Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Kamis, 17 November 2016

MAKALAH METODOLOGI MENGGALI HUKUM FIQH



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Saat ini umat islam dihadapkan pada tantangan kehidupan yang sangat komplek serta benturan budaya modern. Pada realitas seperti saat ini pendekata studi islam menjadi sangat urgen, pendekatan dan pemahaman islam yang mau membuka diri terhadap masuhnya dan digunakanya pendekatan-pendekatan yang bersifat obyektif dan rasional. Dan secara bertahap mulai meninggalkan tradisi lama yakni kajian yang bersifat subyektif doktriner. Dengan demikian diharapkan islam akhirnya mampu mengikuti perkembangan zaman dan mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian dengan lebih obyektif dan proporsional.[1]
Predikat yang disandang Islam adalah “rahmatal lil alamiin”, yaitu agama yang membawa rahmat, membawa pertolongan bagi segenap manusia dan alam semesta, adalah predikat yang benar-benar melekat dan akan selalu didengungkan ila yaumil qiyamah. Terbukti dengan misi besar Islam yang termaktub dalam dua sumber utama ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadits) , yakni misi menjaga keteraturan kehidupan manusia baik secara spiritual, moral, social hingga aspek-aspek yang lain. Tidak hanya interaksi antar manusia saja, bahkan interaksi manusia dengan alam sekitarnya juga diatur dalam Islam.
Merealisaikan misi islam ini pada dunia dan masyarakat dunia yang sudah sangat berubah saat inilah yang terkadang menjadikan persoalan. Pendekatan agama dengan model konserfatif dan normative ansich, akan menimbulkan persoalan fundamentalisme, pemaknaan agama yang rigid, hingga melakukan tindakan-tindakan keberagamaan dengan mengatasnamakan Tuhan. Padahal masyarakat dunia saat ini benar-benar menjadi masyarakat di era kemajuan teknologi informasi digital yang canggih dan kritis. Segala tindakan dimanapun akan cepat tersebar di seluruh dunia, dan akan cepat dianalisa oleh siapapun dan menggunakan pisau analisis yang sangat beragam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Syariat, Fiqih, Ushul Fiqih?
2.      Bagaimana Sejarah perkembangan Fiqih?
3.      Bagaimana Metodologi menggali hukum Fiqih?
C.    Tujuan Penulisan Makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian Syariat, Fiqih, Ushul Fiqih.
2.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan Fiqih.
3.      Untuk mengetahui metodologi menggali hukum Fiqih.
 BAB II
PEMBAHASAN

A.        Pengertian Fiqih, Syariat dan Ushul Fiqih.
Sebelum makalah ini membahas lebih lanjut materi pendekatan fiqih dalam studi islam, perlu kita pahami beberapa istilah yang terkait dengan fiqih. Pada umumnya ada beberapa istilah yang saling berkaitan dengan fiqih, antara lain, fiqih itu sendiri kemudian syariat dan ushul fiqih. Untuk memahami istilah tersebut, berikut pemaparan seputar definisi istilahnya:
a.       Pengertian Fiqih
Arti fiqih (الْفِقْه ) menurut bahasa artinya adalah paham atau tahu, atau pemahaman yang mendalam yang memputuhkan pengerahan pemikiran secara mendalam. Pengertian ini dapat ditemukan dalam Q.S. Thoha 27-28.[2]
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي -٢٧- يَفْقَهُوا قَوْلِي -٢٨-[3]
Artinya:
Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. (26) Agar mereka mengerti perkataanku. (27)[4]
pengertian fiqih secara etimologi dapat ditemukan pada sabda Rasulullah diantaranya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim salam Shahih Muslim nomor  hadits 1037:[5]
وحَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، قَالَ: سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَهُوَ يَخْطُبُ يَقُولُ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَيُعْطِي اللهُ»
 Artinya:
Diceritakan dari harmalah……..sesungguhnya saya mendengan Rosulullah SAW bersabda: Apabila Allah menginginkan kebaikan pada seseorang, maka Ia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam). (HR. Muslim)
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim tersebut, kata يُفَقِّهْهُ yang akar katanya adalah fiqih memiliki arti memberi pemahaman.
Sedangkan fiqih menurut istilah memiliki beberapa definisi yang beragam menurut para ahli fiqih (Fuqoha’), diantaranya adalah:
1.      Menurut ibnu hazm fiqih adalah:[6]
المعرفة بأحكام الشريعة من القرآن ومن كلام المرسل بها الذي لا تؤخذ إلا عنه
2.      Menurut  Ishaq Ibrahim Ibnu Ali dalam  Al-Khotib Al-Baghdadi, pengertian fiqih adalah:[7]
مَعْرِفَةُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ , الَّتِي طَرِيقُهَا الِاجْتِهَادُ
3.      Menurut Sayyid Al-Jurjani dalam kamus ilmu Ushul Fiqih Totok Jumantoro, pengertian Fiqih adalah Ilmu tentang Hukum-hukum syara’, mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya tang terperinci.[8]
4.      Menurut Jalaluddin Al-Mahalli dalam dalam kamus ilmu Ushul Fiqih Totok Jumantoro, definisi fiqih adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’, yang berhubungan dengan amaliah yang diusahakan dalam memperolehnya dari dalil-dalil yang jelas.[9]
Dari beberapa pendapat ahli fiqih di atas maka dapat disimpulkan bahwa, fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ atau hukum-hukum islam (amaliyah), berdasarkan ijtihad dengan dasar Al-qur’an dan Al-Hadits.
b.      Pengertian Syariat
Kata yang sering muncul dalam pembahasan fiqih adalah syariat (الشريعة). Terkadang ada yang menyamakan antara syariat dengan fiqih, padahal keduanya ada perbedaan yang cukup signifikan. Syariat berasal dari kata الشريعة yang berarti memperkenalkan, mengedepankan atau menetapkan. Dalam penerapanya syari’ah diartikan jalan menuju sumber air atau jalan ke arah sumber pokok kehidupan.[10]
Selanjutnya pengertian syariat menurut beberapa ulama’ yaitu:
1.      Menurut Attaharawi dalam Toto Jumantoro mengartikan bahwa syari’ah adalah hukum-hukum yang disyari’ahkan Allah untuk hamba-hambanya yang didatangkan oleh seorang nabi, baik berpautan dengan tata cara mengerjakan amal ibadah  yang dinamai amaliyah far’iyyah, kemudian bagi pembahasan ini dibukukanlah ilmu fiqih,  serta hal-hal yang  berhubungan dengan keimanan/ keyakinan (I’tiqod) yang dinamakan Al-Ashliyyah Al-I’tiqodiyyah (Keyakinan dasar), yang dalam pembahasan ini dinamakanlah ilmu kalam. Syaria’ah juga terkadang diistilahkan dengan Ad-Diin dan Al-Millah. [11]
2.      Adapun menurut As-Sathibu dalam toto Jumantoro syariat adalah ketentuan-ketentuan yang memuat batasan-batasan bagi para mukallaf baik mengenai perbuatan, perkataan , dan I’tiqod mereka itulah kandungan syria’ah islam.
3.      Menurut Mahmoud Syaltut tang dikutip Toto Jumantoro, syariat adalah, hukum-hukum yang diberikan oleh Allah SWT untuk hamba-hambanya agar mereka percaya dan mengamalkanya demi kepentingan mereka didunia dan akherat.[12]
Dari beberapa pendapat para ulama tersebut, pemakalah menarik sebuah kesimpulan bahwa syariat adalah hukum-hukum yang ditentukan oleh Allah baik Qoth’I maupun Dhonni, yang didalamnya memuat hukum Fiqih, Aqidah dan Akhlaq (tashowuf) untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
c.       Pengertian Ushul Fiqih
Ushul Fiqih (أصول الفقه)  adalah istilah yang terdiri dari dua kata Ushul (أصول)  dan Fiqih  (الفقه) secara bahasa kata tersebut jika ditinjau dari tata bahasa arab (nahwu) merupakan tarkib idhofah sehingga penggabungkan dua kalimah tersebut mengandung makna Ushul bagi fiqih. kata Ushul (أصول)  adalah bentuk jamak dari ashl  (الاصل)yang berarti sesuatu yang dijadikan sandaran bagi yang lain, fondasi sesuatu, baik yang berupa materi aataupun non materi.[13] Selanjutnya arti fiqih sudah dibahas pada pembahasan di atas. Sedangkan (أصول الفقه) Ushul Fiqih artinya adalah  ما يتفرع عليه الفقه ilmu yang menjadi induknya fiqih.[14]
Selanjutnya definisi ushul fiqih menurut para ulama’ yaitu:
1.      Abu Mudhoffar memaparkan, menurut para fuqoha’ ushul fiqih adalah 
طريق الفقه التي يؤدى الاستدلال بها إلى معرفة الأحكام الشرعية
Jalan/ metodologi bagi fiqih yang menjadi petunjuk dalam menggali dalil untuk mengetahui hukum-hukum syariat.
2.      Menurut abdul wahab kholaf yang dikutip oleh totok jumantoro ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-aturan/ ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.[15]
3.      Menurut Sulaiman Ibnu Abdul Qowi Ushul Fiqih adalah[16]
الْعِلْمُ بِالْقَوَاعِدِ الَّتِي يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْفَرْعِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيلِيَّةِ
Ilmu tentang beberapa kaidah-kaidah yang dijadikan sarana keluarnya  (istinbat) hukum-hukum syariyyah al-fariyyah dari dalil-dalil yang terperinci.
Pendapat para ulama’ tersebut dapat ditarik benang merah bahwa ushul fiqih (أصول الفقه) adalah ilmu tentang metodologi dalam istinbat hukum syar’iyyah furuiyyah (bukan Qoth’i) yang digali dari dalil-dalil yang terperinci.
B.        Sejarah Perkembangan Fiqih
1.      Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Syariat Islam
a)      Syariat pada Masa Kerasulan
Fase ini dimulai sejak diutusanya rasululullah SAW pada tahun 610 M hingga wafatnya baginda Rasulullah pada tahun kesepuluh hijriah. Masa kerasulan atau masa hidup Rasulullah SAW dapat disebut juga sebagai fase kelahiran dan pembentukan hukum syariat Islam karena setiap syariat (undang-undang) yang datang setelah zaman ini semuanya merujuk kepada manhaj yang telah digariskan Rasulullah SAW dalam meng-istinbath (mengeluarkan) hukum syar’i. Periode-periode setelah era kerasulan (sepeninggal Rasulullah) SAW tidak membawa sesuatu yang baru dalam fiqih dan syariat Islam, melainkan hanya pada masalah-masalah baru atau kejadian-kejadian yang tidak ada di zaman Rasulullah SAW.[17]
b)      Tahap Tasyri’ pada Masa Kerasulan
Fase ini bermula ketika Allah mengutus Nabi Muhammad SAW menerima wahyu yang pertama di Gua Hiro. Terkadang wahyu turun kepada baginda Rasulullah dalam bentuk Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah dengan makna dan lafalnya, terkadang juga hanya berupa makna yang lafalnya dari Rasulullah, atau kemudian termanifestasikan dalam bentuk hadis. Atas dasar inilah perundang-undangan pada masa Rasulullah SAW mengalami dua periode istimewa, yaitu periode legislasi hukum syariat di Makkah yang dinamakan perundang-undangan era Makkah (at-tasyri’ al-makki), serta legislasi hukum syariat di Madinah. Di Mekkah, perundang-undangan lebih fokus pada  upaya mempersiapkan  masyarakat agar dapat menerima hukum – hukum agama, membersihkan aqidah dari menyembah berhala kepada menyembah Allah, selain menanamkan akhlak-akhlak mulia agar memudahkan jiwa untuk dapat menerima segala bentuk pelaksanaan syariat.
Adapun periode legislasi hukum syariat di Madinah yang disebut perundang-undangan era Madinah (at-tasyri’ al-madani) berlangsung sejak hijrah Rasulullah SAW dari Mekah hingga beliau wafat. Periode ini berjalan selama 10 tahun. Perundang-undangan pada periode ini menitikberatkan pada aspek hukum-hikum praktikal dan dakwah islamiyah yang membahasa tentang akidah dan akhlak.
c)      Metode Pensyariatan
Nabi Muhammad menyampaiakn syariat (perundang-undangan) pada fase ini melalui beberapa cara, diantaranya :[18]
1)      Memberikan ketentuan hukum terhadap permasalahan atau kejadian yang muncul atau ditanyakan oleh para sahabat, lalu be;iau menjawabnya dengan satu atau beberapa ayat.
2)      Terkadang Rasulullah SAW memberi jawaban dengan ucapan dan perbuatannya.
Adapun Ijtihad Nabi yaitu mengeluarkan hukum syariat yang tidak ada nash-nya. Ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya rasulullah berijtihad menjadi dua kelompok besar. Pertama kalangan Asy’ariyah dari Ahli sunnah dan mayoritas Mu’tazilah yang berpegang teguh bahwa Nabi Muhammad tidak boleh berijtihad sendiri. Kedua mayoritas ulama ushul mengatakan boleh bagi Rasulullah untuk berijtihad dalam setiap urusan, baginda boleh berijtihad dalam semua perkara yang tidak ada nash-nya.
Ijtihad pada zaman pembentukan dan pertumbuhan tidak hanya sesuai dengan keinginan Rasulullah, namun juga mencakup para sahabat. Rasulullah telah memberi izin kepada mereka untuk berijtihad ketika Rasulullah ada ditempat atau sedang bepergian. Beliau mengakui ijtihad mereka jika memang benar dan mencelanya jika memang salah.
d)     Karakteristik Perundang-undangan pada Masa Kerasulan[19]
1)      Sumber perundang-undangna pada zaman ini hanya berasal dari wahyu dengan dua bagiannya baik yang terbacam yaitu Al-qur’an atau yang tidak terbaca, yaitu hadis.
2)      Referensi utama untuk mengetahui hukum-hukum syara’ pada zaman ini adalah Rasulullah SAW sendiri, karena Allah telah memilihnya untuk menyampaikan Risalah. Semua produk perundang-undangan yang lahir pada zaman ini dinisbatkan kepada kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah SAW.
3)      Perundang-undangan Islam pada masa ini telah sempurna hukumnya, telah dikukuhkan kaidah dan dasarnya.
4)      Kesempurnaan syariat dapat dilihat dari aspek manhaj yang unik dan metode yang khusus, di mana kitab Allah dan sunah nabi memuat beberapa kaidah dan dasar-dasar yang kokoh dan membuka pintu ijtihad kepada para ulama untuk mengeksplorasi kembali yang memuat produk perundang-undangan yang elastis dan sesuai untuk segala kondisi dan zaman sehingga sangat mudah bagi para mujtahid untuk mengembangkan kaidah-kaidah umum tersebut sehingga tidak ada satu masalah baru yang muncul kecuali jawabannya ada dalam kitab Allah.
5)      Fiqih Islam dengan pengertian secara terminologinya belum muncul pada zaman ini.
6)      Jika ada yang bertanya tentang hukum sesuatu maka Rasulullah akan menjawabnya, dan ketika Rasulullah sedang tidak ada ditempat maka para sahabat akan berijtihad sendiri kemudian mengembalikan keputusannya kepada Rasulullah untuk ditetapkan atau dibatalkan.
7)      Semua masalah lahir dari realitas hidup yang perlu dijelaskan hukumnya. Belum ada masalah yang terlihat iftiradhiyah (hipotesis).
2.      Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syariat Islam
a.       Tasyri’ pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
        Periode ini dianggap sebagai periode pertama dalam pembentukan fiqih Islam, yaitu berawal dari wafatnya Rasulullah sampai akhir zaman khulafa’ ar-rasyidin pada tahun 40 Hijriyah.[20]
1)            Definisi sahabat
Menurut terminologi para ulama fiqih, sahabat adalah setiap orang yang pernah bertemu dengan Nabi dalam status iman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan beriman pula. Sebagian ulama berpendapat bahwa seorang sahabat harus bergaul dengan Nabi selama satu atau dua tahun dan pernah ikut perang walaupun hanya sekali. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa tidak ada syarat khusus untuk menjadi sahabat Nabi, karena setiap orang yang bertemu dengan Nabi adalah sahabat. Walaupun tidak sempat duduk bersama beliau ataupun tidak sempat melihat karena buta.
2)            Sumber Tasyri’ pada masa sahabat
a)      Meneliti dalam kitab Allah untuk mengetahui hukumnya.
b)      Meneliti dalam sunnah Rasulullah jika tidak ada nash dalam kitab Allah. Jika mereka menemukan nash dalam kitab Allahatau sunnah yang menunjukkna hukumnya maka merekapun berhenti disini dan mencari hukumnya, dan berusaha memahami kandungannya.
c)      Ijma’(konsensus bersama), yaitu jika tidak ada nash dalam kitab Allah atau sunnah Rasulullah atau ditemukan namun sifatnya global, atau nashnya banyak dan setiap nash memberi hukum yang berbeda, atau berupa khabar ahad. Salah satu manhaj mereka adalah khalifah mengundang para sahabat untuk melakukan ijma’.
d)     Ra’yi (pendapat pribadi), setiap hukum yang ditetapkan bukan berdasarkan petunjuk nash termasuk qiyas, istihsan, mashalih, bara’ah adz-dzimmah, dan sadd adz-dzari’ah. 
3)            Karakteristik Tasyri’ pada Zaman Sahabat[21]
a)      Fiqih sejalan dengan segala permasalahan yang muncul dan yang memegang kendali fatwa dan qadha’ dalam berbagai permasalaan penting adalah para kholifah, namun karena kemreka sibuk mengurusi masalah politik danpengelolaan negara, makam tugas ini diserahkan kepada sahabat yang lain.
b)      Al-quran telah dibukukan dan mushaf disentralisasikan agar kaum muslimin terhindar dari pertikaian tentang sumber utama syariat Islam.
c)      Hadis belum diriwayatkan seperti sekarang, kecuali jika ada keperluan mendesak. Sunnah pada zaman ini masih terjaga kemurniannya tidak terkontaminasi oleh kebohongan atau penyimpangan .
d)     Muncul satu sumber baru perundang-undangan Islam yaitu Ijma’
e)      Banyak terjadi ijtihad yang berlandaskan pada pemahaman tentag ilat hukum baik ada atau tidaknya.
f)       Para sahabat tidak mewariskan fiqih yang tertulis  yang dapat dirujuk namun mereka hanya mewarisakan fatwa dan hukum yang tersimpan dalam dada para sahabat dan disampaikan kepada kita dengan cara periwayatan.
g)      Dalam kaitannya dengan penggunaan ra’yi ada sahabat yang bersikap longgar dalam memakai pendapat pribadi, dipelopori oleh Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Namun ada yang sangat berhati-hati untuk mengambil pendapat pribadi, khawatir berdusta kepada Allah, dipelopori oleh Abdullah bin Umar dan Zaid bin Tsabit.
b.      Tasyri’ pada Masa Dinasti Umayyah
Periode ini dimulai ketika para khalifah Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kaum muslimin setelah terbunuhnya Imam Ali bin Abi Thalib pada tahun ke 41 hijriah. Zaman ini dipenuhi dengan berbagai peristiwa dan perkembangan, perbedaan fiqih dan pergolakan politik karena sejakawal berdirinya pun kaum muslimin terbagi menjadi tiga golongan syiah, khawarij dan Jumhur Kaum Muslimin.
1)            Definisi Tabi’in
Tabi’in adalah setiap muslim yang belum sempat melihat Nabi, namun ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak darinya. Sehingga tabi’in tidak harus melihat Rasulullah, sebab jika ia melihat itu artinya sahabat Rasulullah. Selain itu juga tidak disyaratkan harus melihat sahabat, dan meriwayatkan hadis darinya, namun cukup melihat dan bertemu ketika ia sudah berusi Tamyiz.
2)            Perpecahan Politik dan aliran Pemikiran[22]
Walaupun perpecahan yang terjadi diantara kelompok-kelompok pasca wafatnya Ali bin Abi Thalib merupakan perpecahan politik, namun berimbas kepada aliran-aliran fiqih yang disebabkan karena perbedaan mereka (Khawarij, Syiah, Jumhur Ulama) tentang sumber-sumber hukum fiqih.
Doktrin penting dari masing-masing aliran tersebut diantaranya sebagai berikut :
a.       Khawarij
b.      Syiah
c.       Jumhur kaum Muslimin
3)            Peningkatan kreativitas fiqih pada masa Bani Umayah[23]
Pada masa ini mulai muncul permasalahan baru yang belum terjawab oleh Al-Qur’an, hadits maupun fatwa yang ada. Maka mendorong para ulama untuk melakukan istinbat hukum dam mengeluarkan fatwa-fatwa. Pada masa ini meningkatlah aktifitas perkembangan fiqih yang dilatarbelakangi beberapa factor antara lain:
a)      Menyebarnya para shahabat ke seluruh pelosok negeri.
b)      Meluasnya periwayatan hadits
c)      Para hamba sahaya mulai menggeluti fiqih dan syariat dan,
d)     Munculnya beberapa aliran fiqih.
4)            Karakteristik Fiqih pada Masa Dinasti Umayah
a)      Munculnya beberapa manhaj (metode) kajian fiqih yang bersih dari pertikaian politik, terutama madarasah ahli hadis dan madrasah ahli ra’yi.
b)      Terpengaruhnya beberapa sumber hukum dengan pergolakan politik seperti Ijma’ dan tidak yakinnya sebagian orang terhadap sumber qiyas dan maslahat mursalah.
c)      Munculnya fiqih iftiradhy yang dibawa oleh ulama ahli ra’yi.
d)     Banyak perbedaan masalah furu’ fiqihiyah disebabkan oleh perbedaan aliran politik dan hijrahnya sebgaian ulama dari Madinah Al-Munawaroh ke berbagai negeri..
c.       Tasyri’ pada Masa Dinasti Abbasiyyah                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              
           Periode ini dimulai sejak berdirinya Dinasti Abbasiyah setelah runtuhnya Dinasti Umayyah pada tahun 132 hijriyah berakhir pada pertengahan abad ke empat hijriyah ketika Dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran dan tidak ada yang tersisa dari kekuasaan dinasti kecuali namanya saja. Zaman ini dianggap sebagai zaman yang paling gemilang dalam sejarah fiqih Islam, dimana sudah mencapai tahap sempurna dalam keluasan kajian, sempurna dan terinci sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang sebelumnya hanya sebatas fatwa dan qadha’. Serta memiliki mazhab ijtihad sendiri yang kemudian diberi nama sesuai nama para imamnya.
e)      Faktor penyebab masa abasiyah fiqih mengalami kemajuan antara lain:
1)         Perhatian Khalifah Dinasti Abbasiyah terhadap Fiqih dan Fuqaha’ berbeda dengan zaman khalifah Umayyah yang memberikan konsentrasi pada masalah politik.
2)         Perhatian dan Semangat Tinggi untuk Mendidik para Penguasa dan Keturnannya dengan Pendidikan Islam
3)         Iklim Kebebasan Berpendapat
4)         Maraknya Diskusi dan Debat Ilmiah di Antara Para Fuqaha
5)         Banyaknya permasalahan baru yang muncul
6)         Akulturasi Budaya dengan Bangsa-bangsa lain
7)         Penulisan ilmu dan penerjemahan kitab
f)       Penulisan fiqih dan Manhaj dalam Penulisan Fiqih Islam
Ada 3 manhaj yang digunakan oleh para fuqoha’ dalam menulis fiqih :[24]
1)         Menulis fiqih bercampur dengan hadis dan atsar (ucapan sahabat) seperti metode penulisan kitab Al-Muwatha’.
2)         Menulis fiqih yang lepas dari hadis dan atsar seperti yang dilakukan oleh mazhab hanafi seperti penulisan kitab Al-Mudawwanah, sebuah kompilasi fiqih bermazhab Maliki.
3)         Menulis hukum-hukum fiqih bersamaan dengan semua dalil yang ada kemudian dikomparasikan dengan berbagai pendapat yang ada dalam fiqih mazhab yang lain. Kitab-kitabnya dinamakan kitab muqaranah (komparasi) karena sebuah pembanding semestinya menghimpun semua pendapat yang berbeda, kemudian dilakukan pengujian terhadap kekuatannya berdasarkan dalil Al-qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan yang lainnya.
g)      Sumber-sumber Tasyri’ pada Masa Dinasti Abbasiyah
Sumber perundang-undangan hukum islam pada zaman ini lebih luas dibandingkan zaman sebelumnya, ada sumber yang sudah disepakati ( Al-quran dan Sunnah), dan ada pula yang masih menjadi perdebatan dikalangna Fuqoha’. Adapun ijma’ dan Qiyas sebagian besar fuqoha menganggapnya sebagai hujjah dalam menentukan hukum syar’I dan tidak ada yang menentang pendapat ini kecuali sebagian kecil para fuqoha saja.
Adapun sumber-sumber fiqih yang masih menjadi perdebatan adalah Istihsan, Al-Maslahah Al Mursalah, Al-Istishab, Saddu Adz-Dzara’i, Amal penduduk Madinah, Pendapat Sahabat, ‘Urf, dan Syariat sebelum kita.[25]      
h)      Karakteristik Fiqih Islam pada Masa Dinasti Abasiyah
Pemerintah mempunyai kecenderungan fiqih tersendiri dalam menjalankan roda kehakiman. Contohnya, fiqih Imam Abu Hanifah menguasai kehidupan perundang-undangan pada zaman Dinasti Abbasiyah, dan fiqih Imam Syafi’I menguasai negeri Maroko dan Andalusia.
3.      Fase Taqlid dan Kejumudan
Fase ini berawal dari pertengahan abad keempat hijriah sampai akhir abad ketiga belas hijriah.
a.       Periode Taqlid
Disebut periode Taqlid karena para fuqoha’ pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan mazhab yang sudah ada. Dan faktor yang menyebabkan para fuqoha’ memilih jalan Taqlid adalah pergolakan politik yang menyebabkan negara Islam terpecah menjadi beberapa negara kecil, di mana setiap negeri mempunyai penguasa sendiri yang diberi gelar amirul mukminin. Negara yang besar terbagi menjadi beberapa negara kecil. Sehingga jika melihat kondisi sosial politik yang terjadi, sangat tidak mungkin bagi fiqih Islam untuk maju seperti zaman sebelumnya.
Walaupun fase ini penuh dengan semangat taqlid, namun sebenarnya masih ada beberapa ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan meng-istinbat hukum seperti pendahulu mereka. Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu oara ulam amazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan ke-wara’-an mereka sehingga lebih memilih berputar diatas bahtera fiqih yang sudah ada. Diantara ulama-ulama tersebut adalah Abu Hasan Al-Kharkhi, Abu Bakar Ar-Razi, Al-Jahshash dari kalangan mazhab HAnafi, Ibnu Rusyd Al-Qurthubi dari MAzhab Maliki, Al-Juwaini Imam Al-Haramain, dan Al-Ghazali dari kalangna mazhab Syafi’i.[26]
b.      Periode Kejumudan
Periode ini dimulai sejak tahun 656 hijriah, ketika kota Baghdad jatuh ke tangan tentara Mongol dan berakhir pada akhir abad ketiga belas. Merupakan fase terpanjang dalam perjalanan fiqih Islam, namun mengalami kemunduran dan kejumudan. Jika di periode awal kita lihat para fuqoha’ sibuk menggali fiqih, menggali illat, dan berijtihad, maka pada periode ini para ulama beralih profesi menjadi taqlid buta, semangat menulis buku juga menurun, sehingga hasil karya para fuqoha’ sangat minim, dan hanya terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab para pendahulunya, jauh dari ijtihad dan hanya membuat beberapa penjelasan singkat.
Namun tujuan para fuqoha’ pada masa ini adalah mewujudkan dua hal : pertama, agar masyarakat mudah memahami masalah fiqih. Kedua, memudahkan para pelajar menghafal kandungan fiqih mazhab dan menjadi wasilah untuk mengkaji kitab-kitab besar sedikit demi sedikit. Kontribusi mereka bisa dilihat pada hobi mereka dalam penulisan Matan (Teks), penulisan Syarah (penjelasan), Hasyiyah (catatan pinggir), dan Ta’liq (Komentar).[27]
c.       Fase Kebangkitan Ilmu Fiqih
Fase ini dimulai dari akhir abad ketiga belas hijriyah sampai sekarang, karakteristik ilmu fiqih pada fase ini yaitu dapat menghadirkan fiqih ke zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat memberisaham dalam menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
Pada zaman ini para ulama memberikan perhatian yang cukup besar terhadap fiqih Islam, baik dengan menulis buku atau dengan mengkajinya. Para penguasa pada zaman ini berpegang kepada mazhab tertentu dalam ber taqlid, serta memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhab tertentu seperti yang dilakukan oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir, ketika mereka membatasi kurikulum Al-Azhar hanya dengan mazhab Syiah, atau seperti yang dilakukan oleh Dinasti Ayyubiyah ketika mereka membatasinya dengan salah satu mazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah.[28]
C.        Metodologi Studi Hukum Islam
Bila kita mencoba mengingat kembali definisi dari fiqih, salah satunya adalah definisi yang diberikan oleh Ishaq Ibrahim Ibnu Ali dalam  Al-Khotib Al-Baghdadi yaitu :[29]
مَعْرِفَةُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ , الَّتِي طَرِيقُهَا الِاجْتِهَادُ
Maka dapat kita fahami bahwa proses penetapan hukum fiqih adalah melalui ijtihad. Ijtihad ini sangat dibutuhkan ketika dalam realitas kehidupan umat manusia muncul problematika (waqi’iyah) yang membutuhkan ketetapan hukum syar’inya. Seseorang yang melakukan ijtihad dalam ushul fiqih disebut mujtahid.[30]
Seorang ulama yang memenuhi syarat menjadi Mujtahid dalam situasi tertentu wajib hukumnya berijtihad, untuk menghukumi sesuatu (istinbat). Dan oleh karena itu mujtahid adalah ulama yang mampu menilai bahwa madzhab – hasil ijtihad/ fiqih – bersifat relatife.[31] Keshahihan hukum fiqih hasil produk Ijtihad dapat bertahan hingga muncul produk Ijtihad yang lebih shahih lagi, walaupun hasil Ijtihad yang lebih shahih tidak menasakh hajil Ijtihad sebelumnya. Disinilah letak relatifitas hukum fiqih, yang dalam literature ushul fiqih sering disebut zhanni, tidak sampai mencapai derajat qoth’I sebagaimana hukum halal haram yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Hukum zhanni adalah hukum yang berdasarkan hasil pemikiran manusia. Sehingga dalam menanggapi suatu masalah sering timbul berbagai jalan pikiran yang berbeda dan menghasilkan hukum yang berbeda pula.[32]
Dalam system dan proses hukum fiqih, ulama yang memiliki wewenang dan kredibilitas berijtihad menurut Nadiyah Syarif Al-Umari dalam Muhaimin et.al. adalah harus memenuhi beberapa rukun dan syarat berijtihad. Rukun ijtihad ada 4 yaitu:
b.      Al-Waqi’, yaitu adanya kasus yang menimpa, dan belum ada dalil yang menjelaskan secara qoth’I, atau kasus yang diduga keras kelak akan terjadi. Sehingga wilayah ijtihad tidak terbatas pada kasus-kasus yang sudah terjadi, tetapi juga kasus yang akan terjadi, baik yang terfikirkan, tak terfikirkan atau belum terfikiirkan.
c.       Mujtahid, orang yang memiliki kompetensi dan memenuhi syarat untuk berijtihad.
d.      Mujtahid Fih, yaitu hukum-hukum syariah yang bersifat amaliyah (takliifi)
e.       Dalil Syara’, yaitu dalil Al-qur’an dan Al-Hadits yang untuk menentukan hukum mujtahid fih[33]
Dalam berijtihad disamping harus memenuhi rukun-rukun ijtihad, seorang mujtahid harus memenuhi syarat-syarat ijtihad. Syarat-syarat menjadi Mujtahid dibagi menjadi 2 bagian:[34]
1.      Syarat umum
Syarat Umum mujtahid diantaranya Islam, baligh, sehat fikiranya serta dhabit (kuat ingatanya). Sebagian ulama memasukan syarat laki-laki dan merdeka. Namun menurut Qaul Mu’tamat (yang dapat dijadikan pegangan) tidak memasukan syarat laki-laki. Mujtahidah perempuan menurut qaul mu’tamat sah-sah saja. Karena beberapa mujtahidah dari para shohabat adalah perempuan.
2.      Syarat keahlian dan profesionalitas mujtahid.
Pada syarat keahlian dan profesionalitas mujtahid ini dibagi menjadi dua yaitu:
a.       Syarat-syarat pokok
Syarat-syarat pokok bagi mujtahid adalah
1)            Menguasai terhadap Al-Qur’an, Ulumul Qur’an, Ayat-ayat ahkam, asbabun nuzul, serta nasikh dan mansukhnya ayat.
2)            Menguasai sunnah, ulumul hadits, hadits-hadits ahkam, nasikh mansukh, asbabul wurud, dan lain sebagainya.
3)            Menguasai ilmu lughah/ bahasa arab yang meliputi nahwu, sharaf, mantiq balaghoh, fiqih lughoh dan adab aljahily.
4)            Menguasai ijma’ ulama yang sudah berijtihad terlebih dahulu. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih hasil Ijtihad.
b.      Syarat-syarat pelengkap
1)      Mengetahui kaidah-kaidah “baro’ah ashliyah” yakni hukum asal sesuatu
2)      Mengetahui subatnsi syariah
3)      Mengatahui kaidah-kaidah umum (kaidah kulliyah)
4)      Mengetahui masalah-masalah khilafiyah yang sebelumnya sudah diperdebatkan ulama.
5)      Memiliki keadilan dan keshalehan.
6)      Mengetahui tradisi-tradisi tiap Negara.
7)      Antara pendapat dan perbuatanya terjadi relevansi.
Para mujtahid memiliki beberapa tingkatan sesuai dengan kapasitas, kemampuan dan kekuatan berijtihad. Tingkatan mujtahid itu diantaranya:
a.       Mujtahid Mutlak
Mujtahid mutlah adalah orang yang mampu menggali hukum dan mampu menjabarkan hukum-hukum cabang dari dalil-dalilnya ( Al-Qur’an dan Hadits). Dan mampu pula menyusun dan menjalankan metodologi pokok dalam berijtihad. Mujahid mutlak dibagi menjadi dua:[35]
1)      Mujtahid Mutlak Mustaqil
Yaitu mujtahid yang mampu menyusun metode dan dasar-dasar pokok madzhab, serta menggali hukum agama dari dalil-dalil pokok.
2)      Mujtahid Mutlak Muntasib
Yaitu mujtahid yang mampu berijtihad sebagaimana Mujtahid Mutlaq Mustaqil, namun belum mampu menyusun metodologi pokok dalam berijtihad. Dia menggunakan metodologi pokok ijtihad yang disusun Mujtahid muthlak mustaqil.
b.      Mujtahid Madzhab
Mujtahid madzhab adalah orang yang mempu mengistimbat hukum yang belum ditetapkan dan belum dikeluarkan oleh madzhabnya, dengan menggunakan metode dan dasar-dasar yang disusun oleh imamnya. Seperti imam Abu Ja’far al-Tahrawi dalam madzhab Hanafi. Mujtahid madzhab dibagi menjadi macam, yaitu:
1)      Mujtahid Takhrij, atau dikenal dengan mujtahid asbab al-wujud.
2)      Mujtahid Tarjih, atau dikenal dengan mujtahid fatwa.[36]
Sebagaimana telah pemakalah sampaikan, bahwa wilayah bidang garap Mujtahid dalam istinbat hukum adalah mas’alah fiqihiyyah. Mas’alah fiqihiyyah merupakan hasil ijtihad yang bersifat zhanni bukan qath’i. hal ini disebabkan adanya perbedaan sudut pandang dan metodologi dalam istinbat hukum. Menurut Aldawalibi dalam Muhaimin, sebagaimana yang dikatakan oleh Wahbah membagi metode istinbat menjadi tiga macam. Yaitu, bayani, qiyasi (disebut juga ta’lili) dan istishlahi.[37]
Pertama metode bayani, yaitu penggalian hukum islam (istinbat al-hukmi) langsung ke sumber hukum utama yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di sini tugas mujtahid adalah menjelaskan, menguraikan dan menginterpretasi dua sumber tersebut. Metode bayani mengasumsikan bahwa semua persoalan yang terjadi seluruhnya sudah terdapat dalil pemecahanya hukumnya di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Metode bayani dibagi menjadi empat, yaitu:
a.       Dilihat dari kandungan lafadz terhadap makna; seperti lafadz yang ‘amm atau khash, mutlaq atau muqayyad, nahi atau amar.
b.      Dilihat dari penggunaan lafadz dalam makna, seperti masalah hakikat, majaz, sharih dan kinayah.
c.       Dilihat dari segi petunjuk lafadz terhadap makna, seperti masalah dhahir, nas, mufassir, dan muhkam, atau khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.
d.      Dilihat dari segi cara bagaimana lafadz menunjukan makna: seperti masalah yang tersurat (mantuq dan masalah yang tersirat (mafhum).
Kedua, metode qiyasi, yaitu, metode istinbat hukum dengan cara tidak langsung dengan menggali dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, tetapi berdasarkan kesamaan motif (illat). Lebih kongkritnya qiyas adalah menghukumi sesuatu dengan cara menganalogikan sebuah kasus baru (al-far’u) dengan hukum asal yang sudah baku (Al-Ashlu) yang memiliki kesamaan motif (illat) dalam hukumnya.[38]  Macamnya qiyas diantaranya qiyas aula dan qiyas adna, qiyas jail dan qiyas khofi.
Ketiga, metode istishlahi, yaitu metode intinbat hukum yang tidak langsung menggali dari sumber Al-qur’an dan Al-Hadits, melainkan berdasarkan kemaslahatan yang menggunakan prinsip dasar dari kedua sumber tersebut. Ada bermacam-macam metode istishlahi, yaitu:
1.      Maslahah mursalah
Menetapkan hukum yang sama sekali tidak dijelaskan dalam nas Alquran dan Al-hadits, dengan pertimbangan kemaslahatan kehidupan umat manusia.
2.      Istihsan
Adalah menetapkan hukum dengan memandang lebih baik atau ditetapkanya hukum berdasarkan kesesuaian dengan tujuan syariah. Dalam hal ini prosedurnya adalah meninggalkan dalil yang khusus dan menjalnkan dalil yang bersifat ‘am
3.      Istashhabi
Menjalankan ketentuan hukum yang ada dengan tidak meninggalkanya sehingga datangnya dalil lain yang mengahapusnya.
4.      Amal ahlul madinah
Adalah tradisi yang biasa dilakukan oleh penduduk kota madinah, dan tradisi ini diduga kuat warisan dari sunnah Rasulullah SAW.
5.      ‘Urfi
Yaitu tradisi ( adat) yang dilakukan oleh masyarakat baik berupa perkataan atau perbuatan, yang dilakukan secara continue seakan-akan merupakan hukum tersendiri.
6.      Madzhab Shohabi
Yaitu pendapat-pendapat para shahabat Nabi Muhammad SAW. ketika Nabi Muhammad SAW sudah wafat. Apabila pendapat tersebut diduga keras berasal dari Nabi Muhammad SAW. maka pendapat tersebut oleh kalangan Jumhurul ulama dapat diterima.
7.      Sadd Dzariah.
Yaitu menghambat, menghalangi, dan menyumbat semua jalan yang menuju pada kerusakan dan kemaksiatan.[39]
Sebagai contoh hasil ijtihad dan terdapat ikhtilaf (perbedaan pendapat) dari para ulama adalah dalam menghukumi batas kepala yang diusap ketika wudlu sebagaimana perintah dalam Q.S. Al-Maidah: 6[40]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ..........الأية-٦-
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki…(Al-Maidah: 6)
Batas pelaksanaan وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ menurut imam malik adalah wajib mengusap seuruh kepala. Sedangkan menurut imam Syafi’i, shahabat imam Malik dan Imam Abu Hanifah  yang wajib dibasuh adalah sebagian kepala saja. Beberapa pengikut imam malik memaknai ‘sebagian’ dengan sepertiga, sebagian ulama membatasi sampai dua pertiga, Imam Abu Hanifah berpendapat seperempat dari kepala dan imam Syafi’i berpendapat seluas telapak tangan yang digunakan mengusap.
Akar perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan perbedaan dalam memaknai ba’ pada lafadz. Ba’ mangandung arti gamda (istira’), pertama mengandung makna zaidah (tambahan) yang berfungsi sebagai penguat. bagi ulama yang berpendapat harus mengusap seluruh kepala, kedua, bermakna tab’it ( sebagian), bagi ulama yang berpendapat mengusap sebagian kepala.[41]pendapat yang kedua ini didukung dengan hadits mughirah yang mengatakan  dalam shahih muslim nomor hadits 247:
..... قَالَ: بَكْرٌ، وَقَدْ سَمِعْتَ مِنَ ابْنِ الْمُغِيرَةِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ، وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى الْخُفَّيْنِ»[42]
Artinya:  Bakrun berkata, sungguh aku telah mendengar dari Ibnu Mughirah, sesungguhnya Nabi SAW. ketika berwudlu  mengusap rambut depan(pilingan), surban, dan muzahnya.   
 
BAB III
KESIMPULAN

1.            Fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ atau hukum-hukum islam (amaliyah), berdasarkan ijtihad dengan dasar Al-qur’an dan Al-Hadits.
2.            Secara historis, perkembangan fiqih/ syariat islam meliputi beberapa fase, yaitu:
a.       Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Syariat Islam
a)      Syariat pada Masa Kerasulan
b)      Tahap Tasyri’ pada Masa Kerasulan
b.      Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syariat Islam
a)      Tasyri’ pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
b)      Tasyri’ pada Masa Dinasti Umayyah
c)      Tasyri’ pada Masa Dinasti Abbasiyyah                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              
c.       Fase Taqlid dan Kejumudan
3.            Hukum syariat yang sudah ditentukan langsung oleh Al-qur’an dan Al-Hadits disebut hukum qoth’I, dan fenomena (waqiiyyah) yang terjadi yang membutuhkan pengistinbatan hukum maka menjadi bidang kajian fiqih (yang bersifat zhanni). Metodologi instinbat hukum disebut ijtihad dan ulama yang menggali hukum melalui ijtihad disebut Mujtahid


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul Karim, 2011, Jabal, Bandung

Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Russyd “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid” terjemahan, Jakarta, Pustaka Amani,2002

Imam Muslim”Shahih Muslim”Maktabah Syamilah, tt

Abdul Malik bin Abdillah “ Al-Waraqat” Maktabah Syamilah, tt

Muhaimin et.al. “Kawasan dan Wawasan Studi Islam”, (Kencana, Jakarta, 2007)

Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, “Kamus Ilmu Ushul Fiqih”, (Jakarta, Amzah,2005)

Ibnu Hazm,”Al ahkam fi ushulil ahkam” tt maktabah syamilah,

Al-Khotib Al-Baghdadi,”Al-Faqiih Wal Mutafaqqih”, tt, Maktabah Syamilah

Rasyad Hasan Khalil, “Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam”, (Amzah: Jakarta, 2010)

Abu Mudhoffar Manshur bin Muhammad, “ Qowathiul Adillah Fil Ushul”1999 M./1418 H. Beirut Libanon, Darr Al-Kutub, Maktabah Syamilah

Sulaiman Ibnu Abdul Qowiy,” Syarh Mukhtashor Ar-Roudhoh”, tt Maktabah Syamilah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar