GAGASAN INTEGRASI KEILMUAN MENURUT PROF. DR. H. IMAM SUPRAYOGO
Abstrak:
Pandangan dikotomi keilmuan secara terang-terangan memisahkan
antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum (sains). Pandangan dikotomi keilmuan
selain bertentangan dengan semangat tauhid dan prinsip-prinsip universalitas
islam juga bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits yang sifatnya universal.
Imam Suprayogo berupaya mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu umum
(sains) yang diterapkan di UIN Malang dengan menggabungkan antara ilmu agama
dan sains. Pemikiran Imam Suprayogo menjadikan agama (al-Qur’an dan hadits)
sebagai landasan fundamental dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Metafora
“Pohon Ilmu” sebagai gambaran integrasi keilmuan yang diterapkan oleh Imam
Suprayogo.
Kata Kunci: Integrasi Ilmu, Imam Suprayogo.
Kata Kunci: Integrasi Ilmu, Imam Suprayogo.
A.
PENDAHULUAN
Bangsa
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang plural yang menunjukan keberagamannya
seperti budaya, agama, ras dan lain-lain. Di antara faktor keberagaman itu,
agama seringkali dipertontonkan sebagai pemicu kekerasan dan berbagai
instabilitas negeri ini, sehingga agama tau apapun yang dilekatkan pada agama
menjadi terkesan buruk, primordialitas, fanatic, kasar, dan potensial merusak.
Mengingat
runyamnya persoalan bangsa, terutama dari sudut pandang moral dan spiritual.
Jika moral dan spiritual dipandang sebagai pokok persoalan, maka hal itu
berarti menegaskan posisi agama sebagai basis pembangunan, sekaligus agama
sebagai basis pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut Imam
Suprayogo, agama dapat diposisikan paralel dengan filsafat karena sama-sama
bersifat normatif dan menyuguhkan sebuah pandangan dunia yang universal
sehingga tidak ada kesulitan jika agama diletakkan sebagai basis ilmu
pengetahuan.
Apa yang
dipahami mengenai ilmu, budaya, dan seni yang yang dikaitkan dengan agama
(islam) seringkali menunjukan pemahaman yang sangat sempit, yang kemudian
berdampak pada sempitnya wilayah lembaga pendidikan dan masih sangat konservatif,
seperti tercermin pada adanya dikotomi ilmu, yakni ilmu umum versus ilmu agama,
atau dikotomi ilmu versus agama.
Di Indonesia,
sekalipun menurut undang-undang, yang bertanggung jawab dibidang pendidikan
adalah Departemen Pendidikan Nasional, namun ada Departemen Agama yang juga
mengurusi pendidikan dari tingkat dasar sampai pada perguruan tinggi.
Selanjutnya dengan fenomena itu ada sekolah umum dan ada pula sekolah agama.
Pandangan
dikotomi keilmuan tersebut yang secara terang-terangan memisahkan antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Pandangan dikotomi keilmuan selain
bertentangan dengan semangat tauhid dan prinsip-prinsip universalitas islam
dalam kenyataannya juga telah mengebiri kreatifitas serta berperan dalam
menciptakan split personality dalam diri umat islam.[1]
Berdasarkan
permasalahan di atas, tampaknya tidak mudah ketika melihat kenyataan bahwa
kebanyakan orang membangun persepsi bahwa antara ilmu dan agama menjadi satu
kesatuan atau integratif, walaupun sesungguhnya hal itu tidak terlalu sulit
jika kita berani merujuk pada al-Qur’an dan hadits.
Berangkat dari
latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
integrasi ilmu dalam islam?
2.
Bagaimana
gagasan integrasi keilmuan menurut Imam Suprayogo?
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mendeskripsikan integrasi ilmu dalam islam.
2. Mendeskripsikan gagasan integrasi keilmuan menurut Imam Suprayogo
B.
PEMBAHASAN
1.
Intergasi Ilmu
dalam Islam
Integrasi Ilmu adalah keterpaduan secara nyata antara nilai-nilai
agama (dalam hal ini Islam) dengan Ilmu Pengetahuan Umum atau Sains. Jika
dipelajari secara seksama, sesungguhnya ilmu pengetahuan di dunia ini dapat di
klafifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu ilmu alam (natural science), ilmu
social (social science), dan ilmu humaniora ( humanities). Ketiga jenis ilmu
(ilmu alam, ilmu social dan ilmu humaniora) berlaku secara universal, di mana
saja. Hanya saja, dikalangan umat islam merumuskan ilmu tersendiri yang
bersumberkan pada al-Qur’an dan Hadits.
Al-Qur’an dan hadits dalam pengembangan ilmu diposisikan sebagai
sumber ayat-ayat Qouliyah sedangkan hasil observasi, eksperimen, dan
penalaran logis diposisikan sebagai sumber ayat-ayat Kauniyah. Dengan
posisinya yang sepertoi ini, maka berbagai cabang ilmu pengetahuan selalu dapat
dicari sumbernya dari al-Qur’an dan Hadits. Ilmu hukum misalnya, sebagai rumpun
ilmu social maka dikembangkan dengan mencari penjelasan itu dalam al-Qur’an dan
Hadits sebagai ayat qouliyah dan hasil-hasil observasi, eksperimen, dan
penalaran logis sebagai ayat-ayat Kauniyah.
Sebagai wataknya yang universal, al-Qur’an dan hadits dapat
dijadikan sebagai sumber segala ilmu pengetahuan dan tidak sebatas ilmu
pendidikan yang sejenis dengan ilmu tarbiyah, syari’ah dan lain-lain. Ilmu-ilmu
umum seperti halnya fisika, kimia, bilogogi dan sebagainya dapat dicarikan
informasi sekalipun bersifat umum dalam al-Qur’an. Sementara ini ajaran islam
dipahami sebatas menyangkut tentang tata cara ibadah, merawat anak yang baru
lahir, persoalan pernikahan, kematian, zakat, haji dan sebagainya. Padahal,
al-Qur’an juga berbicara tentang konsep tuhan, penciptaan, persoalan manusia,
dan perilakunya, alam dan seisinya serta petunjuk tentang keselamatan manusia
dan alam.
Agar lebih jelas bangunan ilmu yang bersifat integrative dengan
memposisikan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama selain sumber
lainnyadapat digambarkan sebagai berikut:
Al-Qur’an dan
Hadits
Hasil
observasi, eksperimen, dan penalaran logis
|
|||||||
Ilmu Alam
|
Ilmu Sosial
|
Ilmu
Humaniora
|
|||||
Biologi
|
Kimia
|
Fisika
|
Psikologi
|
Sosiologi
|
Antropologi
|
Sejarah
|
Bahasa dan
sastra
|
·
Perikanan
·
Astronomi
·
Peternakan
·
Pengairan
·
Geografi
·
Farmasi
·
Matematika
·
Kelautan
·
Informatika
·
Teknik
·
Pertanian
·
Kedokterran
dan
·
arsitektur
|
·
komunikasi
·
pendidikan
social
·
hokum
·
manajemen
·
administrasi
·
politik
·
ilmu
pendidikan
·
ekonomi
|
Filsafat
|
|||||
Seni
|
|||||||
|
|||||||
Gambaran
tentang ilmu dan berbagai cabang serta sumbernya itu ( ayat-ayat Qouliyah dan
ayat-ayat Kauniyah), kiranya dapat dijadikan sebagai salah satu alternative
untuk membangun keilmuan yang bersifat integrative dalam arti tidak memisahkan
antara ilmu agama dan ilmu umum. Yang membedakan kemudian adalah terletak pada
sumbernya dan bukan pada jenis ilmu yang ada. Ilmu tetap saja terdiri atas
rumpun ilmu alam, ilmu social, ilmu humaniora. Pada umumnya para ilmuan dalam
menggali ketiga rumpun ilmu tersebut bersumberkan pada ayat-ayat qouliyah saja.
Oleh karena itu, cara yang ditempuh untuk menggalinya adalah dengan observasi,
eksperimen, dan penalaran logis.[2]
Islam memandang
bahwasannya Sains dan Ilmu tidak memiliki perbedaan, karena baik Al Quran
maupun As Sunnah tidak membedakaan keduanya, yang ada hanyalah Ilmu, tidak ada
pemisahan antara Sains maupun Ilmu Agama. Pembagian adanya Sains dan Ilmu Agama
merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengindetifikasikan ilmu berdasarkan
sumber objek kajiannya. Keadaan dunia islam mengalami kemunduran banyak
diakibatkan oleh tidak adanya perhatian tentang tinjauan normatif atas fenomena
yang terjadi, yang mengharuskan setiap umat memahami secara seksama tentang
pandangan Allah terhadap Integrasi Ilmu antara Sains dan Ilmu Agama, sehingga
sebuah lembaga pendidikan ‘hanya’ akan melahirkan seorang ulama yang ulama, dan
ilmuan yang ilmuan.
Sebagai contoh
integrasi antara ilmu agama dan sains adalah mengenai penciptaan bintang. Ayat
al-Qur’an yang digunakan sebagai sumber ayat qouliyah dan kemudian dibuktikan
dengan ayat kauniyah yakni dengan hasil-hasil observasi, eksperimen, dan
penalaran logis. Sebagaimana dalam ayat al-qur’an yang menjelaskan mengenai
penciptaan bintang adalah surat al-an’am 97.
Artinya: Dan
Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk
dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan
tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q.S al-an’am:
97).[3]
Ayat al-qur’an
di atas merupakan contoh dari integrasi keilmuan antara ilmu agama dan ilmu
sains. Yang mana pada hakikatnya al-qur’an adalah bersifat universal oleh
karena itu perlu adanya observasi, eksperimen serta penalaran yang logis untuk
membahas al-qur’an secara mendalam. Bahkan seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, ayat tersebut telah terbukti kebenarannya. Pada
zaman dahulu sebelum ada kompas dan GPS, orang menggunakan rasi bintang sebagai
petunjuk arah, kapan waktu meraka menanam maupun memanen hasil pertanian.
Contoh lain
yang merupakan integrasi antara ilmu agama dan sains adalah tentang konsep
manajemen. Yang mana di dalam suatu hadits di jelaskan.
“Idza Wusidal Amru Ila Ghori Ahlihi, Faantadziris Sa’ah”.
(artinya: jika suatu perkara diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, maka
tunggulah kehancurannya).[4]
Memperhatikan
salah satu contoh di atas, sesungguhnya terdapat penjelasan yang sangat menarik
tentang bagaiman integrasi antara ilmu agama dan ilmu sains yang keduanya
merupakan suatu ilmu yang berjalan beringan. Sehingga perlu adanya upaya-upaya
perluasan batas terhadap pemahaman al-qur’an jika dikaitkan dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat seperti yang terjadi apada
saat ini. Al-Qur’an jika dikaji dalam perspektif selama ini seolah-olah hanya
berbicara mengenai konsep hokum fiqih (halal-haram), kca mata tauhid (
mukmin-musyrik) dan sebagainya. Jika al-Qur’an dikaji melalui sudut pandang
seperti itu, terasa kurang menggambarkan apa yang sesungguhnya merupakan isi al-qur’an
yang terbentang luas dan bersifat universal.[5]
2.
Gagasan
Integrasi Keilmuan Menurut Imam Suprayogo
a.
Biografi Imam
Suprayogo
Imam suprayogo
merupakan sosok kharismatik yang memberikan memberikan inspiratif baru terhadap
pendidikan islam. Imam Suprayogo lahir di Trenggalek 2 januari 1951. Sosok
karismatik ini menyelesaikan pendidikan dasar (SDN), menengah pertama (SMPN),
dan menengah atas (SMAN) di tempat kelahirannya, Trenggalek Jawa Timur. Setamat
dari SMAN, beliau melanjutkan pendidikan di IAIN Malang Fakultas Tarbiyah.
Alumnus Program Doktor Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
(UNAIR) Surabaya.
Pak Imam,
demikian biasa Ia dipanggil, merupakan sosok pemikir Islam yang istiqomah dalam
mengembangkan pendidikan Islam modern. Perubahan STAIN Malang menjadi UIN
Malang tidak lepas dari kerja keras dan ke-istiqamahannya dalam memajukan
pendidikan Islam. Di samping itu, Ia juga telah berhasil mewujudkan gagasan
tentang pentingnya menghadirkan ma’had atau pondok pesantren di Perguruan Tinggi
Islam. karena kiprahnya yang gemilang dalam memimpin dan mengembangkan
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang tersebutlah Ia diberi kepercayaan untuk
menjadi khatib dalam Shalat Idul Fitri 1426 H di MasjidIstiqlal Jakarta, yang
dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden.[6]
Gagasan
keilmuan menurut Imam Suprayogo digambarkan dalam sebuah pohon. terdapat sebuah
keindahan, dan sangat tepat digunakan untuk menerangkan tentang integrasi
antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Pohon tumbuh dalam waktu lama,
bertahun-tahun, bahkan beberapa
jenis tertentu usianya
melebihi usia manusia.Kehidupan dan pertumbuhan pohon juga
dapat untuk menggambarkan, bahwa ilmu juga selalu tumbuh dan berkembang.[7]
Menurut Imam
Suprayogo, dalam perspektif kurikulum, bangunan ilmu bersifat integrative-ilmu
agama dan umum, digunakan metafora pohon yang tumbuh subur, lebat, dan rindang.
Masing-masing bagian pohon dan bahkan tanah di mana pohon itu tumbuh digunakan
untuk menerangkan keseluruhan jenis ilmu pengetahuan yang harus dikaji oleh
seseorang agar dianggap telah menyelesaikan progam studinya. Selayaknya
sebatang pohon terdiri atas tanah di mana pohon itu tumbuh, akar yang menghujam
ke bumi dengan kuatnya. Akar yang kuat akan menjadikan batang sebuah pohon berdiri
tegak dan kokoh. Pohon itu juga akan menumbuhkan dahan, ranting, dan daun dan
buah yang sehat dan segar. Bagian tersebut digunakan untuk menjelaskan posisi
masing-masing jenis bidang studi atau mata kuliah yang harus ditempuh oleh
seseorang agar dianggap telah menyelesaikan seluruh progam studinya.
Integrasi Ilmu
adalah keterpaduan secara nyata antara nilai-nilai agama (dalam hal ini Islam)
dengan Ilmu Pengetahuan Umum atau Sains. Untuk menciptakan keterpaduan antara
Ilmu Agama dan Sains membutuhkan lembaga pendidikan yang memenuhi persyaratan
atas keterpaduan tersebut, hal yang perlu dipehatikan adalah suasana
pendidikan, kultur akademik, kurikulum, sarana dan prasarana serta profil guru
guna mewujudkan konsep pendidikan integratif seperti yang dimaksudkan.
Integrasi, terpadu atau apapun sebutannya tidak hanya bersifat formal, yang
hanya mencakup persoalan-persoalan sepele dan artifisial, tetapi integrasi
dalam kualitas berbagai komponen sistem penyelenggaraan pendidikan, yang
semuanya itu berujung pada terwujudunya kepribadian siswa yang integratif.
Menurut Prof.
Ima Suprayogo, sebuah lembaga pendidikan bernuansa islam menjadikan Al Quran
dan hadits sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan secara mnyeluruh, baik
pada tataran teologis, filosofis, teoritis-akademis, dan bahkan pada tataran
praktisnya. Ia berpendapat bahwasanya selama ini al-Qur’an dan as-Sunnah hanya
dijadikan sebagai dasar (paradigma, atau frame of reference) pelaksanaan
pendidikan yang sangat terbatas, yaitu pada tataran ibadah saja. Sedangkan
Informasi transendental menyangkut kehidupan luas dalam ilmu pengetahuan
seperti penciptaan, manusia dan makhluk sejenisnya, jagad raya yang mencakup
bumi, mata hari, bulan, bintang, langit, gunung, hujan, laut, air, tanah. Islam
juga menawarkan konsep kehidupan yang menyelamatkan dan membahagiakan, baik di
dunia maupun di akherat. Jika pemikiran tersebut ditarik ke tataran
operasional, maka yang perlu dikembangkan adalah kurikulum, bahan ajar yang
mengkaitkan (mengintegrasikan) ajaran yang bersumber dari ayat-ayat qawliyyah
(al-Qur’an dan Hadist) dengan ayat-ayat kawniyyah (alam semesta) secara terpadu
dan utuh. Sehingga sebuah ilmu pengetahuan dapat seimbang, tidak timpang dan
berat sebelah seperti yang banyak terjadi.
Menghadapi
problem epistemology itu, Imam Suprayogo mendapatkan formulasi bangunan ilmu
yang integrative dan terpadu dalam bentuk metafora sebuah “pohon ilmu” yang
kemudian diterapkan di UIN Malang. Visi yang hendak diwujudkan adalah islam
sebagai ajaran yang sempurna, universal, dan berperspektif integrative.
Penataan organisasional dan kultural dilakukan secara radikal namun bertahap
mengikuti tingkat perkembangan warga UIN Malang.
Secara
structural, membangun wadah organisasional untuk pembinaan mental spiritual
serta pemahaman al-Qur’an dan hadits melalui Ma’had Sunan Ampel al-Aly dan
untuk menunjang secara sistematik pemahaman terhadap sumber ajaran islam
al-Qur’an dan hadits juga di bentuk lembaga PKPBA (Progam Perkuliahan Khusus
Pembelaran Bahasa Arab) karena bahasa arab merupakan alat uatama memasuki
khazanah dan kekayaan sumber ajaran islam (al-Qur’an dan Hadits). Dengamn
demikian diharapkan secara intelektual tidak salah memahami islam, tidak salah
mengamalkan islam, serta menjadikan nilai-nilai islam mengalir dalam
darah-daging fisik dan spiritual mahasiswa.
Secara
organisasional, membentuk lembaga (PKPBI) yang mengembangkan visi dan misi
perluasan dan pemerkuatan visi intelektual sains. Karena bahasa inggris
merupakan bahasa internasional dan bahasa ilmu pengetahuan yang paling popular
saat ini. Dengan memehami bahasa itu mahasiswa dipersiapkan dalam rangka
mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi.[8]
b.
Pohon Ilmu Sebagai
Metafora Integrasi Ilmu di UIN Malang
Sebelum
membahas pohon ilmu sebagai metafora intregasi keilmuan, perlu dibahas mengenai
bagaimana Imam Gozhali membagi ilmu berdasarkan hukum mencarinya. Menurut Imam
Ghozali, membagi ilmu berdasarkan hokum mencarinya menjadi Fardu ayn dan
Faru kifayah. Ilmu yang tergolong fardu ayn adalah ilmu agama islam
berupa al-Qur’an dan hadits. Yang tergolong ilmu fardu kifayah adalah ilmu yang
dipandang penting dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
misalnya ilmu administrasi, kedokteran, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.
Hukum fardu ayn
dan fardu kifayah digunakan pula untuk memberikan arah bagi siapa saja yang
menyelesaikan progam studi pada jenjang tertentu di UIN Malang. Dalam
perspektif kurikulum, bangunan ilmu bersifat integrative-ilmu agama dan umum,
digunakan metafora pohon yang tumbuh subur, lebat, dan rindang. Pohon yang
tumbuh kokoh digunakan untuk menjelaskan sebuah bangunan akademik. Serangkaian
ilmu yang yang harus dikaji digambarkan dalam bentuk pohon itu.
Sebatang pohon,
apapun ukurannya, harus ntumbuh di atas tanah yang subur. Jika bangunan
akademik atau ilmu digambarkan melalui metafora sebatang pohon, maka tanah di
mana pohon itu tumbuh digunakan sebagai tamsil kulturalnya, yang harus juga
dirawat dan dipersubur secara terus menerus. Pendidikan islam sangat memerlukan
kekuatan kultural. Sebab menurut pandangan islam, ilmu harus diamalkan. Tidak
ada gunanya ilmu tanpa membuahkan amal. Oleh karena itu, lembaga pendidikan
tidak terkecuali lembaga pendidikan tinggi harus dilengkapi dengan sarana yang
cukup untuk menumbuh kembangkan kecintaan pada bidang ilmunya itu melalui
pembiasaan atau ketauladanan. Sebagai wujud kultur yang dikembangkang di UIN
Malang adalah masjid dan ma’had atau pondok pesantren dibangun di dalam
lingkungan Universitas Islam Negeri Malang untuk menciptakan kekuatan kultur
dalam pendidikan islam, serta menciptakan pembiasaan kepada seluruh lapisan di
dalam kampus, seperti nilai-nilai spiritual dan akhlak. Karena sungguh tidak
mungkin belajar Islam, sekadar melalui membaca buku di perpustakaan dan
penelitian di laboratorium saja, kegiatan itu harus disempurnakan dengan
kegiatan-kegiatan nyata di masjid maupun di ma’had itu.[9]
Pohon yang
digunakan sebagai metafora untuk menjelaskan bangunan keilmuan dapat dijelaskan
sebagi berikut. Akar yang kukuh menghujam ke bumi, digunakan untuk
menggambarkan ilmu alat yang harus dikuasai secara baik oleh setiap mahasiswa,
yaitu bahasa arab, dan bahasa inggris, logika, pengantar ilmu alam, dan ilmu sosial.
Batang pohon yang kuat digunakan untuk menggambarkan kajian dari sumber ajaran
islam, yaitu al-Qur’an dan hadits, pemikiran islam, sirah nabawiyah, dan
sejarah islam. Sedangkan dahan yang jumlahnya cukup banyak digunakan untuk
menggambarkan sejumlah ilmu pada umumnya dengan berbagai cabangnya, seperti
ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora.[10]
Sebagai sebuah
pohon, masing-masing memiliki peran yang berbeda, akan tetapi merupakan satu
kesatuan yang tidak boleh dipisahkan untuk menghasilkan buah yang akan dimanfaatkan
bagi kehidupan manusia pada umumnya. Akar bertugas mencari sari pati makanan
dari tanah, selain berperan sebagai penyangga tegaknya pohon itu secara kokoh.
Jika akar itu kokoh maka pohon akan berdiri tegak sekalipun suatu saat diterpa
angina kencang. Demikian juga seorang mahasiswa yang mempelajari ilmu
pengetahuan, dengan kemampuan berbahasa secara baik, memiliki pengetahuan ilmu
alam, ilmu sosial, filsafat, maka akan digunakan sebagai alat untuk menggali
sumber-sumber ilmu, baik berupa ayat qouliyah maupun ayat kauniyah.
Batang yang
dalam hal itu digunakan untuk menggambarkan ilmu yang bersumber dari kitab suci
al-Qur’an dan hadits, digunakan sebagai penyangga dahan-dahan yang rindang.
Demikian pula al-Qur’an dan hadits digunakan sebagai dasar dan bahkan sumber
utama seluruh pengembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan dahan dan ranting, yang
berjumlah cukup banyak menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan di muka bumi ini
jumlahnya selalu bertambah sesuai perkembangan dan kebutuhan umat manusia.
Kemampuan
bahasa, ilmu alam, dan sosial serta filsafat kesemuanya adalah sangat penting
dijadikan sebagai alat untuk memahami sumber ajaran al-Qur’an dan hadits.
Ayat-ayat suci al-Qur’an dan hadits selanjutnya dijadikan sebagai sumber
inspirasi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan modern. Sebaliknya, ilmu
pengetahuan modern juga besar artinya bagi siapa saja untuk memahami al-Qur’an
dan hadits secara lebih mendalam dan akhirnya menghasilkan buahyang sehat dan
segar. Buah yang dihasilkan oleh pohon digunakan untuk menggambarkan produk
pendidikan islam, yaiu iman, amal sholih dan akhlaqul karimah.[11]
Agar lebih
jelas, pohon yang digunakan sebagai metafora bangunan ilmu yang bersifat
integrative dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 01. Metafora Pohon Ilmu UIN Malang
Bagian Pohon
|
Keterangan
|
Fardu Ayn
|
Fardu Kifayah
|
Akar
|
Ilmu Alat
Yaitu : bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Inggris, Filsafat,
Ilmu-Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Pancasila
|
ü
|
X
|
Batang
|
Kajian yang
bersumber pada Al Quran
dan
Hadist
|
ü
|
X
|
Dahan,
Ranting, Daun
|
Jenis fakultasyangdipilih
|
X
|
ü
|
Buah
|
Bangunan ilmu
yang integratif
antara ilmu
umumdanagamayaituimanamalsholehdan akhlakul
karimah
|
Tabel 01.
Keterangan Metafora Pohon Ilmu UIN Malang
c.
Upaya Imam
Suprayogo Dalam Mengintegrasikan Ilmu Agama dan Sains di Lingkungan UIN Malang
Menurut Imam
Suprayogo, mengembangkan konsep yang sedemikian ini ditengah-tengah tradisi
atau budaya perguruan tinggi, dalam bentuknya seperti sekarang ini, tentu tidak
mudah. Masyarakat sudah terlanjur memiliki pengertian bahwa perguruan tinggi
islam dan juga perguruan tinggi pada umumnya, sebagaimana berjalan selama ini.
Untuk
mengembangkan konsep integrasi antara ilmu agama dan sains, dalam memimpin UIN
Malang, langkah-langkah yang dilakukan oleh Imam Suprayogo adalah:
1) Menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber dalam pengembangan
ilmu pengetahuan.
Perguruan tinggi islam dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan harus bersumber pada ayat-ayat qouliyah dan
ayat-ayat-ayat kauniyah sekaligus. Karena berbeda dengan perguruan tinggi
islam, perguruan tinggi pada umumnya mengembangkan ilmu sebatas bersumber pada
ayat-ayat kauniyah itu saja. Cara berpikir yang memposisikan al-Qur’an dan
hadits sebagai salah satu sumber pengembangan ilmu pengetahuan di lingkungan
universitas islam, maka cara berpikir seperti ini sejalan dengan semangat
islam.
2)
Keterpaduan
konsep perguruan tinggi dan ma’had
Ma’had
yang diberi nama Ma’had Sunan Ampel al-Aly dimaksutkan sebagai fasilitas
mengembangkan kultur keberagamaan, seperti sholat berjama’ah pada setiap waktu
sholat fardlu, sholat malam, membaca al-Qur’an bersama-sama, pelatihan
kepemimpinan mahasiswa dan lain-lain. Konsep pendidikan yang dikembangkan UIN
Malang untuk melahirkan “Ulama’ intelektual yang professional” serta
“intelektual ulama’ yang professional” harus dikembangkan dua ranah intelektual
dan professional serta ranah kultural sekaligus. Karena ma’had dipandang
relevan untuk mengembangkan ranah kulturalnya.[12]
3)
Iklim dan
Budaya Kampus
Tenaga
dosen yang berkompeten dalam bidangnya sekaligus juga menguasai ilmu agama.
Upaya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dosen dimaksudkan agar berdampak
positif bagi peningkatan motivasi kerja baik sebagai pendidik maupun sebagai
pengembang ilmu pengetahuan.
Membangun
kultur kebersamaan seperti sholat berjamaah di kampus yang diikuti oleh seluruh
pimpinan, dosen, karyawan dan juga mahasiswa, pada kesempatan setelah sholat
berjama’ah diselenggarakan 7-10 menit kultum. Selain itu, pada minggu ketiga
setiap bulandiadakan khotmil qur’an, membiasakan puasa senin dan kamis,
membangun solidaritas dan silaturrahmi.
Dari
sudut pandang manusia yang selalu terkait dengan kultur, kebiasaan dan budaya,
maka kegiatan semacam itu justru dapat dipandang strategis dan relevan dengan
pengembangan ilmu yang seharusnya ditunaikan oleh perguruan tinggi, apalagi
yang menyandang nama “islam”.[13]
d.
Berbagai Kritik
Terhadap Konsep Integrasi Ilmu Agama dan Sains yang Diterapkan Oleh Imam
Suprayogo
Konsep yang diterapkan oleh Imam Suprayogo dalam upayanya
mengintegrasikan antara ilmu agama dan sains ternyata tidak sepi dari kritik.
Berbagai hal yang dipersoalkan diantaranya adalah:
1) Posisi al-Qur’an dan Hadits yang Diposisikan Sebagai Batang
Pada
umumnya, mereka yang tidak menyetujui konsep ini mengatakan bahwa semestinya
al-Qur’an dan hadits diposisikan sebagai akar. Sebab al-Qur’an dan hadits
dipandang sebagai dasar seluruh pengembangan ilmu. Posisinya sebagai dasar
semestinya bukan digambarkan pada batang, melainkan pada akar. Pandangan ini
bisa dijelaskan bahwa sebatang pohon ini digunakan untuk menggambarkan bangunan
ilmu dalam perspektif kurikulum. Jika perspektif ini yang digunakan maka memang
seharusnya dalam mengkaji sesuatu harus melalui urutan-urutan secara
sistematis. Ada bagian-bagisn yang seharusnya didahulukan sebagai prasyarat untuk
menjamah bagian selanjutnya. Sebelum mendalami al-Qur’an dan hadits, misalnya,
siapa saja harus belajar terlebih dahulu bahasa arab, logika atau filsafat,
ilmu-ilmu social dan ilmu alam dan seterusnya.
2)
Al-Qur’an dan
Hadits Dijadikan Sebagai Sumber Ilmu yang Sejajar dengan Hasil-Hasil Observasi,
Eksperimen dan Penalaran Logis
Kritik
ini dijelaskan bahwa peletakan al-Qur’an dan hadits sejajar dengan sumber
lainnya itu sebatas persoalan teknis, akan teta[pi sesungguhnya posisi
al-Qur’an dan hadits lebih utama dan tidak mungkin disejajarkan dengan
sumber-sumber lain manapun.
3)
Konsep Tersebut
Diimplementasikan Maka Dikhawatirkan Menjadikan Beban Mahasiswa Terlalu Berat.
Mahasiswa
harus mempelajari ilmu-ilmu umum ditambah lagi dengan harus belajar bahasa Arab,
al-Qur’an dan hadits dan seterusnya. Sehingga dirasa tidak mungkin dapat
dijalankan. Kritik semacam ini sesungguhnya bisa dijawab dengan menunjukan
bukti empirik bahwa di Indonesia telah banyak orang yang sekalipun mereka tidak
melewati lembaga pendidikan, mereka mampu mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu
umum, diantaranya adalah Prof. Dr. Tholkha Mansyur (alm), Prof. Dr. Jalaluddin
Rakhmat, Prof. Dr. Syafi’I Ma’arif.
Pertanyaan
yang perlu diajukan adalah bagaimana mereka itu berhasil menguasai agama sekaligus
ilmu umum. Jika diteliti secara seksama, ternyata mereka teruntungkan oleh
lingkungan di mana mereka tinggal, baik lingkungan itu sebatas keluarga yang
memberikan suasana kondusif untuk menumbuh kembangkan ilmu agama atau
lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, termasuk juga lingkungan
kampusnya.[14]
C.
ANALISIS
REFLEKSI
Dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan (sains) sudah seharusnya menjadikan al-Qur’an
dan sains sebagai landasan yang fundamental. Karena dalam hal ini, al-Qur’an
dan hadits adalah bersifat universal yang mana setiap ilmu pengetahuan (sains)
semua dapat dicari dalil Qoliyah di dalam al-Qur’an dan hadits. Meskipun
pada hakikatnya dalil qouliyah tersebut masih bersifat global atau universal,
oleh sebab itu, maka diperlukan adanya observasi, eksperimen dan penalaran
logis terhadap dalil qouliyah yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits. Di dalam
ayat al-qur’an juga sudah diterangkan secara jelas bahwa segala sesuatu yang
ada dimuka bumi telah tertulis di dalam al-Qur’an dan hadits.
Artinya: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan. (al-an’am 38).
Ayat di atas telah
menerangkan dengan jelas bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi tiada
satupun yang di alpakan (terlewatkan) semuanya telah di bahas di alam
al-Qur’an. Bahkan ulama’ menafsirkan bahwa di dalam
Al-Quran itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum,
hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan
kebahagiaan makhluk pada umumnya. Oleh karena itu Nabi berpesan kepada umatnya,
Sebagaimana hadits nabi “aku tinggalkan dua perkara kepada kalian,
kalian tidak akan tersesat selamanya manakala kalian memegang teguh keduanya ;
al-Qur’an dan sunnah Nabi”.
Sebagaimana
integrasi keilmuan menurut Imam Suprayogo yang di gambarkan melalui metafora
sebuah “Pohon Ilmu”. Di mana pohon tersebut merupakan suatu rangkaian yang utuh
dan memiliki peran masing-masing yang berbeda. Untuk mengintegrasikan antara
ilmu agama dan ilmu pengetahuan (sains) yang bersumber pada al-Qur’an dan
hadits, maka harus menguasai khazanah keilmuan yang merupakan bagian dasar
(akar dalam metafora pohon ilmu: bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Inggris,
Filsafat, Ilmu-Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Pancasila) karena dengan menguasai
bagian dasar tersebut akan dengan mudah dapat mengkaji sumber yang berdasarkan
ayat qouliyah. Karena tidak mustahil sekalipun seorang yang “Hafidzul Qur’an”
jika tidak menguasai ilmu yang menjadi bagian dasar tersebut, tidak akan mampu
mengkaji al-Qur’an dan hadits.
Dalam upaya
mengintegrasikan antara ilmu agama dan sains, diperlukan juga adanya
lingkungan, kultur/ budaya yang mendukung. Karena pada hakikatnya manusia
merupakan makhluk sosial yang tidak pernah terlepas dari unsur lingkungan dan
budaya. Lingkungan dan budaya yang mendukung akan menjadi salah satu kunci
kesuksesan dalam mengintegrasikan antara ilmu agama dan sains sehingga akan
dapat mencetak generasi yang mahir dalam ilmu pengetahuan (sains) dan sekaligus
menguasai ilmu-ilmu agama.
Mengintegrasikan
antara ilmu agama dan sains merupakan suatu hal yang tidak mudah. Meskipun
segala apa yang ada di muka bumi telah diterangkan di dalam ayat qouliyah
(al-Qur’an dan hadits), integrasi antara keduanya tidak akan tercipta tanpa
adanya usaha yang sungguh-sungguh dalam mengkaji ayat-ayat qouliyah tersebut.
Maka jika tidak, ayat-ayat qouliyah tersebut hanya akan tinggal tulisan yang
sekedar dibaca sebagai amalan ubudiyah semata. Untuk itu diperlukan adanya
usaha yang sungguh-sungguh agar dapat mengintegrasikan antara ilmu agama dan
sains dengan mengembangkan keilmuan berdasarkan ayat-ayat qouliyah, dengan demikian,
maka akan terwujud visi dan misi islam yang sesungguhnya yakni sebagai agama “Rohmatan
lil ‘alamin”.
D.
PENUTUP /
KESIMPULAN
Islam memandang
bahwasannya Sains dan Ilmu tidak memiliki perbedaan, karena baik Al Quran
maupun As Sunnah tidak membedakaan keduanya, yang ada hanyalah Ilmu, tidak ada
pemisahan antara Sains maupun Ilmu Agama. Pembagian adanya Sains dan Ilmu Agama
merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengindetifikasikan ilmu berdasarkan
sumber objek kajiannya.
Integrasi
keilmuan yang diterapkan oleh Imam Suprayogo adalah bentuk upaya untuk
menyatukan antara ilmu-ilmu agama dan sains, yang mana setiap ilmu pengetahuan
(sains) menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai landasan yang fundamental.
Integrasi keilmuan menurut Imam Suprayogo digambarkan dengan bentuk metafora
“Pohon Ilmu”. Upaya pengintegrasian antara ilmu agama dan sains yang diterapkan
oleh Imam Suprayogo dalam memimpin UIN Malang tercermin pada kurikulumbahan ajar,saranadanprasarana,sertalingkunganyangmendukungsehinggadiharapkan dapat mencetakgenerasi
yang “Ulul Albab”, ulama’ yang intelek dan intelek yang ulama’.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an DEPAG
Arsip Perkuliahan S1 Manajemen
Pendidikan Islam semester 3.
Suprayogo, Imam. 2006. Paradigma Pengembangan Keilmuan
Perspektif UIN Malang. Malang: UIN Malang Press.
Suprayogo, Imam. 2008. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam:
Refleksi Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN. Malang: UIN Press.
Suprayogo, Imam. 2009.
Universitas Islam Unggul. Malang: UIN- Malang Press.
[1] Suprayogo,
Imam. 2006. Paradigma Pengembangan Keilmuan Perspektif UIN Malang. Malang:
UIN Malang Press. Hal xi.
[2] Suprayogo,
Imam. 2008. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN
Menjadi UIN. Malang: UIN Press. Hal. 63-64
[3]Al-Qur’an DEPAG
Surat al-An’am: 97).
[4] Arsip
Perkuliahan S1 Manajemen Pendidikan Islam semester 3.
[5] Suprayogo,
Imam. 2008. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN
Menjadi UIN. Malang: UIN Press. Hal. 71.
[6] Suprayogo,
Imam. 2009. Universitas Islam Unggul. Malang: UIN- Malang Press. Hal.
226.
[7] Suprayogo,
Imam.2009.Paradigma Pengembangan Keilmuan di Perguruan Tinggi.Malang:UIN Malang
Press
[8] Suprayogo,
Imam. 2009. Universitas Islam Unggul. Malang: UIN-Malang Press. Hal. 27
[9] Suprayogo,
Imam. 2006. Paradigma Pengembangan Keilmuan Perspektif UIN Malang. Malang:
UIN Malang Press. Hal 52.
[10] Suprayogo,
Imam. 2009. Universitas Islam Unggul. Malang: UIN-Malang Press. Hal. 166
[11] Suprayogo,
Imam. 2008. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN
Menjadi UIN. Malang: UIN Press. Hal. 74-75.
[12] Suprayogo,
Imam. 2009. Universitas Islam Unggul. Malang: UIN-Malang Press. Hal 49,
55.
[13] Suprayogo,
Imam. 2008. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN
Menjadi UIN. Malang: UIN Press. Hal. 94.
[14] Suprayogo, Imam. 2006. Paradigma
Pengembangan Keilmuan Perspektif UIN Malang. Malang: UIN Malang Press. Hal
59-62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar