BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah
penafsiran Al-Qur’an adalah Islam itu sendiri.Artinya perjalanan sejarah tafsir
al-Qur’an sudah lama tuanya dengan sejarah perjalanan Islam sebagai agama,
sehingga antara keduanya menjadi identic dan tak terpisahkan.Aktivitas
penafsiran sudah barang tentu dimulai semenjak Nabi Muhammad SAW.menyampaikan
risalah Tuhan yang datang dalam bentuk Al-Qur’an.[1]
Pada
era-modern ini kajian tentang tafsir mengalami perubahan, seiring dengan
perkembangan zaman.Dewasa ini, bermunculan tafsir kontemporer, sebutan kontemporer
berarti masa kini.Secara etimologis kata itu berdekatan maknanya dengan modern
yang artinya terbaru, mutakhir.Kata tersebut seringkali di lawankan dengan
istilah klasik yang berarti pada masa lalu yang bermutu, mempunyai nilai atau
posisi yang diakui dan tidak diragukan.Tafsir modern atau kontemporer
dipelopori Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha
(1865-1935).[2]
Diantara
para ulama kontemporer yang sangat concern terhadap penafsiran al-Qur’an
adalah Sayyid Quthb (1906-1966 M), ia salah seorang terkemuka dikalangan Ikhwan
al-Muslimin. Terbukti dia menulis kitab tafsir Fi Zhilalil Al-Qur’an
yang menjadi master-peace diantara karya-karya lain yang dihasilkannya.
Kitab tafsir ini sangat diminati oleh kaum intelektual karena dinilai kaya
dengan pemikiran sosial-masyarakat yang mengkaji masalah-masalah sosial yang
sangat dibutuhkan oleh generasi muslim sekarang.
Karya Sayyid Quthb yang berjudul Fi Zhilalil Qur’an merupakan
ungkapan dari substansi pemikirannya, serta ringkasan usaha konkritnya dalam
berdakwah di jalan Allah. Di samping itu, kitab tersebut telah memainkan
peranan penting dalam memperkaya pemikiran, mengarahkan gerakan pembaharuan
Islam, serta mengungkap persekongkolan dan konspirasi untuk memusuhi Islam dan
pemeluknya. Setiap orang yang membaca kitab tersebut akan mendapatkan gambaran
yang benar dan komperhensif tentang Islam. Fi Zhilalil Qur’an dengan
jelas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat sesuai dengan fitrah
manusia, dan masa depan akan menjadi milik Islam. Semua itu tentu hanya akan
didapatkan setelah kita hidup di bawah naungan dan mengamalkan semua ajaran
Al-Qur’an.[3]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi Sayyid Quthb?
2.
Apa saja metode yang digunakan dalam
menafsirkan al-Qur’an?
Bagaimana
pemikiran Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fî Zilalil Qur’an?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk memahami biografi Sayyid Quthb.
2.
Untuk memahami metode yang digunakan dalam
menafsirkan al-Qur’an.
3.
Untuk memahami pemikiran Sayyid Quthb di dalam
tafsirnya Fî Zilalil Qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Sayyid Quthb
Asy-Syahid Sayyid Quthb dilahirkan pada tahun 1906 di
kampung Musyah, Kota Asyut, Mesir. Ia dibesarkan di dalam sebuah keluarga yang
menitik-beratkan ajaran Islam dan mencintai Al-Qur’an. Ia telah bergelar hafizh
sebelum berumur sepuluh tahun. Menyadari bakat anaknya, orang tuanya
memindahkan keluarganya ke Halwan, daerah pinggiran Kairo. Ia memperoleh
kesempatan masuk Tajhiziah Darul-‘Ulum. Tahun 1929, ia kuliah di Darul-‘Ulum
(nama lama Universitas Kairo, sebuah universitas yang terkemuka di dalam bidang
pengkajian ilmu Islam dan sastra Arab, dan juga tempat al-Imam Hasan al-Banna
belajar sebelumnya). Ia memperoleh gelar sarjana muda pendidikan pada tahun
1933.[4]
Ayahnya meninggal ketika Sayyid Quthb sedang
kuliah.Tak lama kemudian (1941), ibunya menyusul kepergian suaminya.Wafatnya
dua orang yang dicintainya itu membuatnya marasa kesepian. Tetapi di sisi lain,
keadaan ini justru memberikan pengaruh positif dalam karya tulis dan
pikirannya. Karya tulis dan pemikiran-pemikirannya inilah memberikan sumbangsi
yang berlian, yang bisa dijadiakan spirit untuk perjuangan generasi berikutnya.
Pada
usia 13 tahun, Sayyid Quthb berangkat ke Kairo untuk meneruskan pendidikan di
Madrasah Tsanawiyah dan setelah selesai baru melanjutkan ke Dar al-‘Ulum. Pada
masa ini Sayyid banyak mendapat pengaruh dari Abbas Mahmud al-‘Aqqod, seorang
penulis Mesir terkenal yang cenderung pada pemikiran Barat.[5]
Sejak lulus dari kuliahnya
hingga tahun 1951, kehidupanya tampak biasa-biasa saja, sedangkan karya
tulisnya menampakkan nilai sastra yang begitu tinggi dan bersih, tidak
bergelimang dalam kebejatan moral, seperti kebanyakan sastrawan pada masa itu.
Pada akhirnya, tulisan-tulisannya lebih condong kepada Islam.
Pada tahun yang sama,
sewaktu bekerja sebagai pengawas sekolah di Departemen Sekolah, ia mendapat
tugas belajar ke Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuanya di bidang
pendidikan selama dua tahuan. Ia membagi waktu studinya antara Wilsons's
Teacher's College di Washington, Greeley College di Colorado, dan Stanford
University di California. Ia juga mengujungi banyak kota besar di Amerika
Serikat serta berkunjung ke Inggris, Swiss, dan Italia.Tidak seperti
rekan-rekan seperjalannya, keberangkatannya ke Amerika itu ternyata memberikan
saham yang besar pada dirinya dalam menumbuhkan kesadaran dan semangat Islami,
terutama sesudah melihat bangasa Ameriaka berpesta pora atas meninggalnya
al-Imam Hasan al-Bana pada awal tahun 1949.[6]
Seperti
halnya tokoh-tokoh Mesir lainnya, semula Sayyid adalah pengagum Barat.Namun
setelah menyaksikan langsung dari dekat peradaban Barat, Sayyid Quthb berbalik
menyerang Barat dan menarkan Islam sebagai solusi bagi permasalahan
sosial-politik Mesir. Menurut Haddad, ada dua hal yang menyebabkan perubahan
pemikirannya. Pertama,ia melihat barat membela dan mendukung berdirinya
Negara zionis Israel, 1948. Ini dianggapnya sebagai sebuah penolakan terhadap
hak-hak bangsa Arab. Ketika berada di Washington DC dan California pada 1949
untuk belajar ilmu administrasi pendidikan, ia melihat bagaimana dukungan luas
pemerintah dan pers Amerika terhadap Israel. Kedua, ia menyaksikan langsung keringnya peradaban
Barat dari nilai-nilai Spiritual. Sayyid Quthb melihat sendiri orang-orang
berdansa di gedung gereja.[7]
Hasil studi dan pengalamannya selama di Amerika
Serikat itu meluaskan wawasan pemikirannya mengenai problem-problem sosial
kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh paham matrealisme yang gersang akan paham
ketuhanan. Ketika kembali kemesir, ia semakin yakin bahwa Islamlah yang sanggup
menyelamatkan ummat manusia dari paham matrealisme sehingga terlepas dari
cengkraman materi yang tak pernah terpuaskan.
Ini yang membuat Sayyid Quthb berubah dan menoleh pada Islam serta
menjadikannya sebagai Idiologi. Pada 1951, setelah pulang dari Amerika, ia
masuk organisasi al-Ikhwan. Di sinilah ia mulai mengembangkan gagasan-gagasan
politiknya. Ia mulai menunjukkan sikdap frontalnya terhadap pemerintahan Gamal
Abd. Al-Naser yang dipandang berbau sosialis.Gagasan militernya memengaruhi
anak-anak muda al-Ikhwan.Mereka menuntut pemerintah untuk mundur.Bahkan mereka
berusaha membunuh Presiden Nasher, tetapi gagal.Akibatnya, banyak anggota
al-Ikhwan yang ditangkap dan diadili.Ada yang dihukum gantung, ada yang dihukum
kerja paksa, da nada pula yang dipenjarakan sampai 15 tahun lamanya.
Setelah Sayyid Quthb bergabung dengan Gerakan
Islam Ikhwanul Muslimin, ia menjadi
salah satu seorang tokohnya yang sangat berpengaruh, di samping Hasan
al-Hudaibi dan Abdul Qadir Audah. Sewaktu larangan terhadap Ikhwanul Muslimin
di cabut pada tahun1951, ia terpilih sebagai anggota panitia pelaksana dan
memimpin bagian dakwah. Selama tahun 1953, ia menghadiri konfrensi di Suriah
dan Yordania, dan sering memberikan ceramah tentang pentingnya akhlaq sebagai
prasayat kebangkitan ummat.
Juli1954, ia menjadi pemimpin redaksi harian
Ikhawanul Muslimin. Akan tetapi, baru dua bulan usianya harian ditutup atas
perintah Presiden Mesir Kolonel Gamal Abdul Naser karena mengecam perjanjian
Mesir-Inggris 7 juli 1954.karena itu Sayyid Quthb dianggap oleh pemerintah
sedang membuat makar, maka pemerintah tersebut menjegal dan menutup redaksi
harian Ikhawanul Muslimin.
Sekitar mei 1955, Sayyid Quthb termasuk salah
satu pemimpin Ikhwanul Muslimin yang ditahan. Setelah organisasi itu dilarang
oleh Presiden Nasser dengan tuduhan berkomplot untuk menjatuhkan pemerintah.
Pada 13 juli 1955, pengadailan rakyat menjatuhkan hukuman lima belas tahun kerja
berat. Ia ditahan di beberapa penjara di Mesir hingga pertengahan tahun 1964,
ia dibebaskan pada tahun itu atas permintatan Presiden Irak Abdul Salam Arif
yang mengadakan kunjungan muhibah ke Mesir.
Baru setahun ia menikmati
kebebasan, ia kembali ditangkap bersama tiga saudaranya: Muhammad Quthb,
Hamidah, dan Aminah. Juga ikut di tahan kira-kira 20.000 orang
lainnya, diantaranya 700 orang wanita. Pada hari senin, 13 Jumadil Awwal 1386
atau 29 Agustus 1966, ia dan dua orang temannya (Abdul Fatah Ismail dan Muhammad
Yusuf Hawwasy) menyambut panggilan Rabbnya dan Syahid di tali tiang gantungan.[8]
Asy-syahid Sayyid Quthb menulis lebih dari dua
puluh buah buku.Ia mulai mengembangkan bakat menulisnya dengan membuat buku
anak-anak yang meriwayatkan pengalaman Nabi Muhammad saw, dan cerita-cerita
lainya dari sejarah Islam. Perhatiannya kemudian meluas dengan menulis
cerita-cerita pendek, sajak-sajak, keritik sastara, serta artikel untuk
majalah.
Diawal karir
penulisananya, ia menulis dua buku mengenai keindahan dalam al-Quran: at-Tashwri
Fi Fanni Fil Quran, cerita keindahan dalam al-Quran, Musyaahidah
al-Qiyaamah Fil Quran, 'Hari Kebangkitan Dalam Islam'. Pada tahun
1984, menerbitkan karya monumental, al-Adalah Ijtima'iayh Fil Islam,Keadilan
sosial dalam Islam.Kemudian disusul Fi Zhilaali -Quran' Di Bawah Naungan
Al-Quranyang diselesaikan di dalam penjara.
Karya-karya lainnya: as-Salam
al-'alamil wal islam 'Perdamaian Internasional dan Islam' (1951), an-Naqd
al-Adabii Usuuluhu wa Maanaahijuhuu 'Kritik Sastra, Prinsip Dasar, dan
Metode-metode', Marakah al-Islam war-Ra'maaliyah' Perbenturan Islam dan
Kapitalisme' (1951), Fit-Tariikh, Fikrah wa Manaahij ' Teori dan metode
dalam sejarah', al-Mustaqbal li Haadzad-Diin 'Masa Depan Berada di
Tangan Agama ini' , Nahw Mujtama' Islaami' Perwujudan Masyarakat Islam'
, Ma'rakatuna ma' al-Yaahuud' Prebenturan Kita dengan Yahudi', al-Islam wa
Musykilah al-hadaarah dan problem kebudayaan' (1960), Hadza ad-Din'
Inilah Agama' (1955), dan Khashais at-Tashwwri al-Islami wa Mukawwamatuhu'
Ciri Dan Nilai Visi Islam' (1951).
Sewaktu di dalam tahanan,
ia menulis karya terakhirnya: Ma'aalim fith-Thariq' petujuk jalan
(1960). dalam buku ini, ia mengemukakan gagasannya tentang perlunya revolusi
total, bukan semata-mata pada sikap individu, namuan juga pada struktur negara.
Selama priode
inilah, logika konsepsi awal negara Islamnya Sayyid Quthb mengemuka.Buku ini
pula yang dijadikan bukti utama dalam sidang yang menuduhnya bersekongkol
hendak menumbangkan Rezzim Nasser.
Tetes darah perjuangan dan goresan penanya
mengilhami dan merupkan ruh jihad di hampir gerakan keislaman di dunia ini.Bagi
ummat rahmatan lil'alamin, sudah saatnya bangkit untuk berjuang kembali demi
menyebarkan Syi'ar Islam di seluruh penjuru dunia. Untuk kemaslahatan ummat
manusia dengan berpegang teguh pada al-Quran dan sunnah Rasul. Al-Quran dan
Sunnah Rasul adalah asas perjuangan yang urgen untuk jihad fi sabilillah
semata-mata mangharap ridha Allah SWT.
B.
Pengertian Tafsir
Tafsir menurut etimologi berarti keterangan atau penjelasan.
Sedangkan menurut terminologi sebagai berikut:[9]
1.
Menurut Al-Jurjani
التفسير في الأصل هو الكشفُ والإظهارُ، وفي الشرع توضيحُ معنى
الآيةِ وشأنها وقصّتِهَا والسّببِ الذى نُزِلَتْ فيه لفظ يدل دلالةً ظاهرةً.
“Tafsir pada asalnya
ialah: membuka dan menjelaskan. Pada istilah syara’ ialah:menjelaskan makna
ayat, keadaannya, kisahnya, dan sebab yang karenanya ayat diturunkan, dengan
lafadz menunjukkan kepadanya dengan jelas sekali”.
2.
Menurut Az-Zarkasyi
التفسير علمٌ يُفهم به كتاب اللهِ
المُنَزَّلُ على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم و بيانُ مَعَانِيْهِ واستخراجُ
احكامِهِ وحِكَمِهِ.
“Tafsir ialah suatu
pengeahuan yang dengan pengetahuan itu dapat dipahamkan kitabullah yang
diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW, menjelaskan maksud-maksudnya,
mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”.
التفسير في الحقيقة إنما هو شرح اللفظِ
المستقْلَقِ عند السامِعِ بما هو أفصحُ عنده بما يرادفهُ اويقاربهُ او له دلالةٌ
عليه بِاِحْدَى طُرُقِ الدَّلالاتِ.
“Tafsir pada hakikatnya ialah:
mensyarahkan lafadz yang sukar di pahamkan oleh pendengar dengan uraian yang
menjelaskan maksud. Yang demikian itu adakalanya dengan menyebut muradifnya
atau yang mendekatinya, atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu
jalan dalalah (petunjuk)”.
Istilah
tafsir dalam al-Qur’an dapat dilihat pada surat al-Furqan (25): 33 yang
berbunyi:[11]
wury7tRqè?ù't@@sVyJÎ/wÎ)y7»oY÷¥Å_Èd,ysø9$$Î/z`|¡ômr&ur#·Å¡øÿs?ÇÌÌÈ
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang
kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu
yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”(Q.S. al-Furqan: 33)
Menurut Prof. Hasby Ash-Shiddieqy, tujuan mempelajari
tafsir ialah memahamkan makna-makna al-Qur’an, hukum-hukumnya, hikmat-hikmatnya,
akhlak-akhlaknya, petunjuk-petunjuknya yang lain untuk memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Faedah mempelajarinya ialah terpelihara dari salah
memahami al-Qur’an. Sedang dari maksud
yang diharap mempelajarinya ialah mengetahui petunjuk-petunjuk
al-Qur’an, hukum-hukumnya dengan cara yang tepat.
Sumber-sumber tafsir ialah dari ilmu riwayat dan ilmu
dirayat. Yang dimaksud ilmu riwayat ialah ilmu atau pengetahuan yang didapat
dari hadits-hadits nabi yang shahih. Yang dimaksud dengan ilmu dirayat ialah
berbagai ilmu pengetahuan seperti: ilmu bahasa arab (lughoh), nahwu sharaf
(grametika bahasa arab), ilmu balaghah (majas), ushul fiqih dan sebagainya.[12]
C.
Beberapa Metode Tafsir
1.
Metode Tahlili
Tahlili adalah salah satu metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungn ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Seseorang
penafsir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara
runtut dari awal hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan urutan
mushaf ‘Ustmani.[13]
Ditinjau dari segi kecenderungan para penafsir,
metode tahlili ini dapat berupa: al-tafsir bi al-ma’tsur, al-tafsir
bi al-ra’y, al-tafsir al-shufi, al-tafsir al-fiqhi, al-tafsir al-falsafi,
al-tafsir al-‘ilmi dan al-tafsir al-adabi al-I’jtima’i.
a.
Tafsir bi al-ma’tsur merupakan salah
satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah
intelektual Islam. Praktik penafsirannya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam
al-Qur’an al-Karim ditafsirkan dengan ayat-ayat lain, atau dengan riwayat dari
Nabi SAW, para sahabat dan juga dari tabi’in. Tentang yang terakhir ini
terhadap perbedaan pendapat. Sebagaian ulama menggolongkan qaul tabi’in ini
sebagai bagian dari riwayat, sedangkan yang lainnya mengkategorikannya kepada al-ra’y
saja.
b.
Tafsir bi al-ra’y adalah penafsiran
al-Qur’an dengan ijtihad dan penalaran. Tafsir bi al-ra’y muncul sebagai
sebuah metodologi pada periode akhir pertumbuhan tafsir al-ma’tsur, meskipun
telah terdapat upaya sebagian kaum muslimin yang menunjukkan bahwa mereka telah
melakukan penafsiran dengan ijtihad, khususnya zaman sahabat-sebagai tonggak
munculnya ijtihad dan istinbath- dan periode tabi’in. Perlu ditegaskan
bahwa tafsir bi al-ra’y tidak semata-mata didasari pada penalaran akal
dengan mengabaikan sumber riwayat secara mutlak. Dalam konteks ini, penafsiran
dengan metode ra’y bersifat lebih selektif terhadap riwayat. Sehingga, secara kuantitas
porsi riwayat di dalam tafsirnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar
ijtihad. Begitu pula halnya dengan tafsir yang mengikuti metode riwayat, tidak
sama sekali terlepas dari penggunaan rasio meskipun jumlahnya sangat kecil.
c.
Tafsir al-Shufi identic dengan tafsir al-isyari,
yaitu suatu metode penafsiran al-Qur’an yang lebih menitik beratkan
kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris. Penafsir yang mengikuti
kecenderungan ini biasanya berasal dari kaum sufi yang lebih mementingkan
persoalan-persoalan moral batin dibandingkan masalah zahir dan nyata.
d.
Tafsir al-fiqhi, yakni salah satu corak
tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada persoalan-persoalan hokum Islam.
Tafsir jenis ini banyak sekalai terdapat dalam sejarah Islam terutama setelah
mazhab fiqih berkembang pesat.
e.
Tafsir al-Falsafi muncul setelah
filsafat berkembang pesat di dunia Islam. Tafsir yang mengikuti corak ini tidak
begitu banyak. Bahkan, bisa dikatakan tidak ada karya tafsir falsafi yang
lengkap.
f.
Tafsir al-‘ilmi terutama berkaitan
dengan ayat-ayat kawniyah yang terdapat dalam al-Qur’an. Tafsir jenis
ini berkembang pesat setelah kemajuan peradaban di dunia Islam. Meskipun
demikian, jumlah kitab tafsir yang mengikuti metode ini tidaklah begitu banyak.
g.
Tafsir al-adab al-ijtima’ adalah salah
satu corak penafsiran al-Qur’an yang cenderung kepada persoalan sosial
kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa. Tafsir jenis ini lebih
banyak mengungkapkan hal-hal ada kaitannya dengan perkembangan kebudayaan yang
sedang berlangsung.
2.
Metode Ijmali
Metode
ijmali adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
cara mengemukakan makna global.[14]Dengan
metode ini penafsir menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang
dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang
dikehendaki.Di dalam uraiannya, penafsir membahas secara runtut berdasarkan
urutan mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat
tersebut.[15]
3.
Metode Muqaran
Metode
Muqaran ialah upaya menafsirkan al-Qur’an dengan cara mengambil sejumlah
ayat al-Qur’an kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap
ayat-ayat itu dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi
dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan Al-Qur’an.[16]
Metode muqaran juga digunakan
dalam membahas ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan redaksi namun
berbicara tentang topic yang berbeda. Atau sebaliknya, topic yang sama dengan
redaksi yang berbeda. Ada juga diantara penafsir yang membandingkan antara
ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi yang secara lahiriah tampak berbeda.
4.
Metode Mawdhu’i
Metode
tafsir mawdhu’I disebut dengan metode tematik, karena pembahasannya
berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an. Ada dua cara
dalam tata kerja metode tafsir mawdhu’i; pertama, dengan cara menghimpun
seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah (mawdhu’i/ ayat)
tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama, sekalipun turunnya
berbeda dan tersebar dalam pelbagai surah al-Qur’an. Kedua, penafsiran yang
dilakukan berdasarkan surat Al-Qur’an.
Al-Farmawi mengemukakan tujuh
langkah yang mesti dilakukan apabila seseorang ingin menggunakan metode mawdhu’i.[17]Langkah-langkah
yang dimaksud yaitu:
1.
Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yagn
akan dikaji secara mawdhu’i.
2.
Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan
dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyah dan Madaniyah.
3.
Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut
menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang
turunnya atau sabab al-nuzul.
4.
Mengetaahui hubungan (Munasabah)
ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surahnya,
5.
Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas,
utuh, sempurna, dan sistematis.
6.
Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadits
bila dipandang perlu, sehingga pembahasan semakin sempurna dan jelas.
D.
Analisis Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
1.
Sejarah Lahirnya Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Sayyid Quthb mulai mempelajari Al-Qur’an sedari
kecil, sebuah kewajaran bagi seorang anak yang hidup pada lingkungan keluarga
yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.Ibunya, seorang perempuan yang
memiliki andil besar pada lahirnya karya-karya besar Sayyid Quthb terutama
Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an.Ia menjadi motifator dan sumber inspirasi
terbesar bagi Sayyid Quthb dalam berkarya.
Sebelum menulis Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an,
buku pertama terfokus pada warna Islami adalah at-Tashwir al-Fanniy fi
Al-Qur’an, ditulisnya pada tahun 1945 M. Dalam buku tersebut Sayyid Quthb
mendeskripsikan bagaimana Al-Qur’an berkisah dengan begitu indahnya. Bagaimana
Al-Qur’an mengilustrasikan sejarah para Nabi, keingkaran suatu kaum dan
azabnya, sampai berbagai karakter manusia dengan terperinci serta begitu jelas.
Kisah-kisah yang dipaparkan akan menyentuh jiwa. Alur-alur tiap surat
sampai ayat per-ayat, ia bahas secara luas dan ia tafsirkan secara unik dan
komprehensif.
Ia menjadikan buku al-Tashwir al-Fanniy fi
Al-Qur’an sebagai tolak ukur dalam kitab-kitabnya yang membahas Al-Qur’an
dari aspek Bayan, Adab dan keindahannya. Sayyid Quthb men-Tadabbur
Al-Qur’an dengan Tadabbur yang sangat jelas dan tajam, hingga ia mampu
mengeluarkan isi kandungannya dari aspek pemikiran dan pembaharuan. Adapun
bukunya yang berbicara tentang pemikiran Islam adalah al-Adalah
al-Ijtima’iyah fi Islam.
Dalam penulisan tafsir Fi Zhiilalil Qur’an dapat
di bagi kepada tiga tahap:
Tahappertama,Fi Zhilalil Quran dalam majalah Al-Muslimun.Pada
penghujung tahun 1951, Sa’id Ramadhan menerbitkan majalah Al-Muslimun,
sebuah majalah pemikiran Islam yang terbit bulanan.Di dalam majalah ini pemikir
Islam menuangkan tulisannya.Pemilik majalah ini memohon kepada Sayyid Quthb
agar ikut berpartisipasi menulis artikel bulanan, serta mengemukankan
keinginannya bahwa sebaiknya artikel ini ditulis dalam sebuah serial atau
rubrik tetap.
Episode pertamanya dimuat dalam majalah Al-Muslimun
edisi ketiga yang terbit bulan Februari 1952, dimulai dari surat Al-Fatihah,
dan di teruskan dengan surat al-Baqarah dalam episode-episode berikutnya.
Sayyid Quthb mempublikasikan tulisannya dalam majalah ini sebanyak tujuh
episode dalam tujuh edisi secara berurutan. Tafsir beliau ini sampai pada
surat al-Baqarah ayat 103.
Tahap Kedua, Fi Zhilalil
Qur’an menjelang
ditangkapnya Sayyid Quthb. Sayyid Quthb pada akhir episode ke tujuh dari
episode-episode Fi Zhilalil Qur’an dalam majalah Al-Muslimun mengumumkan
pemberhentian episode ini dalam majalah, karena beliau akan menafsirkan
Al-Qur’an secara utuh dan dalam kitab (tafsir) tersendiri, yang akan
beliau luncurkan dalam juz-juz secara bersambung. Dalam pengumumannya tersebut
Sayyid Quthb mengatakan “dengan kajian (episode ketujuh) ini, maka berakhirlah
serial dalam majalah Al-Muslimun. Sebab Fi Zhilalil Qur’an akan
dipublikasikan tersendiri dalam tiga puluh juz secara bersambung, dan
masing-masing episode akan diluncurkan pada awal setiap dua bulan, di mulai
dari bulan September tahun 1952 denga izin Allah, yang akan di
terbitkan oleh Dar Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah Milik Isa Al-Halabi &
CO. sedangkan majalah Al-Muslimun mengambil tema lain dengan judul Nahwa
Mujtama’ Islami (Menuju Mayarakat Islami)
Juz pertama dari Fi Zhilail Quran
terbit bulan Oktober 1952. Sayyid Quthb memenuhi janjinya kepada para pembaca,
sehingga beliau meluncurkan satu juz dari Fi Zhilail Qur’an setiap dua
bulan. Bahkan terkadang lebih cepat dari waktu yang
ditargetkan. Pada periode antara Oktober 1952 dan
Januari 1954, beliau telah meluncurkan enam belas juz dari Fi Zhilalil
Qur’an.
Tahap ketiga, Sayyid Quthb menyempurnakan Fi Zhiilalil
Qur’an di penjara. Sayyid Quthb berhasil menerbitkan enam belas juz sebelum
beliau di penjara. Kemudian beliau dijebloskan ke penjara untuk pertamakalinya,
dan tinggal dalam penjara itu selama tiga bulan, terhitung dari bulan Januari
hingga Maret 1954. Ketika di dalam penjara itu, beliau menerbitkan dua juz Fi
Zhilalil Qur’an.
Setelah beliau keluar dari penjara,
beliau tidak meluncurkan juz-juz yang baru karena banyaknya kesibukan
yang tidak menyisakan waktu sedikitpun untuk beliau. Di samping itu
beliau belum sempat tinggal agak lama di luar penjara. Sebab
tiba-tiba dengan begitu cepat beliau di jebloskan ke penjara bersama
puluhan ribu personel jamaah Ikhwan Al-Muslimin pada bulan November 1954
setelah “Sandiwara” Insiden Al-Mansyiyah di Iskandariyah, yang jamaah
Ikhwan Al-Muslimin dituduh berusaha melakukan pembunuhan terhadap pemimpin
Mesir Jamal Abdun Nashir.
Pada tahap pertama di penjara, beliau tidak
menerbitkan juz-juz baru dari Fi Zhilalil Qur’an, karena beliau dijatuhi
berbagai siksaan yang tak bisa di bayangkan pedihnya tanpa henti siang dan
malam. Hal itu sangat bedampak pada tubuh dan kesehatan beliau.
Setelah beliau dihadapkan ke pengadilan,
akhirnya beliau dijatuhi hukuman lima belas tahun. Penyiksaan terhadap beliau
pun berhenti, dan beliau tinggal di penjara Liman Thurrah serta beradaptasi
dengan Milieu yang baru beliau mengkonsentrasikan untuk menyempurnakan
tafsirnya dan menulis juz-juz Fi Zhilalil Qur’an berikutnya.
Peraturan penjara sebenarnya telah menetapkan
bahwa orang hukuman tidak boleh menulis (mengarang) bila sampai ketahuan
melakukan hal itu, maka ia akan disksa lebih keras lagi. Akan
tetapi Allah SWT, menghendaki Fi Zhilalil Qur’an itu ditulis, dan dari
dalam penjara sekalipun.Maka Allah pun melenyapkan segala rintangan itu,
membuat kesulitan yang dihadapi Sayyid Quthb tersingkir, serta membukakan jalan
di hadapannya menuju dunia publikasi.
Kisahnya adalah bahwa Sayyid Quthb sebelumnya
telah membuat kontrak atau kesepakatan dengan Dar Ihya’ Al-Kutub
Al-Arabiyah Milik Isa Al-Bahi Al-Halabi & CO. Untuk menulis Fi
Zhiilalil Qur’an sebagai sebuah kitab tafsir Al-Qur’an yang utuh. Ketika
pemerintah melarang Sayyid Quthb untuk menulis di dalam penjara, maka
pihak penerbit ini mengajukan tuntutannya terhadap pemerintah dengan meminta
ganti rugi dari nilai Fi Zhilalil Qur’an itu sebanyak sepuluh Ribu
Pound, karena pihak penerbit mengalami kerugian material dan immaterial dari
larangan tersebut. Akhirnya pemerintah memilih untuk mengizinkan Sayyid Quthb
untuk menyempurnakan Fi Zhilalil Qur’annya dan menulis di dalam penjara
sebagai ganti rugi terhadap penerbit.
2.
Motivasi Penulisan Tafsir Fî Zilalil Qur’an
Pada kata pengantarnya,
Sayyid Quthb mengemukakan kesan-kesanya hidup di bawah naungan Al-Qur’anadalah nikmat. Nikmat yang tidak diketahui kecuali oleh yang telah
merasakanya. Ia merasa dekat dan mendengar serta berbicara dengan Allah melalui
Al-Qur’an. Hidup di bawan naungan Al-Qur’an, Sayyid Quthb merasakan keselarasan
yang indah antara gerak manusia sebagaimana kehendak Allah dengan gerak-gerik
alam ciptaan-Nya.[18] Ia
melihat kebinasaan yang akan menimpa kemanusiaan akibat pemyimpangannya dari
undang-undang alam ini. Ia menyaksikan benturan yang keras antara ajaran-ajaran
rusak yang dididektekan padanya dengan fitrahnya, yang telah ditetapkan Allah SWT.
Kondisi Mesir tatkala itu
sedang porak poranda ketika Sayyid Quthb telah kembali dari
perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami krisis politik yang mengakibatkan terjadinya
kudeta militer pada bulan juli 1952. Pada saat itulah, Sayyid Quthb memulai
mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan
politik.[19]Oleh
karenanya, kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Quthb dalam tafsirnya
lebih cenderung mengangkat terma sosial-kemasyarakatan.
Dalam tafsir Fî Zilalil
Qur’anini lebih cenderung membahas tentang logika konsep negara islam
sebagai mana yang didengungkan oleh pengikut Ikhwan al-Muslimin lainnya seperti
halnya Hasan Al Banna, Abu A’la al Maududi.
Secara singkatnya,
sebenarnya Sayyid Quthb memulai menulis tafsirnya atas permintaan rekannya yang
bernama Dr. Said Ramadhan yang merupakan redaksi majalah al-Muslimun yang ia
terbitkan di Kairo dan Damaskus. Dia meminta Sayyid Quthb untuk mengisi rubrik
khusus mengenai penafsiran Al-Qur’an yang akan diterbitkan satu kali dalam
sebulan.
Sayyid Quthb menyambut
baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi rubrik tersebut yang kemudian
diberi nama Fî Zhilal Al-Qur`an. Adapun mengenai tulisan yang pertama
yang dimuat adalah penafsiran surat al-Fâtihah lantas dilanjutkan dengan surat
al-Baqarah.
Namun, hanya beberapa
edisi saja tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Quthb berinisiatif
menghentikan kepenulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir
sendiri yang diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`an sama halnya dengan rubrik
yang beliau asuh.
Karya beliau tersebut
diterbitkan oleh penerbit al-Bâbi al-Halabi. Akan tetapi kepenulisan tafsir
tersebut tidak langsung serta merta dalam bentuk 30 juz. Setiap juz kitab
tersebut terbit dalam dua bulan sekali dan ada yang kurang dalam dua bulan dan
sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada dalam tahanan.
3.
Corak dan Wawasan
Penafsiran Sayyid Quthb Dalam Tafsir Fî Zilalil Qur’an
Macam-macam wawasan yang
digunakan oleh Sayyid Quthb dalam tafsirnya yang terpenting adalah:[20]
1)
Wawasan Keislaman
Dalam Zilal banyak sekali
terdapat poin yang merupakan hasil dari penerapan wawasan keislaman beliau yang
bermacam-macam sebagai satu sarana bagi tafsirnya. Hal ini mencakup berbagai
macam aspek wawasan keislaman yang berupa tafsir dan hadits, fiqih, dan
perbedaan pendapat (khilaf), akidah dan konsepsi, sejarah dan firqah-firqah,
ekonomi dan sosial, dakwah dan pergeraka, tabligh, dan jihad, dst.[21]
2)
Wawasan Kebahasaan
Wawasan kebahasaan beliau
adalah sebagai sarana dalam zhilal, dan bukan sebagai tujuan. Sayyid Quthb
menggunakan ilmu nahwu, balaghah, sastra, dan naqd (kritik) sebagai
sarana-sarana untuk memaparkan pemikiran-pemikirannya dan mewujudkan
tujuan-tujuannya.[22]
3)
Wawasan Sejarah
Sayyid Quthb juga
mempunyai wawasan kesejaraha yang luas yang beliau ambil dari berbagai sumber
yang autentik serta dapat menggunakannya dengan sebaik-baiknya sebagai satu
sarana dalam tafsirnya.[23]
4)
Wawasan ilmiah
Sayyid Quthb juga
menggunakan wawasan keilmuan yang bermacam-macam dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an, menuangkan makna-makna dan kandungan-kandungan ilmiahnya mengambil
bukti penguat dengan informasi ilmumodern, serta di dalam menjelaskan hikmah
penciptaan dan alasan pensyariatan.[24]
5)
Wawasan mengenai studi-studi
kejiwaan (Psikologis) dan analisis kejiwaan
Sayyid Quthb juga memiliki
wawasan kejiwaan yang cukup luas serta mempunyai pengalaman mengenai kejiwaan
manusia. Sayyid menyikap rahasia-rahasia hal itu, menganalisis situasi dan
motivasinya, serta menjelaskan berbagai macam kondisinya.[25]
Pengetahuan dan pengalaman
ini beliau gunakan dalam tafsir, dalam memberikan justifikasi kejiwaan mengenai
perintah-perintah dan arahan; dalam menganalisis contoh-contoh manusia yang
diilustrasikan dalam ayat dan menjelaskan motivasi-motivasi pada tempatnya; dan
menafsirkan berbagai macam situasi mengenai para pahlawan dalam kisah-kisah
Al-Qur’an; serta dalam memperluas kandungan makna nash Al-Qur’an dan
menambahkan dimensi kejiwaan serta mengambil bukti penguat darinya.
4.
Metodologi
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Sayyid Quthb
memilki suatu metode yang unik dalam tafsir yang belum pernah ditempuh oleh
seorang mufassir yang ada, baik dari kalangan terdahulu maupun sekarang. Sayyid
tidak pernah menyibukkan diri dengan menelaah kitab-kitab tafsir terdahulu yang
berisi berbagai perbedaan pendapat dan adu argumentsi dalam berbgai macam tema
keislaman.Sayyid tidak mengambil informasi-informasi pemikiran darinya, tidak
mau masuk ke alam al-Qur’an berdasarkan ketentuan-ketentuan pemikiran
sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh selainnya.
Sesungguhnya metode beliau
merupakan buah semangat dari semangatnya untuk memasuki alam al-Qur’an tanpa
berbagai ketentuan pemikiran sebelumnya, dan juga dari keyakinannya mengenai
kekayaan al-Qur’an serta banyaknya makna inspirasinya.Metode beliau berdiri di
atas dua tahap.
Tahap pertama, beliau
hanya mengambil dari al-Qur’an saja, sama sekali tidak ada peran bagi rujukan,
referensi, dan sumber-sumber lain. Ini adalah tahap dasar, utama dan langsung.
Tahap kedua, sifatnya
sekunder serta penyempurnaan bagi tahap pertama, yang digunakan oleh Sayyid
untuk melengkapi kekurangan yang ada pada taap pertama, atau meluruskan
kekeliruannya.Tahapan ini bersandar kepada sumber dan referensi secara
mendasar. Sebab ia berdiri di atas perhatian terahadap kitab-kitab tafsir
untukmengetahui bukti dengan hadits atau riwayat yang shahih tentang penafsiran
ayat.[26]
Ketika kita berbicara megenai
sumber-sumber Zhilal, kita juga harus menyertakan kondisi khusus yang dialami
oleh Sayyid Quthb ketika menulis Zhilal.Beliau menulisnya di penjara, sedangkan
menulis dipenjara harus tunduk kepada syarat-syarat khusus yang diwajibkan oleh
administrasi penjara yang berkaitan dengan masuknya buku-buku ke dalam
penjara.Suasana penjara juga mempunyai pengaruh terhadap penulisan Zhilal.Maka
semangat Sayyid di dalam penjara untuk membekali diri dengan
referensi-referensi ayng menjadi sandaran merupakan bukti bahwa Sayyid memenuhi
syarat metodologi dalam melakukan studi dan menulis.[27]
5.
Metodologi bil ma’sur dalam
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Kebanyakan orang melihat Sayyid
Quthb sebelah mata, mereka beranggapan bahwasanya tafisr Fi Zhilialil Qur’an
itu kosong dari metode tafsir bil ma’sur.Tentu saja anggapan ini tidak
benar, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, Sayyid Quthb tidak lepas dari metode
penafsiran yang paling utama, yaitu metodologi bil ma’sur.
Dalam Khashaish At-Tashawwur
A-Islami, Sayyid Quthb Menegaskan bahwa metodenya dalam tafsir dan
interaksinya dengan al-Qur’an, berpegang teguh pada prinsip kesatuan tematik
al-Qur’an. Ia menolak dan mengabaikan asumsi dan hipotesa individual yang
berdampak pada penghancuran kesatuan tematik tersebut, yang berujung pada
penyimpangan makna dan tujuan al-Qur’an.[28]
Sayyid Quthb berkata, “Metode
saya dalam memahami al-Qur’an adalah tidak menundukkannya di bawah asumsi
individu saya.Baik asumsi yang berasal dari akal atau perasaan.Saya juga tidak
merangkai makna-makna al-Qur’an di bawah kendalai asumsi subjektif tersebut.Sesungguhnya
al-Qur’an datang untuk membangun asumsi yang benar dan sesuai dengan maksud dan
tujuan yang di inginkan Allah, dan serasi dengan manusia dan kebutuhan
hidupnya.Jadi, tidak ada hipotesa yang bisa mengendalikan kandungan al-Qur’an.[29]
Di sini sedikit dipaparkan metode
bil ma’sur di dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an.Allah SWT berfirman,
wur(#þqè=ä.ù's?Nä3s9ºuqøBr&Nä3oY÷t/È@ÏÜ»t6ø9$$Î/(#qä9ôè?ur!$ygÎ/n<Î)ÏQ$¤6çtø:$#(#qè=à2ù'tGÏ9$Z)Ìsùô`ÏiBÉAºuqøBr&Ĩ$¨Y9$#ÉOøOM}$$Î/óOçFRr&urtbqßJn=÷ès?ÇÊÑÑÈ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu
mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)
Dalam menafsirkan ayat ini,
Sayyid Quthb mengedepankan riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata,
هذا في الرجل يكون عليه
مال, وليس عليه فيه بينة, فيخد المال, ويخاصم إلى الحكّام, وهو يعرف أنّ الحقّ
عليه, وهو يعلم أنّ اثراكل الحرام.
“Ayat ini berkenaan dengan
seorang lelaki yang berkewajiban membayar harta tetapi tidak ada bukti yang
mendukungnya, lalu ia mengingkari harta tersebut dan mengadukannya kepada
hakim, padahal ia tahu bahwa dirinya bersalah dan memakan harta haram.”
Sayyid Quthb juga menambahkan
riwayat dari Mujahid, Said bin Jabir, Ikrimah, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi,
Muqatil bin Hayyan, ‘Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam, mereka berkata;
لا تخاصم وأنت تعلم أنّك ظالم.
“Janganlah kamu berperkara
padahal kamu mengetahui bahwasanya dirimu bersalah.”
Di tambah lagi dengan hadits Nabi
SAW yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, Rasulullah SAW bersabda,
إنّما
انا بشر, وإنّما يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون ألحن بحجة من بعض فأقضي له, فمن
قضيت له بحقّ مسلم فإنّما هى قطعة من النار. فليحملها أو ليذرها.
“Sesunggahnya
aku hanya manusia biasa, kemudian diajukan kepadaku suatu perkara kepadku. Bisa
jadi sebagian di antara kamu lebih pintar menyampaikan argumentasi dari
sebagian yang lain sehingga aku memutuskan perkara untuknya. Barang siapa yang
aku putuskan perkara untuknya dengan mengambil hak seorang Muslim maka
sesungguhnya hal itu hanyalah sepotong api neraka. Silahkan ia membawanya atau
meninggalkannya”.[30]
Allah
SWT berfirman,
tûïÏ%©!$#(#qãZtB#uäóOs9ur(#þqÝ¡Î6ù=tOßguZ»yJÎ)AOù=ÝàÎ/y7Í´¯»s9'ré&ãNßgs9ß`øBF{$#NèdurtbrßtGôgBÇÑËÈ
“Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.”(Al-An’am: 82)
Dalam menafsirkan ayat ini,
Sayyid mengemukakan tiga riwayat yang ma’tsur yang disebutkan oleh Ibnu Jarir
dalam tafsirnya, dengan isnadnya sendiri, yang menggambarkan kekhawatiran para
sahabta mengenai kandungan ayat ini serta sikap mereka yang berusaha menjahui
segala bentuk kezaliman. Hal ini membuat mereka bergegas menemui Rasulullah
SAW, kemudian beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kezaliman
di sini adalah syrik.[31]
6.
Keistimewaan Tafsir Fi
Zhilalil Qur’an
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an merupakan
tafsir kontemporer yang paling actual dalam memberikan terapi berbagai
persoalan dan menjawab berbagai tuntutan abad modern ini berdasarkan petunjuk
al-Qur’an. Di antara persoalan dan tuntutan abad modern yang paling menonjol
adalah persoalan seputar pemikiran, ideologi, konsepsi, pembinaan, hokum,
budaya, peradabaan, politik, psikologi, spritualisme, dakwah dan pergerakan
dalam suatu rumusan kontemporer sesuai dengan tuntutan zaman. Berbagai
persoalan ini, di samping persoalan-persoalan lainnya, menadapatkan perhatian
yang memada di dalam tafsir ini.Sehingga membuat tafsir ini terasa sangat
actual apalagi gagasan-gagasan Sayyid Quthb yang tertuang di dalam tafsir ini
sangat orisinil berdasarkan nash-nash al-Qur’an tanpa terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran
asing.
Karena itu
tafsir Fi Zhilalil Qur’an dapat dikatagorikan sebagai tafsir corak baru
yang khas dan unik, serta langkah baru yang jauh dalam tafsir. Zhilal
juga dapat dikatagorikan sebagai aliran khusus dalam tafsir, yang dapat disebut
sebagai “aliran tafsir pergerakan”.Sebab metode pergerakan (al-manhaj
al-haraki) atau metode realistis yang serius tidak ada didapati selain pada
Zhilal.
Sumber-sumber Zhilal berbeda dari
sumber-sumber tafsir lainnya disebabkan perbedaan karakter dann tujuannya.
Sumber-sumber dalam Zhilal itu tidaklah mendasar atau pokok (primer), akan
tetapi sifatnya sekunder, sebab Sayyid Quthb menyebutkannya untuk memberikan
contoh dan bukti dari yang apa yang ia katakana. Ini adalah bagian dari
beberapa keistimewaan Zhilal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sayyid Quthb merupakan sosok yang
sangat jenius. Bahkan ia telah hafal al-Qur’an sebelum umurnya genap 10 tahun.
Dari kecil Sayyid Quthb sudah menampakkan ciri-ciri kalau ia bakal menjadi
ulama yang terkenal. Sehingga orang tuanya pindah ke Halwan, daerah pinggiran Kairo. Ia memperoleh
kesempatan masuk Tajhiziah Darul-‘Ulum. Tahun 1929, ia kuliah di Darul-‘Ulum.
Ia memperoleh gelar sarjana muda pendidikan pada tahun 1933.
Sebagian
kalangan berpendapat bahwasanya Sayyid Quthb itu adalah orang yang berpaham wihdatul
wujud. Di
dalam tafsirnya, ia benyak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan kemampuan
bahasanya. Padahal metodologi yang harus diprioritaskan dalam penafsiran
al-Qur’an adalah metodologi bil ma’tsur, yaitu metodologi penafsiran ayat
dengan ayat, ayat dengan hadits, ayat dengan perkataan sahabat. Tetapi di sisi
lain, tafsir Fi Zhilalil Qur’an banyak memberikan aspirasi untuk para
pemuda yang ingin menjadikan kehidupan manusia dengan berlandaskan al-Qur’an.
Meskipun didapati ada kekurangan dalam tafsir ini, maka janganlah kita
menganggapnya sebagai kecacatan tapi anggaplah dia sebagai hamba Allah yang
diliputi oleh segala kekurangan.
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta; Teras, 2004.
M. Yusron, Sudi
Kitab Tafsir Kontemporer, Yogyakarta; Teras, 2006.
Amir Faishol Fath, The Unity of Al-Qur’an, Jakarta;
Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Saayid Quthb dalam tafsir Zilal,
(Solo, Era Intermedia, 2001), hal. 136
Sayyid Quthb, Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2000.
Rodiah dkk, Studi Al-Qur’an Studi dan Konsep, Yogyakarta;
eLSAQ Press, 2010.
Mashuri Sirojuddin Iqbal & A. Fudlali, Pengantar
Ilmu Tafsir, Bandung; Angkasa, 1987.
M. Alfatih
Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta; Teras, 2005.
Abd al-Hay al-Farmawi, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i,
Kairo; Al-Hadharah al-‘Arabiyah, 1977.
Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila
Zhilalil Qur’an, (Terj.) Salafuddin Abu Sayyid, Laweyan: Era Intermedia,
2001.
[1]Dosen Tafsir
Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir, (Yogyakarta; Teras, 2004), hal. 1
[2] M. Yusron, Sudi
Kitab Tafsir Kontemporer,(Yogyakarta; Teras, 2006), hal. xi
[4] Sayyid Quthb, Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2000), Jilid 1, hal. 406-407
[5] Mahmud Iqbal
& H Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 209
[6] Mahmud Iqbal
& H Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer,…, hal. 209
[7] Mahmud Iqbal
& H Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer,…, hal. 210
[8]Sayyid Quthb, Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an,…,hal. 407
[9]Mashuri Sirojuddin Iqbal & A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung;
Angkasa, 1987, hal. 86
[11] M. Alfatih
Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir,(Yogyakarta; Teras, 2005), hal.
26
[13] M. Alfatih
Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir,…, hal. 41
[14]Abd al-Hay
al-Farmawi, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, (Kairo; Al-Hadharah
al-‘Arabiyah, 1977), hal. 42
[15] Abd al-Hay
al-Farmawi, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Mawdhu’I,…, hal. 42
[16]Rodiah dkk, Studi
Al-Qur’an Studi dan Konsep,(Yogyakarta; eLSAQ Press, 2010), hal. 6
[17] Abd al-Hay
al-Farmawi, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i,…, hal. 61-62
[18]Muhammad
Chirzin, Jihad Menurut Saayid Quthb dalam tafsir Zilal, (Solo, Era
Intermedia, 2001), hal. 136
[19]Sayyid Quthb, Tafsir Fî Zilalil Qur’an, terj.As’ad Yasin dkk., jild
1, hal.407
[20]Shalah
Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an, (Terj.Salafuddin
Abu Sayyid, Laweyan: Era Intermedia, 2001), Cet.I, hal. 243
[26]Shalah
Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an,…,hal. 175
[27]Shalah
Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an,…, hal. 178
[30]Sayyid
Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, (Kairo: Daar asy-Syuruq, 1992), Cet.17,
jilid.I, hal.176
[31]Shalah
Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an,,…,hal. 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar