BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Saat ini umat
islam dihadapkan pada tantangan kehidupan yang sangat komplek serta benturan
budaya modern. Pada realitas seperti saat ini pendekata studi islam menjadi
sangat urgen, pendekatan dan pemahaman islam yang mau membuka diri terhadap
masuhnya dan digunakanya pendekatan-pendekatan yang bersifat obyektif dan
rasional. Dan secara bertahap mulai meninggalkan tradisi lama yakni kajian yang
bersifat subyektif doktriner. Dengan demikian diharapkan islam akhirnya mampu
mengikuti perkembangan zaman dan mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian
dengan lebih obyektif dan proporsional.[1]
Predikat yang
disandang Islam adalah “rahmatal lil alamiin”, yaitu agama yang membawa rahmat,
membawa pertolongan bagi segenap manusia dan alam semesta, adalah predikat yang
benar-benar melekat dan akan selalu didengungkan ila yaumil qiyamah.
Terbukti dengan misi besar Islam yang termaktub dalam dua sumber utama ajaran
Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadits) , yakni misi menjaga keteraturan kehidupan
manusia baik secara spiritual, moral, social hingga aspek-aspek yang lain.
Tidak hanya interaksi antar manusia saja, bahkan interaksi manusia dengan alam
sekitarnya juga diatur dalam Islam.
Merealisaikan
misi islam ini pada dunia dan masyarakat dunia yang sudah sangat berubah saat
inilah yang terkadang menjadikan persoalan. Pendekatan agama dengan model
konserfatif dan normative ansich, akan menimbulkan persoalan fundamentalisme,
pemaknaan agama yang rigid, hingga melakukan tindakan-tindakan keberagamaan
dengan mengatasnamakan Tuhan. Padahal masyarakat dunia saat ini benar-benar
menjadi masyarakat di era kemajuan teknologi informasi digital yang canggih dan
kritis. Segala tindakan dimanapun akan cepat tersebar di seluruh dunia, dan
akan cepat dianalisa oleh siapapun dan menggunakan pisau analisis yang sangat
beragam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian
Syariat, Fiqih, Ushul Fiqih?
2.
Bagaimana
Sejarah perkembangan Fiqih?
3.
Bagaimana
Metodologi menggali hukum Fiqih?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
1.
Untuk
mengetahui pengertian Syariat, Fiqih, Ushul Fiqih.
2.
Untuk
mengetahui sejarah perkembangan Fiqih.
3.
Untuk
mengetahui metodologi menggali hukum Fiqih.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Fiqih, Syariat dan Ushul Fiqih.
Sebelum makalah ini membahas lebih lanjut materi pendekatan fiqih
dalam studi islam, perlu kita pahami beberapa istilah yang terkait dengan
fiqih. Pada umumnya ada beberapa istilah yang saling berkaitan dengan fiqih,
antara lain, fiqih itu sendiri kemudian syariat dan ushul fiqih. Untuk memahami
istilah tersebut, berikut pemaparan seputar definisi istilahnya:
a.
Pengertian
Fiqih
Arti
fiqih (الْفِقْه ) menurut bahasa artinya adalah paham atau
tahu, atau pemahaman yang mendalam yang memputuhkan pengerahan pemikiran secara
mendalam. Pengertian ini dapat ditemukan dalam Q.S. Thoha 27-28.[2]
وَاحْلُلْ عُقْدَةً
مِّن لِّسَانِي -٢٧- يَفْقَهُوا قَوْلِي -٢٨-[3]
Artinya:
Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. (26) Agar mereka mengerti
perkataanku. (27)[4]
pengertian
fiqih secara etimologi dapat ditemukan pada sabda Rasulullah diantaranya yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim salam Shahih Muslim nomor hadits 1037:[5]
وحَدَّثَنِي
حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ
ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ،
قَالَ: سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَهُوَ يَخْطُبُ يَقُولُ:
إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ
وَيُعْطِي اللهُ»
Artinya:
Diceritakan
dari harmalah……..sesungguhnya saya mendengan Rosulullah SAW bersabda: Apabila
Allah menginginkan kebaikan pada seseorang, maka Ia akan memberikan pemahaman
agama (yang mendalam). (HR. Muslim)
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim tersebut, kata يُفَقِّهْهُ yang akar katanya adalah fiqih memiliki arti memberi pemahaman.
Sedangkan fiqih
menurut istilah memiliki beberapa definisi yang beragam menurut para ahli fiqih
(Fuqoha’), diantaranya adalah:
1.
Menurut ibnu
hazm fiqih adalah:[6]
المعرفة بأحكام الشريعة من القرآن ومن كلام المرسل بها الذي لا تؤخذ
إلا عنه
2.
Menurut Ishaq Ibrahim Ibnu Ali
dalam Al-Khotib Al-Baghdadi, pengertian fiqih adalah:[7]
مَعْرِفَةُ
الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ , الَّتِي طَرِيقُهَا الِاجْتِهَادُ
3.
Menurut Sayyid
Al-Jurjani dalam kamus ilmu Ushul Fiqih Totok Jumantoro, pengertian Fiqih
adalah Ilmu tentang Hukum-hukum syara’, mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya
tang terperinci.[8]
4.
Menurut
Jalaluddin Al-Mahalli dalam dalam kamus ilmu Ushul Fiqih Totok Jumantoro,
definisi fiqih adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’, yang
berhubungan dengan amaliah yang diusahakan dalam memperolehnya dari dalil-dalil
yang jelas.[9]
Dari beberapa pendapat ahli fiqih di atas maka dapat disimpulkan
bahwa, fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ atau hukum-hukum islam
(amaliyah), berdasarkan ijtihad dengan dasar Al-qur’an dan Al-Hadits.
b.
Pengertian
Syariat
Kata yang sering muncul dalam pembahasan fiqih adalah
syariat (الشريعة). Terkadang ada yang menyamakan antara syariat dengan fiqih, padahal
keduanya ada perbedaan yang cukup signifikan. Syariat berasal dari kata الشريعة yang berarti memperkenalkan, mengedepankan
atau menetapkan. Dalam penerapanya syari’ah diartikan jalan menuju sumber air
atau jalan ke arah sumber pokok kehidupan.[10]
Selanjutnya pengertian syariat menurut beberapa ulama’ yaitu:
1.
Menurut
Attaharawi dalam Toto Jumantoro mengartikan bahwa syari’ah adalah hukum-hukum
yang disyari’ahkan Allah untuk hamba-hambanya yang didatangkan oleh seorang
nabi, baik berpautan dengan tata cara mengerjakan amal ibadah yang dinamai amaliyah far’iyyah, kemudian
bagi pembahasan ini dibukukanlah ilmu fiqih, serta hal-hal yang berhubungan dengan keimanan/ keyakinan
(I’tiqod) yang dinamakan Al-Ashliyyah Al-I’tiqodiyyah (Keyakinan dasar),
yang dalam pembahasan ini dinamakanlah ilmu kalam. Syaria’ah juga terkadang
diistilahkan dengan Ad-Diin dan Al-Millah. [11]
2.
Adapun menurut
As-Sathibu dalam toto Jumantoro syariat adalah ketentuan-ketentuan yang memuat
batasan-batasan bagi para mukallaf baik mengenai perbuatan, perkataan , dan
I’tiqod mereka itulah kandungan syria’ah islam.
3.
Menurut Mahmoud
Syaltut tang dikutip Toto Jumantoro, syariat adalah, hukum-hukum yang diberikan
oleh Allah SWT untuk hamba-hambanya agar mereka percaya dan mengamalkanya demi
kepentingan mereka didunia dan akherat.[12]
Dari beberapa
pendapat para ulama tersebut, pemakalah menarik sebuah kesimpulan bahwa syariat
adalah hukum-hukum yang ditentukan oleh Allah baik Qoth’I maupun Dhonni, yang
didalamnya memuat hukum Fiqih, Aqidah dan Akhlaq (tashowuf) untuk kebahagiaan
manusia di dunia dan akhirat.
c.
Pengertian
Ushul Fiqih
Ushul Fiqih (أصول
الفقه) adalah
istilah yang terdiri dari dua kata Ushul (أصول) dan
Fiqih (الفقه) secara bahasa kata tersebut jika ditinjau
dari tata bahasa arab (nahwu) merupakan tarkib idhofah sehingga penggabungkan
dua kalimah tersebut mengandung makna Ushul bagi fiqih. kata Ushul (أصول) adalah bentuk jamak dari ashl (الاصل)yang berarti sesuatu yang dijadikan sandaran bagi yang lain,
fondasi sesuatu, baik yang berupa materi aataupun non materi.[13] Selanjutnya
arti fiqih sudah dibahas pada pembahasan di atas. Sedangkan (أصول
الفقه) Ushul Fiqih artinya
adalah ما يتفرع عليه الفقه ilmu yang menjadi induknya fiqih.[14]
Selanjutnya
definisi ushul fiqih menurut para ulama’ yaitu:
1.
Abu Mudhoffar
memaparkan, menurut para fuqoha’ ushul fiqih adalah
طريق الفقه التي يؤدى
الاستدلال بها إلى معرفة الأحكام الشرعية
Jalan/
metodologi bagi fiqih yang menjadi petunjuk dalam menggali dalil untuk
mengetahui hukum-hukum syariat.
2.
Menurut
abdul wahab kholaf yang dikutip oleh totok jumantoro ilmu tentang kaidah-kaidah
(aturan-aturan/ ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan
sarana untuk memperoleh hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya
yang terperinci.[15]
3.
Menurut
Sulaiman Ibnu Abdul Qowi Ushul Fiqih adalah[16]
الْعِلْمُ
بِالْقَوَاعِدِ الَّتِي يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
الْفَرْعِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيلِيَّةِ
Ilmu tentang beberapa kaidah-kaidah yang dijadikan
sarana keluarnya (istinbat) hukum-hukum
syariyyah al-fariyyah dari dalil-dalil yang terperinci.
Pendapat
para ulama’ tersebut dapat ditarik benang merah bahwa ushul fiqih (أصول
الفقه) adalah
ilmu tentang metodologi dalam istinbat hukum syar’iyyah furuiyyah (bukan
Qoth’i) yang digali dari dalil-dalil yang terperinci.
B.
Sejarah
Perkembangan Fiqih
1.
Fase Pendirian
dan Pembentukan Hukum Syariat Islam
a)
Syariat pada
Masa Kerasulan
Fase ini
dimulai sejak diutusanya rasululullah SAW pada tahun 610 M hingga wafatnya
baginda Rasulullah pada tahun kesepuluh hijriah. Masa kerasulan atau masa hidup
Rasulullah SAW dapat disebut juga sebagai fase kelahiran dan pembentukan hukum
syariat Islam karena setiap syariat (undang-undang) yang datang setelah zaman
ini semuanya merujuk kepada manhaj yang telah digariskan Rasulullah SAW dalam
meng-istinbath (mengeluarkan) hukum syar’i. Periode-periode setelah era
kerasulan (sepeninggal Rasulullah) SAW tidak membawa sesuatu yang baru dalam fiqih
dan syariat Islam, melainkan hanya pada masalah-masalah baru atau
kejadian-kejadian yang tidak ada di zaman Rasulullah SAW.[17]
b)
Tahap Tasyri’ pada
Masa Kerasulan
Fase ini bermula ketika Allah
mengutus Nabi Muhammad SAW menerima wahyu yang pertama di Gua Hiro. Terkadang
wahyu turun kepada baginda Rasulullah dalam bentuk Al-Qur’an yang merupakan
kalam Allah dengan makna dan lafalnya, terkadang juga hanya berupa makna yang
lafalnya dari Rasulullah, atau kemudian termanifestasikan dalam bentuk hadis.
Atas dasar inilah perundang-undangan pada masa Rasulullah SAW mengalami dua
periode istimewa, yaitu periode legislasi hukum syariat di Makkah yang dinamakan
perundang-undangan era Makkah (at-tasyri’ al-makki), serta legislasi hukum
syariat di Madinah. Di Mekkah, perundang-undangan lebih fokus pada upaya mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum – hukum
agama, membersihkan aqidah dari menyembah berhala kepada menyembah Allah,
selain menanamkan akhlak-akhlak mulia agar memudahkan jiwa untuk dapat menerima
segala bentuk pelaksanaan syariat.
Adapun periode legislasi hukum
syariat di Madinah yang disebut perundang-undangan era Madinah (at-tasyri’ al-madani)
berlangsung sejak hijrah Rasulullah SAW dari Mekah hingga beliau wafat. Periode
ini berjalan selama 10 tahun. Perundang-undangan pada periode ini
menitikberatkan pada aspek hukum-hikum praktikal dan dakwah islamiyah yang
membahasa tentang akidah dan akhlak.
c)
Metode
Pensyariatan
Nabi Muhammad
menyampaiakn syariat (perundang-undangan) pada fase ini melalui beberapa cara,
diantaranya :[18]
1)
Memberikan
ketentuan hukum terhadap permasalahan atau kejadian yang muncul atau ditanyakan
oleh para sahabat, lalu be;iau menjawabnya dengan satu atau beberapa ayat.
2)
Terkadang
Rasulullah SAW memberi jawaban dengan ucapan dan perbuatannya.
Adapun Ijtihad Nabi yaitu
mengeluarkan hukum syariat yang tidak ada nash-nya. Ulama berbeda pendapat
mengenai boleh tidaknya rasulullah berijtihad menjadi dua kelompok besar.
Pertama kalangan Asy’ariyah dari Ahli sunnah dan mayoritas Mu’tazilah yang
berpegang teguh bahwa Nabi Muhammad tidak boleh berijtihad sendiri. Kedua
mayoritas ulama ushul mengatakan boleh bagi Rasulullah untuk berijtihad dalam
setiap urusan, baginda boleh berijtihad dalam semua perkara yang tidak ada
nash-nya.
Ijtihad pada
zaman pembentukan dan pertumbuhan tidak hanya sesuai dengan keinginan
Rasulullah, namun juga mencakup para sahabat. Rasulullah telah memberi izin
kepada mereka untuk berijtihad ketika Rasulullah ada ditempat atau sedang
bepergian. Beliau mengakui ijtihad mereka jika memang benar dan mencelanya jika
memang salah.
d)
Karakteristik
Perundang-undangan pada Masa Kerasulan[19]
1)
Sumber
perundang-undangna pada zaman ini hanya berasal dari wahyu dengan dua bagiannya
baik yang terbacam yaitu Al-qur’an atau yang tidak terbaca, yaitu hadis.
2)
Referensi utama
untuk mengetahui hukum-hukum syara’ pada zaman ini adalah Rasulullah SAW
sendiri, karena Allah telah memilihnya untuk menyampaikan Risalah. Semua produk
perundang-undangan yang lahir pada zaman ini dinisbatkan kepada kitab Allah
(Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah SAW.
3)
Perundang-undangan
Islam pada masa ini telah sempurna hukumnya, telah dikukuhkan kaidah dan
dasarnya.
4)
Kesempurnaan
syariat dapat dilihat dari aspek manhaj yang unik dan metode yang khusus, di
mana kitab Allah dan sunah nabi memuat beberapa kaidah dan dasar-dasar yang
kokoh dan membuka pintu ijtihad kepada para ulama untuk mengeksplorasi kembali
yang memuat produk perundang-undangan yang elastis dan sesuai untuk segala
kondisi dan zaman sehingga sangat mudah bagi para mujtahid untuk mengembangkan
kaidah-kaidah umum tersebut sehingga tidak ada satu masalah baru yang muncul
kecuali jawabannya ada dalam kitab Allah.
5)
Fiqih Islam
dengan pengertian secara terminologinya belum muncul pada zaman ini.
6)
Jika ada yang
bertanya tentang hukum sesuatu maka Rasulullah akan menjawabnya, dan ketika
Rasulullah sedang tidak ada ditempat maka para sahabat akan berijtihad sendiri
kemudian mengembalikan keputusannya kepada Rasulullah untuk ditetapkan atau
dibatalkan.
7)
Semua masalah
lahir dari realitas hidup yang perlu dijelaskan hukumnya. Belum ada masalah
yang terlihat iftiradhiyah (hipotesis).
2.
Fase
Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syariat Islam
a.
Tasyri’ pada
Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
Periode ini dianggap
sebagai periode pertama dalam pembentukan fiqih Islam, yaitu berawal dari
wafatnya Rasulullah sampai akhir zaman khulafa’ ar-rasyidin pada tahun 40
Hijriyah.[20]
1)
Definisi sahabat
Menurut terminologi para ulama fiqih,
sahabat adalah setiap orang yang pernah bertemu dengan Nabi dalam status iman
kepadanya, dan meninggal dalam keadaan beriman pula. Sebagian ulama berpendapat
bahwa seorang sahabat harus bergaul dengan Nabi selama satu atau dua tahun dan
pernah ikut perang walaupun hanya sekali. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa
tidak ada syarat khusus untuk menjadi sahabat Nabi, karena setiap orang yang
bertemu dengan Nabi adalah sahabat. Walaupun tidak sempat duduk bersama beliau
ataupun tidak sempat melihat karena buta.
2)
Sumber Tasyri’
pada masa sahabat
a)
Meneliti dalam
kitab Allah untuk mengetahui hukumnya.
b)
Meneliti dalam
sunnah Rasulullah jika tidak ada nash dalam kitab Allah. Jika mereka menemukan
nash dalam kitab Allahatau sunnah yang menunjukkna hukumnya maka merekapun
berhenti disini dan mencari hukumnya, dan berusaha memahami kandungannya.
c)
Ijma’(konsensus
bersama), yaitu jika tidak ada nash dalam kitab Allah atau sunnah Rasulullah
atau ditemukan namun sifatnya global, atau nashnya banyak dan setiap nash
memberi hukum yang berbeda, atau berupa khabar ahad. Salah satu manhaj mereka
adalah khalifah mengundang para sahabat untuk melakukan ijma’.
d)
Ra’yi (pendapat
pribadi), setiap hukum yang ditetapkan bukan berdasarkan petunjuk nash termasuk
qiyas, istihsan, mashalih, bara’ah adz-dzimmah, dan sadd adz-dzari’ah.
3)
Karakteristik
Tasyri’ pada Zaman Sahabat[21]
a)
Fiqih sejalan
dengan segala permasalahan yang muncul dan yang memegang kendali fatwa dan
qadha’ dalam berbagai permasalaan penting adalah para kholifah, namun karena
kemreka sibuk mengurusi masalah politik danpengelolaan negara, makam tugas ini
diserahkan kepada sahabat yang lain.
b)
Al-quran telah
dibukukan dan mushaf disentralisasikan agar kaum muslimin terhindar dari
pertikaian tentang sumber utama syariat Islam.
c)
Hadis belum
diriwayatkan seperti sekarang, kecuali jika ada keperluan mendesak. Sunnah pada
zaman ini masih terjaga kemurniannya tidak terkontaminasi oleh kebohongan atau
penyimpangan .
d)
Muncul satu
sumber baru perundang-undangan Islam yaitu Ijma’
e)
Banyak terjadi
ijtihad yang berlandaskan pada pemahaman tentag ilat hukum baik ada atau
tidaknya.
f)
Para sahabat
tidak mewariskan fiqih yang tertulis
yang dapat dirujuk namun mereka hanya mewarisakan fatwa dan hukum yang
tersimpan dalam dada para sahabat dan disampaikan kepada kita dengan cara
periwayatan.
g)
Dalam kaitannya
dengan penggunaan ra’yi ada sahabat yang bersikap longgar dalam memakai
pendapat pribadi, dipelopori oleh Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib dan
Abdullah bin Mas’ud. Namun ada yang sangat berhati-hati untuk mengambil
pendapat pribadi, khawatir berdusta kepada Allah, dipelopori oleh Abdullah bin
Umar dan Zaid bin Tsabit.
b.
Tasyri’ pada
Masa Dinasti Umayyah
Periode ini dimulai ketika para
khalifah Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kaum muslimin setelah
terbunuhnya Imam Ali bin Abi Thalib pada tahun ke 41 hijriah. Zaman ini
dipenuhi dengan berbagai peristiwa dan perkembangan, perbedaan fiqih dan
pergolakan politik karena sejakawal berdirinya pun kaum muslimin terbagi
menjadi tiga golongan syiah, khawarij dan Jumhur Kaum Muslimin.
1)
Definisi
Tabi’in
Tabi’in adalah setiap muslim yang
belum sempat melihat Nabi, namun ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat,
baik ia meriwayatkan atau tidak darinya. Sehingga tabi’in tidak harus melihat
Rasulullah, sebab jika ia melihat itu artinya sahabat Rasulullah. Selain itu
juga tidak disyaratkan harus melihat sahabat, dan meriwayatkan hadis darinya,
namun cukup melihat dan bertemu ketika ia sudah berusi Tamyiz.
2)
Perpecahan
Politik dan aliran Pemikiran[22]
Walaupun perpecahan yang terjadi
diantara kelompok-kelompok pasca wafatnya Ali bin Abi Thalib merupakan
perpecahan politik, namun berimbas kepada aliran-aliran fiqih yang disebabkan
karena perbedaan mereka (Khawarij, Syiah, Jumhur Ulama) tentang sumber-sumber
hukum fiqih.
Doktrin penting dari masing-masing
aliran tersebut diantaranya sebagai berikut :
a.
Khawarij
b.
Syiah
c.
Jumhur kaum
Muslimin
3)
Peningkatan
kreativitas fiqih pada masa Bani Umayah[23]
Pada
masa ini mulai muncul permasalahan baru yang belum terjawab oleh Al-Qur’an,
hadits maupun fatwa yang ada. Maka mendorong para ulama untuk melakukan
istinbat hukum dam mengeluarkan fatwa-fatwa. Pada masa ini meningkatlah
aktifitas perkembangan fiqih yang dilatarbelakangi beberapa factor antara lain:
a)
Menyebarnya
para shahabat ke seluruh pelosok negeri.
b)
Meluasnya
periwayatan hadits
c)
Para hamba
sahaya mulai menggeluti fiqih dan syariat dan,
d)
Munculnya
beberapa aliran fiqih.
4)
Karakteristik Fiqih
pada Masa Dinasti Umayah
a)
Munculnya
beberapa manhaj (metode) kajian fiqih yang bersih dari pertikaian politik,
terutama madarasah ahli hadis dan madrasah ahli ra’yi.
b)
Terpengaruhnya
beberapa sumber hukum dengan pergolakan politik seperti Ijma’ dan tidak
yakinnya sebagian orang terhadap sumber qiyas dan maslahat mursalah.
c)
Munculnya fiqih
iftiradhy yang dibawa oleh ulama ahli ra’yi.
d)
Banyak
perbedaan masalah furu’ fiqihiyah disebabkan oleh perbedaan aliran politik dan
hijrahnya sebgaian ulama dari Madinah Al-Munawaroh ke berbagai negeri..
c.
Tasyri’ pada
Masa Dinasti Abbasiyyah
Periode ini
dimulai sejak berdirinya Dinasti Abbasiyah setelah runtuhnya Dinasti Umayyah
pada tahun 132 hijriyah berakhir pada pertengahan abad ke empat hijriyah ketika
Dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran dan tidak ada yang tersisa dari kekuasaan
dinasti kecuali namanya saja. Zaman ini dianggap sebagai zaman yang paling
gemilang dalam sejarah fiqih Islam, dimana sudah mencapai tahap sempurna dalam
keluasan kajian, sempurna dan terinci sehingga menjadi ilmu yang berdiri
sendiri yang sebelumnya hanya sebatas fatwa dan qadha’. Serta memiliki mazhab
ijtihad sendiri yang kemudian diberi nama sesuai nama para imamnya.
e)
Faktor penyebab
masa abasiyah fiqih mengalami kemajuan antara lain:
1)
Perhatian
Khalifah Dinasti Abbasiyah terhadap Fiqih dan Fuqaha’ berbeda dengan zaman
khalifah Umayyah yang memberikan konsentrasi pada masalah politik.
2)
Perhatian dan
Semangat Tinggi untuk Mendidik para Penguasa dan Keturnannya dengan Pendidikan
Islam
3)
Iklim Kebebasan
Berpendapat
4)
Maraknya
Diskusi dan Debat Ilmiah di Antara Para Fuqaha
5)
Banyaknya
permasalahan baru yang muncul
6)
Akulturasi
Budaya dengan Bangsa-bangsa lain
7)
Penulisan ilmu
dan penerjemahan kitab
f)
Penulisan fiqih
dan Manhaj dalam Penulisan Fiqih Islam
Ada 3 manhaj yang digunakan oleh para fuqoha’ dalam menulis fiqih :[24]
1)
Menulis fiqih
bercampur dengan hadis dan atsar (ucapan sahabat) seperti metode penulisan
kitab Al-Muwatha’.
2)
Menulis fiqih
yang lepas dari hadis dan atsar seperti yang dilakukan oleh mazhab hanafi
seperti penulisan kitab Al-Mudawwanah, sebuah kompilasi fiqih bermazhab Maliki.
3)
Menulis
hukum-hukum fiqih bersamaan dengan semua dalil yang ada kemudian dikomparasikan
dengan berbagai pendapat yang ada dalam fiqih mazhab yang lain. Kitab-kitabnya
dinamakan kitab muqaranah (komparasi) karena sebuah pembanding semestinya
menghimpun semua pendapat yang berbeda, kemudian dilakukan pengujian terhadap
kekuatannya berdasarkan dalil Al-qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan yang lainnya.
g)
Sumber-sumber
Tasyri’ pada Masa Dinasti Abbasiyah
Sumber perundang-undangan hukum
islam pada zaman ini lebih luas dibandingkan zaman sebelumnya, ada sumber yang
sudah disepakati ( Al-quran dan Sunnah), dan ada pula yang masih menjadi
perdebatan dikalangna Fuqoha’. Adapun ijma’ dan Qiyas sebagian besar fuqoha
menganggapnya sebagai hujjah dalam menentukan hukum syar’I dan tidak ada yang
menentang pendapat ini kecuali sebagian kecil para fuqoha saja.
Adapun
sumber-sumber fiqih yang masih menjadi perdebatan adalah Istihsan, Al-Maslahah
Al Mursalah, Al-Istishab, Saddu Adz-Dzara’i, Amal penduduk Madinah, Pendapat
Sahabat, ‘Urf, dan Syariat sebelum kita.[25]
h)
Karakteristik Fiqih
Islam pada Masa Dinasti Abasiyah
Pemerintah mempunyai kecenderungan fiqih
tersendiri dalam menjalankan roda kehakiman. Contohnya, fiqih Imam Abu Hanifah
menguasai kehidupan perundang-undangan pada zaman Dinasti Abbasiyah, dan fiqih
Imam Syafi’I menguasai negeri Maroko dan Andalusia.
3.
Fase Taqlid dan
Kejumudan
Fase ini berawal dari pertengahan abad keempat hijriah sampai akhir
abad ketiga belas hijriah.
a.
Periode Taqlid
Disebut periode Taqlid karena para
fuqoha’ pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan
kepada kandungan mazhab yang sudah ada. Dan faktor yang menyebabkan para
fuqoha’ memilih jalan Taqlid adalah pergolakan politik yang menyebabkan negara
Islam terpecah menjadi beberapa negara kecil, di mana setiap negeri mempunyai
penguasa sendiri yang diberi gelar amirul mukminin. Negara yang besar terbagi
menjadi beberapa negara kecil. Sehingga jika melihat kondisi sosial politik
yang terjadi, sangat tidak mungkin bagi fiqih Islam untuk maju seperti zaman
sebelumnya.
Walaupun fase ini penuh dengan
semangat taqlid, namun sebenarnya masih ada beberapa ulama yang memiliki
kemampuan untuk berijtihad dan meng-istinbat hukum seperti pendahulu mereka.
Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup dengan apa yang
sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu oara ulam amazhab. Hal itu disebabkan
tingkat ketakwaan dan ke-wara’-an mereka sehingga lebih memilih berputar diatas
bahtera fiqih yang sudah ada. Diantara ulama-ulama tersebut adalah Abu Hasan
Al-Kharkhi, Abu Bakar Ar-Razi, Al-Jahshash dari kalangan mazhab HAnafi, Ibnu
Rusyd Al-Qurthubi dari MAzhab Maliki, Al-Juwaini Imam Al-Haramain, dan
Al-Ghazali dari kalangna mazhab Syafi’i.[26]
b.
Periode
Kejumudan
Periode ini dimulai sejak tahun 656
hijriah, ketika kota Baghdad jatuh ke tangan tentara Mongol dan berakhir pada
akhir abad ketiga belas. Merupakan fase terpanjang dalam perjalanan fiqih
Islam, namun mengalami kemunduran dan kejumudan. Jika di periode awal kita
lihat para fuqoha’ sibuk menggali fiqih, menggali illat, dan berijtihad, maka
pada periode ini para ulama beralih profesi menjadi taqlid buta, semangat
menulis buku juga menurun, sehingga hasil karya para fuqoha’ sangat minim, dan
hanya terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab para
pendahulunya, jauh dari ijtihad dan hanya membuat beberapa penjelasan singkat.
Namun tujuan para fuqoha’ pada masa
ini adalah mewujudkan dua hal : pertama, agar masyarakat mudah memahami
masalah fiqih. Kedua, memudahkan para pelajar menghafal kandungan fiqih
mazhab dan menjadi wasilah untuk mengkaji kitab-kitab besar sedikit demi
sedikit. Kontribusi mereka bisa dilihat pada hobi mereka dalam penulisan Matan
(Teks), penulisan Syarah (penjelasan), Hasyiyah (catatan pinggir), dan Ta’liq
(Komentar).[27]
c.
Fase
Kebangkitan Ilmu Fiqih
Fase ini
dimulai dari akhir abad ketiga belas hijriyah sampai sekarang, karakteristik
ilmu fiqih pada fase ini yaitu dapat menghadirkan fiqih ke zaman baru yang
sejalan dengan perkembangan zaman, dapat memberisaham dalam menentukan jawaban
bagi setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli,
menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
Pada zaman ini
para ulama memberikan perhatian yang cukup besar terhadap fiqih Islam, baik
dengan menulis buku atau dengan mengkajinya. Para penguasa pada zaman ini
berpegang kepada mazhab tertentu dalam ber taqlid, serta memaksa rakyatnya
untuk mengikuti mazhab tertentu seperti yang dilakukan oleh Dinasti Fatimiyah
di Mesir, ketika mereka membatasi kurikulum Al-Azhar hanya dengan mazhab Syiah,
atau seperti yang dilakukan oleh Dinasti Ayyubiyah ketika mereka membatasinya
dengan salah satu mazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah.[28]
C.
Metodologi
Studi Hukum Islam
Bila kita mencoba mengingat kembali definisi dari fiqih, salah
satunya adalah definisi yang diberikan oleh Ishaq Ibrahim Ibnu Ali dalam Al-Khotib Al-Baghdadi
yaitu :[29]
مَعْرِفَةُ
الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ , الَّتِي طَرِيقُهَا الِاجْتِهَادُ
Maka dapat kita fahami bahwa proses penetapan hukum fiqih adalah
melalui ijtihad. Ijtihad ini sangat dibutuhkan ketika dalam realitas kehidupan
umat manusia muncul problematika (waqi’iyah) yang membutuhkan ketetapan hukum
syar’inya. Seseorang yang melakukan ijtihad dalam ushul fiqih disebut mujtahid.[30]
Seorang ulama yang memenuhi syarat menjadi Mujtahid dalam situasi
tertentu wajib hukumnya berijtihad, untuk menghukumi sesuatu (istinbat). Dan
oleh karena itu mujtahid adalah ulama yang mampu menilai bahwa madzhab – hasil
ijtihad/ fiqih – bersifat relatife.[31]
Keshahihan hukum fiqih hasil produk Ijtihad dapat bertahan hingga muncul produk
Ijtihad yang lebih shahih lagi, walaupun hasil Ijtihad yang lebih shahih tidak
menasakh hajil Ijtihad sebelumnya. Disinilah letak relatifitas hukum fiqih,
yang dalam literature ushul fiqih sering disebut zhanni, tidak sampai
mencapai derajat qoth’I sebagaimana hukum halal haram yang telah ditetapkan
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Hukum zhanni adalah hukum yang
berdasarkan hasil pemikiran manusia. Sehingga dalam menanggapi suatu masalah
sering timbul berbagai jalan pikiran yang berbeda dan menghasilkan hukum yang
berbeda pula.[32]
Dalam
system dan proses hukum fiqih, ulama yang memiliki wewenang dan kredibilitas
berijtihad menurut Nadiyah Syarif Al-Umari dalam Muhaimin et.al. adalah harus
memenuhi beberapa rukun dan syarat berijtihad. Rukun ijtihad ada 4 yaitu:
b.
Al-Waqi’, yaitu
adanya kasus yang menimpa, dan belum ada dalil yang menjelaskan secara qoth’I,
atau kasus yang diduga keras kelak akan terjadi. Sehingga wilayah ijtihad tidak
terbatas pada kasus-kasus yang sudah terjadi, tetapi juga kasus yang akan
terjadi, baik yang terfikirkan, tak terfikirkan atau belum terfikiirkan.
c.
Mujtahid, orang
yang memiliki kompetensi dan memenuhi syarat untuk berijtihad.
d.
Mujtahid Fih,
yaitu hukum-hukum syariah yang bersifat amaliyah (takliifi)
e.
Dalil Syara’,
yaitu dalil Al-qur’an dan Al-Hadits yang untuk menentukan hukum mujtahid fih[33]
Dalam berijtihad disamping harus memenuhi rukun-rukun ijtihad,
seorang mujtahid harus memenuhi syarat-syarat ijtihad. Syarat-syarat menjadi
Mujtahid dibagi menjadi 2 bagian:[34]
1.
Syarat umum
Syarat Umum
mujtahid diantaranya Islam, baligh, sehat fikiranya serta dhabit (kuat
ingatanya). Sebagian ulama memasukan syarat laki-laki dan merdeka. Namun
menurut Qaul Mu’tamat (yang dapat dijadikan pegangan) tidak memasukan syarat
laki-laki. Mujtahidah perempuan menurut qaul mu’tamat sah-sah saja. Karena
beberapa mujtahidah dari para shohabat adalah perempuan.
2.
Syarat keahlian
dan profesionalitas mujtahid.
Pada
syarat keahlian dan profesionalitas mujtahid ini dibagi menjadi dua yaitu:
a.
Syarat-syarat
pokok
Syarat-syarat
pokok bagi mujtahid adalah
1)
Menguasai
terhadap Al-Qur’an, Ulumul Qur’an, Ayat-ayat ahkam, asbabun nuzul, serta
nasikh dan mansukhnya ayat.
2)
Menguasai
sunnah, ulumul hadits, hadits-hadits ahkam, nasikh mansukh, asbabul wurud,
dan lain sebagainya.
3)
Menguasai ilmu
lughah/ bahasa arab yang meliputi nahwu, sharaf, mantiq balaghoh, fiqih
lughoh dan adab aljahily.
4)
Menguasai ijma’
ulama yang sudah berijtihad terlebih dahulu. Sehingga tidak terjadi tumpang
tindih hasil Ijtihad.
b.
Syarat-syarat pelengkap
1)
Mengetahui
kaidah-kaidah “baro’ah ashliyah” yakni hukum asal sesuatu
2)
Mengetahui
subatnsi syariah
3)
Mengatahui
kaidah-kaidah umum (kaidah kulliyah)
4)
Mengetahui
masalah-masalah khilafiyah yang sebelumnya sudah diperdebatkan ulama.
5)
Memiliki
keadilan dan keshalehan.
6)
Mengetahui
tradisi-tradisi tiap Negara.
7)
Antara pendapat
dan perbuatanya terjadi relevansi.
Para mujtahid memiliki beberapa tingkatan sesuai dengan kapasitas,
kemampuan dan kekuatan berijtihad. Tingkatan mujtahid itu diantaranya:
a.
Mujtahid Mutlak
Mujtahid
mutlah adalah orang yang mampu menggali hukum dan mampu menjabarkan hukum-hukum
cabang dari dalil-dalilnya ( Al-Qur’an dan Hadits). Dan mampu pula menyusun dan
menjalankan metodologi pokok dalam berijtihad. Mujahid mutlak dibagi menjadi
dua:[35]
1)
Mujtahid Mutlak
Mustaqil
Yaitu
mujtahid yang mampu menyusun metode dan dasar-dasar pokok madzhab, serta
menggali hukum agama dari dalil-dalil pokok.
2)
Mujtahid Mutlak
Muntasib
Yaitu
mujtahid yang mampu berijtihad sebagaimana Mujtahid Mutlaq Mustaqil,
namun belum mampu menyusun metodologi pokok dalam berijtihad. Dia menggunakan
metodologi pokok ijtihad yang disusun Mujtahid muthlak mustaqil.
b.
Mujtahid
Madzhab
Mujtahid
madzhab adalah orang yang mempu mengistimbat hukum yang belum ditetapkan dan
belum dikeluarkan oleh madzhabnya, dengan menggunakan metode dan dasar-dasar
yang disusun oleh imamnya. Seperti imam Abu Ja’far al-Tahrawi dalam madzhab
Hanafi. Mujtahid madzhab dibagi menjadi macam, yaitu:
1)
Mujtahid Takhrij,
atau dikenal dengan mujtahid asbab al-wujud.
2)
Mujtahid Tarjih,
atau dikenal dengan mujtahid fatwa.[36]
Sebagaimana telah pemakalah
sampaikan, bahwa wilayah bidang garap Mujtahid dalam istinbat hukum adalah
mas’alah fiqihiyyah. Mas’alah fiqihiyyah merupakan hasil ijtihad yang bersifat
zhanni bukan qath’i. hal ini disebabkan adanya perbedaan sudut pandang dan
metodologi dalam istinbat hukum. Menurut Aldawalibi dalam Muhaimin, sebagaimana
yang dikatakan oleh Wahbah membagi metode istinbat menjadi tiga macam. Yaitu,
bayani, qiyasi (disebut juga ta’lili) dan istishlahi.[37]
Pertama metode bayani, yaitu
penggalian hukum islam (istinbat al-hukmi) langsung ke sumber hukum utama yakni
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di sini tugas mujtahid adalah menjelaskan, menguraikan
dan menginterpretasi dua sumber tersebut. Metode bayani mengasumsikan bahwa
semua persoalan yang terjadi seluruhnya sudah terdapat dalil pemecahanya
hukumnya di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Metode bayani dibagi menjadi empat,
yaitu:
a.
Dilihat dari kandungan
lafadz terhadap makna; seperti lafadz yang ‘amm atau khash, mutlaq
atau muqayyad, nahi atau amar.
b.
Dilihat dari
penggunaan lafadz dalam makna, seperti masalah hakikat, majaz, sharih dan
kinayah.
c.
Dilihat dari
segi petunjuk lafadz terhadap makna, seperti masalah dhahir, nas, mufassir, dan
muhkam, atau khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.
d.
Dilihat dari
segi cara bagaimana lafadz menunjukan makna: seperti masalah yang tersurat
(mantuq dan masalah yang tersirat (mafhum).
Kedua, metode qiyasi, yaitu, metode
istinbat hukum dengan cara tidak langsung dengan menggali dari Al-Qur’an dan
Al-Hadits, tetapi berdasarkan kesamaan motif (illat). Lebih kongkritnya qiyas
adalah menghukumi sesuatu dengan cara menganalogikan sebuah kasus baru
(al-far’u) dengan hukum asal yang sudah baku (Al-Ashlu) yang memiliki kesamaan
motif (illat) dalam hukumnya.[38] Macamnya qiyas diantaranya qiyas aula dan
qiyas adna, qiyas jail dan qiyas khofi.
Ketiga, metode istishlahi, yaitu
metode intinbat hukum yang tidak langsung menggali dari sumber Al-qur’an dan
Al-Hadits, melainkan berdasarkan kemaslahatan yang menggunakan prinsip dasar
dari kedua sumber tersebut. Ada bermacam-macam metode istishlahi, yaitu:
1.
Maslahah
mursalah
Menetapkan
hukum yang sama sekali tidak dijelaskan dalam nas Alquran dan Al-hadits, dengan
pertimbangan kemaslahatan kehidupan umat manusia.
2.
Istihsan
Adalah
menetapkan hukum dengan memandang lebih baik atau ditetapkanya hukum
berdasarkan kesesuaian dengan tujuan syariah. Dalam hal ini prosedurnya adalah
meninggalkan dalil yang khusus dan menjalnkan dalil yang bersifat ‘am
3.
Istashhabi
Menjalankan
ketentuan hukum yang ada dengan tidak meninggalkanya sehingga datangnya dalil
lain yang mengahapusnya.
4.
Amal ahlul
madinah
Adalah
tradisi yang biasa dilakukan oleh penduduk kota madinah, dan tradisi ini diduga
kuat warisan dari sunnah Rasulullah SAW.
5.
‘Urfi
Yaitu
tradisi ( adat) yang dilakukan oleh masyarakat baik berupa perkataan atau
perbuatan, yang dilakukan secara continue seakan-akan merupakan hukum
tersendiri.
6.
Madzhab Shohabi
Yaitu
pendapat-pendapat para shahabat Nabi Muhammad SAW. ketika Nabi Muhammad SAW
sudah wafat. Apabila pendapat tersebut diduga keras berasal dari Nabi Muhammad
SAW. maka pendapat tersebut oleh kalangan Jumhurul ulama dapat diterima.
7.
Sadd Dzariah.
Yaitu
menghambat, menghalangi, dan menyumbat semua jalan yang menuju pada kerusakan
dan kemaksiatan.[39]
Sebagai contoh hasil ijtihad dan terdapat ikhtilaf (perbedaan
pendapat) dari para ulama adalah dalam menghukumi batas kepala yang diusap
ketika wudlu sebagaimana perintah dalam Q.S. Al-Maidah: 6[40]
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَينِ..........الأية-٦-
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan
shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki…(Al-Maidah: 6)
Batas pelaksanaan وَامْسَحُواْ
بِرُؤُوسِكُمْ menurut imam
malik adalah wajib mengusap seuruh kepala. Sedangkan menurut imam Syafi’i,
shahabat imam Malik dan Imam Abu Hanifah
yang wajib dibasuh adalah sebagian kepala saja. Beberapa pengikut imam
malik memaknai ‘sebagian’ dengan sepertiga, sebagian ulama membatasi sampai dua
pertiga, Imam Abu Hanifah berpendapat seperempat dari kepala dan imam Syafi’i
berpendapat seluas telapak tangan yang digunakan mengusap.
Akar perbedaan pendapat ini terjadi
disebabkan perbedaan dalam memaknai ba’ pada lafadz. Ba’ mangandung arti gamda
(istira’), pertama mengandung makna zaidah (tambahan) yang berfungsi sebagai
penguat. bagi ulama yang berpendapat harus mengusap seluruh kepala, kedua,
bermakna tab’it ( sebagian), bagi ulama yang berpendapat mengusap sebagian
kepala.[41]pendapat
yang kedua ini didukung dengan hadits mughirah yang mengatakan dalam shahih muslim nomor hadits 247:
..... قَالَ: بَكْرٌ، وَقَدْ سَمِعْتَ مِنَ
ابْنِ الْمُغِيرَةِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ، وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى الْخُفَّيْنِ»[42]
Artinya: Bakrun berkata, sungguh aku telah mendengar
dari Ibnu Mughirah, sesungguhnya Nabi SAW. ketika berwudlu mengusap rambut depan(pilingan), surban, dan
muzahnya.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Fiqih adalah
ilmu tentang hukum-hukum syara’ atau hukum-hukum islam (amaliyah), berdasarkan
ijtihad dengan dasar Al-qur’an dan Al-Hadits.
2.
Secara
historis, perkembangan fiqih/ syariat islam meliputi beberapa fase, yaitu:
a.
Fase Pendirian
dan Pembentukan Hukum Syariat Islam
a)
Syariat pada
Masa Kerasulan
b)
Tahap Tasyri’
pada Masa Kerasulan
b.
Fase
Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syariat Islam
a)
Tasyri’ pada
Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
b)
Tasyri’ pada
Masa Dinasti Umayyah
c)
Tasyri’ pada
Masa Dinasti Abbasiyyah
c.
Fase Taqlid dan
Kejumudan
3.
Hukum syariat
yang sudah ditentukan langsung oleh Al-qur’an dan Al-Hadits disebut hukum
qoth’I, dan fenomena (waqiiyyah) yang terjadi yang membutuhkan pengistinbatan hukum
maka menjadi bidang kajian fiqih (yang bersifat zhanni). Metodologi instinbat hukum
disebut ijtihad dan ulama yang menggali hukum melalui ijtihad disebut Mujtahid
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul
Karim, 2011, Jabal, Bandung
Al-Faqih
Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Russyd “Bidayatul Mujtahid
wa Nihayatul Muqtashid” terjemahan, Jakarta, Pustaka Amani,2002
Imam
Muslim”Shahih Muslim”Maktabah Syamilah, tt
Abdul
Malik bin Abdillah “ Al-Waraqat” Maktabah Syamilah, tt
Muhaimin
et.al. “Kawasan dan Wawasan Studi Islam”, (Kencana, Jakarta, 2007)
Totok
Jumantoro, Samsul Munir Amin, “Kamus Ilmu Ushul Fiqih”, (Jakarta,
Amzah,2005)
Ibnu
Hazm,”Al ahkam fi ushulil ahkam” tt maktabah syamilah,
Al-Khotib
Al-Baghdadi,”Al-Faqiih Wal Mutafaqqih”, tt, Maktabah Syamilah
Rasyad
Hasan Khalil, “Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam”, (Amzah:
Jakarta, 2010)
Abu Mudhoffar
Manshur bin Muhammad, “ Qowathiul Adillah Fil Ushul”1999 M./1418 H.
Beirut Libanon, Darr Al-Kutub, Maktabah Syamilah
Sulaiman
Ibnu Abdul Qowiy,” Syarh Mukhtashor Ar-Roudhoh”, tt Maktabah Syamilah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar