BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Secara etimologi, filasafat berarti cinta kebijaksanaan
atau kebenaran [1]. Filsafat dapat diartikan sebagai suatu ikhtiar untuk berfikir radikal
sampai ke akar-akarnya dalam rangka menemukan kebenaran atau kesimpulan yang
bersifat universal. Segala bentuk kebenaran yang diketahi dan dinyatakan harus
diberlakukan dalam kehidupan dan kebenaran yang
terstruktur akan menjadikannya sebagai sebuah ilmu. Ilmu yang bersumber dari
kebenaran yang diproses dengan benar dan digunakan dengan benar merupakan
tujuan yang benar (Hatta, 1986: 3). Manusia diciptakan bukan untuk dirinya
sendiri dan ilmupun dicptakan juga bukan untuk ilmu itu sendiri. Manusia, ilmu,
dan amal harus terintegrasi dengan moral dan hikmah sehingga manusia dapat
mewarnai dunia dengan ilmu dan hikmah.
Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan permasalahan
hidup manusia dan pendidikan merupakan salah satu aspek dari kehidupan manusia.
Pendidikan memerlukan filsafat karena dalam pendidikan terdapat berbagai
permasalahan yang kompleks dan luas, seluas lapangan kehidupan manusia.
Sehubungan dengan hal tersebut maka lahirlah filsafat pendidikan sebagai salah
satu cabang filsafat di samping cabang-cabang filsafat yang lain. Selanjutnya
dari filsafat pendidikan terlahir ilmu pendidikan yang menjadi acuan bagi
penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan merupakan usaha untuk mewujudkan atau
merealisasikan ide-ide yang ideal dari filsafat pendidikan dalam kenyataan,
tindakan, dan tingkah laku.
Berdasar pada perihal sebagimana tersebut di atas,
filsafat pendidikan Islam seharusnya tidak hanya memberi tawaran dalam menyumbang
ilmu-ilmu pendidikan tetapi juga dapat memberikan solusi dalam memecahkan
berbagai macam permasalahan pendidikan. Makalah ini akan
mengemukakan pembahasan terkait dengan filsafat pendidikan dengan memfokuskan
permasalahan pada identifikasi aliran-aliran atau tipologi filsafat pendidikan
Islam, fungsi filsafat pendidikan Islam dalam pengembangan kurikulum, dan
implikasi tipologi filsafat pendidikan Islam terhadap pengembangan kurikulum
pendidikan agama Islam.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan
beberapa rumusan masalah
1.
Apakah aliran dalam filsafat pendidikan islam?
2.
Bagaimanakah kontribusi Filsafat pendidikan
Islam?
3.
Bagaimanakah Implikasi Filsafat Pendidikan
Islam terhadap kurikulum dan pembelajaran?
C. Tujuan Pembahasan
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis memiliki tujuan diantaranya:
1.
Mengetahui aliran dalam filsafat pendidikan
islam.
2.
Mengetahui kontribusi Filsafat pendidikan Islam.
3.
Mengetahui Implikasi Filsafat Pendidikan Islam
terhadap kurikulum dan pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Filsafat sebagai hasil pemikiran para filosof yang obyeknya adalah
permasalahan hidup di dunia, dalam proses perkembangannya telah melahirkan
berbagai macam pandangan. Berbagai macam pendangan dalam filsafat tersebut ada
kalanya saling mendukung serta saling menguatkan dan ada kalanya juga saling
bertentangan serta berlawanan antara yang satu dengan lainnya walaupun obyek
yang dikaji adalah sama. Perbedaan pandangan terjadi selain karena penggunaan
sistem pendekatan yang berbeda juga disebabkan oleh faktor zaman, pendangan
hidup, dan lingkungan yang melatarbelakangi para filosof berbeda-beda pula.
Demikian pula halnya dengan filsafat pendidikan sebagai nilai-nilai dan
keyakinan-keyakinan filsafat yang menjiwai, mendasari, dan memberikan identitas
serta karakteristik sistem pendidikan.
Berbagai macam pandangan dalam filsafat sebagaimana tersebut di atas telah
mempengaruhi dan melahirkan berbagai aliran dalam filsafat pendidikan. Menurut
al-Syaibanifilsafat pendidikan
adalah aktivitas pikiran yang teratur, yang menjadikan filsafat sebagai jalan
untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan.[2]
Zuhairini mengemukakan bahwa secara garis besar terdapat lima macam aliran
dalam filsafat pendidikan, yaitu: Progressivisme, Esensialisme, Perennialisme,
Rekonstruksionisme, dan Eksistensialisme.[3] Lebih
lanjut Muhaimin menyatakan bahwa aliran-aliran tersebut telah berkembang di
Amerika Serikat dan dapat dipetakan ke dalam dua kelompok, yaitu tradisional
dan kontemporer. Termasuk dalam kelpmpok tradisional adalah Perennialism
dan Essentialism. Adapun yang masuk ke dalam kelompok kontemporer adalah
Progressivism, Reconstructionism, dan Existentialism. [4]
1.
Esensialisme
Aliran esensialisme dalam hal pendidikan didasari oleh pandangan
humanisme, yang merupakan reaksi terhadap hidup yang terlalu mengarah kepada
keduniaan, serba ilmiah, dan materialistik.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang
jelas. Essensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai
yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini
hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji
oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai
yang ada dalam gudang di luar ke dalam jiwa peserta didik sehingga mereka perlu
dilatih agar mempunyai kemampuan absorsi atau penyerapan yang tinggi.
Tujuan
umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia dunia dan akhirat.
Isi pendidikannya mencakup pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu
menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum pendidikan bagi esensialisme merupakan
semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran,
dan kegunaan. Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangannya kurikulum
esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum seperti pola idealisme,
realisme, dan sebagainya (Zuhairini, 2012: 27). Sesuai dengan pandangan aliran
esensialisme ini, sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi
sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat.[5]
2.
Perennialisme
Perennialisme berasal dari kata perennial yang berarticontinuing throughout the whole year atau lasting for a very long time abadi
atau kekal.
Perennialisme merupakan kepercayaan
filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat abadi.[6]
Perennialisme berpandangan bahwa kehidupan modern telah menimbulkan banyak
krisis pada berbagai bidang kehidupan manusia. Dalam hal ini, aliran
perennialisme menawarkan solusi berupa “regressive road to cultural”yaitu kembali kepada kebudayaan masa lampau. Aliran ini beranggapan
bahwa pendidikan memiliki peranan yang penting dalam proses pengembalian keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan telah teruji ketangguhannya.[7]
Aliran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas.Plato
menguraikan ilmu pengetahuan dan nilai sebagai manifestasi dan hukum universal
yang abadi dan ideal.Menurut Plato manusia memiliki tiga potensi yaitu nafsu,
kemauan, dan akal. Program pendidikan yang ideal berorientasi kepada tiga
potensi itu agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat
terpenuhi. Ide Plato kemudian dikembangkan oleh Aristoteles yang
berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai
kebahagiaan maka aspek fisik, intelek, dan emosi harus dikembangkan secara
seimbang, bulat, dan totalitas.Adapun
menurut Thomas Aquinas tujuan pendidikan adalah perwujudan kapasitas (potensi)
yang ada dalam diri individu agar menjadi aktif dan nyata. Oleh karena itu peran pendidik dalam hal ini mengajar dalam arti memberi bantuan kepada peserta didik untuk berpikir jelas dan mampu mengembangkan
potensi-potensi yang ada pada dirinya.[8]
Berbeda
dengan aliran esensialisme, aliran ini memandang pendidikan bukan sebagai imitasi kehidupan, namun merupakan
suatu upaya untuk mempersiapakan kehidupan. Sekolah tidak akan pernah menjadi
situasi yang riil. Peserta
didik hanya menyusun dan merancang di mana ia belajar dengan prestasi-prestasi
warisan budaya masa lalu. Tugas peserta
didik adalah belajar dan merealisasikan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh
leluhur dan bila memungkinkan untuk meningkatkan prestasi yang dimiliki melalui
usaha sendiri.Prinsip dasar pendidikan aliran ini adalah membantu peserta didik menemukan dan menginternalisasi kebenaran
abadi, karena kebenarannya mengandung sifat universal dan tetap. Aliran ini
meyakini bahwa pendidikan merupakan alat transfer ilmu pengetahuan tentang
kebenaran abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran dan kebenaran selamanya
memiliki kesamaan.Aliran ini menilai
bahwa belajar itu untuk berfikir.
Pendidikan merupakan alat untuk
menyampaikan apa yang menjadi kebanggaan pada masa lalu.Oleh karena itu organisasi pendidikan hanyalah sekedar perantara
dalam menurunkan nilai-nilai kebenaran yang bersifat sama dari satu generasi ke
generasi berikutnya.[9]
3.
Progresivisme
Aliran
progresivisme menghendaki tujuan pendidikan diartikan sebagai rekonstruksi
pengalaman yang terus menerus agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang intelligent
dan mampu mengadakan penyesuaian serta penyesuaian kembali dengan tuntutan dari
lingkungan.[10]
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan azas progresivisme
dalam semua realita kehidupan, agar manusia bisa survive dalam
menghadapi semua tantangan hidup. Alran progresivisme dinamakan pula sebagai instrumentalisme
karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat
untuk hidup, untuk kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian manusia.
Dinamakan eksperimentalisme karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan azas
eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Selanjutnya, aliran ini
dinamakan environmentalisme karena menganggap lingkungan hidup mempengaruhi
pembinaan kepribadian.[11]
Aliran
progresivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh
William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952) yang menitikberatkan pada
segi manfaat bagi hidup praktis. Dalam banyak hal, progresivisme identik dengan
pragmatisme. Oleh sebab itu, jika orang menyebut pragmatisme, berarti ia
menyebut progresivisme (Ali, 1990: 297). Aliran progresivisme memiliki
sifat-sifat negatif dan sifat-sifat positif. Sifat negatif progresivisme
yang dimaksud adalah menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala bentuk
seperti politik, etika, epistemologi, dan bahkan agama. Adapun yang dimaksud
dengan sifat positif adalah, bahwa progresivisme menaruh terhadap kekuatan
alamiah dari manusia. Progresivisme meyakini bahwa manusia memiliki
kesanggupan-kesanggupan mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup meresapi
rahasia-rahasia alam, sanggup menguasai alam, dan sanggup pula menguasai
lingkungan sosial.[12]
Tugas
pendidikan menurut aliran progresivisme adalah meneliti sejelas-jelasnya
kesanggupan-kesanggupan manusia serta menguji kesanggupan-kesanggupan itu dalam
pekerjaan praktis. Manusia hendaknya mempekerjakan ide-ide atau pikiran
pikirannya. Manusia hendaknya tidak hanya berpikir untuk kesenangan berpikir,
melainkan berpikir untuk berbuat sesuatu. Progresivisme menolak “pure
intellectualism.” Bagi
progresivisme, jiwa dan pikiran manusia harus dipergunakan untuk menghadapi
tugas-tugas hidup yang sangat besar. Progresivisme menolak pendapat yang
menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak berdaya, yang hanya dapat
menyerah kepada kekuatan alam dan lingkungannya. [13]
4.
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme
merupakan aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran Rekonstruksionisme pada
dasarnya sepaham dengan aliran perennialisme, yaitu berawal dari krisis
kehidupan modern. Kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang
merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan terganggu oleh kehancuran,
kebingungan, dan kesimpangsiuran. Perbedaan kedua aliran ini terletak pada visi
dan cara yang ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dengan
kehidupan. Perennialisme memilih cara kembali ke alam kebudayaan lama (regresive
road culture) yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu, aliran
rekonstruksionisme menempuh jalan dengan berupaya membina suatu konsensus yang
paling luas mengenai tujuan pokok serta tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Aliran ini meyakini bahwa pendidikan kebudayaan
merupakan tanggung jawab
social karena eksistensi pendidikan dalam keseluruhan
realitasnya diarahkan untuk pengembangan dan perubahan masyarakat.Aliran ini
percaya bahwa manusia memiliki potensi fleksibel dan kukuh, baik dalam sikap maupun tindakannya. Merupakan hal yang sangat berharga
dalam kehidupan manusia itu, jika ia memiliki kesempatan yang cukup untuk
mengembangkan potensi dirinya secara sempurna. Pendidikan adalah jawaban dari
keinginan potensial manusia itu.
Upaya untuk mencapai tujuan tersebut
ditempuh dengan berusaha mencari kesepakatan antar
sesama manusia agar dapat mengatur kehidupan dalamsuatu tatanan yang meliputi
seluruh lingkungannya. Proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan
rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang baru. Penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat
manusia. Oleh karena itu pembinaan daya intelektual dan spiritual yang sehat
melalui pendidikan yang benar dan yang tepat akan dapat membina kembali manusia
dengan nilai-nilai dan norma-norma yang benar demi kebaikan generasi sekarang
maupun generasi yang akan datang. Dengan demikian akan terbentuk dunia baru
dalam pengawasan umat manusia.[14]
5.
Eksistensialisme
Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia sebagai individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang
benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa
kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar.Atas dasar pandangannya itu
, sikap dikalangan eksistensialisme atau penganut aliran ini sering kali tampak
aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih banyak
menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang pendidikan disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam
Existentialism
and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak
menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk” oleh sebab itu
eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana
yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang
diajukan oleh Morris sebagai “Existentialism’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker,
tidak memberikan kejelasan.Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling
Society, yang banyak mengundang reaksi dikalangan ahli pendidikan merupakan
salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran eksistensialisme.Di sini
agaknya mengapa aliran eksistensialisme tidak banyakdibicarakan dalam filsafat
pendidikan.[15]
Aliran Eksistensialisme
menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari
pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing dan menemukan jati
dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung
jawab atas diri dan nasibnya sendiri. Eksistensialisme
berpendapat bahwa pelajar adalah individu yang dapat mengembangkan potensinya
masing-masing untuk menemukan jati dirinya.Sedangkan pengajar adalah pembimbing dan stimulator
berfikir reflektif melalui panggilan pertanyaan-pertanyaan, bukan memberi
intruksi, memiliki kejuruan ilmiah, integritas, dan kreatifitas.Pengajar tidak mencampuri
perkembangan minat dan bakat peserta didik. [16]
B.
KONTRIBUSI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Sebagai sumber ajaran,
al Qur’an maupun al-Hadits menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan.Sumber-sumber selain dari keduanya menduduki strata di bawahnya yang mesti
merujuk pada sumber pokok tersebut. Muhaimin mengemukakan sumber-sumber
pemikiran pendidikan Islam selengkapnya adalah al-Qur’an, al-Sunnah, perkataan
sahabat Nabi SAW, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, dan
pemikir-pemikir Islam. [17]
Ajakan kembali kepada
Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah) bukan sekedar ajakan untuk kembali ke masa
lalu, melainkan ajakan kepada suatu sumber yang hidup dinamis, berkembang dan
progresif sepanjang masa. Al-Qur’an dan al-Sunnah yang memiliki fleksibilitas
pada prinsip-prinsip umum berkenaan dengan penyusunan hidup manusia
menyebabkannya selalu relevan pada segala zaman dan segala tempat. Kembali ke
peninggalan lama dalam hal ini adalah mengaitkan kondisi masa kini dengan masa
lampau, mendalamkan filsafat pendidikan, dan menekankan identitas budaya serta
pendidikan Islam. Selain itu, hal ini sangat diperlukan untuk menjaga pemikiran
generasi selanjutnya dari benih-benih ilhad, hedonisme, pembaratan pemikiran,
sekularisasi prinsip-prinsip serta nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat
dan teori-teori yang tidak Islami (Muhaimin, 2012 82).
Dalam pandangan filsafat
Islam yang berdasar pada firman Allah SWT (al-Baqarah (2): 30; al-An’aam (6):
165), manusia diciptakan sebagai khalifah. Khalifah dalam hal ini
berarti wakil atau yang mendapat kuasa. Status sebagai khalifah
mengandung pengertian bahwa manusia diberi kuasa oleh Allah untuk memanfaatkan
sekaligus memelihara, menjaga, dan memakmurkan bumi (alam). Termasuk bagian
dari tugas kekhalifahan itu manusia diberikan wewenang untuk melaksanakan
pendidikan terhadap dirinya sendiri, dan manusia diberi potensi untuk
melaksanakannya.
Pertanyaan-pertanyaan
tentang hidup dan kehidupan merupakan tantangan bagi manusia untuk menjawabnya.
Terkait dengan pendidikan, agar dapat mendidik dirinya sendiri, terlebih dulu
manusia harus memahami dirinya sendiri. Timbullah pertanyaan-pertanyaan seperti
apa hakikat manusia dan bagimana hakikat hidup dan kehidupannya, apa tujuan
hidupnya, dan apa pula tugas hidupnya. Selanjutnya manusia berhadapan dengan
alam dan lingkungannya dan manusia harus pula memahaminya. Manusia hidup
ditengah-tengah masyarakat yang mengharuskannya untuk menyesuaikan diri di
dalamnya, manusia hidup bersama hasil cipta, rasa, dan karsanya (kebudayaan),
manusia hidup bersama keyakinan dan kepercayaannya, dan manusia hidup dengan
pengetahuan yang diperoleh dalam proses hidupnya. Sementara itu, dari waktu ke
waktu, dari generasi ke generasi alam dan lingkungan terus mengalami perubahan
dan perkembangan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan juga terus mengalami
perubahan dan perkembangan sehingga nilai-nilai juga mengalami perubahan dan
perkembangan. Seiring dengan perubahan-perubahan itu kualitas hidup manusiapun
berangsur-angsur mengalami perubahan dan perkembangan.
Perubahan-perubahan dan
pertanyaan-pertanyaan sebagaimana tersebut telah mendorong manusia untuk
mencari jawabannya. Jawaban-jawaban berbagai masalah dan pertanyaan itu
selanjutnya akan menjadi dasar bagi pelaksanaan dan praktik pendidikan.
Ketepatan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mengarahkan tujuan
pendidikan secara tepat dan benar yang sekaligus juga akan mengarahkan
usaha-usaha kependidikan yang tepat dan benar pula. Dalam hal ini, filsafat
pendidikan menunjukkan peranannya. Filsafat pendidikan sesuai dengan peranannya
merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijakan dan pelaksanaan
pendidikan. Filsafat dengan cara kerjanya yang sistematis, universal dan
radikal, yang mengupas dan menganalisis sesuatu secara mendalam sangat relevan
dan dapat menjawab problema hidup dan kehidupan manusia termasuk permasalahan
pendidikan. [18]
Perkembangan pemikiran
(filsafat) dalam dunia Islam telah menghasilkan berbagai alternatif jawaban
terhadap berbagai problema kehidupan kehidupan manusia. Jawaban terhadap
pertanyaan terkait hubungan manusia dengan Tuhan, tentang keyakinan dan
kepercayaan hidup, telah melahirkan teori-teori atau Ilmu Kalam. Jawaban dari
pertanyaan tentang bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan, nilai-nilai,
norma-norma kehidupan, dan tingkah laku, telah melahirkan Ilmu Tasawuf dan Ilmu
Fiqih. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang alam semesta dan hubungan
manusia dengan alam semesta telah melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan.
Ilmu-ilmu tersebut berhasil dikembangkan dalam dunia Islam dengan menggunakan
metode yang khas islami, yaitu metode ijtihad. Ijtihad adalah menggunakan
kemampuan daya akal dan potensi manusiawi lainnya untuk mencari kebenaran dan
mengambil kebijaksanaan dengan bimbingan al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Ijtihad
dengan menggunakan kemampuan daya akal ini merupakan dasar bagi terbentuknya
pola berpikir rasional. [19]
Metode ijtihad sebagai
metode khas filsafat Islam telah mengalami banyak perkembangan. Para ulama dan
filosof Islam juga telah menggunakan metode ijtihad tersebut secara bervariasi.
Pada dasarnya metode ijtihad berakar pada upaya memahami petumjuk al-Qur’an
sebagai wahyu Allah SWT dan al-Sunnah sebagai penjelasan dan penjabarannya,
namun para ulama dan filosof Islam berbeda-beda cara penggunaannya sebagai
sumber pemikiran dan ijtihadnya. Perbedaan tersebut pada hakikatnya bersumber
dari perbedaan dasar filosofis yang mendasarinya. Misalnya saja, para ulama dan
filosof dalam bidang fiqih yang berbeda-beda dalam sistem ijtihadnya
menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda-beda pula. Demikian pula di kalangan
ahli tasawuf, perbedaan penggunaan sistem ijtihad menghasilkan tarikat yang
berbeda-beda pula.
Filsafat pendidikan Islam
merupakan studi tentang pandangan dari sistem dan aliran filsafat dalam Islam
terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan perkembangan umat Islam, baik secara individual maupun kelompok
dalam arti umat Islam. Filsafat pendidikan juga merupakan studi tentang
penggunaan dan penerapan metode dan sistem filsafat Islam dalam memecahkan problematika
pendidikan umat Islam, dan selanjutnya memberikan arah dan tujuan yang jelas
terhadap pelaksnaan pendidikan umat Islam. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
di kalangan para ulama dan para filosof Islam terdapat perbedaan sistem atau
cara dalam melakukan ijtihadnya, maka demikian pula yang terjadi dalam
pemikiran pendidikan Islam. Penggunaan metode ijtihad dengan sistem atau cara
yang bervariasi telah melahirkan metode-metode filosofis dan aliran-aliran
filfafat yang beraneka ragam dalam dunia pendidikan Islam, namun terdapat titk
temu dalam aspek rujukan utama mereka kepada fakta-fakta, informasi,
pengetahuan, serta ide-ide dan nilai-nilai esensial yang tertuang dan
terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Perkembangan pemikiran
pendidikan Islam dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang di belahan dunia Islam pada periode modern,
terutama dalam menjawab tantangan perubahan zaman serta era modernitas.
Tipologi pemikiran pendidikan Islam menurut Muhaimin (2012: 103-104) dapat dibedakan
dalam lima kategori yaitu: Tipologi Perenial-Esensialis Salafi, Tipologi
Perenial-Esensialis Madzhabi, Tipologi Modernis, Tipologi
Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif, Tipologi
Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid. [20]
1.
Tipologi
Perenial-Esensialis Salafi
Tipologi
Perenial-Esensial Salafi merupakan tipologi pemikiran pendidikan yang
menonjolkan wawasan kependidikan era salaf (era kenabian dan sahabat).
Pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan
nilai-nilai ilahiyah serta nilai-nilai insaniyah dan kebiasaan serta tradisi
masyarakat salaf karena mereka dipandang sebagai masyarakat ideal.
2.
Tipologi
Perenial-Esensialis Madzhabi
Tipologi ini menonjolkan wawasan kependidikan
Islam yang tradisional dan memiliki kecenderuangan untuk mengikuti aliran,
pemahaman atau doktrin serta pemahaman pemikiran-pemikiran masa lampau yang
dianggap sudah mapan. Pendidikan Islam berfungsi melestarikan dan mengembangkannya melalui upaya
pemberian penjelasan dan catatan-catatan dan kurang ada keberanian untuk
mengganti substansi materi pemikiran pendahulunya.Dalam hal ini pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya untuk mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi, dan
budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya dan tidak harus mempertimbangkan relevansinya
dengan konteks perkembangan zaman dan era kontemporer yang dihadapinya.
3.
Tipologi Modernis
Tipologi
Modernis adalah tipologi filsafat pendidikan yang menonjolkan wawasan
kependidikan yang bebas modifikatif, progresif, dan dinamis dalam menghadapi
tuntutan serta kebutuhan dari lingkungannya. Sesuai dengan wataknya yang bebas
modifikatif, progresif, dan dinamis, tipologi modernis ini memandang fungsi
pendidikan Islam sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman terus-menerus
agar dapat berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan
penyesuaian dengan tuntutan serta kebutuhan dari lingkungan masa kini.
4.
Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Tipologi
Rekonstruksi Sosial merupakan tipologi dalam filsafat pendidikan Islam yang
lebih mengedepankan sikap proaktif dan antisipatifnya dalam pengembangan
pendidikan. Dalam pandangan tpologi ini tugas pendidikan adalah membantu
manusia agar menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab
terhadap pengembangan masyarakat. Terkait dengan tugas tersebut, maka fungsi
pendidikan menurut tipologi ini adalah sebagai upaya menumbuhkembangkan
kreativitas peserta didik, memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi
nilai-nilai insani dan ilahi, serta menyiapkan tenaga kerja produktif.
5. Tipologi
Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
Aliran
ini mengambil jalan tengah antara kebali ke masa lalu dengan jalan melakukan
kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan kependidikan
Islam masa kini selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta perubahan sosial. Pendidikan juga harus memberikan kesempatan kepada
individu-individu untuk dapat mengembangkan potensinya masing-masing dalam
rangka menemukan jati dirinya. Tipologi ini memandang fungsi pendidikan Islam
sebagai upaya mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai ilahiyah dan
nilai-nilai insaniyah sekaligus menumbuhkembangkan dalam konteks ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial kultural.
C.
IMPLIKASI
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
Pengembangan kurikulum
adalah proses penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum
developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat
menjadi bahan acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Untuk
memperoleh gambaran yang jelas dan terperinci mengenai implikasi filsafat
pendidikan Islam terhadap pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam berikut
ini akan dikemukakan terlebih dahulu gambaran singkat tentang pengertian
pendidikan Islam, pengertian kurikulum, dan komponen-komponen kurikulum.
Banyak pengertian
pendidikan Islam yang telah dikemukakan oleh para ahli sesuai dengan sudut
pandang mereka masing-masing. Dari sekian banyak pengertian pendidikan Islam
itu pada dasarnya dapat dirangkumkan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan
yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh
potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah,
menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah,
sesama manusia, dan alam semesta. Pendidikan Islam
bertolak dari pandangan Islam tentang manusia sebagaimana dijelaskan dalam
al-Qur’an bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang sekaligus
mencakup dua tugas pokok.Fungsi pertama, manusia sebagai khalifah Allah di
bumi, makna ini mengandung arti bahwa manusia diberi amanah untuk memelihara,
merawat, memanfaatkan serta melestarikan alam raya.Fungsi kedua, manusia adalah
makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepadaNya. Selain dari
itu, manusia adalah makhluk yang memiliki potensi lahir dan batin. Kedua
potensi tersebut perlu ditumbuhkembangkan dalam rangka melaksanakan tugas
hidupnya sebagai manusia ke arah yang lebih baik dan lebih sempurna.[21]
Pendidikan sebagai suatu
sistem dan suatu aktivitas membutuhkan adanya sejumlah perangkat yang
diperlukan untuk mencapai tujuan.
Kurikulum dalam pendidikan Islam, dikenal dengan kata manhaj yang
berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya
untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka (al-Syaibany,
1984: 478).[22]
Kurikulum juga dapat dipandang sebagai suatu program pendidikan yang
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara sederhana kurikulum dapat diartikan sebagai seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Kurikulum sebagai bagian
dari sistem pendidikan memiliki beberapa komponen yang saling berkaitan dan
saling menguatkan satu sama lain. Komponen-komponen kurikulum terdiri dari
tujuan, materi/isi, metode/strategi, dan evaluasi. Komponen tujuan
kurikulum berhubungan dengan arah atau hasil yang diharapkan. Rumusan tujuan
menggambarkan sesuatu yang dicita-citakan.Dalam skala makro, rumusan tujuan
kurikulum erat kaitannya dengan filsafat atau sistem nilai yang dianut
masyarakat.Komponen
isi/materi kurikulum merupakan komponen yang berhubungan dengan
pengalaman belajar yang harus dikuasaipeserta
didik. Isi kurikulum itu menyangkut semua aspek baik yang berhubungan dengan
pengetahuan atau materi pelajaran yang biasanya tergambarkan pada isi setiap
materi pelajaran yang diberikan maupun aktivitas dan kegiatan siswa.Baik materi
maupun aktivitas itu seluruhnya diarahkan untuk mencapai tujuan yang
ditentukan.Komponen
strategimerupakan komponen ketiga dalam pengembangan kurikulum. Komponen ini
merupakan komponen yang sangat penting, sebab berhubungan dengan implementasi
kurikulum.Bagaimanapun bagus dan idealnya tujuan yang harus dicapai tanpa
strategi yang tepat untuk mencapainya, maka tujuan itu tidak mungkin dapat di
capai.Strategi meliputi rencana, metode, dan perangkat kegiatan yang
direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu.Komponen evaluasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dalam pengembangan kurikulum. Melalui evaluasi, dapat ditentukan nilai dan arti
kurikulum, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan apakah suatu kurikulum
perlu dipertahankan atau tidak, dan bagian-bagian mana yang perlu
disempurnakan.
Upaya
pengembangan kurikulum terkait erat dan sangat dipengaruhi filsafat yang
melandasinya (landasan filosofisnya). Menurut Sukmadinata ada empat
fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan.Kedua, filsafat dapat menentukan isi
atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.Ketiga, filsafat dapat
menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan
tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.[23]
Selanjutnya
gambaran implikasi tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam terhadap
pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam telah dikemukakan oleh Muhaimin
sebagaimana berikut ini.[24]
1.
Tipologi
Perenial-Esensialis Salafi
Tipologi ini menonjolkan wawasan kependidikan era salaf (era kenabian dan
sahabat).Pendidikan diorientasikan kepada penemuan dan internalisasi kebenaran
masa lalu yang dilakukan oleh anak didik, menjelaskan dan menyebarkan warisan
salaf melalui inti pengetahuan yang terakumulasi dan telah berlaku sepanjang
masa dan penting untuk diketahui semua orang.
Berdasarkan
tipologi tersebut tujuan pendidikan agama Islam diorientasikan pada upaya:
a.
Membantu
peserta didik dalam menguak, menemukan, dan menginternalisasikan
kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al-shalih (masa Nabi SAW
dan sahabatnya).
b.
Menjelaskan
dan menyebarkan warisan sejarah serta budaya salaf melalui sejumlah inti pengetahuan
yang terakumulasi dan telah berlaku sepanjang masa.[25]
Materi
pendidikan agama Islam yang lebih diutamakan adalah doktrin-doktrin agama,
kitab-kitab besar, kembali kepada hal-hal yang mendasar dan esensial, serta
mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada era salaf. Bidang akidah dan
ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan lain-lain), dan membaca
al-Quran dimaksudkan untuk melestarikan dan mempertahankan, serta menyebarkan
akidah dan amaliah ubudiyah yang benar sesuai dengan yang dilakukan para salaf
al-Shalih.
Metode pembelajran yang digunakan
adalah metode ceramah, dialog, diskusi, debat, dan pemberian tugas. Manajemen kelas diarahkan pada pembentukan karakter,
keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur tepat serta sesuai tatanan, dan teratur dalam
menjalankan tugas.Evaluasi menggunakan ujian-ujian objektif terstandarisasi berupa essay test, tes diagnostik, tes
hasil belajar, dan tes kompetensi barbasis amaliah. Guru memliki otoritas tinggi,paham dan meyakini kebijakan serta kebenaran masa lalu, dan
orang/sarjana yang ahli dalam bidangnya.
2.
Tipologi
Perenial-Esensialis Madzhabi
Berdasarkan pada tipologi
Perenial-Esensialis Madzhabi, tujuan pendidikan agama Islam diorientasikan pada
upaya:
a.
Membantu peserta didik untuk
menguak, menemukan, dan menginternalisasi kebenaran-kebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pada masa klasik atau pasca salaf al-shalih.
b.
Menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai, dan pemikiran para
pendahulu yang dianggap mapan secara turun temurun.[26]
Materi
pendidikan agama Islam diarahkan pada doktrin-doktrin dan nilai-nilai agama
sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab karya ulama terdahulu yang berisi
hal-hal mendasar dan esensial, serta mata pelajaran kognitif yang ada pada masa
pasca salaf. Bidang akidah dan ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji,
nikah, dan lain-lain), dan membaca al-Quran dimaksudkan untuk melestarikan dan
mempertahankan, serta menyebarkan pemikiran akidah dan amaliah ubudiyah hasil
karya imam-iamam madzhab terdahulu dan mengamalkannya sesuai dengan pandangan
mereka tanpa adanya kritik dan perubahan kecuali hanya memberikan syarh dan
hasiyyah terhadap pemikiran mereka. Pelanggaran terhadap ajaran dan
nilai-nilai yang sesuai dengan pandangan atau pemikiran para pendahulu dianggap
penyelewengan pada bidang-bidang tersebut.
Metode
pembelajaran yang digunakan adalah metode ceramah, dialog, diskusi, debat, dan
pemberian tugas. Manajemen kelas diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman,
bersifat kaku dan terstruktur,
tepat serta sesuai tatanan, dan teratur dalam menjalankan tugas.Evaluasi menggunakan ujian-ujian objektif
terstandarisasi
berupa essay test, tes diagnostik, tes hasil belajar, dan tes kompetensi barbasis amaliah. Guru
memliki otoritas tinggi,paham
dan meyakini kebijakan serta kebenaran masa lalu, dan
orang/sarjana yang ahli dalam bidangnya.
3.
Tipologi
Modernis
Bertolak
pada pandangan tipologi modernis ini tujuan pendidikan Agama Islam
diorientasikan pada upaya:
a.
Memberikan keterampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang bisa digunakan untuk berinteraksi dengan
lingkungannya yang selalu berubah
sehingga peserta didik dapat bersikap dinamis dalam menghadapi dan merespons
tuntutan serta kebutuhan lingkungannya.
b.
Membantu
peserta didik agar mampu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali dengan
tuntutan perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal (agama Islam).
Materi
pendidikan agama Islam diarahkan pada penggalian problematika yang berkembang
di lingkungan atau yang dihadapi oleh peserta didik, untuk selanjutnya dilatih
dan diajarkan kepada peserta didik untuk memecahkan masalah tersebut dalam
perspektif ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Metode yang digunakan adalah cooverative
learning, metode proyek, dan metode ilmiah, yaitu dengan mengidentifikasi masalah-masalah,
merumuskan hipotesis, dan melaksanakan penelitian di lapangan.Manajemen kelas lebih diarahkan pada pemberian kesempatan
kepada peserta didik untuk berpartisipasi dan aktif dalam pembelajaran, serta mencptakan suasana belajar yang demokratis.
Guru berperan sebagai sebagai fasilitator dan pengatur pembelajaran. Evaluasi
lebih banyak menggunakan evaluasi formatif dengan asumsi bahwa masing-masing
peserta didik memiliki kelebihan tertentu yang berbeda-beda antara yang satu
dengan lainnya, di mana kelebihan-kelebiahn atau kemampuan-kemampuan tersebut
perlu dikembangkan. Diperlukan penggunaan on going feedback atau usaha
mencari dan menemukan umpan balik secara terus menerus.
4.
Tipologi
Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
Bertolak
dari karakteristik tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif tujuan
pendidikan agama Islam diorientasikan pada upaya:
a.
Membantu
peserta didik dalam menguak, menemukan, dan menginternalisasikan
kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al-shalih atau masa klasik
dan pertengahan.
b.
Menjelaskan
dan menyebarluaskan ajaran dan nilai salaf atau para pendahulu yang dianggap
mapan dan teruji oleh sejarah.
c.
Memberikan keterampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang bisa digunakan untuk berinteraksi dengan
lingkungannya yang selalu berubah
sehingga peserta didik dapat bersikap dinamis dalam menghadapi dan merespons
tuntutan serta kebutuhan lingkungannya.
d.
Membantu
peserta didik agar mampu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali dengan
tuntutan perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal (agama Islam). [27]
Materi
pendidikan agama Islam diarahkan pada doktrin-doktrin bidang akidah dan ibadah
khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan lain-lain) atau nilai-nilai
esensial dalam Islam yang telah teruji oleh sejarah seperti akhlaq al-kariimah,
keutamaan jihad fii sabiili Allah, menjauhi akhlaq al-mazhmuumah, dan
sebagainya sebagai nilai-nilai ayng harus dipertahankan, dilestarikan, dan
disebarluaskan serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal-hal yang
bersifat aktual peseta didik dilatih untuk menggali problem-problem yang tumbuh
berkembang di lingkungannya atau yang dialami peserta didik yang berbeda
konteks dengan yang dialami para pendahulunya. Selanjutnya masalah-masalah yang
telah diidentifikasi peserta didik dijadikan tema-tema dalam pembelajaran.
Metode pembelajaran yang digunakan
dalam hal-hal yang bersifat doktriner adalah metode ceramah, dialog,
debat, diskusi, dan pemberian tugas. Manajemen kelas diarahkan pada pembentukan
karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur tepat serta sesuai tatanan, dan teratur dalam
menjalankan tugas. Guru berperan sebagai figur yang
memiliki otoritas tinggi serta ahli dalam bidangnya. Sedangkan dalam hal-hal yang bersifat aktual
metode yang digunakan adalah cooverative
learning, metode proyek, dan metode ilmiah.Manajemen kelas lebih diarahkan pada pemberian kesempatan kepada peserta
didik untuk berpartisipasi dan aktif dalam pembelajaran, serta menciptakan suasana belajar yang demokratis.
Guru berperan sebagaisebagai fasilitator dan pengatur pembelajaran ketika menghadapi hal-hal yang bersifat aktual.
Evaluasi
untuk hal-hal yang bersifat doktrinadalah tes objektif dan terstandarisasi, atau tes essay,
tes diagnostik, dan tes kompetensi berbasis amaliah. Adapun untk hal-hal aktual, evaluasi lebih banyak
menggunakan evaluasi formatif dengan asumsi bahwa masing-masing peserta didik
memiliki kelebihan tertentu yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya,
di mana kelebihan-kelebiahn atau kemampuan-kemampuan tersebut perlu
dikembangkan. Diperlukan penggunaan on going feedback atau usaha mencari
dan menemukan umpan balik secara terus menerus.
5.
Tipologi
Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Menurut
tipologi ini, pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan kepedulian
dan kesadaran peserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat
manusia, yang merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemeluk agama Islam untuk
memecahkan masalah da’wah bi al-hal, baik yang terkait dengan masalah
sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya, serta mengajarkan keterampilan untuk
memecahkan semua problem tersebut agar dapat berpartisipasi dalam melakukan
perbaikan dan amr ma’ruf nahi munkar, sehingga dapat terwujud suatu
tatanan masyarakat baru yang lebih baik.
Bertolak
dari karakteristik tipologi Rekonstrusi Sosial Berdasarkan Tauhid tersebut
tujuan pendidikan Agama Islam diorientasikan pada upaya-upaya untuk:
a.
Membekali
peserta didik dengan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang
berkembang di masyarakat untuk selanjutnya dijadikan sebagai tema proyek
kajian.
b.
Membantu
peserta didik untuk meningkatkan kemampuan berpikir krtis.
c.
Membantu
peserta didik agar memiliki kemampuan strategis dan teknis dalam berhubungan
dengan masyarakat.
d.
Membantu
peserta didik agar mampu bekerja secara kelompok atau kooperatif dan
kolaboratif.
e.
Membantu
peserta didik agar memiliki sikap menghargai atau toleran terhadap orang lain.
f.
Membantu
peserta didik agar memiliki kemampuan bekerja untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan
pengembangan masyarakat menuju tatanan yang lebih baik. [28]
Materi
pendidikan agama Islam diarahkan pada masalah-masalah sosial dan budaya yang
dihadapi masyarakat, dan diharapkan peserta didik dapat menyelesaikan masalah
tersebut melalui konsep dan pengetahuan yang telah dimiliki. Metode
pembelajaran yang digunakan adalah metode simulasi, bermain peran, menerjunkan
peserta didik ke masyarakat yang menjadi sasaran proyek (internship),
dan belajar bekerja di masyarakat (work study). Manajemen dalam pembelajaran ini tidak terlalu
terikat pada kelas, tetapi lebih banyak di luar kelas, tidak membedakan jenis
kelamin dan ras, serta membangun masyarakat.Interaksi guru dan murid lebih
bersifat dinamis, kritis, progresif, terbuka, bahkan bersikap proaktif, dan
antisipatif, tetapi juga mengembangkan nilai-nilai kooperatif dan kolaboratif, toleran, serta komitmen pada hak dan kewajiban asasi
manusia.
Evaluasi pembelajaran mengedepankan evaluasi formatif dengan asumsi bahwa
masing-masing peserta didik memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang
lebih maju dan meningkat secara berkelanjutan serta memiliki kemampuan untuk
membangun masyarakat yang lebih baik dengan menerapkan ilmu dalam memecahkan
masalah yang dihadapi masyarakat, sehingga diperlukan upaya peningkatan
kemampuan, minat, bakat, dan prestasi belajar secara terus menerus melalui
umpan balik.
D.
KESIMPULAN
Filsafat pendidikan
merupakan studi tentang pandangan dari sistem dan aliran filsafat dalam Islam
terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan perkembangan umat Islam, baik secara individual maupun kelompok
dalam arti umat Islam. Filsafat pendidikan juga merupakan studi tentang
penggunaan dan penerapan metode dan sistem filsafat Islam dalam memecahkan
problematika pendidikan umat Islam, dan selanjutnya memberikan arah dan tujuan
yang jelas terhadap pelaksnaan pendidikan umat Islam. Setidaknya ada empat
fungsi filsafat pendidikan Islam bagi pengembangan kurikulum pendidikan Islam: Pertama filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Kedua, filsafat dapat menentukan isi
atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.Ketiga, filsafat dapat
menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan
tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
Berdasarkan
hasil studi komparasi antara tipologi filsafat pendidikan dan pemikiran Islam, sesuai dengan sifat dan kharakteristiknya tipologi filsafat pendidikan Islam dapat dibedakan
menjadi lima kategori (aliran), yaitu tipologi
perenial-esensialis salafi, tipologi perenial-esensialis madzhabi, tipologi
modernis, tipologi perenial-esensialis kontekstual-falsifikatif, dan
tipologi rekonstruksi sosial berlandaskan tauhid. Masing-masing tipologi
filsafat pendidikan Islam serta karakteristiknya berimplikasi terhadap
pengembangan komponen-komponen kurikulum pendidikan agama Islam yang terdiri
dari komponen tujuan, materi/isi, metode/strategi, dan evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an dan terjemahnya,. Mujamma’ Almalik Fahd Lithibaat Al-Mushaf Assyariif Madinah.1424 H
Abd.al-Raziq, Mustafa, 1959, Tamhid li Tarikh
al-Falsafah al-Islamiyah, Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa
al-Nashr.
Ali, Hamdani, 1990, Filsafat Pendidikan,
Yogyakarta: Kota Kembang.
Daradjat, Zakiyah dkk, 1996, Ilmu Pendidikan
Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Daulay, Haidar Putra. 2009. Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Putra.
Departemen Agama RI, 1994, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Djumransjah, M.,2006, Filsafat Pendidikan, Malang: Bayumedia Publishing.
Hasan, Fuad, 1974, Kita dan Kami, Jakarta:
Bulan Bintang.
Hatta, Muhammad, 1986, Alam pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2013, Filsafat Pendidikan, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Muhaimin, 2012, Pengembangan Kurkulum Pendidikan Agama Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhmidayeli,
2011,Filsafat Pendidikan, Bandung: PT. Refika Aditama.
Suriasumantri, J.S., 1982: Ilmu dalam Perspektif,
Jakarta: Gramedia.
Sukmadinata, Nana Syaodih, 1997, Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktik, Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
al-Syaibany,Omar Mohammad al-Toumy, 1984,Falsafah Pendidikan Islam, Terj.Hassan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang.
Syam, Muhammad Noor, 1987, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang:
IKIP Malang.
Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zuhairini, 2012, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar