Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 09 November 2016

MAKALAH LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PENDIDIKAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Berbagai persoalan timbul silih berganti dalam kehidupan masyarakat, seakan tidak ditemukan ujung pangkalnya. Jika dulu tawuran pelajar, kejahatan dengan senjata api ilegal, sampai pada perdagangan manusia, hanya dapat kita lihat dilayar televisi saja, namun saat ini seakan semua hadir disekitar kita. Kriminalitas dan tingkat kejahatan yang terjadi disekitar kita benar-benar nyata dan hampir tidak terelakan lagi.
Sebagaimana berita yang dirilis oleh Tribun Jogjakarta, bahwa pada hari Sabtu siang 7 Mei 2016, di depan Balai Desa Wijirejo, Pandak, kabupaten  Bantul, terjadi tawuran pelajar. Naasnya Johan Setianatansa (17) yang saat itu tidak tau apa-apa, dia hanya melihat tawuran itu, tiba-tiba ada salah seorang pelaku tawuran mendekatinya dan membacok lenganya dengan pedang. Hingga Johan Setianatansa jatuh tersungkur bersimpah darah, kemudian dilarikan ke rumah sakit dan langsung mendpatkan perawatan medis.[1] Inilah potret buram dari dekadensi moral generasi bangsa. Karakter mulya yang seharusnya tercermin dalam kehidupan masyarakat, seperti kasih saying, tenggang rasa, empati, saling tolong menolong, rendah hati, kesetia kawanan dan sabar, tidak tampak sama sekali dalam tingkah laku para pelajar yang terlibat tawuran dalam berita tersebut.
Kemerosotan karakter bangsa tidak hanya terjadi pada kalangan pelajar. Dalam kalangan orang dewasa, bahkan oknum-oknum pejabat mulai pusat hingga daerah juga tidak sedikit yang terjebak dalam kebiasaan dan perilaku negative, yang lebih tepatnya jika dikatakan sebagai perilaku yang jauk dari nilai-nilai karakter luhur bangsa. Seperti kasus korupsi yang diberitakan Sindonws, tentang penyimpangan aliran dana yang dilakukan oleh oknum pejabat di kabupaten Sorong Papua Barat. Berikut ulasan beritanya “Kejaksaan Negeri Sorong menetapkan tiga pejabat di Badan Pengelolaan Perbatasan Daerah Raja Ampat sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Pembangunan Jembatan fiktif Rutum - Reni Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat senilai Rp4,4 miliar. Ketiga PNS dari Badan Pengelola Perbatasan Daerah Kabupaten Raja Ampat dan satu kontraktor yang ditetapkan menjadi tersangka, masing-masing YLW (Kuasa Pengguna Anggaran), OB (pejabat pembuat komitmen), JPR (Tim Perencana Pembangunan Kelurahan), serta JR (Kontraktor). "Kami telah menetapkan tiga PNS itu sebgagai tersangka dalam kasus proyek fiktif pembangunan jembatan penghubung Pulau Rutum - Reni, Raja Ampat, tahun anggaran 2014," ujar Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Sorong, Benoni Kombado, kepada MNC Media, di Sorong, Sabtu16/4/2016).  Dalam kasus ini, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 UU Nomor 20/2011 revisi UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.[2]
Perilaku para pejabat negara dalam berita di atas cukup menjadi bukti mulai lunturnya karakter luhur bangsa kita. Pejabat negara yang seharusnyalah mereka mampu berperan sebagai public figure sekaligus uswatun hasanah, justru sebaliknya, mereka sebagian malah memberikan contoh buruk kepada para generasi penerusnya.
Korupsi, kolusi, nepotisme serta perilaku buruk lainya yang mereka lakukan juga menjadi indicator rendahnya self control yang ada pada diri para pejabat, sehingga sadar atau tidak sadar para pejabat negara banyak yang terjerat tindakan criminal yang sekaligus merupakan cerminan karakter buruk. KKN yang dijalankan para pejabat negara ini selain didorong adanya kesempatan, bukan tidak mungkin juga disebabkan motivasi-motivasi lainya, seperti halnya semakin merebaknya gaya hidup hedonis, bermewah-mewahan dan materialtik. Sehingga bangsa kita yang dulu dikenal sebagai bangsa yang hidup sederhana, menerima apa adanya dan tidak begitu mengenal bermewah-mewahan, mendadak berubah menjadi masyarakat yang materialis, hedonis dan banyak yang mengejar kemewahan.
Perubahan karakter yang mengarah pada dekadensi moral ini, jika diruntut ujung pangkal persoalanya, maka akan merujuk pada sebuah perubahan besar yang mendunia, yaitu sebuah proses globalisasi  segala lini kehidupan, termasuk globalisasi teknologi informasi. Arus globalisasi teknologi informasi seakan tidak terbendung lagi. Semua negara di dunia – termasuk Indonesia – mau tidak mau, suka tidak suka harus mau mengikuti trand ini, jika tidak mau menjadi negara yang tertinggal dengan negara dunia.
Namun membuka kran globalisasi teknologi informasi yang terelakan lagi itu bukan tanpa resiko, yang pasti realitas berbicara dan membuktikan bahwa globalisasi membawa dampak negatife. Dampak yang sangat cepat dirasakan adalah perubahan life style, paradigma, budaya, adat dan kebiasaan yang sudah turun temurun, bahkan norma dimasyarakat serta karakter bangsa juga mengalami perubahan yang sangat drastis.[3]
Teknologi informasi telah menyuguhkan beragam life style, budaya dan norma hidup dari luar Indonesia, ke tengah-tengah kehidupan dan pergaulan masyarakat Indonesia. Memang ada beberapa yang sesaui dengan karakter dan adat kebiasaan masyarakat Indonesia, namun juga tidak sedikit yang berbeda, bahkan bertentangan sama sekali. Yang menjadi kekhawatiran bersama adalah jika life style dan budaya dari luar Indonesia yang bertentangan dengan budya Indonesia, kemudian justru dapat masuk dan diikuti oleh generasi penerus bangsa, tanpa adanya proses pemfilteran terlebih dahulu.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian filofis?
2.      Apakah pengertian pendidikan karakter?
3.      Bagaimanakah konsep filosofi pendidikan karakter dan aliran filsafat dalam pendidikan?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk memahami pengertian filofis.
2.      Untuk memahami pengertian pendidikan karakter.
3.      Untuk memahami konsep konsep filosofi pendidikan karakter dan aliran filsafat dalam pendidikan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian filosofis
Filosofis adalah istilah yang berasal dari kata dasar filsafat. Dengan merubah filsafat menjadi filosofis, selanjutnya terjadi penambahan makna  yang berarti berdasarkan filsafat. [4] filsafat berasal dari dua patah kata bahasa Yunani, yaitu “philos” dan “sophia”. Secara etimologis. Philos berarti cinta (loving dalam bahasa Inggris), sedang sophia berarti kebijaksanaan (wisdom dalam bahasa Inggris), atau kepahaman yang mendalam. Pengertian filsafat menurut bahasa aslinya adalah “cinta terhadap kebijaksanaan”.[5]
Nasution dalam Sumarna menyebutkan bahwa Filsafat terdiri dari dua struktur kata yakni philos dan shopia, atau philos dan shopos atau philosopien. Filsafat berasal dari dua bahasa, yaitu bahasa Yunani (philein) dalam arti cinta dan (shopos) dalam arti wisdom/ bijaksana. Orang Arab memindahkan kata philosopia ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikan tabe’at kata-kata bahasa Arab, yaitu filsafat dengan pola (wazan) fa’ala, fa’lalah, dan fi’al. Berdasarkan wazan tersebut maka penyebutan kata filsafat dalam bentuk kata benda seharusnya disebut falsafah atau filsaf. Kata filsafat yang banyak dipakai oleh masyarakat indonesia, sebenarnya bukan murni berasal dari bahasa Arab seperti tidak murninya filsafat terambil dari bahasa Barat, philophy[6].
Ada pula yang menganggap bahwa filsafat terambil dari dua bahasa yaitu fil dari bahasa Inggris dan safah dari bahasa Arab. Sehingga filsafat merupakan gabungan dari bahasa Inggris dan Arab. Filsafat artinya:
a) Pengetahuan tentang hikmah
b) Pengetahuan tentang prinsip atau dasar
c) Mencari kebenaran
d) Membahas dasar dari apa yang didengar
Dalam kajian filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari 3 tema sentral filsafat, yaitu teori hakekat (ontologi), teori pengetahuan (epistemologi), dan teori nilai (aksiologi).
Harold Titus mengemukakan pengertian filsafat yang lebih luas dengan mengemukakan konsep dengan lima pengertian filsafat. Banyaknya konsep definisi filsafat yang di kemukakan Titus mungkin menunjukkan betapa sulitnya untuk merangkum pengertian filsafat itu dalam sebuah definisi yang lengkap. Ia mengemukakan pengertian filsafat sebagai berikut:
1.        Falsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara kritis.
2.        Falsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.
3.        Falsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
4.        Falsafat adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
5.        Falsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli falsafat.[7]
Dari beberapa pandangan tentang filsafat, dapat penulis simpulkan bahwa, filosofis berarti memandang, berfikir dan menguraikan sesuatu secara komperhensif, dalam koridor mencari kebenaran menurut berbagai sudut pandang, baik secara rasinalis mupun intuitif. Dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah yang bertujuan untuk mencari kebenaran dan kemaslahatan.
B.      Definisi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan karakter. sub bab ini kita awali dengan pembahasan arti pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara,pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak.[8] Definisi ini yang menjadi konsep dasar bahwa proses pendidikan adalah merupakan proses yang mengembangkan potensi siswa secara total dan seimbang. Proses pendidikan  tidak hanya mengembangkan aspek intelektualitas atau pengetahuan  saja, melinkan juga harus mengembangkan aspek moralitas (attitude) dan ketrampilan (skill).
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[9]
Berikutnya adalah arti dari karakter. Karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Maka pendidikan karakter dapat diartikan sebagai sebuah system yang menamkan nilai kepada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melakasanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, maupun sesama manusia.[10] Menurut Tazkiroatun Musfiroh, karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills).
Dalam KBBI, karakter diartikan sebagai tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlaq atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan lainya, dan dapat pula diartikan watak.[11] Sesuai dengan arti pada kamus besar bahasa Indonesia, karakter dalam konsep pendidikan Islam diistilahkan dengan akhlaq.
Dengan merujuk pada konsep pendidikan Islam, maka Imam al-Ghazali mendefinisikan ahklak dalam kitabnya Ihya 'Ulumuddin sebagai suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau atau direncanakan sebelumnya.[12] Apabila tabiat tersebut menimbulkan perbuatan yang bagus menurut  akal dan syara` maka perilaku tersebut tersebut dinamakan ahklak baik. Dan apabila perilaku tersebut menimbulkan perbuatan yang jelek maka disebut ahklak yang jelek.
Dengan demikian maka pendidikan dan karakter sebenarnya dua buah istilah yang memiliki titik temu. Dalam pendidikan sendiri sebenarnya sudah mengandung makna dari karakter itu sendiri. Namun dari uraian di atas dapat diambil benang merah bahwa penggabungan dua kata, pendidikan karakter berarti sebuah usaha sadar yang sitematis dan terprogram untuk melatih dan mengambangkan potensi siswa secara utuh dan total, menanamkan dan membiasakan kebiasaan-kebiasaan terpuji terhadap anak didik, hingga dapat menjalankan secara continue dan secara spontan/ tanpa difikirkan.
C.    Filosofi pendidikan karakter dan aliran filsafat dalam pendidikan
Filsafat sebagai hasil pemikiran para filosof yang obyeknya adalah permasalahan hidup di dunia, dalam proses perkembangannya telah melahirkan berbagai macam pandangan. Berbagai macam pendangan dalam filsafat tersebut ada kalanya saling mendukung serta saling menguatkan dan ada kalanya juga saling bertentangan serta berlawanan antara yang satu dengan lainnya walaupun obyek yang dikaji adalah sama. Perbedaan pandangan terjadi selain karena penggunaan sistem pendekatan yang berbeda juga disebabkan oleh faktor zaman, pendangan hidup, dan lingkungan yang melatarbelakangi para filosof berbeda-beda pula. Demikian pula halnya dengan filsafat pendidikan sebagai nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan filsafat yang menjiwai, mendasari, dan memberikan identitas serta karakteristik sistem pendidikan.
1.            Filosofi pendidikan karakter
Dalam filsafat ada tiga kerangka besar teori: teori pengalaman, teori hakikat dan teori nilai. Pada teori nilai ada dua cabang filsafat yaitu filsafat etika dan filsafat estetika. Filsafat etika biasanya membicarakan persoalan dalam kerangka baik-buruk, sedangkan estetika membicarakan keindahan atau ketidak indahan.  Pada dasarnya etika dan estetika memiliki titik kesamaan yaitu keduanya adalah masuk ke dalam teori nilai.[13] Maka pendidikan etika yang dapat juga diistilahkan dengan pendidikan karakter, berarti proses pendidikan yang menjadikan manusia dapat membedakan baik dan buruk.
Lebih detail lagi secara filosofis pendidikan adalah sebuah tindakan yang mendasar/ fundamental yang memiliki tujuan memanusiakan manusia. Pendidikan harus menyentuh akar-akar mendasar dari kehidupan manusia. Jadi pendidikan adalah sebuah upaya dasar yang mengubah dan membentuk masa depan manusia. Pendidikan bukan bertujuan untuk sekolahan, terlebih hanya untuk memenuhi ambisi dari rezim pemerintahan. Jadi pendidikan adalah murni bertujuan membelajarkan manusia untuk menjadi hakikat dirinya dalam menjalankan kehidupan di alam dunia.
Dalam pendidikan untuk kehidupan, hal utama yang dilakukan adalah menenamkan karakter dan nilai-nilai kehidupan. Pendidikan karakter bukan saja perlu karena dapat mengembalikan filosofi dasar pendidikan yang selama ini tercerabut dari misi dasar pendidikan, namun pendidikan karakter wajib dilaksanakan karena diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai luhur seperti: nilai kebersamaan, kejujuran, kesetiakawanan, kesopanan, kesusilaan, dan lain-lain.
Nilai adalah sifat yang berharga dari suatu hal, benda, atau pribadi yang memenuhi kebutuhan elementer manusia yang memang serba butuh atau menyempurnakan manusia yang memang tak kunjung selesai dalam pengembangan dirinya secara utuh, menyeluruh, dan tuntas. Selaras dengan pemikiran-ini, Hans Jonas mengatakan bahwa nilai adalah the addresse of a yes, nilai adalah sesuatu yang selalu kita setujui. Jadi, pendidikan nilai adalah manifestasi dari non scholae sed vitae discimus.
Nilai merupakan kebenaran atau realitas sejati yang akan terus dicari oleh setiap individu. Sejak manusia lahir ia mulai melakukan pencarian. Ia ingin berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Ia sentuh benda-benda, memasukan benda ke dalam mulut, melemparkan dan mengamati hasilnya. Ketika ia mulai dapat berbicara, banyak hal yang ia tanyakan: apa ini? Apa itu? Ia terus berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya.
Apa sesungguhnya yang disebut dengan kebenaran sejati itu? Kebenaran sejati adalah sesuatu yang tak berubah dan tidak tergantung pada ruang dan waktu serta bersifat universal. Jika sesuatu benar di sini maka iapun harus benar di mana saja. Jika sesuatu benar hari ini maka ia juga harus benar besok. Jika ia benar besok maka iapun harus benar lusa. Jika ia benar 100 tahun yang lalu maka iapun harus benar 1000 tahun kemudian dan seterusnya.[14]
Berpijak pada pola kandungan filsafat, maka Pendidikan karakter juga mengandung tiga unsur utama yaitu ontologis Pendidikan karakter, epistemologis Pendidikan Karakter dan aksiologis Pendidikan Karakter.
a.             Dasar Ontologis Pendidikan Karakter
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari Pendidikan karakter. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan Pendidikan krakter melalui pengalaman panca indera adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil Pendidikan karakter adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya. Objek formal Pendidikan karakter dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situasi sosial, manusia sering kali berperilaku tidak utuh, hanya menjadi mahluk berperilaku individual dan/atau mahluk sosial yang berperilaku kolektif.
Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik tidak bersikaf afektif utuh demikian maka menurut Gordon akan menjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
b.         Dasar Epistemologis Pendidikan karakter
Dasar epistemologis diperlukan oleh Pendidikan karakter atau pakar Pendidikan karakter demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Pendidikan karakter memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif fenomenologis. Karena penelitian tidak hanya tertuju pada pemahaman dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan fenomena pendidikan.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah Pendidikan karakter tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan Pendidikan karakter sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problamatikanya sendiri sekalipun tidak hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental. Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis.
c.             Dasar Aksilogis Pendidikan Karakter
Kemanfaatan teori Pendidikan Karakter tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom, tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses menjadikan manusia sebagai manusia yang utuh dan pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai Pendidikan Karakter tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik. Dan ilmu digunakan untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian Pendidikan karakter tidak bebas nilai, mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan Pendidikan karakter dan tugas pendidik sebagai pedagok. Dalam hal ini, sangat relevan sekali untuk memperhatikan Pendidikan karakter sebagai bidang yang sarat nilai. Itulah sebabnya Pendidikan karakter memerlukan teknologi pula, tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa Pendidikan karakter belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku.
2.         Aliran filsafat dalam pendidikan
Berbagai macam pandangan dalam filsafat sebagaimana tersebut di atas telah mempengaruhi dan melahirkan berbagai aliran dalam filsafat pendidikan. Menurut al-Syaibani filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur, yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan.[15] Zuhairini mengemukakan bahwa secara garis besar terdapat lima macam aliran dalam filsafat pendidikan, yaitu: Progressivisme, Esensialisme, Perennialisme, Rekonstruksionisme, dan Eksistensialisme.[16] Lebih lanjut Muhaimin menyatakan bahwa aliran-aliran tersebut telah berkembang di Amerika Serikat dan dapat dipetakan ke dalam dua kelompok, yaitu tradisional dan kontemporer. Termasuk dalam kelpmpok tradisional adalah Perennialism dan Essentialism. Adapun yang masuk ke dalam kelompok kontemporer adalah Progressivism, Reconstructionism, dan Existentialism. [17]
a.      Esensialisme
Aliran esensialisme dalam hal pendidikan  didasari oleh pandangan humanisme, yang merupakan reaksi terhadap hidup yang terlalu mengarah kepada keduniaan, serba ilmiah, dan materialistik. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas. Essensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada dalam gudang di luar ke dalam jiwa peserta didik sehingga mereka perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorsi atau penyerapan yang tinggi.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum pendidikan bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran, dan kegunaan. Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangannya kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum seperti pola idealisme, realisme, dan sebagainya (Zuhairini, 2012: 27). Sesuai dengan pandangan aliran esensialisme ini, sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat.[18]
b.      Perennialisme
Perennialisme berasal dari kata perennial yang berarticontinuing throughout the whole year atau lasting for  a very long time abadi atau kekal. Perennialisme merupakan kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat abadi.[19] Perennialisme berpandangan bahwa kehidupan modern telah menimbulkan banyak krisis pada berbagai bidang kehidupan manusia. Dalam hal ini, aliran perennialisme menawarkan solusi berupa “regressive road to cultural”yaitu kembali kepada kebudayaan masa lampau. Aliran ini beranggapan bahwa pendidikan memiliki peranan yang penting dalam proses pengembalian keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan telah teruji ketangguhannya.[20]
Aliran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas.Plato menguraikan ilmu pengetahuan dan nilai sebagai manifestasi dan hukum universal yang abadi dan ideal.Menurut Plato manusia memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan akal. Program pendidikan yang ideal  berorientasi kepada tiga potensi itu agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan  masyarakat dapat terpenuhi. Ide Plato kemudian dikembangkan oleh Aristoteles  yang berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai kebahagiaan maka aspek fisik, intelek, dan emosi harus dikembangkan secara seimbang, bulat, dan totalitas.Adapun menurut Thomas Aquinas tujuan pendidikan adalah perwujudan kapasitas (potensi) yang ada dalam diri individu  agar menjadi aktif dan nyata. Oleh karena itu peran pendidik dalam hal ini mengajar dalam arti memberi bantuan kepada peserta didik untuk berpikir jelas dan mampu mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.[21]
Berbeda dengan aliran esensialisme, aliran ini memandang pendidikan bukan sebagai imitasi kehidupan, namun merupakan suatu upaya untuk mempersiapakan kehidupan. Sekolah tidak akan pernah menjadi situasi yang riil. Peserta didik hanya menyusun dan merancang di mana ia belajar dengan prestasi-prestasi warisan budaya masa lalu. Tugas peserta didik adalah belajar dan merealisasikan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur dan bila memungkinkan untuk meningkatkan prestasi yang dimiliki melalui usaha sendiri.Prinsip dasar pendidikan aliran ini adalah membantu peserta didik menemukan dan menginternalisasi kebenaran abadi, karena kebenarannya mengandung sifat universal dan tetap. Aliran ini meyakini bahwa pendidikan merupakan alat transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran dan kebenaran selamanya memiliki kesamaan.Aliran ini menilai bahwa belajar itu untuk berfikir. Pendidikan merupakan alat untuk menyampaikan apa yang menjadi kebanggaan pada masa lalu.Oleh karena itu organisasi pendidikan hanyalah sekedar perantara dalam menurunkan nilai-nilai kebenaran yang bersifat sama dari satu generasi ke generasi berikutnya.[22]
c.       Progresivisme
Aliran progresivisme menghendaki tujuan pendidikan diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian serta penyesuaian kembali dengan tuntutan dari lingkungan.[23] Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan azas progresivisme dalam semua realita kehidupan, agar manusia bisa survive dalam menghadapi semua tantangan hidup. Alran progresivisme dinamakan pula sebagai instrumentalisme karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan azas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Selanjutnya, aliran ini dinamakan environmentalisme karena menganggap lingkungan hidup mempengaruhi pembinaan kepribadian.[24]
Aliran progresivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952) yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis. Dalam banyak hal, progresivisme identik dengan pragmatisme. Oleh sebab itu, jika orang menyebut pragmatisme, berarti ia menyebut progresivisme (Ali, 1990: 297). Aliran progresivisme memiliki sifat-sifat negatif dan sifat-sifat positif. Sifat negatif progresivisme yang dimaksud adalah menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala bentuk seperti politik, etika, epistemologi, dan bahkan agama. Adapun yang dimaksud dengan sifat positif adalah, bahwa progresivisme menaruh terhadap kekuatan alamiah dari manusia. Progresivisme meyakini bahwa manusia memiliki kesanggupan-kesanggupan mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup meresapi rahasia-rahasia alam, sanggup menguasai alam, dan sanggup pula menguasai lingkungan sosial.[25]
Tugas pendidikan menurut aliran progresivisme adalah meneliti sejelas-jelasnya kesanggupan-kesanggupan manusia serta menguji kesanggupan-kesanggupan itu dalam pekerjaan praktis. Manusia hendaknya mempekerjakan ide-ide atau pikiran pikirannya. Manusia hendaknya tidak hanya berpikir untuk kesenangan berpikir, melainkan berpikir untuk berbuat sesuatu. Progresivisme menolak “pure intellectualism.”  Bagi progresivisme, jiwa dan pikiran manusia harus dipergunakan untuk menghadapi tugas-tugas hidup yang sangat besar. Progresivisme menolak pendapat yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak berdaya, yang hanya dapat menyerah kepada kekuatan alam dan lingkungannya. [26]

d.      Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran Rekonstruksionisme pada dasarnya sepaham dengan aliran perennialisme, yaitu berawal dari krisis kehidupan modern. Kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran. Perbedaan kedua aliran ini terletak pada visi dan cara yang ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dengan kehidupan. Perennialisme memilih cara kembali ke alam kebudayaan lama (regresive road culture) yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu, aliran rekonstruksionisme menempuh jalan dengan berupaya membina suatu konsensus yang paling luas mengenai tujuan pokok serta tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Aliran ini meyakini bahwa pendidikan kebudayaan merupakan tanggung jawab social karena eksistensi pendidikan dalam keseluruhan realitasnya diarahkan untuk pengembangan dan perubahan masyarakat.Aliran ini percaya bahwa manusia memiliki potensi fleksibel dan kukuh, baik dalam sikap maupun tindakannya. Merupakan hal yang sangat berharga dalam kehidupan manusia itu, jika ia memiliki kesempatan yang cukup untuk mengembangkan potensi dirinya secara sempurna. Pendidikan adalah jawaban dari keinginan potensial manusia itu. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut ditempuh dengan berusaha mencari kesepakatan antar sesama manusia agar dapat mengatur kehidupan dalamsuatu tatanan yang meliputi seluruh lingkungannya. Proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru. Penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Oleh karena itu pembinaan daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang benar dan yang tepat akan dapat membina kembali manusia dengan nilai-nilai dan norma-norma yang benar demi kebaikan generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Dengan demikian akan terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.[27]
e.       Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia sebagai individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.Atas dasar pandangannya itu , sikap dikalangan eksistensialisme atau penganut aliran ini sering kali tampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang pendidikan disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and Education,  bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk” oleh sebab itu eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai “Existentialism’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan.Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi dikalangan ahli pendidikan merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran eksistensialisme.Di sini agaknya mengapa aliran eksistensialisme tidak banyakdibicarakan dalam filsafat pendidikan.[28]
Aliran Eksistensialisme menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing dan menemukan jati dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri dan nasibnya sendiri. Eksistensialisme berpendapat bahwa pelajar adalah individu yang dapat mengembangkan potensinya masing-masing untuk menemukan jati dirinya.Sedangkan pengajar adalah pembimbing dan stimulator berfikir reflektif melalui panggilan pertanyaan-pertanyaan, bukan memberi intruksi, memiliki kejuruan ilmiah, integritas, dan kreatifitas.Pengajar tidak mencampuri perkembangan minat dan bakat peserta didik. [29]

  
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

1.                Filosofis berarti memandang, berfikir dan menguraikan sesuatu secara komperhensif, dalam koridor mencari kebenaran menurut berbagai sudut pandang, baik secara rasinalis mupun intuitif. Dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah yang bertujuan untuk mencari kebenaran dan kemaslahatan.
2.                Pendidikan karakter berarti sebuah usaha sadar yang sitematis dan terprogram untuk melatih dan mengambangkan potensi siswa secara utuh dan total, menanamkan dan membiasakan kebiasaan-kebiasaan terpuji terhadap anak didik, hingga dapat menjalankan secara continue dan secara spontan/ tanpa difikirkan.
3.                Sudah menjadi sifat dasar manusia bahwa ia akan selalu mencintai kebaikan dan keindahan. Mencari kebenaran, dan cenderung untuk memilih hal-hal yang indah dan baik. Atas dasar inilah pendidikan karakter wajib diterapkan didalam proses pendidikan mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Beberapa teori dalam filsafat pendidikan yang dapat dijadikan pijakan dalam implementasi pendidikan karakter yaitu: kontemporer. Termasuk dalam kelpmpok tradisional adalah Perennialism dan Essentialism, Progressivism, Reconstructionism, dan Existentialism.



[1] http://jogja.tribunnews.com/2016/05/07/breakingnews-tawuran-antar-sma-seorang-pelajar-kena-bacok, diakses tanggal 17 September 2016, pukul 21.25
[2] http://daerah.sindonews.com/read/1101688/174/tiga-pejabat-pemkab-raja-ampat-jadi-tersangka-kasus-korupsi-1460830230,  diakses tanggal 17 September 2016, pukul 21.33
[3] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmedernisme, Yoyyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. II 1997, hlm 144
[4] http://kbbi.web.id/filosofi, diakses 18 September 2016, pukul 21.45.
[5] Muhammad As-Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2011), hlm. 1.
[6] Sumarna, Cecep. (2006). Filsafat Ilmu Dari Hakekat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Hlm 38
[7] Jalaluddin & Umar Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 9.
[8] Fuad Ihsan. Dasar-dasar Kependidikan: komponen MKDK. ( Jakarta: Rineka Cipta. 2005)hlm.5
[9] Undang-undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1 Ayat 1.
[10] Nurla Isna Aunillah. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah.(Yogyakarta: Penerbit Laksana. 2011) hlm.18
[11] http://kbbi.web.id/karakter, diakses tanggal 18 September 2016, pukul 21.00
[12] Al-Ghozali, Mengobati penyakit Hati tarjamah Ihya``Ulum Ad-Din, dalam Tahdzib al-Akhlaq wa Mu`alajat Amradh Al-Qulub, (Bandung: Karisma, 2000), hlm 31.
[13] Juhaya S. Praja, 2005,”Aliran-aliran Filsafat dan Etika”, Jakarta, Prenada Media, hlm: 58-59
[14] Na-Ayudhya, Art-Ong Jumsai. 2008. Model Pembelajaran Nilai Kemanusian Terpadu (Human Values Integrated Intructional Model). Yayasan Pendidikan Sathya Sai Indonesia. Jakarta.8-9
[15]al-Syaibany,Omar Mohammad al-Toumy, 1984,Falsafah Pendidikan Islam, Terj.Hassan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang.hlm.36.
[16]Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.2012,hlm.20
[17]Muhaimin, Pengembangan Kurkulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.2012, hlm 79
[18]Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.2012,hlm.27
[19]Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.2012,hlm.27
[20]Syam, Muhammad Noor, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang: IKIP Malang.1987, hlm158
[21]Djumransjah, M.,Filsafat Pendidikan, Malang: Bayumedia Publishing.2006, hlm 187-188
[22]Muhmidayeli,Filsafat Pendidikan, Bandung: PT. Refika Aditama.2011,hlm. 163-164
[23]Muhaimin, Pengembangan Kurkulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.2012, hlm 80
[24]Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.2013, hlm 228-229.
[25]Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.2012,hlm.21
[26]Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.2012,hlm.22
[27]Muhmidayeli,Filsafat Pendidikan, Bandung: PT. Refika Aditama.2011, hlm 117
[28]Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.2012,hlm.31
[29]Muhaimin, Pengembangan Kurkulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.2012, hlm 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar