Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH GAGASAN INTEGRASI KEILMUAN MENURUT PROF. DR. H. IMAM SUPRAYOGO


GAGASAN INTEGRASI KEILMUAN MENURUT PROF. DR. H. IMAM SUPRAYOGO
Abstrak: Pandangan dikotomi keilmuan secara terang-terangan memisahkan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum (sains). Pandangan dikotomi keilmuan selain bertentangan dengan semangat tauhid dan prinsip-prinsip universalitas islam juga bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits yang sifatnya universal. Imam Suprayogo berupaya mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu umum (sains) yang diterapkan di UIN Malang dengan menggabungkan antara ilmu agama dan sains. Pemikiran Imam Suprayogo menjadikan agama (al-Qur’an dan hadits) sebagai landasan fundamental dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Metafora “Pohon Ilmu” sebagai gambaran integrasi keilmuan yang diterapkan oleh Imam Suprayogo.
Kata Kunci: Integrasi Ilmu, Imam Suprayogo.

A.    PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang plural yang menunjukan keberagamannya seperti budaya, agama, ras dan lain-lain. Di antara faktor keberagaman itu, agama seringkali dipertontonkan sebagai pemicu kekerasan dan berbagai instabilitas negeri ini, sehingga agama tau apapun yang dilekatkan pada agama menjadi terkesan buruk, primordialitas, fanatic, kasar, dan potensial merusak.
Mengingat runyamnya persoalan bangsa, terutama dari sudut pandang moral dan spiritual. Jika moral dan spiritual dipandang sebagai pokok persoalan, maka hal itu berarti menegaskan posisi agama sebagai basis pembangunan, sekaligus agama sebagai basis pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut Imam Suprayogo, agama dapat diposisikan paralel dengan filsafat karena sama-sama bersifat normatif dan menyuguhkan sebuah pandangan dunia yang universal sehingga tidak ada kesulitan jika agama diletakkan sebagai basis ilmu pengetahuan.
Apa yang dipahami mengenai ilmu, budaya, dan seni yang yang dikaitkan dengan agama (islam) seringkali menunjukan pemahaman yang sangat sempit, yang kemudian berdampak pada sempitnya wilayah lembaga pendidikan dan masih sangat konservatif, seperti tercermin pada adanya dikotomi ilmu, yakni ilmu umum versus ilmu agama, atau dikotomi ilmu versus agama.
Di Indonesia, sekalipun menurut undang-undang, yang bertanggung jawab dibidang pendidikan adalah Departemen Pendidikan Nasional, namun ada Departemen Agama yang juga mengurusi pendidikan dari tingkat dasar sampai pada perguruan tinggi. Selanjutnya dengan fenomena itu ada sekolah umum dan ada pula sekolah agama.
Pandangan dikotomi keilmuan tersebut yang secara terang-terangan memisahkan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Pandangan dikotomi keilmuan selain bertentangan dengan semangat tauhid dan prinsip-prinsip universalitas islam dalam kenyataannya juga telah mengebiri kreatifitas serta berperan dalam menciptakan split personality dalam diri umat islam.[1]
Berdasarkan permasalahan di atas, tampaknya tidak mudah ketika melihat kenyataan bahwa kebanyakan orang membangun persepsi bahwa antara ilmu dan agama menjadi satu kesatuan atau integratif, walaupun sesungguhnya hal itu tidak terlalu sulit jika kita berani merujuk pada al-Qur’an dan hadits.
Berangkat dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.    Bagaimana integrasi ilmu dalam islam?
2.    Bagaimana gagasan integrasi keilmuan menurut Imam Suprayogo?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.    Mendeskripsikan integrasi ilmu dalam islam.
2.    Mendeskripsikan gagasan integrasi keilmuan menurut Imam Suprayogo


B.       PEMBAHASAN
1.    Intergasi Ilmu dalam Islam
Integrasi Ilmu adalah keterpaduan secara nyata antara nilai-nilai agama (dalam hal ini Islam) dengan Ilmu Pengetahuan Umum atau Sains. Jika dipelajari secara seksama, sesungguhnya ilmu pengetahuan di dunia ini dapat di klafifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu ilmu alam (natural science), ilmu social (social science), dan ilmu humaniora ( humanities). Ketiga jenis ilmu (ilmu alam, ilmu social dan ilmu humaniora) berlaku secara universal, di mana saja. Hanya saja, dikalangan umat islam merumuskan ilmu tersendiri yang bersumberkan pada al-Qur’an dan Hadits.
Al-Qur’an dan hadits dalam pengembangan ilmu diposisikan sebagai sumber ayat-ayat Qouliyah sedangkan hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis diposisikan sebagai sumber ayat-ayat Kauniyah. Dengan posisinya yang sepertoi ini, maka berbagai cabang ilmu pengetahuan selalu dapat dicari sumbernya dari al-Qur’an dan Hadits. Ilmu hukum misalnya, sebagai rumpun ilmu social maka dikembangkan dengan mencari penjelasan itu dalam al-Qur’an dan Hadits sebagai ayat qouliyah dan hasil-hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis sebagai ayat-ayat Kauniyah.
Sebagai wataknya yang universal, al-Qur’an dan hadits dapat dijadikan sebagai sumber segala ilmu pengetahuan dan tidak sebatas ilmu pendidikan yang sejenis dengan ilmu tarbiyah, syari’ah dan lain-lain. Ilmu-ilmu umum seperti halnya fisika, kimia, bilogogi dan sebagainya dapat dicarikan informasi sekalipun bersifat umum dalam al-Qur’an. Sementara ini ajaran islam dipahami sebatas menyangkut tentang tata cara ibadah, merawat anak yang baru lahir, persoalan pernikahan, kematian, zakat, haji dan sebagainya. Padahal, al-Qur’an juga berbicara tentang konsep tuhan, penciptaan, persoalan manusia, dan perilakunya, alam dan seisinya serta petunjuk tentang keselamatan manusia dan alam.
Agar lebih jelas bangunan ilmu yang bersifat integrative dengan memposisikan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama selain sumber lainnyadapat digambarkan sebagai berikut:
Al-Qur’an dan Hadits
Hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis
Ilmu Alam
Ilmu Sosial
Ilmu Humaniora
Biologi
Kimia
Fisika
Psikologi
Sosiologi
Antropologi
Sejarah
Bahasa dan sastra
·         Perikanan
·         Astronomi
·         Peternakan
·         Pengairan
·         Geografi
·         Farmasi
·         Matematika
·         Kelautan
·         Informatika
·         Teknik
·         Pertanian
·         Kedokterran dan
·         arsitektur
·         komunikasi
·         pendidikan social
·         hokum
·         manajemen
·         administrasi
·         politik
·         ilmu pendidikan
·         ekonomi
Filsafat
Seni










Gambaran tentang ilmu dan berbagai cabang serta sumbernya itu ( ayat-ayat Qouliyah dan ayat-ayat Kauniyah), kiranya dapat dijadikan sebagai salah satu alternative untuk membangun keilmuan yang bersifat integrative dalam arti tidak memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Yang membedakan kemudian adalah terletak pada sumbernya dan bukan pada jenis ilmu yang ada. Ilmu tetap saja terdiri atas rumpun ilmu alam, ilmu social, ilmu humaniora. Pada umumnya para ilmuan dalam menggali ketiga rumpun ilmu tersebut bersumberkan pada ayat-ayat qouliyah saja. Oleh karena itu, cara yang ditempuh untuk menggalinya adalah dengan observasi, eksperimen, dan penalaran logis.[2]
Islam memandang bahwasannya Sains dan Ilmu tidak memiliki perbedaan, karena baik Al Quran maupun As Sunnah tidak membedakaan keduanya, yang ada hanyalah Ilmu, tidak ada pemisahan antara Sains maupun Ilmu Agama. Pembagian adanya Sains dan Ilmu Agama merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengindetifikasikan ilmu berdasarkan sumber objek kajiannya. Keadaan dunia islam mengalami kemunduran banyak diakibatkan oleh tidak adanya perhatian tentang tinjauan normatif atas fenomena yang terjadi, yang mengharuskan setiap umat memahami secara seksama tentang pandangan Allah terhadap Integrasi Ilmu antara Sains dan Ilmu Agama, sehingga sebuah lembaga pendidikan ‘hanya’ akan melahirkan seorang ulama yang ulama, dan ilmuan yang ilmuan.
Sebagai contoh integrasi antara ilmu agama dan sains adalah mengenai penciptaan bintang. Ayat al-Qur’an yang digunakan sebagai sumber ayat qouliyah dan kemudian dibuktikan dengan ayat kauniyah yakni dengan hasil-hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis. Sebagaimana dalam ayat al-qur’an yang menjelaskan mengenai penciptaan bintang adalah surat al-an’am 97.
Artinya: Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q.S al-an’am: 97).[3]
Ayat al-qur’an di atas merupakan contoh dari integrasi keilmuan antara ilmu agama dan ilmu sains. Yang mana pada hakikatnya al-qur’an adalah bersifat universal oleh karena itu perlu adanya observasi, eksperimen serta penalaran yang logis untuk membahas al-qur’an secara mendalam. Bahkan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ayat tersebut telah terbukti kebenarannya. Pada zaman dahulu sebelum ada kompas dan GPS, orang menggunakan rasi bintang sebagai petunjuk arah, kapan waktu meraka menanam maupun memanen hasil pertanian.
Contoh lain yang merupakan integrasi antara ilmu agama dan sains adalah tentang konsep manajemen. Yang mana di dalam suatu hadits di jelaskan.
Idza Wusidal Amru Ila Ghori Ahlihi, Faantadziris Sa’ah”. (artinya: jika suatu perkara diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya).[4]
Memperhatikan salah satu contoh di atas, sesungguhnya terdapat penjelasan yang sangat menarik tentang bagaiman integrasi antara ilmu agama dan ilmu sains yang keduanya merupakan suatu ilmu yang berjalan beringan. Sehingga perlu adanya upaya-upaya perluasan batas terhadap pemahaman al-qur’an jika dikaitkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat seperti yang terjadi apada saat ini. Al-Qur’an jika dikaji dalam perspektif selama ini seolah-olah hanya berbicara mengenai konsep hokum fiqih (halal-haram), kca mata tauhid ( mukmin-musyrik) dan sebagainya. Jika al-Qur’an dikaji melalui sudut pandang seperti itu, terasa kurang menggambarkan apa yang sesungguhnya merupakan isi al-qur’an yang terbentang luas dan bersifat universal.[5]


2.      Gagasan Integrasi Keilmuan Menurut Imam Suprayogo
a.      Biografi Imam Suprayogo
Imam suprayogo merupakan sosok kharismatik yang memberikan memberikan inspiratif baru terhadap pendidikan islam. Imam Suprayogo lahir di Trenggalek 2 januari 1951. Sosok karismatik ini menyelesaikan pendidikan dasar (SDN), menengah pertama (SMPN), dan menengah atas (SMAN) di tempat kelahirannya, Trenggalek Jawa Timur. Setamat dari SMAN, beliau melanjutkan pendidikan di IAIN Malang Fakultas Tarbiyah. Alumnus Program Doktor Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya.
Pak Imam, demikian biasa Ia dipanggil, merupakan sosok pemikir Islam yang istiqomah dalam mengembangkan pendidikan Islam modern. Perubahan STAIN Malang menjadi UIN Malang tidak lepas dari kerja keras dan ke-istiqamahannya dalam memajukan pendidikan Islam. Di samping itu, Ia juga telah berhasil mewujudkan gagasan tentang pentingnya menghadirkan ma’had atau pondok pesantren di Perguruan Tinggi Islam. karena kiprahnya yang gemilang dalam memimpin dan mengembangkan Universitas Islam Negeri (UIN) Malang tersebutlah Ia diberi kepercayaan untuk menjadi khatib dalam Shalat Idul Fitri 1426 H di MasjidIstiqlal Jakarta, yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden.[6]
Gagasan keilmuan menurut Imam Suprayogo digambarkan dalam sebuah pohon. terdapat sebuah keindahan, dan sangat tepat digunakan untuk menerangkan tentang integrasi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Pohon tumbuh dalam waktu lama, bertahun-tahun,  bahkan  beberapa  jenis  tertentu  usianya  melebihi  usia  manusia.Kehidupan dan pertumbuhan pohon juga dapat untuk menggambarkan, bahwa ilmu juga selalu tumbuh dan berkembang.[7]
Menurut Imam Suprayogo, dalam perspektif kurikulum, bangunan ilmu bersifat integrative-ilmu agama dan umum, digunakan metafora pohon yang tumbuh subur, lebat, dan rindang. Masing-masing bagian pohon dan bahkan tanah di mana pohon itu tumbuh digunakan untuk menerangkan keseluruhan jenis ilmu pengetahuan yang harus dikaji oleh seseorang agar dianggap telah menyelesaikan progam studinya. Selayaknya sebatang pohon terdiri atas tanah di mana pohon itu tumbuh, akar yang menghujam ke bumi dengan kuatnya. Akar yang kuat akan menjadikan batang sebuah pohon berdiri tegak dan kokoh. Pohon itu juga akan menumbuhkan dahan, ranting, dan daun dan buah yang sehat dan segar. Bagian tersebut digunakan untuk menjelaskan posisi masing-masing jenis bidang studi atau mata kuliah yang harus ditempuh oleh seseorang agar dianggap telah menyelesaikan seluruh progam studinya.
Integrasi Ilmu adalah keterpaduan secara nyata antara nilai-nilai agama (dalam hal ini Islam) dengan Ilmu Pengetahuan Umum atau Sains. Untuk menciptakan keterpaduan antara Ilmu Agama dan Sains membutuhkan lembaga pendidikan yang memenuhi persyaratan atas keterpaduan tersebut, hal yang perlu dipehatikan adalah suasana pendidikan, kultur akademik, kurikulum, sarana dan prasarana serta profil guru guna mewujudkan konsep pendidikan integratif seperti yang dimaksudkan. Integrasi, terpadu atau apapun sebutannya tidak hanya bersifat formal, yang hanya mencakup persoalan-persoalan sepele dan artifisial, tetapi integrasi dalam kualitas berbagai komponen sistem penyelenggaraan pendidikan, yang semuanya itu berujung pada terwujudunya kepribadian siswa yang integratif.
Menurut Prof. Ima Suprayogo, sebuah lembaga pendidikan bernuansa islam menjadikan Al Quran dan hadits sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan secara mnyeluruh, baik pada tataran teologis, filosofis, teoritis-akademis, dan bahkan pada tataran praktisnya. Ia berpendapat bahwasanya selama ini al-Qur’an dan as-Sunnah hanya dijadikan sebagai dasar (paradigma, atau frame of reference) pelaksanaan pendidikan yang sangat terbatas, yaitu pada tataran ibadah saja. Sedangkan Informasi transendental menyangkut kehidupan luas dalam ilmu pengetahuan seperti penciptaan, manusia dan makhluk sejenisnya, jagad raya yang mencakup bumi, mata hari, bulan, bintang, langit, gunung, hujan, laut, air, tanah. Islam juga menawarkan konsep kehidupan yang menyelamatkan dan membahagiakan, baik di dunia maupun di akherat. Jika pemikiran tersebut ditarik ke tataran operasional, maka yang perlu dikembangkan adalah kurikulum, bahan ajar yang mengkaitkan (mengintegrasikan) ajaran yang bersumber dari ayat-ayat qawliyyah (al-Qur’an dan Hadist) dengan ayat-ayat kawniyyah (alam semesta) secara terpadu dan utuh. Sehingga sebuah ilmu pengetahuan dapat seimbang, tidak timpang dan berat sebelah seperti yang banyak terjadi.
Menghadapi problem epistemology itu, Imam Suprayogo mendapatkan formulasi bangunan ilmu yang integrative dan terpadu dalam bentuk metafora sebuah “pohon ilmu” yang kemudian diterapkan di UIN Malang. Visi yang hendak diwujudkan adalah islam sebagai ajaran yang sempurna, universal, dan berperspektif integrative. Penataan organisasional dan kultural dilakukan secara radikal namun bertahap mengikuti tingkat perkembangan warga UIN Malang.
Secara structural, membangun wadah organisasional untuk pembinaan mental spiritual serta pemahaman al-Qur’an dan hadits melalui Ma’had Sunan Ampel al-Aly dan untuk menunjang secara sistematik pemahaman terhadap sumber ajaran islam al-Qur’an dan hadits juga di bentuk lembaga PKPBA (Progam Perkuliahan Khusus Pembelaran Bahasa Arab) karena bahasa arab merupakan alat uatama memasuki khazanah dan kekayaan sumber ajaran islam (al-Qur’an dan Hadits). Dengamn demikian diharapkan secara intelektual tidak salah memahami islam, tidak salah mengamalkan islam, serta menjadikan nilai-nilai islam mengalir dalam darah-daging fisik dan spiritual mahasiswa.
Secara organisasional, membentuk lembaga (PKPBI) yang mengembangkan visi dan misi perluasan dan pemerkuatan visi intelektual sains. Karena bahasa inggris merupakan bahasa internasional dan bahasa ilmu pengetahuan yang paling popular saat ini. Dengan memehami bahasa itu mahasiswa dipersiapkan dalam rangka mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi.[8]
b.      Pohon Ilmu Sebagai Metafora Integrasi Ilmu di UIN Malang
Sebelum membahas pohon ilmu sebagai metafora intregasi keilmuan, perlu dibahas mengenai bagaimana Imam Gozhali membagi ilmu berdasarkan hukum mencarinya. Menurut Imam Ghozali, membagi ilmu berdasarkan hokum mencarinya menjadi Fardu ayn dan Faru kifayah. Ilmu yang tergolong fardu ayn adalah ilmu agama islam berupa al-Qur’an dan hadits. Yang tergolong ilmu fardu kifayah adalah ilmu yang dipandang penting dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, misalnya ilmu administrasi, kedokteran, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.
Hukum fardu ayn dan fardu kifayah digunakan pula untuk memberikan arah bagi siapa saja yang menyelesaikan progam studi pada jenjang tertentu di UIN Malang. Dalam perspektif kurikulum, bangunan ilmu bersifat integrative-ilmu agama dan umum, digunakan metafora pohon yang tumbuh subur, lebat, dan rindang. Pohon yang tumbuh kokoh digunakan untuk menjelaskan sebuah bangunan akademik. Serangkaian ilmu yang yang harus dikaji digambarkan dalam bentuk pohon itu.
Sebatang pohon, apapun ukurannya, harus ntumbuh di atas tanah yang subur. Jika bangunan akademik atau ilmu digambarkan melalui metafora sebatang pohon, maka tanah di mana pohon itu tumbuh digunakan sebagai tamsil kulturalnya, yang harus juga dirawat dan dipersubur secara terus menerus. Pendidikan islam sangat memerlukan kekuatan kultural. Sebab menurut pandangan islam, ilmu harus diamalkan. Tidak ada gunanya ilmu tanpa membuahkan amal. Oleh karena itu, lembaga pendidikan tidak terkecuali lembaga pendidikan tinggi harus dilengkapi dengan sarana yang cukup untuk menumbuh kembangkan kecintaan pada bidang ilmunya itu melalui pembiasaan atau ketauladanan. Sebagai wujud kultur yang dikembangkang di UIN Malang adalah masjid dan ma’had atau pondok pesantren dibangun di dalam lingkungan Universitas Islam Negeri Malang untuk menciptakan kekuatan kultur dalam pendidikan islam, serta menciptakan pembiasaan kepada seluruh lapisan di dalam kampus, seperti nilai-nilai spiritual dan akhlak. Karena sungguh tidak mungkin belajar Islam, sekadar melalui membaca buku di perpustakaan dan penelitian di laboratorium saja, kegiatan itu harus disempurnakan dengan kegiatan-kegiatan nyata di masjid maupun di ma’had itu.[9]
Pohon yang digunakan sebagai metafora untuk menjelaskan bangunan keilmuan dapat dijelaskan sebagi berikut. Akar yang kukuh menghujam ke bumi, digunakan untuk menggambarkan ilmu alat yang harus dikuasai secara baik oleh setiap mahasiswa, yaitu bahasa arab, dan bahasa inggris, logika, pengantar ilmu alam, dan ilmu sosial. Batang pohon yang kuat digunakan untuk menggambarkan kajian dari sumber ajaran islam, yaitu al-Qur’an dan hadits, pemikiran islam, sirah nabawiyah, dan sejarah islam. Sedangkan dahan yang jumlahnya cukup banyak digunakan untuk menggambarkan sejumlah ilmu pada umumnya dengan berbagai cabangnya, seperti ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora.[10]
Sebagai sebuah pohon, masing-masing memiliki peran yang berbeda, akan tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan untuk menghasilkan buah yang akan dimanfaatkan bagi kehidupan manusia pada umumnya. Akar bertugas mencari sari pati makanan dari tanah, selain berperan sebagai penyangga tegaknya pohon itu secara kokoh. Jika akar itu kokoh maka pohon akan berdiri tegak sekalipun suatu saat diterpa angina kencang. Demikian juga seorang mahasiswa yang mempelajari ilmu pengetahuan, dengan kemampuan berbahasa secara baik, memiliki pengetahuan ilmu alam, ilmu sosial, filsafat, maka akan digunakan sebagai alat untuk menggali sumber-sumber ilmu, baik berupa ayat qouliyah maupun ayat kauniyah.
Batang yang dalam hal itu digunakan untuk menggambarkan ilmu yang bersumber dari kitab suci al-Qur’an dan hadits, digunakan sebagai penyangga dahan-dahan yang rindang. Demikian pula al-Qur’an dan hadits digunakan sebagai dasar dan bahkan sumber utama seluruh pengembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan dahan dan ranting, yang berjumlah cukup banyak menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan di muka bumi ini jumlahnya selalu bertambah sesuai perkembangan dan kebutuhan umat manusia.
Kemampuan bahasa, ilmu alam, dan sosial serta filsafat kesemuanya adalah sangat penting dijadikan sebagai alat untuk memahami sumber ajaran al-Qur’an dan hadits. Ayat-ayat suci al-Qur’an dan hadits selanjutnya dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan modern. Sebaliknya, ilmu pengetahuan modern juga besar artinya bagi siapa saja untuk memahami al-Qur’an dan hadits secara lebih mendalam dan akhirnya menghasilkan buahyang sehat dan segar. Buah yang dihasilkan oleh pohon digunakan untuk menggambarkan produk pendidikan islam, yaiu iman, amal sholih dan akhlaqul karimah.[11]
Agar lebih jelas, pohon yang digunakan sebagai metafora bangunan ilmu yang bersifat integrative dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 01. Metafora Pohon Ilmu UIN Malang
Bagian Pohon
Keterangan
Fardu Ayn
Fardu Kifayah
Akar
Ilmu Alat
Yaitu : bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Inggris, Filsafat, Ilmu-Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Pancasila
ü   
X
Batang
Kajian yang bersumber pada Al Quran dan Hadist
ü   
X
Dahan,

Ranting, Daun
Jenis fakultasyangdipilih
X
ü   
Buah
Bangunan  ilmu  yang  integratif  antara  ilmu

umumdanagamayaituimanamalsholehdan akhlakul karimah

Tabel 01. Keterangan Metafora Pohon Ilmu UIN Malang

c.       Upaya Imam Suprayogo Dalam Mengintegrasikan Ilmu Agama dan Sains di Lingkungan UIN Malang
Menurut Imam Suprayogo, mengembangkan konsep yang sedemikian ini ditengah-tengah tradisi atau budaya perguruan tinggi, dalam bentuknya seperti sekarang ini, tentu tidak mudah. Masyarakat sudah terlanjur memiliki pengertian bahwa perguruan tinggi islam dan juga perguruan tinggi pada umumnya, sebagaimana berjalan selama ini.
Untuk mengembangkan konsep integrasi antara ilmu agama dan sains, dalam memimpin UIN Malang, langkah-langkah yang dilakukan oleh Imam Suprayogo adalah:
1)      Menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Perguruan tinggi islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan harus bersumber pada ayat-ayat qouliyah dan ayat-ayat-ayat kauniyah sekaligus. Karena berbeda dengan perguruan tinggi islam, perguruan tinggi pada umumnya mengembangkan ilmu sebatas bersumber pada ayat-ayat kauniyah itu saja. Cara berpikir yang memposisikan al-Qur’an dan hadits sebagai salah satu sumber pengembangan ilmu pengetahuan di lingkungan universitas islam, maka cara berpikir seperti ini sejalan dengan semangat islam.
2)      Keterpaduan konsep perguruan tinggi dan ma’had
Ma’had yang diberi nama Ma’had Sunan Ampel al-Aly dimaksutkan sebagai fasilitas mengembangkan kultur keberagamaan, seperti sholat berjama’ah pada setiap waktu sholat fardlu, sholat malam, membaca al-Qur’an bersama-sama, pelatihan kepemimpinan mahasiswa dan lain-lain. Konsep pendidikan yang dikembangkan UIN Malang untuk melahirkan “Ulama’ intelektual yang professional” serta “intelektual ulama’ yang professional” harus dikembangkan dua ranah intelektual dan professional serta ranah kultural sekaligus. Karena ma’had dipandang relevan untuk mengembangkan ranah kulturalnya.[12]
3)      Iklim dan Budaya Kampus
Tenaga dosen yang berkompeten dalam bidangnya sekaligus juga menguasai ilmu agama. Upaya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dosen dimaksudkan agar berdampak positif bagi peningkatan motivasi kerja baik sebagai pendidik maupun sebagai pengembang ilmu pengetahuan.
Membangun kultur kebersamaan seperti sholat berjamaah di kampus yang diikuti oleh seluruh pimpinan, dosen, karyawan dan juga mahasiswa, pada kesempatan setelah sholat berjama’ah diselenggarakan 7-10 menit kultum. Selain itu, pada minggu ketiga setiap bulandiadakan khotmil qur’an, membiasakan puasa senin dan kamis, membangun solidaritas dan silaturrahmi.
Dari sudut pandang manusia yang selalu terkait dengan kultur, kebiasaan dan budaya, maka kegiatan semacam itu justru dapat dipandang strategis dan relevan dengan pengembangan ilmu yang seharusnya ditunaikan oleh perguruan tinggi, apalagi yang menyandang nama “islam”.[13]
d.      Berbagai Kritik Terhadap Konsep Integrasi Ilmu Agama dan Sains yang Diterapkan Oleh Imam Suprayogo
Konsep yang diterapkan oleh Imam Suprayogo dalam upayanya mengintegrasikan antara ilmu agama dan sains ternyata tidak sepi dari kritik. Berbagai hal yang dipersoalkan diantaranya adalah:
1)      Posisi al-Qur’an dan Hadits yang Diposisikan Sebagai Batang
Pada umumnya, mereka yang tidak menyetujui konsep ini mengatakan bahwa semestinya al-Qur’an dan hadits diposisikan sebagai akar. Sebab al-Qur’an dan hadits dipandang sebagai dasar seluruh pengembangan ilmu. Posisinya sebagai dasar semestinya bukan digambarkan pada batang, melainkan pada akar. Pandangan ini bisa dijelaskan bahwa sebatang pohon ini digunakan untuk menggambarkan bangunan ilmu dalam perspektif kurikulum. Jika perspektif ini yang digunakan maka memang seharusnya dalam mengkaji sesuatu harus melalui urutan-urutan secara sistematis. Ada bagian-bagisn yang seharusnya didahulukan sebagai prasyarat untuk menjamah bagian selanjutnya. Sebelum mendalami al-Qur’an dan hadits, misalnya, siapa saja harus belajar terlebih dahulu bahasa arab, logika atau filsafat, ilmu-ilmu social dan ilmu alam dan seterusnya.
2)      Al-Qur’an dan Hadits Dijadikan Sebagai Sumber Ilmu yang Sejajar dengan Hasil-Hasil Observasi, Eksperimen dan Penalaran Logis
Kritik ini dijelaskan bahwa peletakan al-Qur’an dan hadits sejajar dengan sumber lainnya itu sebatas persoalan teknis, akan teta[pi sesungguhnya posisi al-Qur’an dan hadits lebih utama dan tidak mungkin disejajarkan dengan sumber-sumber lain manapun.
3)      Konsep Tersebut Diimplementasikan Maka Dikhawatirkan Menjadikan Beban Mahasiswa Terlalu Berat.
Mahasiswa harus mempelajari ilmu-ilmu umum ditambah lagi dengan harus belajar bahasa Arab, al-Qur’an dan hadits dan seterusnya. Sehingga dirasa tidak mungkin dapat dijalankan. Kritik semacam ini sesungguhnya bisa dijawab dengan menunjukan bukti empirik bahwa di Indonesia telah banyak orang yang sekalipun mereka tidak melewati lembaga pendidikan, mereka mampu mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum, diantaranya adalah Prof. Dr. Tholkha Mansyur (alm), Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat, Prof. Dr. Syafi’I Ma’arif.
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimana mereka itu berhasil menguasai agama sekaligus ilmu umum. Jika diteliti secara seksama, ternyata mereka teruntungkan oleh lingkungan di mana mereka tinggal, baik lingkungan itu sebatas keluarga yang memberikan suasana kondusif untuk menumbuh kembangkan ilmu agama atau lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, termasuk juga lingkungan kampusnya.[14]
C.      ANALISIS REFLEKSI
Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (sains) sudah seharusnya menjadikan al-Qur’an dan sains sebagai landasan yang fundamental. Karena dalam hal ini, al-Qur’an dan hadits adalah bersifat universal yang mana setiap ilmu pengetahuan (sains) semua dapat dicari dalil Qoliyah di dalam al-Qur’an dan hadits. Meskipun pada hakikatnya dalil qouliyah tersebut masih bersifat global atau universal, oleh sebab itu, maka diperlukan adanya observasi, eksperimen dan penalaran logis terhadap dalil qouliyah yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits. Di dalam ayat al-qur’an juga sudah diterangkan secara jelas bahwa segala sesuatu yang ada dimuka bumi telah tertulis di dalam al-Qur’an dan hadits.
Artinya: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (al-an’am 38).
Ayat di atas telah menerangkan dengan jelas bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi tiada satupun yang di alpakan (terlewatkan) semuanya telah di bahas di alam al-Qur’an. Bahkan ulama’ menafsirkan bahwa di dalam Al-Quran itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya. Oleh karena itu Nabi berpesan kepada umatnya, Sebagaimana hadits nabi “aku tinggalkan dua perkara kepada kalian, kalian tidak akan tersesat selamanya manakala kalian memegang teguh keduanya ; al-Qur’an dan sunnah Nabi”.
Sebagaimana integrasi keilmuan menurut Imam Suprayogo yang di gambarkan melalui metafora sebuah “Pohon Ilmu”. Di mana pohon tersebut merupakan suatu rangkaian yang utuh dan memiliki peran masing-masing yang berbeda. Untuk mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan (sains) yang bersumber pada al-Qur’an dan hadits, maka harus menguasai khazanah keilmuan yang merupakan bagian dasar (akar dalam metafora pohon ilmu: bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Inggris, Filsafat, Ilmu-Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Pancasila) karena dengan menguasai bagian dasar tersebut akan dengan mudah dapat mengkaji sumber yang berdasarkan ayat qouliyah. Karena tidak mustahil sekalipun seorang yang “Hafidzul Qur’an” jika tidak menguasai ilmu yang menjadi bagian dasar tersebut, tidak akan mampu mengkaji al-Qur’an dan hadits.
Dalam upaya mengintegrasikan antara ilmu agama dan sains, diperlukan juga adanya lingkungan, kultur/ budaya yang mendukung. Karena pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak pernah terlepas dari unsur lingkungan dan budaya. Lingkungan dan budaya yang mendukung akan menjadi salah satu kunci kesuksesan dalam mengintegrasikan antara ilmu agama dan sains sehingga akan dapat mencetak generasi yang mahir dalam ilmu pengetahuan (sains) dan sekaligus menguasai ilmu-ilmu agama.
Mengintegrasikan antara ilmu agama dan sains merupakan suatu hal yang tidak mudah. Meskipun segala apa yang ada di muka bumi telah diterangkan di dalam ayat qouliyah (al-Qur’an dan hadits), integrasi antara keduanya tidak akan tercipta tanpa adanya usaha yang sungguh-sungguh dalam mengkaji ayat-ayat qouliyah tersebut. Maka jika tidak, ayat-ayat qouliyah tersebut hanya akan tinggal tulisan yang sekedar dibaca sebagai amalan ubudiyah semata. Untuk itu diperlukan adanya usaha yang sungguh-sungguh agar dapat mengintegrasikan antara ilmu agama dan sains dengan mengembangkan keilmuan berdasarkan ayat-ayat qouliyah, dengan demikian, maka akan terwujud visi dan misi islam yang sesungguhnya yakni sebagai agama “Rohmatan lil ‘alamin”.
D.      PENUTUP / KESIMPULAN
Islam memandang bahwasannya Sains dan Ilmu tidak memiliki perbedaan, karena baik Al Quran maupun As Sunnah tidak membedakaan keduanya, yang ada hanyalah Ilmu, tidak ada pemisahan antara Sains maupun Ilmu Agama. Pembagian adanya Sains dan Ilmu Agama merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengindetifikasikan ilmu berdasarkan sumber objek kajiannya.
Integrasi keilmuan yang diterapkan oleh Imam Suprayogo adalah bentuk upaya untuk menyatukan antara ilmu-ilmu agama dan sains, yang mana setiap ilmu pengetahuan (sains) menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai landasan yang fundamental. Integrasi keilmuan menurut Imam Suprayogo digambarkan dengan bentuk metafora “Pohon Ilmu”. Upaya pengintegrasian antara ilmu agama dan sains yang diterapkan oleh Imam Suprayogo dalam memimpin UIN Malang tercermin pada kurikulumbahan ajar,saranadanprasarana,sertalingkunganyangmendukungsehinggadiharapkan dapat mencetakgenerasi yang “Ulul Albab”, ulama’ yang intelek dan intelek yang ulama’.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an DEPAG
Arsip Perkuliahan S1 Manajemen Pendidikan Islam semester 3.
Suprayogo, Imam. 2006. Paradigma Pengembangan Keilmuan Perspektif UIN Malang. Malang: UIN Malang Press.
Suprayogo, Imam. 2008. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN. Malang: UIN Press.
Suprayogo, Imam. 2009. Universitas Islam Unggul. Malang: UIN- Malang Press.



[1] Suprayogo, Imam. 2006. Paradigma Pengembangan Keilmuan Perspektif UIN Malang. Malang: UIN Malang Press. Hal xi.
[2] Suprayogo, Imam. 2008. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN. Malang: UIN Press. Hal. 63-64
[3]Al-Qur’an DEPAG Surat al-An’am: 97).
[4] Arsip Perkuliahan S1 Manajemen Pendidikan Islam semester 3.
[5] Suprayogo, Imam. 2008. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN. Malang: UIN Press. Hal. 71.
[6] Suprayogo, Imam. 2009. Universitas Islam Unggul. Malang: UIN- Malang Press. Hal. 226.
[7] Suprayogo, Imam.2009.Paradigma Pengembangan Keilmuan di Perguruan Tinggi.Malang:UIN Malang Press
[8] Suprayogo, Imam. 2009. Universitas Islam Unggul. Malang: UIN-Malang Press. Hal. 27
[9] Suprayogo, Imam. 2006. Paradigma Pengembangan Keilmuan Perspektif UIN Malang. Malang: UIN Malang Press. Hal 52.
[10] Suprayogo, Imam. 2009. Universitas Islam Unggul. Malang: UIN-Malang Press. Hal. 166
[11] Suprayogo, Imam. 2008. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN. Malang: UIN Press. Hal. 74-75.
[12] Suprayogo, Imam. 2009. Universitas Islam Unggul. Malang: UIN-Malang Press. Hal 49, 55.
[13] Suprayogo, Imam. 2008. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN. Malang: UIN Press. Hal. 94.
[14] Suprayogo, Imam. 2006. Paradigma Pengembangan Keilmuan Perspektif UIN Malang. Malang: UIN Malang Press. Hal 59-62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar