Sifat Ilmu Pengetahuan
Ciri umum dari kebenaran ilmu pengetahuan
yaitu bersifat Rasional, Empiris, dan Sementara.
1. Rasional artinya kebenaran itu ukurannya akal.
Sesuatu dianggap benar menurut ilmu apabila masuk akal. Sebagai contoh dalam
sejarah kita menemukan adanya bangunan Candi Borobudur yang sangat menakjubkan.
Secara akal pembangunan Candi Borobudur dapat dijelaskan, misalnya bangunan
tersebut dibuat oleh manusia biasa dengan menggunakan teknik-teknik tertentu
sehingga terciptalah sebuah bangunan yang megah. Janganlah kita menjelaskan
bahwa Borobudur dibangun dengan menggunakan kekuatan-kekuatan di luar manusia,
misalnya jin, sihir, setan, atau jenis makhluk-makhluk lainnya. Kalau
penjelasan seperti ini, maka sejarah bukanlah sebagai ilmu pengetahuan.
2. Empiris artinya ilmu itu berdasarkan kenyataan.
Kenyataan yang dimaksud di sini yaitu berdasarkan sumber yang dapat dilihat
langsung secara materi atau wujud fisik. Empiris dalam sejarah yaitu sejarah
memiliki sumber sejarah yang merupakan kenyataan dalam ilmu sejarah. Misalnya
kalau kita bercerita tentang terjadinya Perang, maka perang itu benar-benar ada
berdasarkan bukti-bukti atau peninggalan-peninggalan yang ditemukannya.
Kemungkinan masih adanya saksi yang masih hidup, adanya laporan-laporan
tertulis, adanya tempat yang dijadikan pertempuran, dan bukti- bukti lainnya.
Dengan demikian, cerita sejarah merupakan cerita yang memang-memang empiris,
artinya benar benar terjadi. Kalau cerita tidak berdasarkan bukti, bukan sejarah
namanya, tetapi dongeng yang bersifat fiktif.
3. Sementara artinya kebenaran ilmu pengetahuan
itu tidak mutlak lain halnya kebenaran dalam agama. Kemutlakan kebenaran agama
misalkan dikatakan bahwa Tuhan itu ada dan memiliki sifat yang berbeda dengan
makhluknya. Ungkapan ini tidak dapat dibantah harus diyakini atau diimani oleh
manusia. Lain halnya dengan ilmu pengetahuan, kebenarannya bersifat Sementara,
artinya dapat dibantah apabila ditemukan teori-teori atau bukti-bukti yang
baru. Dalam sejarah, kesementaraan ini dapat dalam bentuk perbedaan penafsiran
terhadap suatu peristiwa. Perbedaan ini dapat diterima selama didukung oleh
bukti yang akurat. Kesementaraan inilah yang membuat ilmu pengetahuan itu
berkembang terus.[1]
Sedangkan syarat ilmu Pengetahuan sebagaimana pendapat Dani Vardiansyah dalam
bukunya Filsafat Ilmu Komunikasi, bahwa ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi
tiga syarat, yaitu:[2]
1. Sistematik; yaitu merupakan kesatuan
teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2. Objektif; atau dikatakan pula sebagai
intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang
lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3. Dapat dipertanggung jawabkan; yaitu mengandung
kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain dapat diterima oleh
orang-orang lain atau ahli-ahli lain. Sebagai pandangan lain, syarat utama
berdirinya sebuah ilmu pngetahuan adalah bersifat umum-mutlak dan dapat memberi
informasi baru. Teori ini dipakai dikarenakan esensinya bisa di pandang
uneversal aau memenuhi syarat kebenaran inter-subjektif. Dan ilmu harus di bangun
dan di kembangkan di atas tiga pondasi utama yaitu data, teori/epistemologi dan
nilai/etika.[3]
Hakikat
pengetahuan menurut aliran yang berkembang
a. Idealisme:
Para penganut aliran idealism berpandangan
bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental dan psikologis yang bersifat
subyektif. Oleh karena itu, pengetahuan tidak lain merupakan gambaran subyektif
tentang suatu kenyataan. Menurut mereka, pengetahuan tidak memberikan gambaran
sebenarnya tentang kenyataan yang berada di luar pikiran manusia.
b. Empirisme
Tentang asal-usul pengetahuan para penganut
aliran ini mengatakan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indra. Tentang
hakikat pengetahuan, mereka mengatakan bahwa pengetahuan adalah pengalaman.
Seorang tokoh empirisme radikal David Hume. Dia berpendapat bahwa ide-ide dapat
dikembalikan kepada sensasi-sensasi (rangsang indra). Pengalaman merupakan
ukuran terakhir dari kenyataan. Apa yang dialami, itulah pengetahuan.
c. Positivisme
Kalau idealism dapat dianggap sebagai
kelanjutan dari rasionalisme, maka positivime merupakan perpanjangan dari
empirisme. Para penganut aliran ini menolak kenyataan di luar pengalaman.
Mereka mengatakan bahwa kepercayaan yang berdasarkan dogma harus digantikan pengetahuan
yang berdasarkan fakta.
d. Pragmatisme
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Willian
James, John Dewey, dan C.S. Pierce. Menurut aliran ini, hakikat pengetahuan
terletak dalam manfaat praktisnya bagi kehidupan. Pengetahuan adalah sarana
bagi perbuatan. C.S. Pierce mengatakan bahwa yang penting adalah pengaruh
sebuah ide atau pengetahuan bagi sebuah rencana. Nilai sebuah pengetahuan
tergantung pada penerapannya secara konkrit dalam kehidupan masyarakat. Suatu
pengetahuan itu benar bukan karena ia mencerminkan kenyataan obyektif,
melainkan karena ia bermanfaat bagi umum. Menurut William James, ukuran
kebenaran ditentukan oleh akibat praktisnya. Sedangkan John Dewey menegaskan
tidak perlu mempersoalkan kebenaran suatu pengetahuan, tapi sejauh mana
pengetahuan memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar