BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Berbagai persoalan timbul silih
berganti dalam kehidupan masyarakat, seakan tidak ditemukan ujung pangkalnya.
Jika dulu tawuran pelajar, kejahatan dengan senjata api ilegal, sampai pada
perdagangan manusia, hanya dapat kita lihat dilayar televisi saja, namun saat
ini seakan semua hadir disekitar kita. Kriminalitas dan tingkat kejahatan yang
terjadi disekitar kita benar-benar nyata dan hampir tidak terelakan lagi.
Sebagaimana berita yang dirilis oleh
Tribun Jogjakarta, bahwa pada hari Sabtu siang 7 Mei 2016, di depan Balai Desa
Wijirejo, Pandak, kabupaten Bantul,
terjadi tawuran pelajar. Naasnya Johan Setianatansa (17) yang saat itu tidak
tau apa-apa, dia hanya melihat tawuran itu, tiba-tiba ada salah seorang pelaku
tawuran mendekatinya dan membacok lenganya dengan pedang. Hingga Johan
Setianatansa jatuh tersungkur bersimpah darah, kemudian dilarikan ke rumah
sakit dan langsung mendpatkan perawatan medis.[1]
Inilah potret buram dari dekadensi moral generasi bangsa. Karakter mulya yang
seharusnya tercermin dalam kehidupan masyarakat, seperti kasih saying, tenggang
rasa, empati, saling tolong menolong, rendah hati, kesetia kawanan dan sabar,
tidak tampak sama sekali dalam tingkah laku para pelajar yang terlibat tawuran
dalam berita tersebut.
Kemerosotan karakter bangsa tidak hanya terjadi
pada kalangan pelajar. Dalam kalangan orang dewasa, bahkan oknum-oknum pejabat
mulai pusat hingga daerah juga tidak sedikit yang terjebak dalam kebiasaan dan
perilaku negative, yang lebih tepatnya jika dikatakan sebagai perilaku yang jauk
dari nilai-nilai karakter luhur bangsa. Seperti kasus korupsi yang diberitakan
Sindonws, tentang penyimpangan aliran dana yang dilakukan oleh oknum pejabat di
kabupaten Sorong Papua Barat. Berikut ulasan beritanya “Kejaksaan Negeri Sorong
menetapkan tiga pejabat di Badan Pengelolaan Perbatasan Daerah Raja Ampat
sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Pembangunan Jembatan fiktif Rutum - Reni
Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat senilai Rp4,4 miliar. Ketiga PNS dari Badan
Pengelola Perbatasan Daerah Kabupaten Raja Ampat dan satu kontraktor yang
ditetapkan menjadi tersangka, masing-masing YLW (Kuasa Pengguna Anggaran), OB
(pejabat pembuat komitmen), JPR (Tim Perencana Pembangunan Kelurahan), serta JR
(Kontraktor). "Kami telah menetapkan tiga PNS itu sebgagai tersangka dalam
kasus proyek fiktif pembangunan jembatan penghubung Pulau Rutum - Reni, Raja
Ampat, tahun anggaran 2014," ujar Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan
Negeri Sorong, Benoni Kombado, kepada MNC Media, di Sorong, Sabtu16/4/2016). Dalam kasus ini, para tersangka dijerat dengan
Pasal 2 UU Nomor 20/2011 revisi UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi.[2]
Perilaku para pejabat negara dalam berita di
atas cukup menjadi bukti mulai lunturnya karakter luhur bangsa kita. Pejabat
negara yang seharusnyalah mereka mampu berperan sebagai public figure sekaligus
uswatun hasanah, justru sebaliknya, mereka sebagian malah memberikan contoh
buruk kepada para generasi penerusnya.
Korupsi, kolusi, nepotisme serta perilaku buruk
lainya yang mereka lakukan juga menjadi indicator rendahnya self control yang
ada pada diri para pejabat, sehingga sadar atau tidak sadar para pejabat negara
banyak yang terjerat tindakan criminal yang sekaligus merupakan cerminan
karakter buruk. KKN yang dijalankan para pejabat negara ini selain didorong adanya
kesempatan, bukan tidak mungkin juga disebabkan motivasi-motivasi lainya,
seperti halnya semakin merebaknya gaya hidup hedonis, bermewah-mewahan dan
materialtik. Sehingga bangsa kita yang dulu dikenal sebagai bangsa yang hidup
sederhana, menerima apa adanya dan tidak begitu mengenal bermewah-mewahan,
mendadak berubah menjadi masyarakat yang materialis, hedonis dan banyak yang
mengejar kemewahan.
Perubahan karakter yang mengarah pada dekadensi
moral ini, jika diruntut ujung pangkal persoalanya, maka akan merujuk pada
sebuah perubahan besar yang mendunia, yaitu sebuah proses globalisasi segala lini kehidupan, termasuk globalisasi
teknologi informasi. Arus globalisasi teknologi informasi seakan tidak
terbendung lagi. Semua negara di dunia – termasuk Indonesia – mau tidak mau,
suka tidak suka harus mau mengikuti trand ini, jika tidak mau menjadi negara
yang tertinggal dengan negara dunia.
Namun membuka kran globalisasi teknologi
informasi yang terelakan lagi itu bukan tanpa resiko, yang pasti realitas
berbicara dan membuktikan bahwa globalisasi membawa dampak negatife. Dampak
yang sangat cepat dirasakan adalah perubahan life style, paradigma, budaya,
adat dan kebiasaan yang sudah turun temurun, bahkan norma dimasyarakat serta
karakter bangsa juga mengalami perubahan yang sangat drastis.[3]
Teknologi informasi telah menyuguhkan beragam
life style, budaya dan norma hidup dari luar Indonesia, ke tengah-tengah
kehidupan dan pergaulan masyarakat Indonesia. Memang ada beberapa yang sesaui
dengan karakter dan adat kebiasaan masyarakat Indonesia, namun juga tidak
sedikit yang berbeda, bahkan bertentangan sama sekali. Yang menjadi
kekhawatiran bersama adalah jika life style dan budaya dari luar Indonesia yang
bertentangan dengan budya Indonesia, kemudian justru dapat masuk dan diikuti
oleh generasi penerus bangsa, tanpa adanya proses pemfilteran terlebih dahulu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian filofis?
2.
Apakah pengertian pendidikan karakter?
3.
Bagaimanakah konsep filosofi pendidikan karakter dan aliran filsafat dalam pendidikan?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk memahami pengertian filofis.
2.
Untuk memahami pengertian pendidikan karakter.
3.
Untuk memahami konsep konsep filosofi pendidikan karakter dan aliran filsafat dalam pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
filosofis
Filosofis
adalah istilah yang berasal dari kata dasar filsafat. Dengan merubah filsafat
menjadi filosofis, selanjutnya terjadi penambahan makna yang berarti berdasarkan filsafat.
[4] filsafat berasal dari dua
patah kata bahasa Yunani, yaitu “philos”
dan “sophia”. Secara etimologis. Philos berarti cinta (loving dalam bahasa Inggris), sedang sophia berarti kebijaksanaan (wisdom dalam bahasa Inggris), atau
kepahaman yang mendalam. Pengertian filsafat menurut bahasa aslinya adalah
“cinta terhadap kebijaksanaan”.[5]
Nasution dalam Sumarna menyebutkan
bahwa Filsafat terdiri dari dua struktur kata yakni philos dan shopia,
atau philos dan shopos atau philosopien. Filsafat
berasal dari dua bahasa, yaitu bahasa Yunani (philein) dalam arti
cinta dan (shopos) dalam arti wisdom/ bijaksana. Orang
Arab memindahkan kata philosopia ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikan
tabe’at kata-kata bahasa Arab, yaitu filsafat dengan pola (wazan)
fa’ala, fa’lalah, dan fi’al. Berdasarkan wazan tersebut
maka penyebutan kata filsafat dalam bentuk kata benda seharusnya disebut falsafah atau filsaf. Kata
filsafat yang banyak dipakai oleh masyarakat indonesia, sebenarnya bukan murni
berasal dari bahasa Arab seperti tidak murninya filsafat terambil dari bahasa
Barat, philophy[6].
Ada pula yang menganggap bahwa filsafat
terambil dari dua bahasa yaitu fil dari bahasa Inggris dan safah dari
bahasa Arab. Sehingga filsafat merupakan gabungan dari bahasa Inggris dan Arab.
Filsafat artinya:
a) Pengetahuan
tentang hikmah
b) Pengetahuan
tentang prinsip atau dasar
c) Mencari
kebenaran
d) Membahas
dasar dari apa yang didengar
Dalam kajian filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan
dari 3 tema sentral filsafat, yaitu teori hakekat (ontologi), teori
pengetahuan (epistemologi), dan teori nilai (aksiologi).
Harold Titus mengemukakan pengertian filsafat yang lebih luas dengan
mengemukakan konsep dengan lima pengertian filsafat. Banyaknya konsep definisi filsafat yang di kemukakan
Titus mungkin menunjukkan betapa sulitnya
untuk merangkum pengertian filsafat
itu dalam sebuah definisi yang lengkap. Ia mengemukakan pengertian filsafat sebagai berikut:
1.
Falsafat adalah sekumpulan
sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara
kritis.
2.
Falsafat adalah suatu proses
kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung
tinggi.
3.
Falsafat adalah usaha untuk
mendapatkan gambaran keseluruhan.
4.
Falsafat adalah analisa logis
dari bahasan serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
5.
Falsafat adalah sekumpulan
problema-problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia dan yang
dicarikan jawabannya oleh ahli falsafat.[7]
Dari beberapa pandangan tentang filsafat, dapat
penulis simpulkan bahwa, filosofis berarti memandang, berfikir dan menguraikan
sesuatu secara komperhensif, dalam koridor mencari kebenaran menurut berbagai
sudut pandang, baik secara rasinalis mupun intuitif. Dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiyah yang bertujuan untuk mencari kebenaran dan
kemaslahatan.
B.
Definisi Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan karakter. sub bab ini kita
awali dengan pembahasan arti pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara,pendidikan
adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak.[8]
Definisi ini yang menjadi konsep dasar bahwa proses pendidikan adalah merupakan
proses yang mengembangkan potensi siswa secara total dan seimbang. Proses
pendidikan tidak hanya mengembangkan
aspek intelektualitas atau pengetahuan
saja, melinkan juga harus mengembangkan aspek moralitas (attitude) dan
ketrampilan (skill).
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[9]
Berikutnya adalah arti dari
karakter. Karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang
antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti,
kepribadian atau akhlak. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Maka pendidikan
karakter dapat diartikan sebagai sebuah system yang menamkan nilai kepada
peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad,
serta adanya kemauan dan tindakan untuk melakasanakan nilai-nilai, baik
terhadap Tuhan, diri sendiri, maupun sesama manusia.[10]
Menurut Tazkiroatun Musfiroh, karakter mengacu pada serangkaian sikap
(attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan
(skills).
Dalam KBBI, karakter diartikan
sebagai tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlaq atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan lainya, dan dapat pula diartikan watak.[11]
Sesuai dengan arti pada kamus besar bahasa Indonesia, karakter dalam konsep
pendidikan Islam diistilahkan dengan akhlaq.
Dengan
merujuk pada konsep pendidikan Islam, maka Imam al-Ghazali mendefinisikan
ahklak dalam kitabnya Ihya 'Ulumuddin sebagai suatu perangai
(watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber
timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan,
tanpa perlu dipikirkan atau atau direncanakan sebelumnya.[12]
Apabila tabiat tersebut menimbulkan perbuatan yang bagus menurut akal dan
syara` maka perilaku tersebut tersebut dinamakan ahklak baik. Dan apabila perilaku
tersebut menimbulkan perbuatan yang jelek maka disebut ahklak yang jelek.
Dengan
demikian maka pendidikan dan karakter sebenarnya dua buah istilah yang memiliki
titik temu. Dalam pendidikan sendiri sebenarnya sudah mengandung makna dari
karakter itu sendiri. Namun dari uraian di atas dapat diambil benang merah
bahwa penggabungan dua kata, pendidikan karakter berarti sebuah usaha sadar
yang sitematis dan terprogram untuk melatih dan mengambangkan potensi siswa
secara utuh dan total, menanamkan dan membiasakan kebiasaan-kebiasaan terpuji
terhadap anak didik, hingga dapat menjalankan secara continue dan secara
spontan/ tanpa difikirkan.
C.
Filosofi
pendidikan karakter dan aliran filsafat dalam pendidikan
Filsafat sebagai hasil pemikiran para filosof yang obyeknya adalah
permasalahan hidup di dunia, dalam proses perkembangannya telah melahirkan
berbagai macam pandangan. Berbagai macam pendangan dalam filsafat tersebut ada
kalanya saling mendukung serta saling menguatkan dan ada kalanya juga saling
bertentangan serta berlawanan antara yang satu dengan lainnya walaupun obyek
yang dikaji adalah sama. Perbedaan pandangan terjadi selain karena penggunaan
sistem pendekatan yang berbeda juga disebabkan oleh faktor zaman, pendangan
hidup, dan lingkungan yang melatarbelakangi para filosof berbeda-beda pula.
Demikian pula halnya dengan filsafat pendidikan sebagai nilai-nilai dan
keyakinan-keyakinan filsafat yang menjiwai, mendasari, dan memberikan identitas
serta karakteristik sistem pendidikan.
1.
Filosofi pendidikan karakter
Dalam filsafat ada tiga kerangka besar teori:
teori pengalaman, teori hakikat dan teori nilai. Pada teori nilai ada dua
cabang filsafat yaitu filsafat etika dan filsafat estetika. Filsafat etika biasanya
membicarakan persoalan dalam kerangka baik-buruk, sedangkan estetika
membicarakan keindahan atau ketidak indahan. Pada dasarnya etika dan estetika memiliki
titik kesamaan yaitu keduanya adalah masuk ke dalam teori nilai.[13]
Maka pendidikan etika yang dapat juga diistilahkan dengan pendidikan karakter,
berarti proses pendidikan yang menjadikan manusia dapat membedakan baik dan
buruk.
Lebih
detail lagi secara filosofis pendidikan adalah sebuah tindakan yang mendasar/
fundamental yang memiliki tujuan memanusiakan manusia. Pendidikan harus
menyentuh akar-akar mendasar dari kehidupan manusia. Jadi pendidikan adalah
sebuah upaya dasar yang mengubah dan membentuk masa depan manusia. Pendidikan
bukan bertujuan untuk sekolahan, terlebih hanya untuk memenuhi ambisi dari
rezim pemerintahan. Jadi pendidikan adalah murni bertujuan membelajarkan
manusia untuk menjadi hakikat dirinya dalam menjalankan kehidupan di alam
dunia.
Dalam
pendidikan untuk kehidupan, hal utama yang dilakukan adalah menenamkan karakter
dan nilai-nilai kehidupan. Pendidikan karakter bukan saja perlu karena dapat
mengembalikan filosofi dasar pendidikan yang selama ini tercerabut dari misi
dasar pendidikan, namun pendidikan karakter wajib dilaksanakan karena
diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai luhur seperti: nilai kebersamaan,
kejujuran, kesetiakawanan, kesopanan, kesusilaan, dan lain-lain.
Nilai
adalah sifat yang berharga dari suatu hal, benda, atau pribadi yang memenuhi
kebutuhan elementer manusia yang memang serba butuh atau menyempurnakan manusia
yang memang tak kunjung selesai dalam pengembangan dirinya secara utuh,
menyeluruh, dan tuntas. Selaras dengan pemikiran-ini, Hans Jonas mengatakan
bahwa nilai adalah the addresse of a yes, nilai adalah sesuatu yang selalu kita
setujui. Jadi, pendidikan nilai adalah manifestasi dari non scholae sed vitae
discimus.
Nilai
merupakan kebenaran atau realitas sejati yang akan terus dicari oleh setiap
individu. Sejak manusia lahir ia mulai melakukan pencarian. Ia ingin
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Ia sentuh benda-benda, memasukan
benda ke dalam mulut, melemparkan dan mengamati hasilnya. Ketika ia mulai dapat
berbicara, banyak hal yang ia tanyakan: apa ini? Apa itu? Ia terus berinteraksi
dengan masyarakat dan lingkungannya.
Apa
sesungguhnya yang disebut dengan kebenaran sejati itu? Kebenaran sejati adalah
sesuatu yang tak berubah dan tidak tergantung pada ruang dan waktu serta
bersifat universal. Jika sesuatu benar di sini maka iapun harus benar di mana
saja. Jika sesuatu benar hari ini maka ia juga harus benar besok. Jika ia benar
besok maka iapun harus benar lusa. Jika ia benar 100 tahun yang lalu maka iapun
harus benar 1000 tahun kemudian dan seterusnya.[14]
Berpijak
pada pola kandungan filsafat, maka Pendidikan karakter juga mengandung tiga
unsur utama yaitu ontologis Pendidikan karakter, epistemologis Pendidikan
Karakter dan aksiologis Pendidikan Karakter.
a.
Dasar Ontologis Pendidikan Karakter
Pertama-tama
pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari Pendidikan karakter. Adapun
aspek realitas yang dijangkau teori dan Pendidikan krakter melalui pengalaman
panca indera adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil
Pendidikan karakter adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek
kepribadiannya. Objek formal Pendidikan karakter dibatasi pada manusia
seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situasi sosial,
manusia sering kali berperilaku tidak utuh, hanya menjadi mahluk berperilaku
individual dan/atau mahluk sosial yang berperilaku kolektif.
Sistem
nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat
mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal
itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh
memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika
pendidik tidak bersikaf afektif utuh demikian maka menurut Gordon akan menjadi
mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta
didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan
terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas
manusianya belum tentu utuh.
b.
Dasar Epistemologis Pendidikan karakter
Dasar
epistemologis diperlukan oleh Pendidikan karakter atau pakar Pendidikan
karakter demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab.
Pendidikan karakter memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin
studi empirik dengan studi kualitatif fenomenologis. Karena penelitian tidak
hanya tertuju pada pemahaman dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan
fenomena pendidikan.
Inti
dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan
objek formalnya, telaah Pendidikan karakter tidak hanya mengembangkan ilmu
terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan Pendidikan karakter sebagai
ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problamatikanya sendiri
sekalipun tidak hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun
eksperimental. Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan
secara korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau
pragmatis.
c.
Dasar Aksilogis Pendidikan Karakter
Kemanfaatan teori Pendidikan Karakter tidak
hanya perlu sebagai ilmu yang otonom, tetapi juga diperlukan untuk memberikan
dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses menjadikan manusia
sebagai manusia yang utuh dan pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena
itu nilai Pendidikan Karakter tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu
seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik. Dan ilmu digunakan
untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol
terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam
pendidikan. Dengan demikian Pendidikan karakter tidak bebas nilai, mengingat
hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan Pendidikan karakter dan
tugas pendidik sebagai pedagok. Dalam hal ini, sangat relevan sekali untuk
memperhatikan Pendidikan karakter sebagai bidang yang sarat nilai. Itulah
sebabnya Pendidikan karakter memerlukan teknologi pula, tetapi pendidikan
bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa Pendidikan karakter belum
jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu
perilaku.
2.
Aliran filsafat dalam pendidikan
Berbagai macam pandangan dalam filsafat sebagaimana tersebut di atas telah
mempengaruhi dan melahirkan berbagai aliran dalam filsafat pendidikan. Menurut
al-Syaibani filsafat pendidikan
adalah aktivitas pikiran yang teratur, yang menjadikan filsafat sebagai jalan
untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan.[15]
Zuhairini mengemukakan bahwa secara garis besar terdapat lima macam aliran
dalam filsafat pendidikan, yaitu: Progressivisme, Esensialisme, Perennialisme,
Rekonstruksionisme, dan Eksistensialisme.[16]
Lebih lanjut Muhaimin menyatakan bahwa aliran-aliran tersebut telah berkembang
di Amerika Serikat dan dapat dipetakan ke dalam dua kelompok, yaitu tradisional
dan kontemporer. Termasuk dalam kelpmpok tradisional adalah Perennialism
dan Essentialism. Adapun yang masuk ke dalam kelompok kontemporer adalah
Progressivism, Reconstructionism, dan Existentialism. [17]
a.
Esensialisme
Aliran esensialisme dalam hal pendidikan didasari oleh pandangan
humanisme, yang merupakan reaksi terhadap hidup yang terlalu mengarah kepada
keduniaan, serba ilmiah, dan materialistik.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang
jelas. Essensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai
yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini
hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji
oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai
yang ada dalam gudang di luar ke dalam jiwa peserta didik sehingga mereka perlu
dilatih agar mempunyai kemampuan absorsi atau penyerapan yang tinggi.
Tujuan
umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia dunia dan akhirat.
Isi pendidikannya mencakup pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu
menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum pendidikan bagi esensialisme merupakan
semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran,
dan kegunaan. Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangannya kurikulum esensialisme
menerapkan berbagai pola kurikulum seperti pola idealisme, realisme, dan
sebagainya (Zuhairini, 2012: 27). Sesuai dengan pandangan aliran esensialisme
ini, sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan
prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat.[18]
b.
Perennialisme
Perennialisme berasal dari kata perennial yang berarticontinuing throughout the whole year atau lasting for a very long time abadi
atau kekal.
Perennialisme merupakan kepercayaan
filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat abadi.[19]
Perennialisme berpandangan bahwa kehidupan modern telah menimbulkan banyak
krisis pada berbagai bidang kehidupan manusia. Dalam hal ini, aliran
perennialisme menawarkan solusi berupa “regressive road to cultural”yaitu kembali kepada kebudayaan masa lampau. Aliran ini beranggapan
bahwa pendidikan memiliki peranan yang penting dalam proses pengembalian keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan telah teruji ketangguhannya.[20]
Aliran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas.Plato
menguraikan ilmu pengetahuan dan nilai sebagai manifestasi dan hukum universal
yang abadi dan ideal.Menurut Plato manusia memiliki tiga potensi yaitu nafsu,
kemauan, dan akal. Program pendidikan yang ideal berorientasi kepada tiga
potensi itu agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat
terpenuhi. Ide Plato kemudian dikembangkan oleh Aristoteles yang berpendapat
bahwa tujuan pendidikan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai kebahagiaan maka
aspek fisik, intelek, dan emosi harus dikembangkan secara seimbang, bulat, dan
totalitas.Adapun
menurut Thomas Aquinas tujuan pendidikan adalah perwujudan kapasitas (potensi)
yang ada dalam diri individu agar menjadi aktif dan nyata. Oleh karena itu peran pendidik dalam hal ini mengajar dalam arti memberi bantuan kepada peserta didik untuk berpikir jelas dan mampu mengembangkan
potensi-potensi yang ada pada dirinya.[21]
Berbeda
dengan aliran esensialisme, aliran ini memandang pendidikan bukan sebagai imitasi kehidupan, namun merupakan
suatu upaya untuk mempersiapakan kehidupan. Sekolah tidak akan pernah menjadi
situasi yang riil. Peserta
didik hanya menyusun dan merancang di mana ia belajar dengan prestasi-prestasi
warisan budaya masa lalu. Tugas peserta
didik adalah belajar dan merealisasikan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh
leluhur dan bila memungkinkan untuk meningkatkan prestasi yang dimiliki melalui
usaha sendiri.Prinsip dasar pendidikan aliran ini adalah membantu peserta didik menemukan dan menginternalisasi kebenaran
abadi, karena kebenarannya mengandung sifat universal dan tetap. Aliran ini
meyakini bahwa pendidikan merupakan alat transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran
abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran dan kebenaran selamanya memiliki
kesamaan.Aliran ini menilai
bahwa belajar itu untuk berfikir.
Pendidikan merupakan alat untuk menyampaikan apa yang menjadi kebanggaan pada
masa lalu.Oleh karena itu organisasi pendidikan hanyalah sekedar perantara
dalam menurunkan nilai-nilai kebenaran yang bersifat sama dari satu generasi ke
generasi berikutnya.[22]
c.
Progresivisme
Aliran
progresivisme menghendaki tujuan pendidikan diartikan sebagai rekonstruksi
pengalaman yang terus menerus agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang intelligent
dan mampu mengadakan penyesuaian serta penyesuaian kembali dengan tuntutan dari
lingkungan.[23]
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan azas progresivisme
dalam semua realita kehidupan, agar manusia bisa survive dalam
menghadapi semua tantangan hidup. Alran progresivisme dinamakan pula sebagai instrumentalisme
karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat
untuk hidup, untuk kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian manusia.
Dinamakan eksperimentalisme karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan azas
eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Selanjutnya, aliran ini
dinamakan environmentalisme karena menganggap lingkungan hidup mempengaruhi
pembinaan kepribadian.[24]
Aliran
progresivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh
William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952) yang menitikberatkan pada
segi manfaat bagi hidup praktis. Dalam banyak hal, progresivisme identik dengan
pragmatisme. Oleh sebab itu, jika orang menyebut pragmatisme, berarti ia
menyebut progresivisme (Ali, 1990: 297). Aliran progresivisme memiliki
sifat-sifat negatif dan sifat-sifat positif. Sifat negatif progresivisme
yang dimaksud adalah menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala bentuk
seperti politik, etika, epistemologi, dan bahkan agama. Adapun yang dimaksud
dengan sifat positif adalah, bahwa progresivisme menaruh terhadap kekuatan
alamiah dari manusia. Progresivisme meyakini bahwa manusia memiliki
kesanggupan-kesanggupan mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup meresapi
rahasia-rahasia alam, sanggup menguasai alam, dan sanggup pula menguasai
lingkungan sosial.[25]
Tugas
pendidikan menurut aliran progresivisme adalah meneliti sejelas-jelasnya
kesanggupan-kesanggupan manusia serta menguji kesanggupan-kesanggupan itu dalam
pekerjaan praktis. Manusia hendaknya mempekerjakan ide-ide atau pikiran
pikirannya. Manusia hendaknya tidak hanya berpikir untuk kesenangan berpikir,
melainkan berpikir untuk berbuat sesuatu. Progresivisme menolak “pure
intellectualism.” Bagi
progresivisme, jiwa dan pikiran manusia harus dipergunakan untuk menghadapi
tugas-tugas hidup yang sangat besar. Progresivisme menolak pendapat yang
menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak berdaya, yang hanya dapat
menyerah kepada kekuatan alam dan lingkungannya. [26]
d.
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme
merupakan aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran Rekonstruksionisme pada
dasarnya sepaham dengan aliran perennialisme, yaitu berawal dari krisis
kehidupan modern. Kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang
merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan terganggu oleh kehancuran,
kebingungan, dan kesimpangsiuran. Perbedaan kedua aliran ini terletak pada visi
dan cara yang ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dengan
kehidupan. Perennialisme memilih cara kembali ke alam kebudayaan lama (regresive
road culture) yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu, aliran
rekonstruksionisme menempuh jalan dengan berupaya membina suatu konsensus yang
paling luas mengenai tujuan pokok serta tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Aliran ini meyakini bahwa pendidikan kebudayaan
merupakan tanggung jawab
social karena eksistensi pendidikan dalam keseluruhan
realitasnya diarahkan untuk pengembangan dan perubahan masyarakat.Aliran ini
percaya bahwa manusia memiliki potensi fleksibel dan kukuh, baik dalam sikap maupun tindakannya. Merupakan hal yang sangat berharga
dalam kehidupan manusia itu, jika ia memiliki kesempatan yang cukup untuk
mengembangkan potensi dirinya secara sempurna. Pendidikan adalah jawaban dari
keinginan potensial manusia itu.
Upaya untuk mencapai tujuan tersebut
ditempuh dengan berusaha mencari kesepakatan antar
sesama manusia agar dapat mengatur kehidupan dalamsuatu tatanan yang meliputi
seluruh lingkungannya. Proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan
rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang baru. Penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat
manusia. Oleh karena itu pembinaan daya intelektual dan spiritual yang sehat
melalui pendidikan yang benar dan yang tepat akan dapat membina kembali manusia
dengan nilai-nilai dan norma-norma yang benar demi kebaikan generasi sekarang
maupun generasi yang akan datang. Dengan demikian akan terbentuk dunia baru
dalam pengawasan umat manusia.[27]
e.
Eksistensialisme
Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia sebagai individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang
benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa
kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar.Atas dasar pandangannya itu , sikap
dikalangan eksistensialisme atau penganut aliran ini sering kali tampak aneh
atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam
sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang pendidikan disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam
Existentialism and
Education, bahwa “Eksistensialisme tidak
menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk” oleh sebab itu
eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana
yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang
diajukan oleh Morris sebagai “Existentialism’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan
kejelasan.Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi dikalangan
ahli pendidikan merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran
eksistensialisme.Di sini agaknya mengapa aliran eksistensialisme tidak
banyakdibicarakan dalam filsafat pendidikan.[28]
Aliran Eksistensialisme
menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari
pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing dan menemukan jati
dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung
jawab atas diri dan nasibnya sendiri. Eksistensialisme
berpendapat bahwa pelajar adalah individu yang dapat mengembangkan potensinya
masing-masing untuk menemukan jati dirinya.Sedangkan pengajar adalah pembimbing dan stimulator
berfikir reflektif melalui panggilan pertanyaan-pertanyaan, bukan memberi
intruksi, memiliki kejuruan ilmiah, integritas, dan kreatifitas.Pengajar tidak mencampuri
perkembangan minat dan bakat peserta didik. [29]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Filosofis berarti memandang, berfikir dan
menguraikan sesuatu secara komperhensif, dalam koridor mencari kebenaran
menurut berbagai sudut pandang, baik secara rasinalis mupun intuitif. Dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiyah yang bertujuan untuk mencari kebenaran dan
kemaslahatan.
2.
Pendidikan karakter berarti sebuah usaha sadar
yang sitematis dan terprogram untuk melatih dan mengambangkan potensi siswa
secara utuh dan total, menanamkan dan membiasakan kebiasaan-kebiasaan terpuji
terhadap anak didik, hingga dapat menjalankan secara continue dan secara
spontan/ tanpa difikirkan.
3.
Sudah menjadi
sifat dasar manusia bahwa ia akan selalu mencintai kebaikan dan keindahan.
Mencari kebenaran, dan cenderung untuk memilih hal-hal yang indah dan baik.
Atas dasar inilah pendidikan karakter wajib diterapkan didalam proses
pendidikan mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Beberapa teori dalam
filsafat pendidikan yang dapat dijadikan pijakan dalam implementasi pendidikan
karakter yaitu: kontemporer. Termasuk
dalam kelpmpok tradisional adalah Perennialism dan Essentialism, Progressivism, Reconstructionism, dan Existentialism.
[1] http://jogja.tribunnews.com/2016/05/07/breakingnews-tawuran-antar-sma-seorang-pelajar-kena-bacok,
diakses tanggal 17 September 2016, pukul 21.25
[2]
http://daerah.sindonews.com/read/1101688/174/tiga-pejabat-pemkab-raja-ampat-jadi-tersangka-kasus-korupsi-1460830230, diakses tanggal 17 September 2016, pukul
21.33
[3] M. Amin
Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmedernisme, Yoyyakarta, Pustaka Pelajar,
Cet. II 1997, hlm 144
[4]
http://kbbi.web.id/filosofi, diakses 18 September 2016, pukul 21.45.
[5] Muhammad As-Said, Filsafat
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2011), hlm. 1.
[6] Sumarna, Cecep. (2006). Filsafat Ilmu
Dari Hakekat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Hlm 38
[7] Jalaluddin & Umar Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 9.
[10] Nurla Isna Aunillah. Panduan
Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah.(Yogyakarta: Penerbit Laksana.
2011) hlm.18
[12] Al-Ghozali, Mengobati
penyakit Hati tarjamah Ihya``Ulum Ad-Din, dalam Tahdzib al-Akhlaq wa
Mu`alajat Amradh Al-Qulub, (Bandung: Karisma, 2000), hlm 31.
[13] Juhaya S.
Praja, 2005,”Aliran-aliran Filsafat dan Etika”, Jakarta, Prenada Media,
hlm: 58-59
[14] Na-Ayudhya, Art-Ong Jumsai.
2008. Model Pembelajaran Nilai Kemanusian Terpadu (Human Values
Integrated Intructional Model). Yayasan Pendidikan Sathya Sai Indonesia.
Jakarta.8-9
[15]al-Syaibany,Omar Mohammad al-Toumy, 1984,Falsafah Pendidikan Islam, Terj.Hassan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang.hlm.36.
[17]Muhaimin, Pengembangan
Kurkulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.2012, hlm 79
[23]Muhaimin, Pengembangan Kurkulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.2012,
hlm 80
[24]Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.2013, hlm 228-229.
[29]Muhaimin, Pengembangan Kurkulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.2012,
hlm 82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar