A. Biografi Muhammad Shahrur
Muhammad Syahrur
lahir di Damaskus, Suriah/Syiria, 11 April 1938.[1]
Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Suriah/Syiria, 11 April 1938. Bapaknya
bernama Deyb Ibn Deyb Syahrur dan ibunya adalah Siddiqah Binti Salih Filyun.
Shahrur menikah dengan Azizah dan di karuniai lima orang anak: Tariq, al-Lais,
Basul, Masun dan Rima. Karier intelektual Syahrur dimulai dari pendidikan dasar
dan menengah yang ditempuh di lembaga pendidikan Abd al-Rahman al-Kawakibi,
Damascus, dan lulus sekolah menengah pada tahun 1957. setahun kemudian, pada
bulan Maret 1958, atas beasiswa pemerintah ia pergi ke Saratow, dekat Moskow
Uni Soviet (sekarang Rusia), untuk belajar teknik sipil (al-Handasah
al-Madaniyah). Jenjang pendidikannya ditempuh dalam waktu lima tahun mulai 1959
hingga berhasil meraih gelar diploma pada tahun 1964. Kemudian kembali ke Negara
asalnya mengabdikan dirinya sebagai dosen fakultas teknik pada Universitas
Damascus tahun 1965.[2]
pada tahun 1967, ia melakukan penelitian di Imperial Collage London Inggris.
Namun penelitian itu terhenti ditengah jalan akibat dari tragedy “perang juni”
tahun 1967 antara Syria dan Israel, yang berimbas pada putusnya hubungan
diplomatic antara Syria dan Inggris. [3]
Dalam waktu yang
tidak lama Universitas Damaskus mengutusnya ke Universitas Irlandia tepatnya
Ireland National University (al-Jami’ah
al-Qaumiyah al-Irlandyah) guna melanjutkan studinya menempuh program
Magister (MA) dan Doktoral (Ph. D) dalam bidang Mekanika Pertanahan dan Fondasi
(Mekanika Turbat wa Asasat).[4] Ia
memperoleh gelar pada tahun 1969, dan program doktornya ia selesaikan tiga
tahun kemudian (1972).
Setelah selesai
program doktornya (1972), dia di angkat secara resmi menjadi dosen Fakultas
Teknik Sipil Universitas Damaskus mengampu mata kuliah Mekanika Pertanahan dan
Geologi (Mekanika al-Turbat wa
al-Mansya’at al-Ardiyyah) hingga sekarang. Di samping mengajar, dia juga
melakukan penelitian bersama dengan koleganya, yang akhirnya ia mendirikan
perpustakaan Dar al-Intisyarat
al-Handasiyyah. Selain itu ia juga menekuni filsafat dan ilmu bahasa (Fiqh al-Lughah). Pada tahun itu juga, ia
bersama beberapa rekannya di fakultas membuka Biro Konsultasi Teknik. Prestasi
dan kreatifitas Syahrur semakin menambah kepercayaan Universitas terhadapnya.
Hal ini terbukti ketika ia mendapat kesempatan menjadi tenaga ahli di Saudi
Arabia pada Al-Saud Consult pada tahun 1982-1983. [5]
Pada tahun 1995,
Syahrur juga pernah diundang menjadi peserta kehormatan dan terlibat dalam
debat publik mengenai pemikiran keislaman di Libanon dan Maroko.[6]
B. Pendekatan Studi Al-Qur’an dan
Tafsir menurut Muhammad Shahrur
Dalam
sebuah teori keilmuan dikatakan bahwasanya seorang mufassir didalam menafsirkan
sebuah teks tidak akan pernah terlepas dari sejarah hidupnya, latar belakang
intelektualnya, keilmuan yang dimilikinya, pemikiran guru-gurunya serta keadaan
masyarakat ketika ia hidup. Begitu juga dengan Syahrur didalam menafsirkan Al
Qur’an dengan melihat keadaan sosial masyarakatnya serta keilmuan bahasa yang
dikuasainya serta pemikiran dari orang-orang yang pernah bergaul dengannya.
Menurut beliau,
masalah-masalah yang selalu muncul dalam pemikiran Islam kontemporer antara
lain :
1.
Tidak adanya metode penelitian ilmiah
yang objektif yang terkait dengan kajian al Kitab (ayat-ayat Al Qur’an) yang
diturunkan kepada Muhammad.
2.
Kajian-kajian Islam masa kini seringkali
bersandar pada perspektif ulama-ulama terdahulu yang dianggap sudah mapan,
lebih bersifat subjektif sehingga hasil kajian Islam yang sekarang hanya
digunakan untuk memperkuat asumsi-asumsi yang sudah ada.
3.
Umat Islam saat ini tidak memanfaatkan
keilmuan filsafat humaniora karena masih menganggap ilmu yang berasal dari
Yunani itu adalah keliru dan sesat.
4.
Tidak adanya epistimologi Islam yang
valid. Akibatnya umat Islam pada masa sekarang hanya berpaku pada
doktrin-doktrin pemikiran ulama mazhab.
5.
Produk-produk fiqih yang ada pada masa
sekarang sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas. Sehingga diperlukannya
formulasi hukum fiqih yang baru.[7]
Beliau melihat
bahwasanya umat Islam Kontemporer terbagi pada dua kelompok :
Kelompok pertama
adalah mereka yang berpegang penuh pada arti literal dari konteks al Qur’an
diturunkan. Mereka berpendapat bahwa apa yang sudah ditetapkan pada generasi
awal (masa nabi Muhammad) juga berlaku pada generasi selanjutnya, sehingga umat
Islam tidak mencoba untuk mengembangkan pemikirannya untuk mendapatkan jawaban
atas persoalan kekinian yang berbeda dengan masalah yang ada pada masa Nabi.
Hal ini berakibat pada berubahnya makna unversalitas Al Qur’an yang Shahih li kulli zaman menjadi sebuah
pesan yang sempit, lokalistik dan hanya diperuntukkan bagi orang-orang muslim
di sekitar mereka saja.
Sedangkan
kelompok kedua adalah mereka yang cenderung mengajak kepada sekularisme dan
modernitas. Kelompok ini menolak adanya al
Turats termasuk Al Qur’an sebagai bagian yang diwariskan oleh generasi awal
dan ritual adalah sebuah gambaran ketidakjelasan. Aliran ini sangat terpaku
pada pendapat agamawan dan institusi agama, mengabaikan doktrin-doktrin (tafsir)
generasi awal agar mereka terlepas dair historisitasnya dan mampu menyelesaikan
problem dengan usaha mereka sendiri.[8]
Oleh karena itu,
beliau menawarkan sebuah metode baru dalam kajian keislaman, yaitu menyerukan
kembali kepada teks asli yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi saw dengan
menggunakan metode baru. Didalam memahami Al Qur’an, umat Islam hendaknya
bersikap seolah-olah Nabi baru saja meninggal dan Al Qur’an turun pada masa
kita. Dengan begitu, umat Islam sekarang dapat menafsirkan Al Qur’an dengan
konteks kekinian dan tidak terjebak pada setting historis pemikiran umat masa
dahulu. Dalam sejarahnya telah terbukti bahwa setiap orang menafsirkan Al
Qur’an sesuai dengan kondisi masyrakat pada saat mereka hidup agar tercapainya
universalitas Al Qur’an yang selalu sesuai dalam zaman apapun. Sebagai
akibatnya, doktrin ulama-ulama terdahulu tidak mengikat pemikiran umat Islam
pada masa sekarang, apalagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa sekarang
membuat umat menjadi lebih baik dalam memahami Al Qur’an.
Al Qur’an yang
bersifat Universal dan shahih li kulli zaman memiliki beberapa karakteristik,
yaitu :
1.
Mempunyai dimensi kemutlakan didalamnya
karena dia diturunkan oleh Zat yang maha mutlak.
2.
Al Kitab merupakan petunjuk bagi manusia
yang mengandung relativisme pemahaman manusia.
3.
Al Qur’an harus disampaikan melalui
bahasa manusia karena pemikiran manusia terikat dengan bahasa. Walaupun
nantinya bahasa tersebut mengandung makna kemutlakan Ilahi dalam konteks isi
dan relativitas manusia dalam konteks pemahaman.
Selanjutnya
term-term yang menjadi nama Al Qur’an (Al Kitab dalam bahasa Syahrur) yaitu Al Kitab, Al Zikr dan Al Furqan
dalam mushaf Usmani memiliki arti tersendiri. Al Kitab berasal dari kata kataba yang berarti mengumpulkan
beberapa hal dengan tujuan untuk memperoleh satu makna agar tercapainya satu
pemahaman yang sempurna. Karena kata Al kitab merupakan isim ma’rifah dari
kitab, maka ia berarti kumpulan beberapa topik yang diwahyukan oleh Allah
kepada Muhammad dalam bentuk teks yang merupakan ayat-ayat yang tersusun
dimulai dari surah Al fatihah dan
diakhiri oleh surah an nas. Sedangkan
Al Qur’an adalah bagian dari mushaf yang merupakan kumpulan sistem peraturan
obyektif untuk eksistensi realitas keadaan masyarakat. Al Zikr artinya proses turunnya (alih bahasa) Al Qur’an dari lauhul mahfuz ke dalam bahasa Arab. Dan Al Furqan maksudnya adalah sepuluh
perintah yang diberikan kepada nabi Musa dan tercantum didalam Al Qur’an.
Muhammad ketika
penerima wahyu (Al Kitab) berada
dalam dua posisi sekaligus, yaitu posisi sebagai Nabi dan posisi sebagai Rasul
yang berimplikasi pada isi Al Kitab
yang terbagi menjadi dua bagian besar, Kitab al Nubuwah dan Kitab al
Risalah. Al Nubuwah adalah
akumulasi pengetahuan yang diwahyukan kepada Muhammad dan mencakup seluruh
informasi dan pengetahuan ilmiah yang terdapat pada Al Kitab, berfungsi sebagai pembeda antara hak dan bathil atau
antara realitas dengan pra konsepsi. Sedangkan al Risalah merupakan kumpulan penetapan hukum yang diwahyukan
kepada Nabi saw sebagai pelengkap kenabiannya.
C. Landasan Metodologi Muhammad
Shahrur
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Muhammad
Syahrur menggunakan dua teori penafsiran (hermeneutic theory), yaitu:
a.
Teori
Linguistik
Adapun pendekatan yang digunakan Syahrur dalam
mengonstruksi pemikiran keislamannya menggunakan pendekatan hermeneutik dengan
penekanan pada aspek filologi (kebahasaan). Ia menyebutnya sebagai al manhaj at-tarikh al’ilm fi dirasat
al-lughawiyyah (metode historis ilmiah studi bahasa), sebagaimana
dikemukakan oleh Ja’far Dakk al-Bab dalam pengantar bukunya, al-Kitab Wa al-Qur'an.[9] Pendekatan
ini sebenarnya merupakan kesimpulan dari teori linguistik Ibnu Jinni dan
al-Jurjani. Dari situlah kemudian Syahrur membuat batasan kaidah-kaidah metode
linguistiknya yang memiliki prinsip sebagai berikut:[10]
a)
Bahwa bahasa merupakan sebuah sistem.
b)
Bahasa merupakan fenomena sosiologi dan
konstruksi bahasanya sangat terkait dengan konteks di mana bahasa itu
disampaikan.
c)
Ada keterkaitan antara bahasa dan
pemikiran.
d)
Menolak adanya sinonim dalam bahasa.
Bila dicermati, pendekatan linguistik yang diambil
oleh Syahrur ini sebenarnya hanya digunakan untuk membangun suatu landasan
(dasar) teori dalam rangka penafsiran ulang terhadap tema-tema yang terdapat
dalam “al-mushaf” sesuai dengan konteks ruang dan waktu abad kedua puluh.[11]
Disisi lain, pada beberapa kajiannya Syahrur juga
menggunakan metode tematik dalam membahas sebuah permasalahan. Ia mengumpulkan
sejumlah ayat, misalnya tentang ta’wil,
kemudian secara intra teks dan interteks, ayat-ayat tersebut dianalisa
sebagaimana diatas.[12]
b.
Teori
Batas (Nadzariah Al-Hudud)
Tipikal Syahrur sebagai ilmuwan sangat kentara dan
berpengaruh terhadap produk pemikirannya ini tampak jelas terhadap teori baru
yang diperkenalkannya, yang disebut
teori batas ( the theory of limit).[13]
Pelacakan Syahrur menemukan bahwa dalam pemahaman
keislaman selama ini terdapat dua aspek yang dilupakan. Yaitu al-hanif dan
alistiqamah, berdasarkan metode analisis linguistik, Syahrur menjelaskan bahwa
kata al-hanif, berasal dari kata hanafa berarti bengkok, melengkung (hanafa), atau berarti orang yang
berjalan diatas kedua kakinya (ahnafa).
Adapun kata al-istiqamah,
berasal dari kata Qawm, yang memiliki
dua arti (1) kumpulan dua orang laki-laki, dan (2) berdiri tegak (al-intisab); atau kuat (al-azm). Dari kata al-intisab muncul dua kata al-mustaqim
dan al-istiqamah, lawan dari
melengkung (al-inhirab); sedangkan
dari al-azm muncul kata ad-din al-qayyim (agama yang kuat dalam
kekuasaan), seperti QS. An-Nisa’: 34 dan Al-Baqarah : 255.
Analisis linguistik terhadap term al-hanifiah dan al-istiqamah ini akhirnya menyampaikan Syahrur pada sebuah ayat
dalam surat al-An’am: 161, ada tiga term pokok dalam ayat tersebut, ad-din al-qayyim, almustaqim dan al-hanif
yang kemudian mendorongnya untuk mengadakan pelacakan lebih lanjut, Syahrur
kemudian menganalisa surat al-An’am : 79, dimana dari ayat ini diperoleh
pemahaman bahwasanya al-hunafa merupakan
sifat alami dari seluruh alam, langit, bumi yang notabene sebagai susunan
kosmos bergerak dalam garis melengkung, bahkan electron terkecil sekalipun.
Tidak ada dalam alam semesta ini yang tidak bergerak melengkung. Namun, justru
sifat inilah yang menyebabkan tata kosmos kita menjadi teratur dan dinamis (Ad-din dan al-hanif ). Dengan demikian agama selaras dengan kondisi
yang demikian, karena al-hanif merupakan pembawaan yang bersifat fitrah,
manusia sebagai bagian dari alam materi, juga memiliki sifat pembawaan fitrah
ini.
Fitrah alam ini juga terjadi dalam aspek hukum. Ini
bisa disaksikan dalam realita masyarakat yang senantiasa bergerak dalam wilayah
tradisi sosial, kebiasaan atau data yang cenderung berubah secara harmoni
sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Karena itu, sebuah as-sirat al-mustaqim adalah sesuatu yang niscaya untuk mengontrol
dan mengarahkan perubahantersebut. Itulah sebabnya dalam Al-Qur’an tidak akan
pernah di temui ihdina ila al-hanifiyyah, tapi ahdina al-sirat al-mustaqim
adalah fitrah. Dengan demikian al-sirat
al-mustaqim inilah yang akan menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia
dalam menentukan hukum.[14]
Teori batas (nazariyyah
al-hudud), secara garis besar dapat digambarkan sebagai: perintah Tuhan
yang diekspresikan dalam al-Qur'an dan Sunnah yang mengatur/memberikan batas
bawah dan batas atas bagi seluruh perbuatan manusia, batas yang lebih rendah
mewakili ketetapan hukum minimum dalam kasus tertentu, sedangkan batas atas
merupakan maksimalnya. Perbuatan hukum yang kurang dari batas minimum tidak sah
(tidak boleh), begitu juga dengan batas atas tidak boleh melebihi. Ketika
batas-batas itu dilampaui maka hukum harus dijatuhkan sesuai dengan proporsi
pelanggaran yang dilakukan. Tetapi ketika itu sangat diperlukan, maka hukum
dapat dijamin sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan. Disinilah letak
kekuatan Islam, dengan memahami teori ini menurut Syahrur, akan lahir
daripadanya jutaan ketentuan hukum. Karena itu risalah Muhammad SAW. dinamakan
dengan umm al-kitab, karena sifatnya
yang hanif berdasarkan teori batas ini.
Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum,
Syahrur membagi adanya enam bentuk dalam teori batas.
1.
Batas
Minimum
Yaitu batas paling minimal yang ditentukan al-Qur’an
dan ijtihad manusia tidak memungkinkan untuk mengurangi ketentuan tersebut
namun memungkinkan menambah. Contoh dari batasan ini terjadi dalam hal :
macam-macam perempuan yang haram untuk dinikahi. (QS. an-Nisa’ : 22-23).
Berbagai makanan yang haram dikonsumsi (QS.al-Maidah : 3, al-An’am: 145-156),
hutang piutang (QS. al-Baqarah: 283-284), dan tentang pakaian wanita (QS.
an-Nisa: 31). Dalam hal perempuan yang haram untuk dinikahi yang terdapat dalam
ayat tersebut merupakan batasan minimal, dan tidak boleh lebih dari itu.
Sehingga, nikah dengan hubunganhubungan lain yang tidak terdapat dalam ayat itu
menjadi boleh.
2. Batas maksimum
Yaitu batas paling atas yang telah
ditetapkan dan tidak mungkin dilampaui, namun memungkinkan untuk
memperingankannya. Contoh dari batasan ini dapat ditemukan dalam surat
al-Maidah : 38, tentang hukuman bagi seorang pencuri. Tentang pembunuhan
(al-Isra’ : 33, al-Baqarah: 178, al-Nisa’:92). “Pencuri, baik laki-laki maupun
perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka”. (QS.Al-Maidah : 38).
Di sini hukuman sanksi bagi seorang
pencuri (yang ditemukan) merupakan batas maksimal yang tidak boleh dilewati.
Bagaimanapun hukuman bisa dikurangi, berdasarkan kondisi-kondisi obyektif yang berlaku
dalam suatu masyarakat tertentu. Hal ini menjadi kewajiban para hakim
/ mujtahid untuk memberlakukan hukuman terhadap pencuri yang bagaimana yang
harus dipotong tangannya. Misalnya penjahat kelas kakap, yang mencuri dengan
alat-alat canggih yang perbuatannya menimbulkan keresahan orang banyak, bahkan
kerugian negara serta keamanan masyarakat tidak terjamin maka ayat 38 tidak
dipakai, yang dipakai adalah ayat 33 surat al-Maidah:“Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka
bumi hendaklah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat ia tinggal).
Lagi-lagi mujtahid harus menentukan,
hukuman yang setara dengan kesalahan tertentu yang dilakukan.[15]
3. Batas minimum dan batas maksimum
sekaligus tetapi tidak bersinggungan dalam satu titik.
Yaitu
batas minimum dan batas maksimum dan minimum sekaligus tidak bersinggungan
dalam satu titik. Contoh batasan ini dapat ditemukan dalam hukum waris (al-Nisa
: 11-14, 176) dan poligami (an- Nisa: 3). Maksud dari ayat warisan adalah batas
maksimal untuk laki-laki dan batas minimal untuk perempuan. Tujuan dari ayat
ini (an-Nisa:11-14) adalah menganut prinsip 2:1, sehingga bagian laki-laki
adalah 66,6% dan merupakan batas maksimal sedangkan bagi perempuan 33,3% dan merupakan
batas minimal. Terlepas dari apakah wanita telah menjadi pencari nafkah,
bagaimanapun bagian wanita tidak pernah dapat kurang dari 33,3%, sementara
bagian laki-laki tidak pernah mencapai lebih dari 66,6%. Jika wanita diberi 40
persen dan laki-laki 60 persen. Kemudian keduanya baik batas maksimal dan batas
minimal tidak dikatakan telah melanggar. Alokasi prosentase kepada
masing-masing pihak ditentukan berdasarkan kondisi obyektif yang ada dalam
masyarakat tertentu pada waktu tertentu.[16]
4. Batas
minimum dan batas maksimum berada dalam satu titik.
Yaitu
ketentuan had maksimumnya juga menjadi had minimumnya sehingga ijtihad tidak
mungkin mengambil hukum yang lebih berat. Contoh batasan ini hanya berlaku bagi
hukuman zina, yaitu seratus kali jilid (an-Nur: 2). Kemudian berdasarkan ayat
3-10 dalam surat yang sama, hukuman tersebut hanya dapat diberlakukan dengan
syarat adanya 4 orang saksi atau melalui li’an.[17]
5. Batas maksimum dengan satu titik
mendekati garis lurus tanpa singgungan.
Yaitu
had yang paling atas telah ditentukan dalam al-Qur’an, namun karena tidak ada
sentuhan dengan had maksimum maka hukuman belum dapat ditetapkan. Contoh dari
batasan ini adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Dimulai
dari titik di atas batas minimal (dimana di sini alat kelamin, belum
bersentuhan). Hanifiyah bergerak ke atas searah dengan batas maksimal (dimana
disini mereka bisa melakukan perzinaan), tetapi perzinaan tidak terjadi. Jadi,
apabila antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan yang mendekati zina
tetapi belum berzina maka keduanya berarti belum terjatuh dalam batas-batas
yang ditentukan Allah.[18]
6. Batas maksimum positif tidak boleh
dilampaui dan batas minimum negatif, boleh dilampaui.
Yaitu batas atas
yang ditetapkan tidak boleh di lewati sedangkan batas bawahnya yang negatif
boleh dilampaui. Contohnya adalah batas atas yang tidak boleh dilampaui adalah
riba, batas bawah yang boleh dilampaui adalah zakat (zakat sebagai batas
negatif karena ia adalah batas minimal harta yang wajib dikeluarkan). Dua hal
ini dapat dilampaui dengan shadaqah. Dalam hal ini ada riba yang diperkenankan
yaitu yang tidak melewati batas atas (riba yang adh’afan mudha’afan).[19]
[1] Muhammad
.Syahrur, Al-kitab wa al-Qur’an: Qira’ah
Mu’asyirah, (Damaskus:al-Ahali li-Attiba’ah wa an-Nasy wa at-Tawzi, 1990),
hlm. 823
[2] Achmad Syarqawi
Ismail, Rekonstruksi Konsep Wahyu
Muhammad Syahrur,Yogyakarta: elSAQ Press, cet I,2003, hlm 44.
[3] Abdul Haris, “Pembongkaran Muhammad Syahrur Terhadap
Islam Ideologis, Sebuah Pengantar atas ide-ide Pemikiran Islam Kontemporer
dalam Al-Kitab Wa Al-Qur’an : Qira’ah Mu’asyirah” dalam Jurnal Ijtihad No.
1 Tahun III/Januari-Juni 2003, hlm 39.
[4] Muhammad
Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qira’ah
Mu’asyirah, Terj. Sahiron Syamsudin, “Prinsip
dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer”, Cet Ke-I, Yogyakarta:elSAQ
Press, 2004, hlm 319.
[5] Muhammad
Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an:., hlm
45
[6] Sahiron
Syamsudin, Mempertimbangkan Metode Tafsir
Muhammad Syahrur, dalam Sahiron Syamsudin, dkk, Hermeunetika al-Qur’an
Mazhab Yogya, Yogyakarta : Forstudia Islamika, 2003, hlm 123.
[7] yhardeos.blogspot.com/2007/06/muhammad-syahrur.html
[8] Sahiron
Syamsudin, Mempertimbangkan Metode Tafsir..,
hlm. 142-143
[9] Ja’far Dakk
al-Bab, dalam Kata Pengantar Buku
al-Kitab wa al-Qur'an: Qira’ah Mu’asirah, hlm 22
[10] Muhammad
Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, ..,
hlm. 44
[11] Abdul Haris, Pembongkaran..., hlm. 46
[12] Muhammad In’am
Esha, Konstruksi Historis Metodologis
Pemikiran Muhammad Syahrur, dalam Jurnal Al-Huda, Vol 2, Jakarta: Islamic
Center, hlm. 130
[13] Muhammad In’am
Esha, Konstruksi Historis Metodologis..,
hlm. 130
[14] Muhammad In’am
Esha, Konstruksi Historis Metodologis..,
hlm. 307
[15] Muhammad In’am
Esha, Konstruksi Historis Metodologis..,
hlm 455-456
[16] Muhammad In’am
Esha, Konstruksi Historis Metodologis..,
hlm 457-462.
[17] Muhammad In’am
Esha, Konstruksi Historis Metodologis..,
hlm 463.
[18] Muhammad In’am
Esha, Konstruksi Historis Metodologis..,
hlm 463.
[19] Muhammad In’am
Esha, Konstruksi Historis Metodologis..,
hlm 463.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar