Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PEMIKIRAN SAYYID QUTHB DI DALAM TAFSIRNYA FÎ ZILALIL QUR’AN


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah penafsiran Al-Qur’an adalah Islam itu sendiri.Artinya perjalanan sejarah tafsir al-Qur’an sudah lama tuanya dengan sejarah perjalanan Islam sebagai agama, sehingga antara keduanya menjadi identic dan tak terpisahkan.Aktivitas penafsiran sudah barang tentu dimulai semenjak Nabi Muhammad SAW.menyampaikan risalah Tuhan yang datang dalam bentuk Al-Qur’an.[1]
Pada era-modern ini kajian tentang tafsir mengalami perubahan, seiring dengan perkembangan zaman.Dewasa ini, bermunculan tafsir kontemporer, sebutan kontemporer berarti masa kini.Secara etimologis kata itu berdekatan maknanya dengan modern yang artinya terbaru, mutakhir.Kata tersebut seringkali di lawankan dengan istilah klasik yang berarti pada masa lalu yang bermutu, mempunyai nilai atau posisi yang diakui dan tidak diragukan.Tafsir modern atau kontemporer dipelopori Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935).[2]
Diantara para ulama kontemporer yang sangat concern terhadap penafsiran al-Qur’an adalah Sayyid Quthb (1906-1966 M), ia salah seorang terkemuka dikalangan Ikhwan al-Muslimin. Terbukti dia menulis kitab tafsir Fi Zhilalil Al-Qur’an yang menjadi master-peace diantara karya-karya lain yang dihasilkannya. Kitab tafsir ini sangat diminati oleh kaum intelektual karena dinilai kaya dengan pemikiran sosial-masyarakat yang mengkaji masalah-masalah sosial yang sangat dibutuhkan oleh generasi muslim sekarang.
Karya Sayyid Quthb yang berjudul Fi Zhilalil Qur’an merupakan ungkapan dari substansi pemikirannya, serta ringkasan usaha konkritnya dalam berdakwah di jalan Allah. Di samping itu, kitab tersebut telah memainkan peranan penting dalam memperkaya pemikiran, mengarahkan gerakan pembaharuan Islam, serta mengungkap persekongkolan dan konspirasi untuk memusuhi Islam dan pemeluknya. Setiap orang yang membaca kitab tersebut akan mendapatkan gambaran yang benar dan komperhensif tentang Islam. Fi Zhilalil Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat sesuai dengan fitrah manusia, dan masa depan akan menjadi milik Islam. Semua itu tentu hanya akan didapatkan setelah kita hidup di bawah naungan dan mengamalkan semua ajaran Al-Qur’an.[3]

B.     Rumusan Masalah
1.         Bagaimana biografi Sayyid Quthb?
2.         Apa saja metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an?
Bagaimana pemikiran Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fî Zilalil Qur’an?

C.    Tujuan Pembahasan
1.         Untuk memahami biografi Sayyid Quthb.
2.         Untuk memahami metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an.
3.         Untuk memahami pemikiran Sayyid Quthb di dalam tafsirnya Fî Zilalil Qur’an.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Sayyid Quthb
Asy-Syahid Sayyid Quthb dilahirkan pada tahun 1906 di kampung Musyah, Kota Asyut, Mesir. Ia dibesarkan di dalam sebuah keluarga yang menitik-beratkan ajaran Islam dan mencintai Al-Qur’an. Ia telah bergelar hafizh sebelum berumur sepuluh tahun. Menyadari bakat anaknya, orang tuanya memindahkan keluarganya ke Halwan, daerah pinggiran Kairo. Ia memperoleh kesempatan masuk Tajhiziah Darul-‘Ulum. Tahun 1929, ia kuliah di Darul-‘Ulum (nama lama Universitas Kairo, sebuah universitas yang terkemuka di dalam bidang pengkajian ilmu Islam dan sastra Arab, dan juga tempat al-Imam Hasan al-Banna belajar sebelumnya). Ia memperoleh gelar sarjana muda pendidikan pada tahun 1933.[4]
Ayahnya meninggal ketika Sayyid Quthb sedang kuliah.Tak lama kemudian (1941), ibunya menyusul kepergian suaminya.Wafatnya dua orang yang dicintainya itu membuatnya marasa kesepian. Tetapi di sisi lain, keadaan ini justru memberikan pengaruh positif dalam karya tulis dan pikirannya. Karya tulis dan pemikiran-pemikirannya inilah memberikan sumbangsi yang berlian, yang bisa dijadiakan spirit untuk perjuangan generasi berikutnya.
Pada usia 13 tahun, Sayyid Quthb berangkat ke Kairo untuk meneruskan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah dan setelah selesai baru melanjutkan ke Dar al-‘Ulum. Pada masa ini Sayyid banyak mendapat pengaruh dari Abbas Mahmud al-‘Aqqod, seorang penulis Mesir terkenal yang cenderung pada pemikiran Barat.[5]
Sejak lulus dari kuliahnya hingga tahun 1951, kehidupanya tampak biasa-biasa saja, sedangkan karya tulisnya menampakkan nilai sastra yang begitu tinggi dan bersih, tidak bergelimang dalam kebejatan moral, seperti kebanyakan sastrawan pada masa itu. Pada akhirnya, tulisan-tulisannya lebih condong kepada Islam.
Pada tahun yang sama, sewaktu bekerja sebagai pengawas sekolah di Departemen Sekolah, ia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuanya di bidang pendidikan selama dua tahuan. Ia membagi waktu studinya antara Wilsons's Teacher's College di Washington, Greeley College di Colorado, dan Stanford University di California. Ia juga mengujungi banyak kota besar di Amerika Serikat serta berkunjung ke Inggris, Swiss, dan Italia.Tidak seperti rekan-rekan seperjalannya, keberangkatannya ke Amerika itu ternyata memberikan saham yang besar pada dirinya dalam menumbuhkan kesadaran dan semangat Islami, terutama sesudah melihat bangasa Ameriaka berpesta pora atas meninggalnya al-Imam Hasan al-Bana pada awal tahun 1949.[6]
Seperti halnya tokoh-tokoh Mesir lainnya, semula Sayyid adalah pengagum Barat.Namun setelah menyaksikan langsung dari dekat peradaban Barat, Sayyid Quthb berbalik menyerang Barat dan menarkan Islam sebagai solusi bagi permasalahan sosial-politik Mesir. Menurut Haddad, ada dua hal yang menyebabkan perubahan pemikirannya. Pertama,ia melihat barat membela dan mendukung berdirinya Negara zionis Israel, 1948. Ini dianggapnya sebagai sebuah penolakan terhadap hak-hak bangsa Arab. Ketika berada di Washington DC dan California pada 1949 untuk belajar ilmu administrasi pendidikan, ia melihat bagaimana dukungan luas pemerintah dan pers Amerika terhadap Israel. Kedua,  ia menyaksikan langsung keringnya peradaban Barat dari nilai-nilai Spiritual. Sayyid Quthb melihat sendiri orang-orang berdansa di gedung gereja.[7]
Hasil studi dan pengalamannya selama di Amerika Serikat itu meluaskan wawasan pemikirannya mengenai problem-problem sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh paham matrealisme yang gersang akan paham ketuhanan. Ketika kembali kemesir, ia semakin yakin bahwa Islamlah yang sanggup menyelamatkan ummat manusia dari paham matrealisme sehingga terlepas dari cengkraman materi yang tak pernah terpuaskan.
Ini yang membuat Sayyid Quthb berubah dan menoleh pada Islam serta menjadikannya sebagai Idiologi. Pada 1951, setelah pulang dari Amerika, ia masuk organisasi al-Ikhwan. Di sinilah ia mulai mengembangkan gagasan-gagasan politiknya. Ia mulai menunjukkan sikdap frontalnya terhadap pemerintahan Gamal Abd. Al-Naser yang dipandang berbau sosialis.Gagasan militernya memengaruhi anak-anak muda al-Ikhwan.Mereka menuntut pemerintah untuk mundur.Bahkan mereka berusaha membunuh Presiden Nasher, tetapi gagal.Akibatnya, banyak anggota al-Ikhwan yang ditangkap dan diadili.Ada yang dihukum gantung, ada yang dihukum kerja paksa, da nada pula yang dipenjarakan sampai 15 tahun lamanya.
Setelah Sayyid Quthb bergabung dengan Gerakan Islam Ikhwanul Muslimin, ia  menjadi salah satu seorang tokohnya yang sangat berpengaruh, di samping Hasan al-Hudaibi dan Abdul Qadir Audah. Sewaktu larangan terhadap Ikhwanul Muslimin di cabut pada tahun1951, ia terpilih sebagai anggota panitia pelaksana dan memimpin bagian dakwah. Selama tahun 1953, ia menghadiri konfrensi di Suriah dan Yordania, dan sering memberikan ceramah tentang pentingnya akhlaq sebagai prasayat kebangkitan ummat.
Juli1954, ia menjadi pemimpin redaksi harian Ikhawanul Muslimin. Akan tetapi, baru dua bulan usianya harian ditutup atas perintah Presiden Mesir Kolonel Gamal Abdul Naser karena mengecam perjanjian Mesir-Inggris 7 juli 1954.karena itu Sayyid Quthb dianggap oleh pemerintah sedang membuat makar, maka pemerintah tersebut menjegal dan menutup redaksi harian Ikhawanul Muslimin.
Sekitar mei 1955, Sayyid Quthb termasuk salah satu pemimpin Ikhwanul Muslimin yang ditahan. Setelah organisasi itu dilarang oleh Presiden Nasser dengan tuduhan berkomplot untuk menjatuhkan pemerintah. Pada 13 juli 1955, pengadailan rakyat menjatuhkan hukuman lima belas tahun kerja berat. Ia ditahan di beberapa penjara di Mesir hingga pertengahan tahun 1964, ia dibebaskan pada tahun itu atas permintatan Presiden Irak Abdul Salam Arif yang mengadakan kunjungan muhibah ke Mesir.
Baru setahun ia menikmati kebebasan, ia kembali ditangkap bersama tiga saudaranya: Muhammad Quthb, Hamidah, dan Aminah. Juga ikut di tahan kira-kira 20.000 orang lainnya, diantaranya 700 orang wanita. Pada hari senin, 13 Jumadil Awwal 1386 atau 29 Agustus 1966, ia dan dua orang temannya (Abdul Fatah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy) menyambut panggilan Rabbnya dan Syahid di tali tiang gantungan.[8]
Asy-syahid Sayyid Quthb menulis lebih dari dua puluh buah buku.Ia mulai mengembangkan bakat menulisnya dengan membuat buku anak-anak yang meriwayatkan pengalaman Nabi Muhammad saw, dan cerita-cerita lainya dari sejarah Islam. Perhatiannya kemudian meluas dengan menulis cerita-cerita pendek, sajak-sajak, keritik sastara, serta artikel untuk majalah.
Diawal karir penulisananya, ia menulis dua buku mengenai keindahan dalam al-Quran: at-Tashwri Fi Fanni Fil Quran, cerita keindahan dalam al-Quran, Musyaahidah al-Qiyaamah Fil Quran, 'Hari Kebangkitan Dalam Islam'. Pada tahun 1984, menerbitkan karya monumental, al-Adalah Ijtima'iayh Fil Islam,Keadilan sosial dalam Islam.Kemudian disusul Fi Zhilaali -Quran' Di Bawah Naungan Al-Quranyang diselesaikan di dalam penjara.
Karya-karya lainnya: as-Salam al-'alamil wal islam 'Perdamaian Internasional dan Islam' (1951), an-Naqd al-Adabii Usuuluhu wa Maanaahijuhuu 'Kritik Sastra, Prinsip Dasar, dan Metode-metode', Marakah al-Islam war-Ra'maaliyah' Perbenturan Islam dan Kapitalisme' (1951), Fit-Tariikh, Fikrah wa Manaahij ' Teori dan metode dalam sejarah', al-Mustaqbal li Haadzad-Diin 'Masa Depan Berada di Tangan Agama ini' , Nahw Mujtama' Islaami' Perwujudan Masyarakat Islam' , Ma'rakatuna ma' al-Yaahuud' Prebenturan Kita dengan Yahudi', al-Islam wa Musykilah al-hadaarah dan problem kebudayaan' (1960), Hadza ad-Din' Inilah Agama' (1955), dan Khashais at-Tashwwri al-Islami wa Mukawwamatuhu' Ciri Dan Nilai Visi Islam' (1951).
Sewaktu di dalam tahanan, ia menulis karya terakhirnya: Ma'aalim fith-Thariq' petujuk jalan (1960). dalam buku ini, ia mengemukakan gagasannya tentang perlunya revolusi total, bukan semata-mata pada sikap individu, namuan juga pada struktur negara. Selama priode inilah, logika konsepsi awal negara Islamnya Sayyid Quthb mengemuka.Buku ini pula yang dijadikan bukti utama dalam sidang yang menuduhnya bersekongkol hendak menumbangkan Rezzim Nasser.
Tetes darah perjuangan dan goresan penanya mengilhami dan merupkan ruh jihad di hampir gerakan keislaman di dunia ini.Bagi ummat rahmatan lil'alamin, sudah saatnya bangkit untuk berjuang kembali demi menyebarkan Syi'ar Islam di seluruh penjuru dunia. Untuk kemaslahatan ummat manusia dengan berpegang teguh pada al-Quran dan sunnah Rasul. Al-Quran dan Sunnah Rasul adalah asas perjuangan yang urgen untuk jihad fi sabilillah semata-mata mangharap ridha Allah SWT.

B.     Pengertian Tafsir
Tafsir menurut etimologi berarti keterangan atau penjelasan. Sedangkan menurut terminologi sebagai berikut:[9]
1.      Menurut Al-Jurjani
التفسير في الأصل هو الكشفُ والإظهارُ، وفي الشرع توضيحُ معنى الآيةِ وشأنها وقصّتِهَا والسّببِ الذى نُزِلَتْ فيه لفظ يدل دلالةً ظاهرةً.
“Tafsir pada asalnya ialah: membuka dan menjelaskan. Pada istilah syara’ ialah:menjelaskan makna ayat, keadaannya, kisahnya, dan sebab yang karenanya ayat diturunkan, dengan lafadz menunjukkan kepadanya dengan jelas sekali”.

2.     Menurut Az-Zarkasyi
التفسير علمٌ يُفهم به كتاب اللهِ المُنَزَّلُ على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم و بيانُ مَعَانِيْهِ واستخراجُ احكامِهِ وحِكَمِهِ.
“Tafsir ialah suatu pengeahuan yang dengan pengetahuan itu dapat dipahamkan kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW, menjelaskan maksud-maksudnya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”.


3.      Menurut Asy-Syaikh Thahir Al-Jazairi.[10]
التفسير في الحقيقة إنما هو شرح اللفظِ المستقْلَقِ عند السامِعِ بما هو أفصحُ عنده بما يرادفهُ اويقاربهُ او له دلالةٌ عليه بِاِحْدَى طُرُقِ الدَّلالاتِ.
“Tafsir pada hakikatnya ialah: mensyarahkan lafadz yang sukar di pahamkan oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud. Yang demikian itu adakalanya dengan menyebut muradifnya atau yang mendekatinya, atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah (petunjuk)”.

Istilah tafsir dalam al-Qur’an dapat dilihat pada surat al-Furqan (25): 33 yang berbunyi:[11]
Ÿwury7tRqè?ù'tƒ@@sVyJÎ/žwÎ)y7»oY÷¥Å_Èd,ysø9$$Î/z`|¡ômr&ur#·ŽÅ¡øÿs?ÇÌÌÈ
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”(Q.S. al-Furqan: 33)
Menurut Prof. Hasby Ash-Shiddieqy, tujuan mempelajari tafsir ialah memahamkan makna-makna al-Qur’an, hukum-hukumnya, hikmat-hikmatnya, akhlak-akhlaknya, petunjuk-petunjuknya yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Faedah mempelajarinya ialah terpelihara dari salah memahami al-Qur’an. Sedang dari maksud  yang diharap mempelajarinya ialah mengetahui petunjuk-petunjuk al-Qur’an, hukum-hukumnya dengan cara yang tepat.
Sumber-sumber tafsir ialah dari ilmu riwayat dan ilmu dirayat. Yang dimaksud ilmu riwayat ialah ilmu atau pengetahuan yang didapat dari hadits-hadits nabi yang shahih. Yang dimaksud dengan ilmu dirayat ialah berbagai ilmu pengetahuan seperti: ilmu bahasa arab (lughoh), nahwu sharaf (grametika bahasa arab), ilmu balaghah (majas), ushul fiqih dan sebagainya.[12]

C.    Beberapa Metode Tafsir
1.      Metode Tahlili
Tahlili adalah salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungn ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Seseorang penafsir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara runtut dari awal hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf ‘Ustmani.[13]
Ditinjau dari segi kecenderungan para penafsir, metode tahlili ini dapat berupa: al-tafsir bi al-ma’tsur, al-tafsir bi al-ra’y, al-tafsir al-shufi, al-tafsir al-fiqhi, al-tafsir al-falsafi, al-tafsir al-‘ilmi dan al-tafsir al-adabi al-I’jtima’i.
a.       Tafsir bi al-ma’tsur merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelektual Islam. Praktik penafsirannya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim ditafsirkan dengan ayat-ayat lain, atau dengan riwayat dari Nabi SAW, para sahabat dan juga dari tabi’in. Tentang yang terakhir ini terhadap perbedaan pendapat. Sebagaian ulama menggolongkan qaul tabi’in ini sebagai bagian dari riwayat, sedangkan yang lainnya mengkategorikannya kepada al-ra’y saja.
b.      Tafsir bi al-ra’y adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad dan penalaran. Tafsir bi al-ra’y muncul sebagai sebuah metodologi pada periode akhir pertumbuhan tafsir al-ma’tsur, meskipun telah terdapat upaya sebagian kaum muslimin yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran dengan ijtihad, khususnya zaman sahabat-sebagai tonggak munculnya ijtihad dan istinbath- dan periode tabi’in. Perlu ditegaskan bahwa tafsir bi al-ra’y tidak semata-mata didasari pada penalaran akal dengan mengabaikan sumber riwayat secara mutlak. Dalam konteks ini, penafsiran dengan metode ra’y bersifat lebih selektif  terhadap riwayat. Sehingga, secara kuantitas porsi riwayat di dalam tafsirnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar ijtihad. Begitu pula halnya dengan tafsir yang mengikuti metode riwayat, tidak sama sekali terlepas dari penggunaan rasio meskipun jumlahnya sangat kecil.
c.       Tafsir al-Shufi identic dengan tafsir al-isyari, yaitu suatu metode penafsiran al-Qur’an yang lebih menitik beratkan kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris. Penafsir yang mengikuti kecenderungan ini biasanya berasal dari kaum sufi yang lebih mementingkan persoalan-persoalan moral batin dibandingkan masalah zahir dan nyata.
d.      Tafsir al-fiqhi, yakni salah satu corak tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada persoalan-persoalan hokum Islam. Tafsir jenis ini banyak sekalai terdapat dalam sejarah Islam terutama setelah mazhab fiqih berkembang pesat.
e.       Tafsir al-Falsafi muncul setelah filsafat berkembang pesat di dunia Islam. Tafsir yang mengikuti corak ini tidak begitu banyak. Bahkan, bisa dikatakan tidak ada karya tafsir falsafi yang lengkap.
f.       Tafsir al-‘ilmi terutama berkaitan dengan ayat-ayat kawniyah yang terdapat dalam al-Qur’an. Tafsir jenis ini berkembang pesat setelah kemajuan peradaban di dunia Islam. Meskipun demikian, jumlah kitab tafsir yang mengikuti metode ini tidaklah begitu banyak.
g.      Tafsir al-adab al-ijtima’ adalah salah satu corak penafsiran al-Qur’an yang cenderung kepada persoalan sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal ada kaitannya dengan perkembangan kebudayaan yang sedang berlangsung.



2.      Metode Ijmali
Metode ijmali adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.[14]Dengan metode ini penafsir menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki.Di dalam uraiannya, penafsir membahas secara runtut berdasarkan urutan mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.[15]

3.      Metode Muqaran
Metode Muqaran ialah upaya menafsirkan al-Qur’an dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur’an kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan Al-Qur’an.[16]
            Metode muqaran juga digunakan dalam membahas ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan redaksi namun berbicara tentang topic yang berbeda. Atau sebaliknya, topic yang sama dengan redaksi yang berbeda. Ada juga diantara penafsir yang membandingkan antara ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi yang secara lahiriah tampak berbeda.

4.      Metode Mawdhu’i
Metode tafsir mawdhu’I disebut dengan metode tematik, karena pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an. Ada dua cara dalam tata kerja metode tafsir mawdhu’i; pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah (mawdhu’i/ ayat) tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama, sekalipun turunnya berbeda dan tersebar dalam pelbagai surah al-Qur’an. Kedua, penafsiran yang dilakukan berdasarkan surat Al-Qur’an.
            Al-Farmawi mengemukakan tujuh langkah yang mesti dilakukan apabila seseorang ingin menggunakan metode mawdhu’i.[17]Langkah-langkah yang dimaksud yaitu:
1.      Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yagn akan dikaji secara mawdhu’i.
2.      Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyah dan Madaniyah.
3.      Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya atau sabab al-nuzul.
4.      Mengetaahui hubungan (Munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surahnya,
5.      Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna, dan sistematis.
6.      Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadits bila dipandang perlu, sehingga pembahasan semakin sempurna dan jelas.

D.    Analisis Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
1.      Sejarah Lahirnya Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Sayyid Quthb mulai mempelajari Al-Qur’an sedari kecil, sebuah kewajaran bagi seorang anak yang hidup pada lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.Ibunya, seorang perempuan yang memiliki andil besar pada lahirnya karya-karya besar Sayyid Quthb terutama Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an.Ia menjadi motifator dan sumber inspirasi terbesar bagi Sayyid Quthb dalam berkarya.
Sebelum menulis Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an, buku pertama terfokus pada warna Islami adalah at-Tashwir al-Fanniy fi Al-Qur’an, ditulisnya pada tahun 1945 M. Dalam buku tersebut Sayyid Quthb mendeskripsikan bagaimana Al-Qur’an berkisah dengan begitu indahnya. Bagaimana Al-Qur’an mengilustrasikan sejarah para Nabi, keingkaran suatu kaum dan azabnya, sampai berbagai karakter manusia dengan terperinci serta begitu jelas. Kisah-kisah yang dipaparkan akan menyentuh  jiwa. Alur-alur tiap surat sampai ayat per-ayat, ia bahas secara luas dan ia tafsirkan secara unik dan komprehensif.
Ia menjadikan buku al-Tashwir al-Fanniy fi Al-Qur’an sebagai tolak ukur dalam kitab-kitabnya yang membahas Al-Qur’an dari aspek Bayan, Adab dan keindahannya. Sayyid Quthb men-Tadabbur Al-Qur’an dengan Tadabbur yang sangat jelas dan tajam, hingga ia mampu mengeluarkan isi kandungannya dari aspek pemikiran dan pembaharuan. Adapun bukunya yang berbicara tentang pemikiran Islam adalah al-Adalah al-Ijtima’iyah fi Islam.
Dalam penulisan tafsir Fi Zhiilalil Qur’an  dapat di bagi kepada tiga tahap:
Tahappertama,Fi Zhilalil Quran dalam majalah Al-Muslimun.Pada penghujung tahun 1951, Sa’id Ramadhan menerbitkan majalah Al-Muslimun, sebuah majalah pemikiran Islam yang terbit bulanan.Di dalam majalah ini pemikir Islam menuangkan tulisannya.Pemilik majalah ini memohon kepada Sayyid Quthb agar ikut berpartisipasi menulis artikel bulanan, serta mengemukankan keinginannya bahwa sebaiknya artikel ini ditulis dalam sebuah serial atau rubrik tetap.
Episode pertamanya dimuat dalam majalah Al-Muslimun edisi ketiga yang terbit bulan Februari 1952, dimulai dari surat Al-Fatihah, dan di teruskan dengan surat al-Baqarah dalam episode-episode berikutnya. Sayyid Quthb mempublikasikan tulisannya dalam majalah ini sebanyak tujuh episode dalam tujuh edisi secara berurutan. Tafsir beliau ini sampai pada surat  al-Baqarah ayat 103.
Tahap Kedua, Fi Zhilalil Qur’an menjelang ditangkapnya Sayyid Quthb. Sayyid Quthb pada akhir episode ke tujuh dari episode-episode Fi Zhilalil Qur’an  dalam majalah Al-Muslimun mengumumkan pemberhentian episode ini dalam majalah, karena beliau  akan menafsirkan Al-Qur’an secara utuh dan dalam kitab (tafsir) tersendiri, yang  akan beliau luncurkan dalam juz-juz secara bersambung. Dalam pengumumannya tersebut Sayyid Quthb mengatakan “dengan kajian  (episode ketujuh) ini, maka berakhirlah serial dalam majalah Al-Muslimun.  Sebab Fi Zhilalil Qur’an akan  dipublikasikan  tersendiri dalam tiga puluh juz secara bersambung, dan masing-masing episode akan diluncurkan pada awal setiap dua bulan, di mulai  dari bulan September tahun 1952  denga izin Allah, yang akan di terbitkan oleh Dar Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah Milik Isa Al-Halabi & CO. sedangkan majalah Al-Muslimun mengambil tema lain dengan judul Nahwa Mujtama’ Islami (Menuju Mayarakat Islami)
Juz  pertama dari Fi Zhilail Quran terbit bulan Oktober 1952. Sayyid Quthb memenuhi janjinya kepada para pembaca, sehingga beliau meluncurkan satu juz dari Fi Zhilail Qur’an setiap dua bulan. Bahkan terkadang  lebih cepat dari waktu yang    ditargetkan. Pada periode antara Oktober  1952 dan  Januari 1954, beliau telah meluncurkan enam belas juz dari Fi Zhilalil Qur’an.
Tahap ketiga, Sayyid Quthb menyempurnakan Fi Zhiilalil Qur’an di penjara. Sayyid Quthb berhasil menerbitkan enam belas juz sebelum beliau  di penjara. Kemudian beliau dijebloskan ke penjara  untuk pertamakalinya,  dan tinggal dalam penjara itu selama tiga bulan, terhitung dari bulan Januari hingga Maret 1954. Ketika di dalam penjara itu, beliau menerbitkan dua juz Fi Zhilalil Qur’an.
Setelah beliau keluar dari penjara,  beliau tidak meluncurkan juz-juz yang baru karena banyaknya  kesibukan yang tidak menyisakan waktu sedikitpun untuk beliau. Di samping itu  beliau belum sempat tinggal agak lama di luar penjara. Sebab tiba-tiba  dengan begitu cepat beliau di jebloskan ke penjara bersama puluhan ribu  personel jamaah Ikhwan Al-Muslimin pada bulan November 1954 setelah “Sandiwara” Insiden Al-Mansyiyah di Iskandariyah, yang jamaah Ikhwan Al-Muslimin dituduh berusaha melakukan pembunuhan terhadap pemimpin Mesir  Jamal Abdun Nashir.  
Pada tahap pertama di penjara, beliau tidak menerbitkan juz-juz baru dari Fi Zhilalil Qur’an, karena beliau dijatuhi berbagai siksaan yang tak bisa di bayangkan pedihnya tanpa henti siang dan malam.  Hal itu sangat bedampak pada tubuh dan kesehatan beliau.
Setelah beliau dihadapkan ke pengadilan, akhirnya beliau dijatuhi hukuman lima belas tahun. Penyiksaan terhadap beliau pun berhenti, dan beliau tinggal di penjara Liman Thurrah serta beradaptasi dengan Milieu yang baru beliau mengkonsentrasikan untuk menyempurnakan tafsirnya dan menulis juz-juz Fi Zhilalil Qur’an berikutnya.
Peraturan penjara sebenarnya telah menetapkan bahwa orang  hukuman tidak boleh menulis (mengarang) bila sampai ketahuan melakukan hal itu,  maka ia akan disksa lebih keras lagi.  Akan tetapi Allah SWT, menghendaki Fi Zhilalil Qur’an itu ditulis, dan dari dalam penjara sekalipun.Maka Allah pun melenyapkan segala rintangan itu, membuat kesulitan yang dihadapi Sayyid Quthb tersingkir, serta membukakan jalan di hadapannya menuju dunia publikasi.
Kisahnya adalah bahwa Sayyid Quthb sebelumnya telah  membuat kontrak  atau kesepakatan dengan Dar Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah Milik Isa Al-Bahi Al-Halabi & CO. Untuk menulis Fi Zhiilalil Qur’an sebagai sebuah kitab tafsir Al-Qur’an yang utuh. Ketika pemerintah melarang Sayyid Quthb untuk menulis  di dalam penjara, maka pihak penerbit ini mengajukan tuntutannya terhadap pemerintah dengan meminta ganti rugi dari nilai Fi Zhilalil Qur’an itu sebanyak sepuluh Ribu Pound, karena pihak penerbit mengalami kerugian material dan immaterial dari larangan tersebut. Akhirnya pemerintah memilih untuk mengizinkan Sayyid Quthb untuk menyempurnakan Fi Zhilalil Qur’annya dan menulis di dalam penjara sebagai ganti rugi terhadap penerbit.

2.      Motivasi Penulisan Tafsir Fî Zilalil Qur’an
Pada kata pengantarnya, Sayyid Quthb mengemukakan kesan-kesanya hidup di bawah naungan Al-Quranadalah nikmat. Nikmat yang tidak diketahui kecuali oleh yang telah merasakanya. Ia merasa dekat dan mendengar serta berbicara dengan Allah melalui Al-Quran. Hidup di bawan naungan Al-Quran, Sayyid Quthb merasakan keselarasan yang indah antara gerak manusia sebagaimana kehendak Allah dengan gerak-gerik alam ciptaan-Nya.[18] Ia melihat kebinasaan yang akan menimpa kemanusiaan akibat pemyimpangannya dari undang-undang alam ini. Ia menyaksikan benturan yang keras antara ajaran-ajaran rusak yang dididektekan padanya dengan fitrahnya, yang telah ditetapkan Allah SWT.
Kondisi Mesir tatkala itu sedang porak poranda ketika Sayyid Quthb telah kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami krisis politik yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan juli 1952. Pada saat itulah, Sayyid Quthb memulai mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan politik.[19]Oleh karenanya, kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Quthb dalam tafsirnya lebih cenderung mengangkat terma sosial-kemasyarakatan.
Dalam tafsir Fî Zilalil Qur’anini lebih cenderung membahas tentang logika konsep negara islam sebagai mana yang didengungkan oleh pengikut Ikhwan al-Muslimin lainnya seperti halnya Hasan Al Banna, Abu A’la al Maududi.
Secara singkatnya, sebenarnya Sayyid Quthb memulai menulis tafsirnya atas permintaan rekannya yang bernama Dr. Said Ramadhan yang merupakan redaksi majalah al-Muslimun yang ia terbitkan di Kairo dan Damaskus. Dia meminta Sayyid Quthb untuk mengisi rubrik khusus mengenai penafsiran Al-Qur’an yang akan diterbitkan satu kali dalam sebulan.
Sayyid Quthb menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi rubrik tersebut yang kemudian diberi nama Fî Zhilal Al-Qur`an. Adapun mengenai tulisan yang pertama yang dimuat adalah penafsiran surat al-Fâtihah lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah.
Namun, hanya beberapa edisi saja tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Quthb berinisiatif menghentikan kepenulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir sendiri yang diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`an sama halnya dengan rubrik yang beliau asuh.
Karya beliau tersebut diterbitkan oleh penerbit al-Bâbi al-Halabi. Akan tetapi kepenulisan tafsir tersebut tidak langsung serta merta dalam bentuk 30 juz. Setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan sekali dan ada yang kurang dalam dua bulan dan sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada dalam tahanan.
3.      Corak dan Wawasan Penafsiran Sayyid Quthb Dalam Tafsir Fî Zilalil Qur’an
Macam-macam wawasan yang digunakan oleh Sayyid Quthb dalam tafsirnya yang terpenting adalah:[20]
1)      Wawasan Keislaman
Dalam Zilal banyak sekali terdapat poin yang merupakan hasil dari penerapan wawasan keislaman beliau yang bermacam-macam sebagai satu sarana bagi tafsirnya. Hal ini mencakup berbagai macam aspek wawasan keislaman yang berupa tafsir dan hadits, fiqih, dan perbedaan pendapat (khilaf), akidah dan konsepsi, sejarah dan firqah-firqah, ekonomi dan sosial, dakwah dan pergeraka, tabligh, dan jihad, dst.[21]
2)      Wawasan Kebahasaan
Wawasan kebahasaan beliau adalah sebagai sarana dalam zhilal, dan bukan sebagai tujuan. Sayyid Quthb menggunakan ilmu nahwu, balaghah, sastra, dan naqd (kritik) sebagai sarana-sarana untuk memaparkan pemikiran-pemikirannya dan mewujudkan tujuan-tujuannya.[22]
3)      Wawasan Sejarah
Sayyid Quthb juga mempunyai wawasan kesejaraha yang luas yang beliau ambil dari berbagai sumber yang autentik serta dapat menggunakannya dengan sebaik-baiknya sebagai satu sarana dalam tafsirnya.[23]
4)      Wawasan ilmiah
Sayyid Quthb juga menggunakan wawasan keilmuan yang bermacam-macam dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, menuangkan makna-makna dan kandungan-kandungan ilmiahnya mengambil bukti penguat dengan informasi ilmumodern, serta di dalam menjelaskan hikmah penciptaan dan alasan pensyariatan.[24]
5)      Wawasan mengenai studi-studi kejiwaan (Psikologis) dan analisis kejiwaan
Sayyid Quthb juga memiliki wawasan kejiwaan yang cukup luas serta mempunyai pengalaman mengenai kejiwaan manusia. Sayyid menyikap rahasia-rahasia hal itu, menganalisis situasi dan motivasinya, serta menjelaskan berbagai macam kondisinya.[25]
            Pengetahuan dan pengalaman ini beliau gunakan dalam tafsir, dalam memberikan justifikasi kejiwaan mengenai perintah-perintah dan arahan; dalam menganalisis contoh-contoh manusia yang diilustrasikan dalam ayat dan menjelaskan motivasi-motivasi pada tempatnya; dan menafsirkan berbagai macam situasi mengenai para pahlawan dalam kisah-kisah Al-Qur’an; serta dalam memperluas kandungan makna nash Al-Qur’an dan menambahkan dimensi kejiwaan serta mengambil bukti penguat darinya.

4.      Metodologi Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Sayyid Quthb memilki suatu metode yang unik dalam tafsir yang belum pernah ditempuh oleh seorang mufassir yang ada, baik dari kalangan terdahulu maupun sekarang. Sayyid tidak pernah menyibukkan diri dengan menelaah kitab-kitab tafsir terdahulu yang berisi berbagai perbedaan pendapat dan adu argumentsi dalam berbgai macam tema keislaman.Sayyid tidak mengambil informasi-informasi pemikiran darinya, tidak mau masuk ke alam al-Qur’an berdasarkan ketentuan-ketentuan pemikiran sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh selainnya.
Sesungguhnya metode beliau merupakan buah semangat dari semangatnya untuk memasuki alam al-Qur’an tanpa berbagai ketentuan pemikiran sebelumnya, dan juga dari keyakinannya mengenai kekayaan al-Qur’an serta banyaknya makna inspirasinya.Metode beliau berdiri di atas dua tahap.
Tahap pertama, beliau hanya mengambil dari al-Qur’an saja, sama sekali tidak ada peran bagi rujukan, referensi, dan sumber-sumber lain. Ini adalah tahap dasar, utama dan langsung.
Tahap kedua, sifatnya sekunder serta penyempurnaan bagi tahap pertama, yang digunakan oleh Sayyid untuk melengkapi kekurangan yang ada pada taap pertama, atau meluruskan kekeliruannya.Tahapan ini bersandar kepada sumber dan referensi secara mendasar. Sebab ia berdiri di atas perhatian terahadap kitab-kitab tafsir untukmengetahui bukti dengan hadits atau riwayat yang shahih tentang penafsiran ayat.[26]
Ketika kita berbicara megenai sumber-sumber Zhilal, kita juga harus menyertakan kondisi khusus yang dialami oleh Sayyid Quthb ketika menulis Zhilal.Beliau menulisnya di penjara, sedangkan menulis dipenjara harus tunduk kepada syarat-syarat khusus yang diwajibkan oleh administrasi penjara yang berkaitan dengan masuknya buku-buku ke dalam penjara.Suasana penjara juga mempunyai pengaruh terhadap penulisan Zhilal.Maka semangat Sayyid di dalam penjara untuk membekali diri dengan referensi-referensi ayng menjadi sandaran merupakan bukti bahwa Sayyid memenuhi syarat metodologi dalam melakukan studi dan menulis.[27]

5.      Metodologi bil ma’sur dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Kebanyakan orang melihat Sayyid Quthb sebelah mata, mereka beranggapan bahwasanya tafisr Fi Zhilialil Qur’an itu kosong dari metode tafsir bil ma’sur.Tentu saja anggapan ini tidak benar, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, Sayyid Quthb tidak lepas dari metode penafsiran yang paling utama, yaitu metodologi bil ma’sur.
Dalam Khashaish At-Tashawwur A-Islami, Sayyid Quthb Menegaskan bahwa metodenya dalam tafsir dan interaksinya dengan al-Qur’an, berpegang teguh pada prinsip kesatuan tematik al-Qur’an. Ia menolak dan mengabaikan asumsi dan hipotesa individual yang berdampak pada penghancuran kesatuan tematik tersebut, yang berujung pada penyimpangan makna dan tujuan al-Qur’an.[28]
Sayyid Quthb berkata, “Metode saya dalam memahami al-Qur’an adalah tidak menundukkannya di bawah asumsi individu saya.Baik asumsi yang berasal dari akal atau perasaan.Saya juga tidak merangkai makna-makna al-Qur’an di bawah kendalai asumsi subjektif tersebut.Sesungguhnya al-Qur’an datang untuk membangun asumsi yang benar dan sesuai dengan maksud dan tujuan yang di inginkan Allah, dan serasi dengan manusia dan kebutuhan hidupnya.Jadi, tidak ada hipotesa yang bisa mengendalikan kandungan al-Qur’an.[29]
Di sini sedikit dipaparkan metode bil ma’sur di dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an.Allah SWT berfirman,
Ÿwur(#þqè=ä.ù's?Nä3s9ºuqøBr&Nä3oY÷t/È@ÏÜ»t6ø9$$Î/(#qä9ôè?ur!$ygÎ/n<Î)ÏQ$¤6çtø:$#(#qè=à2ù'tGÏ9$Z)ƒÌsùô`ÏiBÉAºuqøBr&Ĩ$¨Y9$#ÉOøOM}$$Î/óOçFRr&urtbqßJn=÷ès?ÇÊÑÑÈ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)
Dalam menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb mengedepankan riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata,
هذا في الرجل يكون عليه مال, وليس عليه فيه بينة, فيخد المال, ويخاصم إلى الحكّام, وهو يعرف أنّ الحقّ عليه, وهو يعلم أنّ اثراكل الحرام.
“Ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang berkewajiban membayar harta tetapi tidak ada bukti yang mendukungnya, lalu ia mengingkari harta tersebut dan mengadukannya kepada hakim, padahal ia tahu bahwa dirinya bersalah dan memakan harta haram.”
Sayyid Quthb juga menambahkan riwayat dari Mujahid, Said bin Jabir, Ikrimah, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi, Muqatil bin Hayyan, ‘Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam, mereka berkata;


لا تخاصم وأنت تعلم أنّك ظالم.
“Janganlah kamu berperkara padahal kamu mengetahui bahwasanya dirimu bersalah.”
Di tambah lagi dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, Rasulullah SAW bersabda,
إنّما انا بشر, وإنّما يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون ألحن بحجة من بعض فأقضي له, فمن قضيت له بحقّ مسلم فإنّما هى قطعة من النار. فليحملها أو ليذرها.
“Sesunggahnya aku hanya manusia biasa, kemudian diajukan kepadaku suatu perkara kepadku. Bisa jadi sebagian di antara kamu lebih pintar menyampaikan argumentasi dari sebagian yang lain sehingga aku memutuskan perkara untuknya. Barang siapa yang aku putuskan perkara untuknya dengan mengambil hak seorang Muslim maka sesungguhnya hal itu hanyalah sepotong api neraka. Silahkan ia membawanya atau meninggalkannya”.[30]

Allah SWT berfirman,
tûïÏ%©!$#(#qãZtB#uäóOs9ur(#þqÝ¡Î6ù=tƒOßguZ»yJƒÎ)AOù=ÝàÎ/y7Í´¯»s9'ré&ãNßgs9ß`øBF{$#NèdurtbrßtGôgBÇÑËÈ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”(Al-An’am: 82)
Dalam menafsirkan ayat ini, Sayyid mengemukakan tiga riwayat yang ma’tsur yang disebutkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dengan isnadnya sendiri, yang menggambarkan kekhawatiran para sahabta mengenai kandungan ayat ini serta sikap mereka yang berusaha menjahui segala bentuk kezaliman. Hal ini membuat mereka bergegas menemui Rasulullah SAW, kemudian beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kezaliman di sini adalah syrik.[31]
6.      Keistimewaan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an merupakan tafsir kontemporer yang paling actual dalam memberikan terapi berbagai persoalan dan menjawab berbagai tuntutan abad modern ini berdasarkan petunjuk al-Qur’an. Di antara persoalan dan tuntutan abad modern yang paling menonjol adalah persoalan seputar pemikiran, ideologi, konsepsi, pembinaan, hokum, budaya, peradabaan, politik, psikologi, spritualisme, dakwah dan pergerakan dalam suatu rumusan kontemporer sesuai dengan tuntutan zaman. Berbagai persoalan ini, di samping persoalan-persoalan lainnya, menadapatkan perhatian yang memada di dalam tafsir ini.Sehingga membuat tafsir ini terasa sangat actual apalagi gagasan-gagasan Sayyid Quthb yang tertuang di dalam tafsir ini sangat orisinil berdasarkan nash-nash al-Qur’an tanpa terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran asing.
Karena itu tafsir Fi Zhilalil Qur’an dapat dikatagorikan sebagai tafsir corak baru yang khas dan unik, serta langkah baru yang jauh dalam tafsir. Zhilal juga dapat dikatagorikan sebagai aliran khusus dalam tafsir, yang dapat disebut sebagai “aliran tafsir pergerakan”.Sebab metode pergerakan (al-manhaj al-haraki) atau metode realistis yang serius tidak ada didapati selain pada Zhilal.
Sumber-sumber Zhilal berbeda dari sumber-sumber tafsir lainnya disebabkan perbedaan karakter dann tujuannya. Sumber-sumber dalam Zhilal itu tidaklah mendasar atau pokok (primer), akan tetapi sifatnya sekunder, sebab Sayyid Quthb menyebutkannya untuk memberikan contoh dan bukti dari yang apa yang ia katakana. Ini adalah bagian dari beberapa keistimewaan Zhilal.
 BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sayyid Quthb merupakan sosok yang sangat jenius. Bahkan ia telah hafal al-Qur’an sebelum umurnya genap 10 tahun. Dari kecil Sayyid Quthb sudah menampakkan ciri-ciri kalau ia bakal menjadi ulama yang terkenal. Sehingga orang tuanya pindah ke Halwan, daerah pinggiran Kairo. Ia memperoleh kesempatan masuk Tajhiziah Darul-‘Ulum. Tahun 1929, ia kuliah di Darul-‘Ulum. Ia memperoleh gelar sarjana muda pendidikan pada tahun 1933.
Sebagian kalangan berpendapat bahwasanya Sayyid Quthb itu adalah orang yang berpaham wihdatul wujud. Di dalam tafsirnya, ia benyak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan kemampuan bahasanya. Padahal metodologi yang harus diprioritaskan dalam penafsiran al-Qur’an adalah metodologi bil ma’tsur, yaitu metodologi penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadits, ayat dengan perkataan sahabat. Tetapi di sisi lain, tafsir Fi Zhilalil Qur’an banyak memberikan aspirasi untuk para pemuda yang ingin menjadikan kehidupan manusia dengan berlandaskan al-Qur’an. Meskipun didapati ada kekurangan dalam tafsir ini, maka janganlah kita menganggapnya sebagai kecacatan tapi anggaplah dia sebagai hamba Allah yang diliputi oleh segala kekurangan.


DAFTAR RUJUKAN

Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta; Teras, 2004.

M. Yusron, Sudi Kitab Tafsir Kontemporer, Yogyakarta; Teras, 2006.

Amir Faishol Fath, The Unity of Al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2010.

Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Saayid Quthb dalam tafsir Zilal, (Solo, Era Intermedia, 2001), hal. 136

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2000.

Rodiah dkk, Studi Al-Qur’an Studi dan Konsep, Yogyakarta; eLSAQ Press, 2010.

Mashuri Sirojuddin Iqbal & A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung; Angkasa, 1987.

M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta; Teras, 2005.

Abd al-Hay al-Farmawi, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Kairo; Al-Hadharah al-‘Arabiyah, 1977.

Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an, (Terj.) Salafuddin Abu Sayyid, Laweyan: Era Intermedia, 2001.




[1]Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta; Teras, 2004), hal. 1
[2] M. Yusron, Sudi Kitab Tafsir Kontemporer,(Yogyakarta; Teras, 2006), hal. xi
[3]Amir Faishol Fath, The Unity of Al-Qur’an, (Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2010), hal.413.
[4] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2000), Jilid 1, hal. 406-407
[5] Mahmud Iqbal & H Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 209
[6] Mahmud Iqbal & H Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer,…, hal. 209
[7] Mahmud Iqbal & H Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer,…, hal. 210
[8]Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an,…,hal. 407
[9]Mashuri Sirojuddin Iqbal & A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung; Angkasa, 1987, hal. 86
[10]Mashuri Sirojuddin Iqbal & A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir,…, hal. 86
[11] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir,(Yogyakarta; Teras, 2005), hal. 26
[12]Mashuri Sirojuddin Iqbal & A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir,..., hal. 89-90
[13] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir,…, hal. 41
[14]Abd al-Hay al-Farmawi, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, (Kairo; Al-Hadharah al-‘Arabiyah, 1977), hal. 42
[15] Abd al-Hay al-Farmawi, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Mawdhu’I,…, hal. 42
[16]Rodiah dkk, Studi Al-Qur’an Studi dan Konsep,(Yogyakarta; eLSAQ Press, 2010), hal. 6
[17] Abd al-Hay al-Farmawi, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i,…, hal. 61-62
[18]Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Saayid Quthb dalam tafsir Zilal, (Solo, Era Intermedia, 2001), hal. 136
[19]Sayyid Quthb, Tafsir Fî Zilalil Qur’an, terj.As’ad Yasin dkk., jild 1, hal.407
[20]Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an, (Terj.Salafuddin Abu Sayyid, Laweyan: Era Intermedia, 2001), Cet.I, hal. 243
[21]Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an,…,  hal. 243
[22]Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an,…,  hal. 244
[23]Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an,…,  hal. 247
[24]Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an,…, hal. 248
[25]Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an,…,. 252
[26]Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an,…,hal. 175
[27]Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an,…, hal. 178
[28]Amir Faishol Fath, The Unity of Al-Qur’an,…, hal. 422
[29]Amir Faishol Fath, The Unity of Al-Qur’an,…, hal. 422-423
[30]Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, (Kairo: Daar asy-Syuruq, 1992), Cet.17, jilid.I, hal.176
[31]Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an,,…,hal. 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar