Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 18 November 2016

MAKALAH PENDEKATAN HERMENEUTIKA DAN EPISTEMOLOGY HERMENEUTIKA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan Islam adalah salah satu obyek kajian filsafat ilmu, karena ilmu Islam itu ruang lingkupnya luas, materinya sangat luas dan padat. Al-Qur’an sebagai sumber utama yang berisi dasar-dasar ilmu pengetahuan. Banyak ayat al-Qur’an yang maknanya masih bersifat abstrak (makna tersirat) dan membutuhkan penjelasan dan penafsiran  agar dapat dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
        Penndidikan Islam yaitu pendidikan yang dipelajari, dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber dasar agama Islam. Drs. Muhaimin, M. A. dalam bukunya Paradigma Pendidikan Islam mengemukakan bahwa, dalam realitasnya pendidikan yang dibangun dan dikembangkan dari kedua sumber dasar tersebut terdapat beberapa visi yaitu :
1.      Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya melepaskan diri dan/atau kurang mempertimbangkan situasi yang konkret dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik dan kontemporer yang mengitarinya.
2.      Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya hanya mempertimbangkan pengalaman  dan khazananah intelektual ulama klasik.
3.      Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya hanya mempertimbangkan situasi sosio-historis dan kultural masyarakat kontemporer, dan melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman serta khazanah intelektual ulama klasik.
4.      Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati situasi sosio- historis  dan kultural masyarakat kontemporer.[1])
Dari pendapat tersebut di atas dapat diketahui bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits, masih  banyak terdapat perbedaan penafsiran konsep dan praktik penyelenggaraannya. Setiap orang menafsirkan sebuah konsep sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing berdasarkan disiplin ilmu dan metode yang digunakannya.
Oleh karena Pendidikan Islam itu merupakan suatu obyek kajian filsafat, maka penulis mencoba mengkaji pendidikan Islam dengan metode pendekatan atau kajian Hermeneutika untuk mengetahui subyek dan obyek serta seberapa jauh manfaat pendekatan hermeneutika dalam pendidikan Islam.

B.      Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah penulis paparkan dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah dalam penulisan makalah ini, di antaranya :
1.      Apakah epistemology hermeneutika itu ?
2.      Apakah ruang lingkup kajian epistemology hermeneutika ?
3.      Mungkinkah pendekatan hermeneutika dapat digunakan dalam pendidikan Islam ?

C.      Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui apakah hermeneutika dan sejarah singkat  tentang hermeneutika.
2.      Untuk mengetahui ruang lingkup  kajian hermeneutika.
3.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan Islam terhadap metode pendekatan hermeneutika  dan urgensinya  dalam pendidikan Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian dan sejarah singkat hermeneutika.
Secara etimologi, hermeneutika berasal dari kata “hermeneuin” yang berarti menafsirkan atau seni memberikan makna (the art of interpretation)[2])
Adapun istilah hermeneutika kerap dihubungkan dengan dengan kata hermes. Hermes dalam mitologi Yunani, adalah seorang dewa yang bertugas membawa pesan-pesan para dewa kepada manusia. Agar pesan itu dipahami manusia, maka hermes terlebih dahulu menafsirkan  lantas menyampaikannya ke dalam bahasa yang dapat dipahami atau dimengerti manusia.
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika mulai dipakai (dalam konteks ilmu pengetahuan klasik) yaitu untuk menafsirkan makna yang terkandung kitab suci, dokumen, jurisprudensi dan juga teks-teks kuno. Adapun dalam focus analisis teks, maka penafsiran difokuskan  pada dua tingkat analisis, yakni :
1.      Pada tingkat pertama atau permukaan, yakni dengan mengemukakan komentar tentang  makna kata dan kalimat.
2.      Pada tingkat ke dua atau tingkat yang lebih dalam, yakni masuk pada analisis yang lebih dalam dengan mencari makna tersembunyi dalam teks (makna alegoris).[3])
Origins (185-254 M) adalah satu contoh tokoh yang mengembangkan model penafsiran  ini menjadi system penafsiran yang kompleks dalam teologi Kristen.
Dalam perkembangan selanjutnya , hermeneutika tidak saja digunakan sebagai  metode menafsirkan teks kitab suci. Pada masa Renaisans metode hermeneutika digunakan dalam rangka mempelajari kembali kebudayaan Yunani dan Romawi klasik. Kini hermeneutika berkembang sebagai metode penafsiran teks dalam pengertian luas yakni melingkupi : tanda, symbol, ritual keagamaan, karya seni, sastra, sejarah, psikologi dan lain-lain. Jadi, hermeneutika adalah metode analisis tentang segala sesuatu yang mengandung makna.[4])

B.      Ruang Lingkup Kajian Epistemologi Hermeneutika
Kajian filsafat pada masa sekarang telah banyak menyumbangkan pemikiran-pemikiran. Baik pemikiran-pemikiran tersebut dalam lingkup kajian-kajian lapangan ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu-ilmu keislaman. Bahkan dalam Islam, telah banyak menggunakan metode-metode kajian filsafat yang dikembangkan oleh Barat. Metode-metode seperti Realisme, Empirisme dan Fenomenologi telah menjadi dasar berpikir dalam menemukan kebenaran. Begitu juga metode terbaru yang digunakan yakni metode hermeneutic. Suatu metode penafsiran dalam epistemologi yang menghadirkan cara baru dalam memahami ilmu pengetahuan.
Sejauh ini, metode hermeneutika telah banyak mempengaruhi daya pikir serta kebenaran yang ditemukan. Namun, metode ini masih menjadi kontroversi, sebab seperti yang telah diketahui bahwa metode hermeneutika merupakan suatu produk pemkiran Barat (Yunani).
Berdasarkan kontroversi dan pertentangan yang ada antara para pemikir yang mendukung penggunaan hermeneutika sebagai metode dalam menemukan dan mengembangkan ilmu, serta pemikir yang menolak kedudukan metode hermeneutika dalam kajian ilmu, terutama dalam kajian ilmu-ilmu Islam (khususnya ilmu Al-Quran), maka penulis merasa perlu untuk mengenalkan apa dan bagaimana pendekatan epistemologi hermeneutika tersebut, yang bertujuan sebagai perbandingan metode ini  dengan metode-metode lainnya dalam filsafat Islam.
 Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat menghantar kita untuk mengetahui arah pemikiran hermeneutika dan dapat memahami bagaimana pendekatan hermeneutika dalam kajian-kajian keislaman.


 Menurut Khudhori Sholeh, ada tiga bentuk atau model hermeneutika yaitu :
1.      Hermeneutika obyektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh klasik, khususnya Fredrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968). Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagai mana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan dalam hokum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita  melainkan diturunkan dan bersifat intruktif.
Untuk mencapai tingkat seperti  itu, menurut Schleiermacher ada dua cara yang dapat ditempuh, lewat bahasanya yang mengungkapkan hal-hal baru, atau lewat karakteristik bahasanya yang ditransfer kepada kita. Menurut Schleiermacher, setiap teks mempunyai dua sisi yaitu :
a.      Sisi linguistic yang menunjuk pada bahasa yang memungkinkan proses memahami menjadi mungkin.
b.      Sisi psikologis yang menunjuk pada isi pikiran si pengarang yang termanifestasikan pada style bahasa yang digunakan.
Dalam konteks keagamaan, teori hermeneutika subyektif ini berarti akan merekomendasikan bahwa teks-teks al-Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan kebutuhan kekinian, lepas dari bagaimana realitas historis dan asba al-nuzulnya di masa lalu.
2.      Hermeneutika subyektif,yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans-Geong Gadamer (1900-2002),  dan Jacques Darida (I. 1930). Menurut ke dua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna obyektif, melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis.
Dalam konteks keagamaan, teori hermeneutika subyektif ini berarti akan merekomendasikan bahwa teks-teks al-Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan kebutuhan kekinian, lepas dari bagaimana realitas historis dan asba al-nuzulnya di masa lalu.

3.      Hermeneutika Pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh muslim kontemporer khususnya Hasan Hanafi (I. 1935) dan Farid Esak (I. 1959). Hermeneutika ini didasarkan atas pemikiran hermeneutika subjektif, khusus dari Gadamer. Namun, menurut para tokoh hermeneutika pembebasan ini, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi.Menurut Hanafi, dalam kaitannya dengan al-Qur’an, hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[5])
Ruang lingkup kajian hermeneutika  adalah :
1.      Obyek, yaitu teks atau konsep.
      Tiga hal pokok dalam Islam yang perlu pengkajian  mendalan adalah tentang Allah (Tuhan Yang Maha Esa), manusia dan alam. Ketiga hal tersebut mempunyai hubungan yang tak terpisahkan, dan teks atau konsep tentang eksistensi ketiga hal tersebut adalah terdapat dalam al-Qur’an sebagai sumber pokok agama Islam. 
2.      Subyek, yaitu pembuat teks atau konsep.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa al-Qur’an adalah teks atau konsep berupa wahyu Allah yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup di dunia dan akhirat dan pembuat konsep atau teksnya  adalah Allah swt.
3.      Pembahasan terhadap teks atau konsep.
Berkaitan dengan teks atau konsep dalam tinjauan hermeneutika, Dr. W. Poespoprojo mengemukakan bahwa :                                                    
"Hermeneutika kini tidak hanya berkaitan dengan arti ganda, tetapi berhubungan dengan seluruh kenyataan bahasa dan dengan suatu teks. Dengan demikian fungsi simbolik dan interpretasi harus direinterpretasikan dalam konteks yang lebih pasti dari teks”.[6])
Pembahasan tentang eksistensi Allah, manusia dan alam adalah bermuara pada wahyu Allah, dan wujud dari teks atau konsep tersebut adalah al-Qur’an.




C.      Pendekatan Hermeneutika dalam Pendidikan Islam.
Sebagaimana kita ketahui bahwahermeneutika adalah filsafat ilmu yang berasal dari Yunani. Kita juga ketahui bahwa ciri-ciri  filsafat atau berpikir filosofi adalah bersifat radikal, sistematik, konsisten dan bebas. Dari ciri berfikir filosofi ini, mungkinkah epistemology hermeneutika dapat digunakan dalam pendidikan Islam ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mengemukakan beberapa pendapat sebagai rujukan untuk mengkaji lebih jauh tentang hermeneutika sebagai metode pendekatan dalam Islam.
1.      Menurut Ibnu Sina dengan teori kemungkinan (kontingensi) yang dikutip Toto Suharto,  dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam  bahwa : “ alam ini wujud yang boleh ada dan boleh tidak ada. Karena alam merupakan wujud yang boleh ada, maka alam bukan wujud niscaya. Namun, karena alam juga boleh tidak ada, ia dapat juga disebut  wujud mustahil. Akan tetapi nyatanya alam ini ada  maka ia dipastikan sebagai wujud yang mungkin. Terma “mungkin” menurut Ibnu sina adalah potensial, kebalikan dari actual. Dengan mangatakan bahwa alam ini mungkin pada dirinya, berarti sifat dasar alam adalah potensial, boleh ada dan tidak bias mengada dengan sendirinya. Karena alam itu potensial, ia tidak mungkin ada (mewujud) tanpa adanya sesuatu yang telah actual, yang telah mengubahnya dari potensial menjadi aktualitas. Sesuatu yang actual yang telah mengubah alam potensial menjadi aktualitas, itulah Tuhan yang Wujud Niscaya”.[7])
2.      Prof. Dr. Amsal Bkhtiar, dalam bukunya Filsafat Ilmu, mengemukakan bahwa : “upaya rekonsiliasi (mendekatkan dan mempertemukan)filsafat Yunani dengan pandangan keagamaan dalam Islam (ilmu Islam) sering menimbulkan benturan-benturan. Para filosof muslim mulai dari Al-Kindi sampai Ibnu Rusyd terlibat dalam upaya rekonsiliasi tersebut, dengan cara mengemukakan pandangan-pandangan yang relative unik dan menarik. Usaha-usaha mereka pada gilirannya menjadi alat dalam penyebaran filsafat dan penetrasinya ke dalam studi-studi keislaman lainnya, dan tak diragukan lagi upaya rekonsiliasi oleh para filosof muslim ini menghasilkan afinitas dan ikatan yang kuat antara filsafat arab dan filsafat Yunani”.[8]
3.       Komarudin Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian hermeneutic, berpendapat bahwa: “teks-teks keagamaan yang lahir sekian abad yang lalu di Timur Tengah ketika hadir di tengah masyarakat Indonesia kontemporer tentu saja merupakan sesuatu yang asing. “Keterasingan”  inilah yang menjadi perhatian utama hermeneutic. Tugas utama hermeneutic adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik  atau teks asing sehingga menjadi milik kita yang hidup di zaman  dan tempat serta suasana budaya yang berbeda”.[9]
4.       Menurut Komarudin Hidayat dalam Toto Suharto, Al-Qur’an dalam pengertiannya yang otentisitas sebagai firman Tuhan tidaklah menjadi persoalan bagi kaum muslim. Akan tetapi ketika Al-Qur’an diposisikan sebagai fakta atau dokumen historis, maka Al-Qur’an dapat dilihat sebagai produk sebuah wacana (discourse), yang sangat menekankan pentingnya tradisi lisan. Di sini Al-Qur’an tentunya diliputi berbagai variable yang melingkupionya sehingga tak jarang terjadi penyempitan dan pengeringan makna dan nuansa. Oleh karena itu, relevansi dan urgensi hermeneutic sebagai metode penafsiran  tidak dapat dielakkan lagi.[10])
Berpijak pada pendapat-pendapat tersebut di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendekatan hermeneutic sangat tepat digunakan dalam pendidikan Islam, dalam menafsirkan konsep-konsep Islam, serta mengembangkan ilmu-ilmu islam yang terdapat dalam Al-Qur’an yang diterima kaum muslim sebagai sumber dasar-dasar ilmu pengetahuan dan sebagai pedoman hidup.
Wahyu yang pertama diturunkan oleh Allah adalah surat Al -’Alaq ayat 1-5 sebagai berikut :

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[11])
Pembaca yang budiman, perhatikanlah makna yang terkandung dalam wahyu pertama ini, sesuai dengan terjemahannya kita ketahui akan makna yang tersurat di dalamnya, akan tetapi banyak makna yang tersembunyi atau tersirat pada wahyu pertama ini.  Misalnya mengapa sehingga wahyu pertama yang diturunkan adalah surat Al-‘Alaq ayat 1-5? Mengapa sehingga nabi diperintah membaca ?  Apakah manusia diciptakan dari tanah atau dari setets air mani ataukah dari segumpal darah ? Mengapa sehingga perintah membaca diulangi lagi pada ayat ke 3 ? Bagaimana cara Allah mengajarkan manusia dan apakah yang dimaksudkan dengan kalam ? dan apa sajakah yang tidak diketahui manusia serta bagaimana cara untuk mengetahui sesuatu itu ?
Menurut penulis, pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas dapat ditafsirkan dengan pendekatan hermeneutika dan pendekatan-pendekatan lainnya dengan tidak mengurangi esensi Allah sebagai Sang Pencipta.


BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari uraian tentang epistemology hermeneutika di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.      Hermeneutika adalah suatu metode pendekatan yang digunakan untuk menafsirkan teks atau konsep, lambang, symbol, karya seni, sastra, psikologi dan lain-lain untuk medapatkan makna yang hakiki. Hermeneutika adalah suatu metodologi  pendekatan yang digunakan dalam mitologi yunani untuk menafsirkan teks atau konsep dari para dewa agar dapat dimengerti oleh manusia.
2.      Ruang lingkup kajian epistemology hermeneutika adalah teks atau konsep, tanda atau symbol, yang disebut sebagai obyek hermeneutika, subyeknya adalah pihak yang membuat teks atau konsep.
3.      Epistemology hermeneutika adalah metode pendekatan yang sangat tepat digunakan dalam pendidikan Islam, terutama pada konsep-konsep ilmu dalam Al-Qur’an yang masih banyak tersirat makna yang tersembunyi.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran filosof muslim yang telah dipaparkan di atas, maka tidak ada alasan lagi untuk menolak metode pendekatan hermeneutika untuk mengkaji ilmu-ilmu Islam.
B.      Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak sempurna, terdapat banyak kekurangan dan jauh dari yang diharapkan, karena penulis memiliki keterbatasan literature. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik konstruktif serta saran dari pembaca untuk memperbaiki dan melengkapi makalah ini.
Semoga kita memperoleh hasanah dari pengkajian makalah ini, serta memperoleh keridhaan dari Allah Swt. Amiin
                                                                                                                                                            


DAFTAR PUSTAKA

-          Muhaimin, M. A. et. al, 2012, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung, Remaja Rosdakarya.
-          W. Poespoprodjo, 2004, Hermeneutika, Bandung, Pustaka Setia.
-          Amsal Bakhtiar, 2012, Filsafat Ilmu, Jakarta, Rajagrafindo Persada.
-          A. Khudhori soleh. 2014, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Temporer, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media.
-          Akhyar Yusuf Lubis, 2014,  Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta, Rajagrafindo Persada.
-          Toto Suharto, 2011,  Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media.
-          Edi Mulyono, 2013, Belajar Hermeneutika Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies, Jogjakarta, IRCiSoD.
-          Departemen Agama RI, 2009, Syamil Al-Qur’an The Miracle 15 in 1,  Bandung, Sygma Examedia Arkanleema.

Minggu, 26 Februari 2012
Epistemologi Hermeneutika

A.    PENDAHULUAN
Kajian filsafat pada masa sekarang telah banyak menyumbangkan pemikiran-pemikiran. Baik pemikiran-pemikiran tersebut dalam lingkup kajian-kajian lapangan ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu-ilmu keislaman. Bahkan dalam Islam, telah banyak menggunakan metode-metode kajian filsafat yang dikembangkan oleh Barat. Metode-metode seperti Realisme, Empirisme dan Fenomenologi telah menjadi dasar berpikir dalam menemukan kebenaran. Begitu juga metode terbaru yang digunakan yakni metode hermeneutic. Suatu metode penafsiran dalam epistemologi yang menghadirkan cara baru dalam memahami ilmu pengetahuan.
Sejauh ini, metode hermeneutika telah banyak mempengaruhi daya pikir serta kebenaran yang ditemukan. Namun, metode ini masih menjadi kontroversi, sebab seperti yang telah diketahui bahwa metode hermeneutika merupakan suatu produk pemkiran Barat dan berdampak negatif dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman.
Hal ini menurut penulis perlu diluruskan, sebab walaupun berdampak besar dalam pergerakan berpikir yang dilakukan oleh para pemikir, terutama pemikir-pemikir Islam, namun metode hermeneutika juga mempunyai sumbangan pemikiran dalam khazanah keilmuan, khususnya ilmu-ilmu Islam. Berdasarkan kontroversi dan pertentangan yang ada antara para pemikir yang mendukung penggunaan hermeneutika sebagai metode dalam menemukan dan mengembangkan ilmu, serta pemikir yang menolak kedudukan metode hermeneutika dalam kajian ilmu, terutama dalam kajian ilmu-ilmu Islam (khususnya ilmu Alquran) maka penulis merasa perlu untuk mengenalkan apa dan bagaimana yang dinamakan epistemologi hermeneutika tersebut yang bertujuan meluruskan penilaian terhadap metode ini. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat menggambarkan pemikiran hermeneutika dalam pikiran pembaca dan dapat memahami bagaimana kajian-kajian hermeneutika dalam kajian-kajian keislaman.
 B.     EPISTEMOLOGI HERMENEUTIKA.
1.      Pengertian Epistemologi Hermeneutika.
Penamaan dari epistemologi hermeneutika terdiri atas dua kata yakni berasal dari kata epistemologi dan hermeneutika. Kata epistemologi berasal dari kata Yunani yaitu episteme yang bermakna pengetahuan.[1] Dalam bahasa Arab, menurut Sirajuddin Zar epistemologi dikenal dengan nama al-Ma’rifat.[2] Secara terminologi, epistemologi atau dengan nama lain teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[3] Adapun hermeneutika, berasal dari bahasa Yunani yakni hermeneuin yang berarti menafsirkan. Maka dapat dikatakan bahwa hermeneutika berarti tafsir secara harfiahnya.[4] Secara istilah, hermeneutika didefinisikan sebuah disiplin ilmu atau metode yang diperlukan untuk menafsirkan Kitab Suci Bibel. Menurut Danhauer seperti yang dikutip oleh Inyiak Ridwan Muzir dalam bukunya mengatakan ada dua jenis ilmu yang paling dasar yaitu logika dan hermeneutika. Peran logika adalah menentukan kebenaran klaim pengetahuan dengan membuktikan bagaimana pengetahuan itu diturunkan dari prinsip rasional yang lebih tinggi. Sedangkan untuk mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud oleh seseorang, maka diperlukan disiplin ilmu lainnya yakni hermeneutika. Disiplin ilmu ini berperan akan memilah-milah pengertian yang dilekatkan kepada “tanda-tanda” yang seseorang pakai, tidak peduli apa sesungguhnya yang ada dalam pikiran orang tersebut.[5]
Noeng Muhadjir mengatakan pembacaan hermeneutik berupaya mencari kebenaran ilmu dengan cara mencari makna dari susunan kalimat, dari konteks budaya, dari tafsir transendensi, dan lainnya. Konsep teoritiknya berangkat dari linguistics. Telaah obyeknya bukan menggunakan prinsip eliminasi obyek menjadi variabel, melainkan menggunakan fokus telaah atau tema telaah. Heuristik mengadakan pembacaan mencari makna lewat kata-kata kuncinya, sedangkan hermeneutik mengadakan pembacaan mencari makna dengan berupaya menangkap seluruh teks bacaan. Kebermaknaan sesuatu (entah fokus, entah tema) dapat dilandaskan pada narasi bahasa, pada narasi historis, pada hukum, pada etika, atau pada sebagainya.[6] Jadi, dapatlah dikatakan bahwa pengertian hermeneutika erat hubungannya dengan penafsiran teks-teks dari masa lalu dan penjelasan perbuatan pelaku (atau para pelaku) sejarah.[7]
Beranjak dari teori-teori di atas, maka penulis berpendapat adapun yang dimaksud dengan epistemologi hermeneutika adalah suatu metode dengan menafsirkan teks-teks baik yang bersifat keagamaan maupun tidak untuk menemukan kebenaran pengetahuan. Yang mana penafsiran-penafsiran tersebut tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur sejarah teks tersebut.
2.      Relevansi hermeneutika terhadap ilmu pengetahuan.
Istilah teks dan pembaca merupakan bagian struktur tiga serangkai yang saling terkait dalam teori hermeneutika: pertama, pesan, berupa teks maupun tanda; kedua, penafsir atau mediator; ketiga, audiens.[8] Dalam teori hermeneutika, terdapat tiga aktivitas eksistensi manusia, yaitu memahami (understanding), menjelaskan atau menguraikan makna tersirat menjadi tersurat, dan menerapkan atau mengaitkan makna suatu teks dengan situasi baru dan kini. Untu dapat mengaplikasikan teori hermeneutika, Dilthey mengajukan konsep pemahaman sejarah (historical understanding) yang juga bisa dipahami sebagai kesaaran sejarah (historical consciousness). Konsep Dilthey ini, bertujuan untuk mengatasi keterasingan teks dengan sejarah.[9]
Dalam teori hermeneutika, pembaca harus mampu mengisi pemahamannya dengan keutamaan-keutamaan yang ditemukan dalam pengalaman hidupnya. Dengan kata lain, pembaca harus mampu mengungkapkan fenomenologi eksistensi dirinya sendiri. Fenomenologi eksistensi manusia akan selalu berhubungan dengan makna kehidupan dari semua bentuk sinyal dan simbol, praktek sosial, kejadian sejarah dan karya seni. Dengan dasar perolehan makna dari semua sinyal, simbol, praktek sosial, kejadian sejarah dan karya seni, maka manusia dapat menyusun kembali objective meaning. Teori hermeneutika berperan penting dalam membantu membongkar suatu ruang lingkup pemikiran yang tidak terpikirkan menjadi terpikirkan di tengah-tengah upaya memahami objective meaning.[10]
Kemudian Hans George Gadamer menguraikan penafsiran teks melalui empat elemen utama, yaitu: 1). Pengaruh kesadaran sejarah; 2). Adanya pra-pemahaman; 3). Adanya fusi horizon antara horizon teks dan horizon pembaca yang dia sebut pula dengan lingkaran hermeneutik[11]; 4) penerapan tiga unsur tersebut.[12]
Dalam perkembangan pada masa modern sekarang ini, filsafat hermeneutika teraplikasi dalam enam bentuk yang berbeda, yakni:
a.       Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel. Pemahaman yang paling awal dan mungkin saja masih tersebar luas dari kata “hermeneutika” merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bibel. Terdapat justifikasi historis menyangkut aplikasi definisi ini, sebab kata itu memasuki penggunaan modern sebagai suatu kebutuhan uang muncul dalam buku-buku yang menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis kitab suci (skriptur).
b.      Hermeneutika sebagai metodologi filologis. Perkembangan rasionalisme dan bersamaan dengannya lahir pula filologis klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh besar terhadap hermeneutika Bibel. Berawal dari hal inilah muncul metode kritik historis dalam teologis; baik mazhab interpretsi Bibel “gramatis” maupun “historis”. Keduanya menegaskan bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat diaplikasikan pada buku yang lain.
c.       Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Schleiermacher punya distingsi tentang pemahaman kembali hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman. Karena seluruh bagian selanjutnya akan dicurahkan kepadanya, maka perlu digarisbawahi di sini bahwa konsepsi hermeneutika ini mengimplikasikan kritik radikal dari sudut pandang filologi, karena dia berusaha melebihi konsep hermeneutika sebagai sejumlah kaidah dan berupaya membuat hermeneutika sistematis-koheren, sebuah ilmu yang mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam semua dialog.
d.      Hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi Geisteswissenschaften. Wilhelm Dilthey adalah salah satu pemikir filsafat besar pada akhir abad ke-19 dan penulis biografi Schleiermacher. Dia melihat hermeneutikka adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu semua disiplin yang memfokuskan kepada pemahaman seni, aksi dan tulisan manusia).
e.       Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial. Hermeneutika dalam konteks ini tidak mengacu kepada ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenschaften, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Analisis Heidegger mengindikasikan bahwa “pemahaman” dan “interpretasi” merupakan model fondasional keberadaan manusia. Dengan demikian, “hermenutika” dasein Heidegger melengkapi, khususnya sejauh dia mempresentasikan ontologi pemahaman, juga dipandang sebagai hermeneutika; penelitiannya adalah hermeneutika baik isi maupun metode.
f.        Hermeneutika sebagai sistem interpretasi: menemukan makna melawan ikonoklasme. Paul Ricoeur dalam De I’intretation (1965), mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut:
“yang kita maksud dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain sebuah interpretasi teks particular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah tteks”

Psikoanalisa, dan khususnya interpretasi mimpi, merupakan bentuk yang sangat nyata hermeneutika; unsur-unsur situasi hermeneutis semuanya terdapat di sana. Mimpi adalah teks, teks yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik, dan psikoanalisa menggunakan sistem interpretasi untuk menerjemahkan penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna-makna tersembunyi. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra.[13]
Menurut Richard E. Palmer, beberapa bidang lain perlu dieksplorasi mengenai signifikansi bagi teori hermeneutika. Misalnya linguistic, filsafat bahasa, analisis logika, teori penerjemahan, teori informasi, dan teori tentang interpretasi lisan (pidato). Penelitian sastra perlu dijelaskan signifikansinya bagi teori interpretasi, dan fenomenologi bahasa sangat diperlukan bagi teori hermeneutika. Selain itu, filsafat interpretasi hukum, sejarah, dan teologis, semuanya melahirkan unsur penting dalam fenomena interpretasi. Demikian Richard E. Palmer menggambarkan ruang lingkup hermeneutika.[14]
3.      Pembagian jenis-jenis atau  kelompok hermeneutika.
Seperti yang telah diungkapkan, metode hermeneutika ini menurut sejarahnya telah digunakan di dalam penelitian teks-teks kuno yang otoritatif misalnya kitab suci, kemudian diterapkan di dalam teologi dan direfleksikan secara filosofis, sampai akhirnya menjadi metode dalam ilmu-ilmu sosial. Kemudian, sejauh hermeneutika merupakan penafsiran teks, maka dia juga digunakan di dalam bidang yang lain, seperti ilmu sejarah, hukum, sastra, dan sebagainya.[15] Hal tersebut juga berhubungan dengan kenyataan bahwa ekspresi manusia yang memiliki unsur penuh makna yang perlu disadari oleh subyek dan yang diubah menjadi sistem nilai dan maknanya sendiri telah melahirkan “permasalahan hermeneutis” yakni sebagai proses itu dapat dilakukan, dan bagaimana mengubah makna subjektif menjadi makna objektif yang ditempuh melalui subjektivitas penafsir (interpreter). Ini menjadi permasalahan hermeneutika kontemporer yang terbagi menjadi beberapa kelompok atau jenis, yaitu:
a.       Hermeneutika metode. Yakni hermeneutika yang memiliki fokus kajian pada teori umum tentang interpretasi sebagai metodologi dalam ilmu-ilmu sosial (geisteswissenschaften). Penggunaan hermeneutika sebagai metode ini ditekankan pada upaya pencapaian objektivitas. Dalam kategori hermeneutika metode ini adalah hermeneutika model F. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti.
b.      Hermeneutika filosofis. Hermeneutika ini tidak bermaksud mencari pengetahuan objektif dengan menggunakan prosedur metodis, tetapi mencari pengungkapan dan deskripsi fenomenologis tentang dasein manusia dalam temporalitas dan historisitasnya. Tujuan “memahami” teks bukan lagi menyadari kembali makna yang dimaksud pengarang teks, tetapi untuk melahirkan pengetahuan praktis yang relevan, subjek sendiri yang diubah menjadi sadar terhadap kemungkinan baru mengenai eksistensi dan tanggung jawab bagi masa depannya sendiri.
c.       Hermeneutika kritis. Secara umum, Nietzsche merupakan tokoh yang kritis dalam hermeneutik model ini. Hal ini tercermin dari corak interpretasinya yang kritis dalam mengkaji berbagai persoalan, termasuk dalam kajian sejarah. Dia mengklasifikasikan penulisan atau pemahaman sejarah menjadi tiga pendekatan. Yaitu pertama, pendekatan monumental yang dilakukan dengan memusatkan perhatian pada kebesaran dan kelangkaan monumental di massa lampau. Kedua, pendekatan antikuarian ditulis untuk mencari asal usul identitas seseorang atau kelompok dari masa lampau. Dan yang ketiga pendekatan kritis. Berbeda dengan dua pendekatan sebelumnya yang cenderung melihat ke masa lampau, cara melihat masa lampau secara kritis dimaksudkan untuk mendirikan zaman sekarang dengan jalan memisahkan dari masa lampau.
d.      Hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur. Hermeneutika jenis ini, menurut Paul Ricoeur terbagi atas tiga bentuk, yaitu: pertama, konsep mimesis, yaitu konsep hermeneutika dengan sistem peniruan terhadap apa yang menjadi hasil interpretasi. Konsep ini terbagi tiga, yaitu prefigurasi (mimesis I), konfigurasi (mimesis II), dan transfigurasi (mimesis III). Kedua, hermeneutika teks, dan ketiga hermeneutika tindakan.[16]
C.    PENUTUP
Berdasarkan penjelasan makalah sederhana di atas, maka penulis secara ringkas merumuskan kesimpulan antara lain sebagai berikut:
1.      Secara umum, epistemologi hermeneutika didefinisikan sebagai salah satu metode dalam mencari dan mengetahui kebenaran dengan jalan menginterpretasikan (menafsirkan) simbol-simbol, teks, maupun tanda-tanda lainnya.
2.      Dalam hermeneutika, sangat terkait sekali dengan tiga unsur yang saling mendukung dan terikat antara satu dengan yang lain, yakni pertama, pesan, berupa teks maupun tanda; kedua, penafsir atau mediator, yakni orang yang menginterpretasikan tanda atau teks tersebut; dan ketiga, audiens, yakni para penerima hasil penafsiran atau interpretasi dari mediator atau penafsir tersebut.
3.      Hermeneutika teraplikasi dalam enam definisi aplikatif, yaitu:
  1. Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel.
  2. Hermeneutika sebagai metodologi filologis.
  3. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik.
  4. Hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi Geisteswissenschaften.
  5. Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial.
  6. Hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
4.      Teori hermeneutika terbagi atas empat jenis atau kelompok hermeneutika, yaitu: pertama, Hermeneutika metode; kedua, Hermeneutika filosofis; ketiga, Hermeneutika kritis; dan keempat, konsep Hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur.



DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, 2009, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Dahlan, Moh., 2009, Abdullah Ahmed an-Na’im: Epistemologi Hukum Islam, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Husaini, Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi, 2007, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani.

Latief, Juraid Abdul, 2006, Manusia, Filsafat dan Sejarah, Jakarta: Bumi Aksara.

Muhadjir, Noeng, 1998, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Yogyakarta: Reka Sarasin.

Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsudin (ed.), 2002, Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Muzir, Inyiak Ridwan, 2008, Hermeneutika Filosofis Hans-George Gadamer, disadur dari buku Truth and Method karangan Hans-George Gadamer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Palmer, Richard E., 2005, Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan oleh Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed dengan judul Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Setiawan, M. Nur kholis, 2008, Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an, Jakarta: Kencana.

Smith, Linda dan William Reaper, 2000, A Beginner’s Guide to Ideas, diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi dengan judul Ide-ide, Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, Yogyakarta: Kanisius.

Zaid, Nasr Hamid Abu, 2005, Mafhum an-Nāsh Dirāsah fi ‘Ulūm al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoirun Nadliyyin dengan judul Tekstual Al-Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta; LKiS.

Zar, Sirajuddin, 2004, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.


Diposkan oleh Filsafat Hukum Islam di 16.33
Tidak ada komentar:






[1]) Muhaimin, M.A. et. al, Paradigma Pendidikan  Islam, cet. V Bandung, Remaja Rosdakarya 2012, hal. 29

[2])Dr. Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, cet. 1, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2014, hlm. 186
[3])Ibid  hlm. 182

[4]) Ibid hlm. 182

[5])Kismawadi.blogspot.com 2011/11
[6])Prof. Dr Amsal Bkhtiar, filsafat ilmu, cet. 11, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2012 , hal 35

[7]) Komarudin Hidayat, Memahami bahasa Agama : sebuah Kajian Hermeneutik cet. I, Jakarta, Paramadina, 1996, hal 17).
[8])Dr. Toto Suharto, Flsafat Pendidikan Islam, cet. I Jogjakarta, Ar-Ruzz Media,2011  hlm 54).

9) Ibid hlm 53
[10]) Ibid  hlm 54).

[11]) Departemen Agama RI,Syamil Al-Qur’an The Miracle 15 in 1,  Sygma Examedia Arkanleema, Bandung 2009, hal 1191

[1] Linda Smith dan William Reaper, A Beginner’s Guide to Ideas, diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi dengan judul Ide-ide, Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet. ke 1, hlm. 10.
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), cet. ke 1, hlm. 6.
[3] Lihat Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), cet. ke 7, hlm. 148.
[4] Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2007), cet. ke 1, hlm. 7.
[5] Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-George Gadamer, disadur dari buku Truth and Method karangan Hans-George Gadamer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), cet. ke 1, hlm. 65-67.
[6] Lihat Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, (Yogyakarta: Reka Sarasin, 1998), hlm. 85.
[7] Juraid Abdul Latief, Manusia, Filsafat dan Sejarah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), cet. ke 1, hlm. 89.
[8] Dalam kajian-kajian keislaman, khususnya ilmu-ilmu Alquran, metode hermeneutika juga terdiri atas unsur-unsur penting interpretasi yang tidak jauh berbeda dengan struktur di atas, yaitu si pembuat teks (Allah), si penerima (audiens) dan teks itu sendiri (Alquran). Ditambahkan lagi peranan mediator dari teks tersebut (malaikat). Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nāsh Dirāsah fi ‘Ulūm al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoirun Nadliyyin dengan judul Tekstual Al-Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet. ke 4, hlm. 43.
[9] M. Nur kholis Setiawan, Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. ke 1, hlm. x.
[10]Ibid., hlm. x-xi.
[11] Apabila dikaitkan dengan teori hermeneutika yang dilakukan dalam interpretasi terhadap, maka diketahui juga memiliki ciri khas dalam lingkaran hermeneutika yang dimaksud. Untuk lebih jelas lihat Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), cet. ke 1, hlm. 197 dan 201.
[12] M. Nur kholis Setiawan, op. cit., hlm. 97.
[13] Richard E. Palmer, Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan oleh Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed dengan judul Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005), cet. ke 2, hlm. 39-48.
[14]Ibid., hlm. 79.
[15] Maka dengan demikian, secara umum hermeneutika dapat didefinisikan sebagai teori atau filsafat interpretasi. Lihat Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Phiilosophy and Critique, (London; Routledge and Kegan Paul, t.th.), hlm. 1.
[16] Untuk lebih jelas lihat Moh. Dahlan, Abdullah Ahmed an-Na’im: Epistemologi Hukum Islam, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009), cet. ke 1, hlm. 20-39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar