Islam
yaitu pendidikan yang dipelajari, dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan
nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits sebagai
sumber dasar agama Islam. Drs. Muhaimin, M. A. dalam bukunya Paradigma
Pendidikan Islam mengemukakan bahwa, dalam realitasnya pendidikan yang dibangun
dan dikembangkan dari kedua sumber dasar tersebut terdapat beberapa visi yaitu
:
1. Pemikiran, teori dan praktik
penyelenggaraannya melepaskan diri dan/atau kurang mempertimbangkan situasi
yang konkret dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik dan kontemporer
yang mengitarinya.
2. Pemikiran, teori dan praktik
penyelenggaraannya hanya mempertimbangkan pengalaman dan khazananah intelektual ulama klasik.
3. Pemikiran, teori dan praktik
penyelenggaraannya hanya mempertimbangkan situasi sosio-historis dan kultural
masyarakat kontemporer, dan melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman serta
khazanah intelektual ulama klasik.
4. Pemikiran, teori dan praktik
penyelenggaraannya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah intelektual muslim
klasik serta mencermati situasi sosio- historis
dan kultural masyarakat kontemporer.[1])
Dari pendapat tersebut di atas dapat diketahui bahwa dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits, masih banyak terdapat perbedaan penafsiran konsep
dan praktik penyelenggaraannya. Setiap orang menafsirkan sebuah konsep sesuai
dengan sudut pandangnya masing-masing berdasarkan disiplin ilmu dan metode yang
digunakannya.
Oleh karena Pendidikan Islam itu
merupakan suatu obyek kajian filsafat, maka penulis mencoba mengkaji pendidikan
Islam dengan metode pendekatan atau kajian Hermeneutika untuk mengetahui subyek
dan obyek serta seberapa jauh manfaat pendekatan hermeneutika dalam pendidikan
Islam.
B.
Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah penulis
paparkan dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah
dalam penulisan makalah ini, di antaranya :
1. Apakah epistemology hermeneutika itu
?
2. Apakah ruang lingkup kajian
epistemology hermeneutika ?
3. Mungkinkah pendekatan hermeneutika
dapat digunakan dalam pendidikan Islam ?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apakah hermeneutika
dan sejarah singkat tentang
hermeneutika.
2. Untuk mengetahui ruang lingkup kajian hermeneutika.
3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan
Islam terhadap metode pendekatan hermeneutika
dan urgensinya dalam pendidikan
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan sejarah singkat hermeneutika.
Secara etimologi, hermeneutika
berasal dari kata “hermeneuin” yang berarti menafsirkan atau seni memberikan
makna (the art of interpretation)[2])
Adapun istilah hermeneutika kerap dihubungkan dengan dengan kata
hermes. Hermes dalam mitologi Yunani, adalah seorang dewa yang bertugas membawa
pesan-pesan para dewa kepada manusia. Agar pesan itu dipahami manusia, maka
hermes terlebih dahulu menafsirkan
lantas menyampaikannya ke dalam bahasa yang dapat dipahami atau
dimengerti manusia.
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika mulai dipakai (dalam
konteks ilmu pengetahuan klasik) yaitu untuk menafsirkan makna yang terkandung
kitab suci, dokumen, jurisprudensi dan juga teks-teks kuno. Adapun dalam focus
analisis teks, maka penafsiran difokuskan
pada dua tingkat analisis, yakni :
1. Pada tingkat pertama atau permukaan,
yakni dengan mengemukakan komentar tentang
makna kata dan kalimat.
2. Pada tingkat ke dua atau tingkat yang
lebih dalam, yakni masuk pada analisis yang lebih dalam dengan mencari makna
tersembunyi dalam teks (makna alegoris).[3])
Origins (185-254
M) adalah satu contoh tokoh yang mengembangkan model penafsiran ini menjadi system penafsiran yang kompleks
dalam teologi Kristen.
Dalam
perkembangan selanjutnya , hermeneutika tidak saja digunakan sebagai metode menafsirkan teks kitab suci. Pada masa
Renaisans metode hermeneutika digunakan dalam rangka mempelajari kembali
kebudayaan Yunani dan Romawi klasik. Kini hermeneutika berkembang sebagai
metode penafsiran teks dalam pengertian luas yakni melingkupi : tanda, symbol,
ritual keagamaan, karya seni, sastra, sejarah, psikologi dan lain-lain. Jadi,
hermeneutika adalah metode analisis tentang segala sesuatu yang mengandung
makna.[4])
B.
Ruang Lingkup Kajian Epistemologi Hermeneutika
Kajian
filsafat pada masa sekarang telah banyak menyumbangkan pemikiran-pemikiran.
Baik pemikiran-pemikiran tersebut dalam lingkup kajian-kajian lapangan
ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu-ilmu keislaman. Bahkan dalam Islam, telah
banyak menggunakan metode-metode kajian filsafat yang dikembangkan oleh Barat.
Metode-metode seperti Realisme, Empirisme dan Fenomenologi telah menjadi dasar
berpikir dalam menemukan kebenaran. Begitu juga metode terbaru yang digunakan yakni
metode hermeneutic. Suatu metode penafsiran dalam epistemologi yang
menghadirkan cara baru dalam memahami ilmu pengetahuan.
Sejauh ini,
metode hermeneutika telah banyak mempengaruhi daya pikir serta kebenaran yang
ditemukan. Namun, metode ini masih menjadi kontroversi, sebab seperti yang
telah diketahui bahwa metode hermeneutika merupakan suatu produk pemkiran Barat
(Yunani).
Berdasarkan
kontroversi dan pertentangan yang ada antara para pemikir yang mendukung
penggunaan hermeneutika sebagai metode dalam menemukan dan mengembangkan ilmu,
serta pemikir yang menolak kedudukan metode hermeneutika dalam kajian ilmu,
terutama dalam kajian ilmu-ilmu Islam (khususnya ilmu Al-Quran), maka penulis
merasa perlu untuk mengenalkan apa dan bagaimana pendekatan epistemologi
hermeneutika tersebut, yang bertujuan sebagai perbandingan metode ini dengan metode-metode lainnya dalam filsafat
Islam.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat
menghantar kita untuk mengetahui arah pemikiran hermeneutika dan dapat memahami
bagaimana pendekatan hermeneutika dalam kajian-kajian keislaman.
Menurut Khudhori Sholeh, ada tiga bentuk atau
model hermeneutika yaitu :
1. Hermeneutika obyektif yang
dikembangkan oleh tokoh-tokoh klasik, khususnya Fredrick Schleiermacher
(1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968). Menurut
model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagai mana yang dipahami
pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut Schleiermacher, adalah
ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan dalam hokum Betti,
apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan
kita melainkan diturunkan dan bersifat intruktif.
Untuk mencapai tingkat seperti itu, menurut Schleiermacher ada dua cara yang
dapat ditempuh, lewat bahasanya yang mengungkapkan hal-hal baru, atau lewat
karakteristik bahasanya yang ditransfer kepada kita. Menurut Schleiermacher,
setiap teks mempunyai dua sisi yaitu :
a. Sisi linguistic yang menunjuk pada
bahasa yang memungkinkan proses memahami menjadi mungkin.
b. Sisi psikologis yang menunjuk pada
isi pikiran si pengarang yang termanifestasikan pada style bahasa yang
digunakan.
Dalam konteks keagamaan, teori
hermeneutika subyektif ini berarti akan merekomendasikan bahwa teks-teks
al-Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan kebutuhan kekinian, lepas
dari bagaimana realitas historis dan asba al-nuzulnya di masa lalu.
2. Hermeneutika subyektif,yang
dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans-Geong Gadamer
(1900-2002), dan Jacques Darida (I.
1930). Menurut ke dua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna obyektif,
melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Stressing mereka
adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis.
Dalam konteks keagamaan, teori hermeneutika subyektif ini berarti akan
merekomendasikan bahwa teks-teks al-Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan
konteks dan kebutuhan kekinian, lepas dari bagaimana realitas historis dan asba
al-nuzulnya di masa lalu.
3. Hermeneutika Pembebasan yang
dikembangkan oleh tokoh muslim kontemporer khususnya Hasan Hanafi (I. 1935) dan
Farid Esak (I. 1959). Hermeneutika ini didasarkan atas pemikiran hermeneutika
subjektif, khusus dari Gadamer. Namun, menurut para tokoh hermeneutika
pembebasan ini, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode
pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi.Menurut Hanafi, dalam kaitannya
dengan al-Qur’an, hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf
sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga transformasi wahyu dari
pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[5])
Ruang lingkup
kajian hermeneutika adalah :
1. Obyek, yaitu teks atau konsep.
Tiga hal pokok dalam Islam yang perlu
pengkajian mendalan adalah tentang Allah
(Tuhan Yang Maha Esa), manusia dan alam. Ketiga hal tersebut mempunyai hubungan
yang tak terpisahkan, dan teks atau konsep tentang eksistensi ketiga hal
tersebut adalah terdapat dalam al-Qur’an sebagai sumber pokok agama Islam.
2. Subyek, yaitu pembuat teks atau
konsep.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa al-Qur’an adalah teks atau konsep
berupa wahyu Allah yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup di dunia dan
akhirat dan pembuat konsep atau teksnya adalah Allah swt.
3. Pembahasan terhadap teks atau konsep.
Berkaitan dengan teks atau konsep dalam tinjauan hermeneutika, Dr. W. Poespoprojo
mengemukakan bahwa :
"Hermeneutika kini tidak hanya
berkaitan dengan arti ganda, tetapi berhubungan dengan seluruh kenyataan bahasa
dan dengan suatu teks. Dengan demikian fungsi simbolik dan interpretasi harus
direinterpretasikan dalam konteks yang lebih pasti dari teks”.[6])
Pembahasan tentang eksistensi Allah,
manusia dan alam adalah bermuara pada wahyu Allah, dan wujud dari teks atau
konsep tersebut adalah al-Qur’an.
C.
Pendekatan Hermeneutika dalam Pendidikan Islam.
Sebagaimana kita ketahui
bahwahermeneutika adalah filsafat ilmu yang berasal dari Yunani. Kita juga
ketahui bahwa ciri-ciri filsafat atau
berpikir filosofi adalah bersifat radikal, sistematik, konsisten dan bebas.
Dari ciri berfikir filosofi ini, mungkinkah epistemology hermeneutika dapat
digunakan dalam pendidikan Islam ?
Untuk menjawab pertanyaan ini,
penulis mengemukakan beberapa pendapat sebagai rujukan untuk mengkaji lebih
jauh tentang hermeneutika sebagai metode pendekatan dalam Islam.
1. Menurut Ibnu Sina dengan teori
kemungkinan (kontingensi) yang dikutip Toto Suharto, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam bahwa : “ alam ini wujud yang boleh ada dan
boleh tidak ada. Karena alam merupakan wujud yang boleh ada, maka alam bukan
wujud niscaya. Namun, karena alam juga boleh tidak ada, ia dapat juga disebut wujud mustahil. Akan tetapi nyatanya alam ini
ada maka ia dipastikan sebagai wujud
yang mungkin. Terma “mungkin” menurut Ibnu sina adalah potensial, kebalikan
dari actual. Dengan mangatakan bahwa alam ini mungkin pada dirinya, berarti
sifat dasar alam adalah potensial, boleh ada dan tidak bias mengada dengan
sendirinya. Karena alam itu potensial, ia tidak mungkin ada (mewujud) tanpa
adanya sesuatu yang telah actual, yang telah mengubahnya dari potensial menjadi
aktualitas. Sesuatu yang actual yang telah mengubah alam potensial menjadi
aktualitas, itulah Tuhan yang Wujud Niscaya”.[7])
2. Prof. Dr. Amsal Bkhtiar, dalam
bukunya Filsafat Ilmu, mengemukakan bahwa : “upaya rekonsiliasi (mendekatkan
dan mempertemukan)filsafat Yunani dengan pandangan keagamaan dalam Islam (ilmu
Islam) sering menimbulkan benturan-benturan. Para filosof muslim mulai dari
Al-Kindi sampai Ibnu Rusyd terlibat dalam upaya rekonsiliasi tersebut, dengan
cara mengemukakan pandangan-pandangan yang relative unik dan menarik.
Usaha-usaha mereka pada gilirannya menjadi alat dalam penyebaran filsafat dan
penetrasinya ke dalam studi-studi keislaman lainnya, dan tak diragukan lagi
upaya rekonsiliasi oleh para filosof muslim ini menghasilkan afinitas dan
ikatan yang kuat antara filsafat arab dan filsafat Yunani”.[8]
3.
Komarudin Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian
hermeneutic, berpendapat bahwa: “teks-teks keagamaan yang lahir sekian abad
yang lalu di Timur Tengah ketika hadir di tengah masyarakat Indonesia
kontemporer tentu saja merupakan sesuatu yang asing.
“Keterasingan” inilah yang menjadi
perhatian utama hermeneutic. Tugas utama hermeneutic adalah bagaimana
menafsirkan sebuah teks klasik atau teks
asing sehingga menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat serta suasana budaya yang berbeda”.[9]
4.
Menurut Komarudin Hidayat dalam Toto Suharto,
Al-Qur’an dalam pengertiannya yang otentisitas sebagai firman Tuhan tidaklah menjadi
persoalan bagi kaum muslim. Akan tetapi ketika Al-Qur’an diposisikan sebagai
fakta atau dokumen historis, maka Al-Qur’an dapat dilihat sebagai produk sebuah
wacana (discourse), yang sangat menekankan pentingnya tradisi lisan. Di sini
Al-Qur’an tentunya diliputi berbagai variable yang melingkupionya sehingga tak
jarang terjadi penyempitan dan pengeringan makna dan nuansa. Oleh karena itu,
relevansi dan urgensi hermeneutic sebagai metode penafsiran tidak dapat dielakkan lagi.[10])
Berpijak pada pendapat-pendapat tersebut di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa pendekatan hermeneutic sangat tepat digunakan dalam
pendidikan Islam, dalam menafsirkan konsep-konsep Islam, serta mengembangkan
ilmu-ilmu islam yang terdapat dalam Al-Qur’an yang diterima kaum muslim sebagai
sumber dasar-dasar ilmu pengetahuan dan sebagai pedoman hidup.
Wahyu yang pertama diturunkan oleh Allah adalah surat Al -’Alaq
ayat 1-5 sebagai berikut :
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[11])
Pembaca yang budiman, perhatikanlah makna yang terkandung dalam
wahyu pertama ini, sesuai dengan terjemahannya kita ketahui akan makna yang
tersurat di dalamnya, akan tetapi banyak makna yang tersembunyi atau tersirat
pada wahyu pertama ini. Misalnya mengapa
sehingga wahyu pertama yang diturunkan adalah surat Al-‘Alaq ayat 1-5? Mengapa
sehingga nabi diperintah membaca ? Apakah manusia diciptakan dari tanah atau dari
setets air mani ataukah dari segumpal darah ? Mengapa
sehingga perintah membaca diulangi lagi pada ayat ke 3 ? Bagaimana cara Allah
mengajarkan manusia dan apakah yang dimaksudkan dengan kalam ? dan apa sajakah
yang tidak diketahui manusia serta bagaimana cara untuk mengetahui sesuatu itu
?
Menurut
penulis, pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas dapat ditafsirkan dengan
pendekatan hermeneutika dan pendekatan-pendekatan lainnya dengan tidak
mengurangi esensi Allah sebagai Sang Pencipta.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian tentang epistemology
hermeneutika di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Hermeneutika adalah suatu metode
pendekatan yang digunakan untuk menafsirkan teks atau konsep, lambang, symbol,
karya seni, sastra, psikologi dan lain-lain untuk medapatkan makna yang hakiki.
Hermeneutika adalah suatu metodologi
pendekatan yang digunakan dalam mitologi yunani untuk menafsirkan teks
atau konsep dari para dewa agar dapat dimengerti oleh manusia.
2. Ruang lingkup kajian epistemology
hermeneutika adalah teks atau konsep, tanda atau symbol, yang disebut sebagai
obyek hermeneutika, subyeknya adalah pihak yang membuat teks atau konsep.
3. Epistemology hermeneutika adalah
metode pendekatan yang sangat tepat digunakan dalam pendidikan Islam, terutama
pada konsep-konsep ilmu dalam Al-Qur’an yang masih banyak tersirat makna yang
tersembunyi.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran filosof muslim yang telah dipaparkan di
atas, maka tidak ada alasan lagi untuk menolak metode pendekatan hermeneutika
untuk mengkaji ilmu-ilmu Islam.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini
tidak sempurna, terdapat banyak kekurangan dan jauh dari yang diharapkan,
karena penulis memiliki keterbatasan literature. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik konstruktif serta saran dari pembaca untuk memperbaiki dan
melengkapi makalah ini.
Semoga kita memperoleh hasanah dari pengkajian makalah
ini, serta memperoleh keridhaan dari Allah Swt. Amiin
DAFTAR PUSTAKA
-
Muhaimin, M. A. et. al, 2012, Paradigma Pendidikan Islam Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung, Remaja Rosdakarya.
-
W. Poespoprodjo, 2004, Hermeneutika, Bandung, Pustaka Setia.
-
Amsal Bakhtiar, 2012, Filsafat Ilmu, Jakarta, Rajagrafindo Persada.
-
A. Khudhori soleh. 2014, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Temporer,
Yogyakarta, Ar-Ruzz Media.
-
Akhyar Yusuf Lubis, 2014, Filsafat
Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta, Rajagrafindo Persada.
-
Toto Suharto, 2011, Filsafat
Pendidikan Islam, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media.
-
Edi Mulyono, 2013, Belajar Hermeneutika Dari Konfigurasi Filosofis Menuju
Praksis Islamic Studies, Jogjakarta, IRCiSoD.
-
Departemen Agama RI, 2009, Syamil Al-Qur’an The Miracle 15 in 1, Bandung, Sygma Examedia Arkanleema.
Minggu,
26 Februari 2012
A. PENDAHULUAN
Kajian filsafat pada masa sekarang telah banyak
menyumbangkan pemikiran-pemikiran. Baik pemikiran-pemikiran tersebut dalam
lingkup kajian-kajian lapangan ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu-ilmu keislaman.
Bahkan dalam Islam, telah banyak menggunakan metode-metode kajian filsafat yang
dikembangkan oleh Barat. Metode-metode seperti Realisme, Empirisme dan
Fenomenologi telah menjadi dasar berpikir dalam menemukan kebenaran. Begitu juga
metode terbaru yang digunakan yakni metode hermeneutic. Suatu metode penafsiran
dalam epistemologi yang menghadirkan cara baru dalam memahami ilmu pengetahuan.
Sejauh ini, metode hermeneutika telah banyak mempengaruhi
daya pikir serta kebenaran yang ditemukan. Namun, metode ini masih menjadi
kontroversi, sebab seperti yang telah diketahui bahwa metode hermeneutika
merupakan suatu produk pemkiran Barat dan berdampak negatif dalam pengembangan
ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman.
Hal ini menurut penulis perlu diluruskan, sebab walaupun
berdampak besar dalam pergerakan berpikir yang dilakukan oleh para pemikir,
terutama pemikir-pemikir Islam, namun metode hermeneutika juga mempunyai
sumbangan pemikiran dalam khazanah keilmuan, khususnya ilmu-ilmu Islam. Berdasarkan
kontroversi dan pertentangan yang ada antara para pemikir yang mendukung
penggunaan hermeneutika sebagai metode dalam menemukan dan mengembangkan ilmu,
serta pemikir yang menolak kedudukan metode hermeneutika dalam kajian ilmu,
terutama dalam kajian ilmu-ilmu Islam (khususnya ilmu Alquran) maka penulis
merasa perlu untuk mengenalkan apa dan bagaimana yang dinamakan epistemologi
hermeneutika tersebut yang bertujuan meluruskan penilaian terhadap metode ini.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat menggambarkan pemikiran hermeneutika
dalam pikiran pembaca dan dapat memahami bagaimana kajian-kajian hermeneutika
dalam kajian-kajian keislaman.
B. EPISTEMOLOGI HERMENEUTIKA.
1. Pengertian Epistemologi
Hermeneutika.
Penamaan dari epistemologi hermeneutika terdiri atas dua
kata yakni berasal dari kata epistemologi dan hermeneutika. Kata epistemologi
berasal dari kata Yunani yaitu episteme yang bermakna pengetahuan.[1]
Dalam bahasa Arab, menurut Sirajuddin Zar epistemologi dikenal dengan nama al-Ma’rifat.[2]
Secara terminologi, epistemologi atau dengan nama lain teori pengetahuan adalah
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[3] Adapun hermeneutika,
berasal dari bahasa Yunani yakni hermeneuin yang berarti
menafsirkan. Maka dapat dikatakan bahwa hermeneutika berarti tafsir secara
harfiahnya.[4] Secara istilah, hermeneutika didefinisikan sebuah disiplin ilmu
atau metode yang diperlukan untuk menafsirkan Kitab Suci Bibel. Menurut
Danhauer seperti yang dikutip oleh Inyiak Ridwan Muzir dalam bukunya mengatakan
ada dua jenis ilmu yang paling dasar yaitu logika dan hermeneutika. Peran
logika adalah menentukan kebenaran klaim pengetahuan dengan membuktikan
bagaimana pengetahuan itu diturunkan dari prinsip rasional yang lebih tinggi.
Sedangkan untuk mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud oleh seseorang, maka
diperlukan disiplin ilmu lainnya yakni hermeneutika. Disiplin ilmu ini berperan
akan memilah-milah pengertian yang dilekatkan kepada “tanda-tanda” yang
seseorang pakai, tidak peduli apa sesungguhnya yang ada dalam pikiran orang
tersebut.[5]
Noeng Muhadjir mengatakan pembacaan hermeneutik berupaya
mencari kebenaran ilmu dengan cara mencari makna dari susunan kalimat, dari
konteks budaya, dari tafsir transendensi, dan lainnya. Konsep teoritiknya
berangkat dari linguistics. Telaah obyeknya bukan menggunakan prinsip
eliminasi obyek menjadi variabel, melainkan menggunakan fokus telaah atau tema
telaah. Heuristik mengadakan pembacaan mencari makna lewat kata-kata kuncinya,
sedangkan hermeneutik mengadakan pembacaan mencari makna dengan berupaya
menangkap seluruh teks bacaan. Kebermaknaan sesuatu (entah fokus, entah tema)
dapat dilandaskan pada narasi bahasa, pada narasi historis, pada hukum, pada
etika, atau pada sebagainya.[6] Jadi, dapatlah dikatakan bahwa pengertian
hermeneutika erat hubungannya dengan penafsiran teks-teks dari masa lalu dan
penjelasan perbuatan pelaku (atau para pelaku) sejarah.[7]
Beranjak dari teori-teori di atas, maka penulis berpendapat
adapun yang dimaksud dengan epistemologi hermeneutika adalah suatu metode
dengan menafsirkan teks-teks baik yang bersifat keagamaan maupun tidak untuk
menemukan kebenaran pengetahuan. Yang mana penafsiran-penafsiran tersebut tidak
dapat dilepaskan dari unsur-unsur sejarah teks tersebut.
2. Relevansi hermeneutika terhadap ilmu
pengetahuan.
Istilah teks dan pembaca merupakan bagian struktur tiga
serangkai yang saling terkait dalam teori hermeneutika: pertama, pesan,
berupa teks maupun tanda; kedua, penafsir atau mediator; ketiga, audiens.[8]
Dalam teori hermeneutika, terdapat tiga aktivitas eksistensi manusia, yaitu
memahami (understanding), menjelaskan atau menguraikan makna
tersirat menjadi tersurat, dan menerapkan atau mengaitkan makna suatu teks
dengan situasi baru dan kini. Untu dapat mengaplikasikan teori hermeneutika,
Dilthey mengajukan konsep pemahaman sejarah (historical understanding)
yang juga bisa dipahami sebagai kesaaran sejarah (historical consciousness).
Konsep Dilthey ini, bertujuan untuk mengatasi keterasingan teks dengan sejarah.[9]
Dalam teori hermeneutika, pembaca harus mampu mengisi
pemahamannya dengan keutamaan-keutamaan yang ditemukan dalam pengalaman
hidupnya. Dengan kata lain, pembaca harus mampu mengungkapkan fenomenologi
eksistensi dirinya sendiri. Fenomenologi eksistensi manusia akan selalu
berhubungan dengan makna kehidupan dari semua bentuk sinyal dan simbol, praktek
sosial, kejadian sejarah dan karya seni. Dengan dasar perolehan makna dari
semua sinyal, simbol, praktek sosial, kejadian sejarah dan karya seni, maka
manusia dapat menyusun kembali objective meaning. Teori hermeneutika
berperan penting dalam membantu membongkar suatu ruang lingkup pemikiran yang
tidak terpikirkan menjadi terpikirkan di tengah-tengah upaya memahami objective
meaning.[10]
Kemudian Hans George Gadamer menguraikan penafsiran teks
melalui empat elemen utama, yaitu: 1). Pengaruh kesadaran sejarah; 2). Adanya pra-pemahaman;
3). Adanya fusi horizon antara horizon teks dan horizon pembaca yang dia sebut
pula dengan lingkaran hermeneutik[11]; 4) penerapan tiga unsur tersebut.[12]
Dalam perkembangan pada masa modern sekarang ini, filsafat
hermeneutika teraplikasi dalam enam bentuk yang berbeda, yakni:
a. Hermeneutika sebagai teori eksegesis
Bibel. Pemahaman yang paling awal dan mungkin saja masih tersebar luas dari
kata “hermeneutika” merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bibel. Terdapat
justifikasi historis menyangkut aplikasi definisi ini, sebab kata itu memasuki
penggunaan modern sebagai suatu kebutuhan uang muncul dalam buku-buku yang
menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis kitab suci (skriptur).
b. Hermeneutika sebagai metodologi
filologis. Perkembangan rasionalisme dan bersamaan dengannya lahir pula
filologis klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh besar terhadap hermeneutika
Bibel. Berawal dari hal inilah muncul metode kritik historis dalam teologis;
baik mazhab interpretsi Bibel “gramatis” maupun “historis”. Keduanya menegaskan
bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat
diaplikasikan pada buku yang lain.
c. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman
linguistik. Schleiermacher punya distingsi tentang pemahaman kembali
hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman. Karena seluruh bagian
selanjutnya akan dicurahkan kepadanya, maka perlu digarisbawahi di sini bahwa
konsepsi hermeneutika ini mengimplikasikan kritik radikal dari sudut pandang
filologi, karena dia berusaha melebihi konsep hermeneutika sebagai sejumlah
kaidah dan berupaya membuat hermeneutika sistematis-koheren, sebuah ilmu yang
mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam semua dialog.
d. Hermeneutika sebagai fondasi
metodologi bagi Geisteswissenschaften. Wilhelm Dilthey adalah salah satu
pemikir filsafat besar pada akhir abad ke-19 dan penulis biografi
Schleiermacher. Dia melihat hermeneutikka adalah inti disiplin yang dapat
melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu semua disiplin
yang memfokuskan kepada pemahaman seni, aksi dan tulisan manusia).
e. Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein
dan pemahaman eksistensial. Hermeneutika dalam konteks ini tidak mengacu kepada
ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenschaften,
tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri.
Analisis Heidegger mengindikasikan bahwa “pemahaman” dan “interpretasi”
merupakan model fondasional keberadaan manusia. Dengan demikian, “hermenutika” dasein
Heidegger melengkapi, khususnya sejauh dia mempresentasikan ontologi pemahaman,
juga dipandang sebagai hermeneutika; penelitiannya adalah hermeneutika baik isi
maupun metode.
f. Hermeneutika sebagai sistem
interpretasi: menemukan makna melawan ikonoklasme. Paul Ricoeur dalam De
I’intretation (1965), mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada
fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam
hermeneutika. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut:
“yang kita maksud dengan
hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis,
dengan kata lain sebuah interpretasi teks particular atau kumpulan potensi
tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah tteks”
Psikoanalisa,
dan khususnya interpretasi mimpi, merupakan bentuk yang sangat nyata
hermeneutika; unsur-unsur situasi hermeneutis semuanya terdapat di sana. Mimpi
adalah teks, teks yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik, dan psikoanalisa
menggunakan sistem interpretasi untuk menerjemahkan penafsiran yang mengarah
pada pemunculan makna-makna tersembunyi. Hermeneutika adalah proses penguraian
yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan
tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa
berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat
atau sastra.[13]
Menurut Richard E. Palmer, beberapa bidang lain perlu
dieksplorasi mengenai signifikansi bagi teori hermeneutika. Misalnya
linguistic, filsafat bahasa, analisis logika, teori penerjemahan, teori
informasi, dan teori tentang interpretasi lisan (pidato). Penelitian sastra
perlu dijelaskan signifikansinya bagi teori interpretasi, dan fenomenologi
bahasa sangat diperlukan bagi teori hermeneutika. Selain itu, filsafat
interpretasi hukum, sejarah, dan teologis, semuanya melahirkan unsur penting
dalam fenomena interpretasi. Demikian Richard E. Palmer menggambarkan ruang
lingkup hermeneutika.[14]
3. Pembagian jenis-jenis atau
kelompok hermeneutika.
Seperti yang telah diungkapkan, metode hermeneutika ini
menurut sejarahnya telah digunakan di dalam penelitian teks-teks kuno yang
otoritatif misalnya kitab suci, kemudian diterapkan di dalam teologi dan
direfleksikan secara filosofis, sampai akhirnya menjadi metode dalam ilmu-ilmu
sosial. Kemudian, sejauh hermeneutika merupakan penafsiran teks, maka dia juga
digunakan di dalam bidang yang lain, seperti ilmu sejarah, hukum, sastra, dan
sebagainya.[15] Hal tersebut juga berhubungan dengan kenyataan bahwa ekspresi
manusia yang memiliki unsur penuh makna yang perlu disadari oleh subyek dan
yang diubah menjadi sistem nilai dan maknanya sendiri telah melahirkan
“permasalahan hermeneutis” yakni sebagai proses itu dapat dilakukan, dan
bagaimana mengubah makna subjektif menjadi makna objektif yang ditempuh melalui
subjektivitas penafsir (interpreter). Ini menjadi permasalahan hermeneutika
kontemporer yang terbagi menjadi beberapa kelompok atau jenis, yaitu:
a. Hermeneutika metode. Yakni
hermeneutika yang memiliki fokus kajian pada teori umum tentang interpretasi
sebagai metodologi dalam ilmu-ilmu sosial (geisteswissenschaften).
Penggunaan hermeneutika sebagai metode ini ditekankan pada upaya pencapaian
objektivitas. Dalam kategori hermeneutika metode ini adalah hermeneutika model
F. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti.
b. Hermeneutika filosofis. Hermeneutika
ini tidak bermaksud mencari pengetahuan objektif dengan menggunakan prosedur
metodis, tetapi mencari pengungkapan dan deskripsi fenomenologis tentang dasein
manusia dalam temporalitas dan historisitasnya. Tujuan “memahami” teks bukan
lagi menyadari kembali makna yang dimaksud pengarang teks, tetapi untuk
melahirkan pengetahuan praktis yang relevan, subjek sendiri yang diubah menjadi
sadar terhadap kemungkinan baru mengenai eksistensi dan tanggung jawab bagi
masa depannya sendiri.
c. Hermeneutika kritis. Secara umum,
Nietzsche merupakan tokoh yang kritis dalam hermeneutik model ini. Hal ini
tercermin dari corak interpretasinya yang kritis dalam mengkaji berbagai
persoalan, termasuk dalam kajian sejarah. Dia mengklasifikasikan penulisan atau
pemahaman sejarah menjadi tiga pendekatan. Yaitu pertama, pendekatan
monumental yang dilakukan dengan memusatkan perhatian pada kebesaran dan
kelangkaan monumental di massa lampau. Kedua, pendekatan antikuarian
ditulis untuk mencari asal usul identitas seseorang atau kelompok dari masa
lampau. Dan yang ketiga pendekatan kritis. Berbeda dengan dua pendekatan
sebelumnya yang cenderung melihat ke masa lampau, cara melihat masa lampau
secara kritis dimaksudkan untuk mendirikan zaman sekarang dengan jalan
memisahkan dari masa lampau.
d. Hermeneutika fenomenologi Paul
Ricoeur. Hermeneutika jenis ini, menurut Paul Ricoeur terbagi atas tiga bentuk,
yaitu: pertama, konsep mimesis, yaitu konsep hermeneutika dengan
sistem peniruan terhadap apa yang menjadi hasil interpretasi. Konsep ini
terbagi tiga, yaitu prefigurasi (mimesis I), konfigurasi (mimesis II),
dan transfigurasi (mimesis III). Kedua, hermeneutika teks, dan ketiga
hermeneutika tindakan.[16]
C. PENUTUP
Berdasarkan penjelasan makalah sederhana di atas, maka
penulis secara ringkas merumuskan kesimpulan antara lain sebagai berikut:
1. Secara umum, epistemologi
hermeneutika didefinisikan sebagai salah satu metode dalam mencari dan
mengetahui kebenaran dengan jalan menginterpretasikan (menafsirkan)
simbol-simbol, teks, maupun tanda-tanda lainnya.
2. Dalam hermeneutika, sangat terkait
sekali dengan tiga unsur yang saling mendukung dan terikat antara satu dengan
yang lain, yakni pertama, pesan, berupa teks maupun tanda; kedua,
penafsir atau mediator, yakni orang yang menginterpretasikan tanda atau teks
tersebut; dan ketiga, audiens, yakni para penerima hasil penafsiran atau
interpretasi dari mediator atau penafsir tersebut.
3. Hermeneutika teraplikasi dalam enam
definisi aplikatif, yaitu:
- Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel.
- Hermeneutika sebagai metodologi filologis.
- Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik.
- Hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi Geisteswissenschaften.
- Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial.
- Hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
4.
Teori
hermeneutika terbagi atas empat jenis atau kelompok hermeneutika, yaitu: pertama,
Hermeneutika metode; kedua, Hermeneutika filosofis; ketiga,
Hermeneutika kritis; dan keempat, konsep Hermeneutika fenomenologi Paul
Ricoeur.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar,
Amsal, 2009, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Dahlan,
Moh., 2009, Abdullah Ahmed an-Na’im: Epistemologi Hukum Islam,
Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Husaini,
Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi, 2007, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an,
Jakarta: Gema Insani.
Latief,
Juraid Abdul, 2006, Manusia, Filsafat dan Sejarah, Jakarta: Bumi Aksara.
Muhadjir,
Noeng, 1998, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif,
Yogyakarta: Reka Sarasin.
Mustaqim,
Abdul dan Sahiron Syamsudin (ed.), 2002, Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana
Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muzir,
Inyiak Ridwan, 2008, Hermeneutika Filosofis Hans-George Gadamer, disadur
dari buku Truth and Method karangan Hans-George Gadamer, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Palmer,
Richard E., 2005, Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan oleh Musnur Hery dan Damanhuri
Muhammed dengan judul Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi,
Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Setiawan,
M. Nur kholis, 2008, Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an,
Jakarta: Kencana.
Smith,
Linda dan William Reaper, 2000, A Beginner’s Guide to Ideas,
diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi dengan judul Ide-ide, Filsafat dan Agama,
Dulu dan Sekarang, Yogyakarta: Kanisius.
Zaid,
Nasr Hamid Abu, 2005, Mafhum an-Nāsh Dirāsah fi ‘Ulūm al-Qur’an, diterjemahkan
oleh Khoirun Nadliyyin dengan judul Tekstual Al-Qur’an, Kritik Terhadap
Ulumul Qur’an, Yogyakarta; LKiS.
Zar, Sirajuddin, 2004, Filsafat
Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[1])
Muhaimin, M.A. et. al, Paradigma
Pendidikan Islam, cet. V Bandung, Remaja
Rosdakarya 2012, hal. 29
[2])Dr. Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu
Klasik Hingga Kontemporer, cet. 1, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2014, hlm.
186
[3])Ibid
hlm. 182
[4])
Ibid hlm. 182
[5])Kismawadi.blogspot.com
2011/11
[6])Prof. Dr Amsal Bkhtiar, filsafat
ilmu, cet. 11, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2012 , hal 35
[7])
Komarudin Hidayat, Memahami
bahasa Agama : sebuah Kajian Hermeneutik cet. I, Jakarta, Paramadina, 1996, hal
17).
[8])Dr. Toto Suharto, Flsafat Pendidikan
Islam, cet. I Jogjakarta, Ar-Ruzz Media,2011
hlm 54).
[10])
Ibid hlm 54).
[11]) Departemen Agama RI,Syamil
Al-Qur’an The Miracle 15 in 1, Sygma
Examedia Arkanleema, Bandung 2009, hal 1191
[1]
Linda Smith dan William Reaper, A Beginner’s Guide to Ideas,
diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi dengan judul Ide-ide, Filsafat dan Agama,
Dulu dan Sekarang, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet. ke 1, hlm. 10.
[2]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004), cet. ke 1, hlm. 6.
[3]
Lihat Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2009), cet. ke 7, hlm. 148.
[4]
Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an,
(Jakarta: Gema Insani, 2007), cet. ke 1, hlm. 7.
[5]
Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-George Gadamer, disadur
dari buku Truth and Method karangan Hans-George Gadamer, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008), cet. ke 1, hlm. 65-67.
[6]
Lihat Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif,
(Yogyakarta: Reka Sarasin, 1998), hlm. 85.
[7]
Juraid Abdul Latief, Manusia, Filsafat dan Sejarah, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2006), cet. ke 1, hlm. 89.
[8]
Dalam kajian-kajian keislaman, khususnya ilmu-ilmu Alquran, metode hermeneutika
juga terdiri atas unsur-unsur penting interpretasi yang tidak jauh berbeda
dengan struktur di atas, yaitu si pembuat teks (Allah), si penerima (audiens)
dan teks itu sendiri (Alquran). Ditambahkan lagi peranan mediator dari teks
tersebut (malaikat). Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nāsh Dirāsah fi
‘Ulūm al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoirun Nadliyyin dengan judul Tekstual
Al-Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet. ke
4, hlm. 43.
[9]
M. Nur kholis Setiawan, Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an,
(Jakarta: Kencana, 2008), cet. ke 1, hlm. x.
[10]Ibid., hlm.
x-xi.
[11]
Apabila dikaitkan dengan teori hermeneutika yang dilakukan dalam interpretasi terhadap,
maka diketahui juga memiliki ciri khas dalam lingkaran hermeneutika yang
dimaksud. Untuk lebih jelas lihat Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.), Studi
Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2002), cet. ke 1, hlm. 197 dan 201.
[12] M. Nur kholis
Setiawan, op. cit., hlm. 97.
[13]
Richard E. Palmer, Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan oleh Musnur Hery dan Damanhuri
Muhammed dengan judul Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi,
(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005), cet. ke 2, hlm. 39-48.
[14]Ibid.,
hlm. 79.
[15]
Maka dengan demikian, secara umum hermeneutika dapat didefinisikan sebagai
teori atau filsafat interpretasi. Lihat Josef Bleicher, Contemporary
Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Phiilosophy and Critique, (London;
Routledge and Kegan Paul, t.th.), hlm. 1.
[16]
Untuk lebih jelas lihat Moh. Dahlan, Abdullah Ahmed an-Na’im: Epistemologi
Hukum Islam, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009), cet. ke 1, hlm. 20-39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar